Share

Chapt 4 : Sebuah Kedengkian

"Kemana saja kau, Mariana? Aku hampir tidak menemukanmu malam ini. Apa saja yang sudah kau lakukan?" 

Mariana hanya menatap malas ke arah Albert yang sedang menunjukkan sedikit kilatan amarah padanya. 

"Ck, aku hanya berjalan-jalan mencari udara segar, Albert. Bukankah cara bicaramu padaku terlalu berlebihan?"  Mariana berdecak malas menanggapi suaminya. 

Albert menghela napasnya lalu memposisikan dirinya duduk di samping istrinya itu, "Maaf, aku hanya mengkhawatirkan mu."

Mariana pun mengangguk pelan setelah mendapat permintaan maaf dari Albert. 

"Bagaimana acara tadi? Apakah berjalan lancar sesuai rencana?" tanya Mariana. 

"Ya, tentu. Sesuai rencana sebab Aslan juga tidak ikut merayakannya," ucap Albert disertai senyum kebanggaannya. 

"Aish, mau sampai berapa lama kamu akan membenci Aslan, Albert? Apakah selama ini dia pernah berbuat kesalahan pada kita? Tidak, bukan?" 

Ucapan Mariana sontak membuat Albert menatapnya dengan tajam, "Bisa-bisanya kamu membela anak pengkhianat seperti dia. Harusnya, dia berada di dunia rakyat bawah sekarang. Tapi, karena belas kasihku dia masih diterima di sini."

Mariana tersenyum sinis, "Begitukah? Bukankah Aslan di sini atas ijin dari Duke Wingston?" 

Albert memicingkan matanya dan mencoba mencerna ucapan yang baru saja keluar dari mulut istrinya, "Maksudmu? Mengapa Ayah melakukannya?" 

"Entahlah, kau tanya saja sendiri padanya. Aku hanya mendengarnya dari desas-desus Baroness yang berkata bahwa Wingston sudah sepenuhnya memberikan ijin pada Aslan untuk tinggal di kerajaan," ucap Mariana ringan. 

Merasa tidak puas dengan jawaban Mariana, Albert langsung keluar dan menuju ruangan milik Wingston yang berada tak jauh dari kamarnya. Albert pun mengetuk pintu itu dan berteriak memanggil nama ayahnya. 

"Ayah, buka pintunya! Aku ingin bicara!"

Pintu otomatis terbuka dan menampilkan sosok Wingston. Albert membulatkan matanya ketika melihat bahwa Wingston tidak sendirian, melainkan bersama Aslan yang kini hendak meminum secangkir minuman yang berwarna merah gelap. 

"Kenapa berteriak seperti itu, Albert?" tanya Wingston sembari mengerutkan keningnya. 

Albert menatap tajam ke arah Aslan yang dengan santainya meneguk minuman pemberian Wingston. 

"Sedang apa Aslan di sini?" tanya Albert. 

Wingston mengalihkan pandangannya menatap Aslan, ia pun tersenyum santai. "Ah, dia sedang menemani Ayah minum ramuan yang Ayah namai Jiskey ini. Ayah mau Aslan mencobanya terlebih dahulu."

"Mengapa harus dia yang mencobanya terlebih dahulu, Ayah?" tanya Albert dengan nada bicara tidak terima. 

"Aslan ini memiliki kekebalan tubuh yang bagus, Albert. Jika ramuan yang Ayah ciptakan ini tidak sesuai, maka tak akan berdampak apapun pada Aslan."

Albert bingung dengan perkataan Wingston, "Maksudnya? Kenapa tidak berdampak padanya?" tanya Albert beralih menatap Aslan yang sedari tadi hanya diam saja dan menyaksikan percakapan antara anak dan Ayah itu. 

"Sudahlah, lupakan. Ada perlu apa kamu ke ruangan Ayah?" tanya Wingston. 

"Aku mau bicara empat mata dengan Ayah," ucap Albert. 

Wingston pun mengalihkan pandangannya menatap Aslan yang sedang menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu, saya permisi, Duke."

Aslan pergi keluar dari ruangan milik Wingston. Meskipun Albert dan Wingston berbicara empat mata, namun Aslan masih bisa mendengarkan apa yang mereka katakan dari dalam ruangan itu. Bersyukurlah atas pendengaran tajam milik Aslan yang turun temurun dari mendiang Ayahnya. Namun, terkadang Aslan juga merasa risih jika harus mendengar ucapan-ucapan yang menurutnya tidak berguna itu. 

"Apa-apaan kau ini, Albert?" 

Albert langsung memposisikan dirinya di kursi yang semula diduduki oleh Aslan. 

"Apakah kalian berdua begitu akrab sampai dia harus menemani Ayah minum?" tanya Albert to the point. 

Wingston menghela napasnya, "Sudahlah, katakan apa maumu. Bukankah mustahil kalau kamu datang ke sini hanya untuk menjengukku?" 

"Aku hanya ingin memastikan, mengapa Ayah mengumumkan telah memberi ijin Aslan untuk tetap tinggal di sini?" Albert menatap Wingston dengan serius, "Bukankah sudah jelas kalau keberadaan Aslan di sini bisa dikatakan tidak pantas?"

Wingston menghendikkan bahunya singkat dan sedikit acuh terhadap pertanyaan yang Albert lontarkan pada dirinya. Menurutnya, pertanyaan itu tidaklah begitu penting untuk dibahas dengan serius, "Entahlah, Ayah hanya mengikuti insting," jawabnya singkat. 

Albert memandang Wingston dengan sorot mata bertanya dan aneh, "Insting? Maksud Ayah? Kenapa kalian berdua penuh kemisteriusan. Tak bisakah Ayah berbicara terang-terangan denganku?"

"Kamu tidak perlu memikirkan alasan keberadaan Aslan di sini, Albert. Lakukan saja tugasmu sebagai Duke dengan baik. Urusan Aslan, biar Ayah yang mengaturnya," tutur Wingston. 

"Tapi Ayah... Dia itu anak seorang pengkhianat, Ayah. Keberadaannya di sini saja sebuah kesalahan, apalagi diberikan ijin oleh Ayah!" tukas Albert tak ingin kalah. 

"Sudahlah, Albert. Lebih baik, kamu atur strategi penyerangan kerajaan Jovanka. Delves tidak mungkin menyerah secepat perkiraan," ucap Wingston mengalihkan topik pembicaraan. 

Albert pun menghela napasnya singkat lalu mengangguk. Benar juga apa yang dikatakan oleh Ayahnya. 

"Baiklah. Kalau begitu, aku keluar dulu."

***

Aslan berjalan melewati lorong-lorong gelap tempat para Ksatria melatih kekuatan pedang mereka masing-masing. Bunyi pedang saling bersentuhan terdengar sangat nyaring dan jelas menerobos masuk ke indra pendengarannya. 

Saat itu juga, Aslan melihat Edgar yang berjalan dengan tergesa bersama seorang Baron yang tak salah bernama Neville. Seorang Edgar itu tengah tersenyum dan berbincang hangat dengan pemuda yang bernama Neville itu. 

Aslan hanya bersikap datar seperti biasa. Ia berjalan bersimpangan begitu saja tanpa memperhatikan Edgar yang sedang menatapnya dengan sinis. Ketika Aslan sudah berjalan sedikit jauh, ia bisa mendengar suara Edgar yang sedang membicarakannya dengan Neville. 

"Lihatlah anak tak tau diri itu. Entah apa yang sudah dia perbuat sampai Duke Wingston memberikannya ijin legal untuk tinggal di sini," ucap Edgar. 

Neville sepertinya hanya tersenyum canggung menanggapi. Mungkin pria itu tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi ucapan Edgar. 

Entah apa yang dirasakan oleh Aslan, namun pria itu masih tidak berekspresi. Ya, anggap saja Aslan adalah tembok beton kuat yang sangat sulit untuk dirobohkan. Meskipun banyak yang menggunjing dan mengucilkannya, tetapi ia masih bersikap biasa saja dan tak bereaksi apapun. 

"Duke Marc sudah datang!" 

Seruan yang sangat keras itu menggema hingga ke seluruh penjuru istana. Aslan menangkapnya. Baik Edgar dan lainnya bergegas menuju ke halaman depan Kerajaan, begitupun juga dengan Aslan. 

***

"Perhatian! Tunjukkan rasa hormat  kalian pada Duke Marc!" ucap Albert yang berada di barisan paling depan antara para bangsawan. 

Aslan yang berdiri lumayan jauh hanya bisa mendengar dan mengikuti instruksi yang diberikan. Ia belum bisa melihat dengan jelas rupa wajah Duke dari sana. Namun ia akan segera mengetahuinya setelah para Ksatria membentuk barisan untuk mempersilahkan Duke itu masuk. 

"Aku menghormatimu, Duke. Anda berperan besar dalam perang melawan Kerajaan Jovanka. Entah ganjaran apa yang harus saya berikan untuk anda," ucap Albert. 

Marc tersenyum santai. Di umurnya yang masih muda itu, ia sama sekali tidak merasa sungkan bahwa Albert—pria yang lebih tua darinya itu tengah membungkukkan sedikit badannya untuk penghormatan. 

"Tak masalah Albert. Aku hanya membalas budi atas perbuatanmu dan Ayahmu dulu," ucapnya dengan nada bicara yang santai. 

Albert hanya menyunggingkan senyum lantas mempersilahkan Marc untuk masuk mengikutinya. 

Dalam perjalanannya memasuki Kerajaan Wealton itu, pandangan tajam Marc sempat mendapati Aslan yang juga tengah memperhatikan dirinya yang dikelilingi oleh para bangsawan maupun Ksatria. 

"Aslan.... " gumam Marc. 

To be continue~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status