Keesokan harinya, langit nampak gelap gulita. Terpaan angin semilir menyejukkan badan. Tidak terdapat tanda-tanda ayam berkokok atau burung bersiul. Bagaskoro membuka jendela, mencoba menengok ke luar. Dia tidak mendapati seberkas sinar matahari. Setelah ia menengok lebih jelas ternyata Mega mendung yang menutupi langit. Tampaklah Kesunyian menyelimuti seluruh padepokan."Uhhhh, mengapa kalau mendung di pagi hari selalu rasanya sepi sekali ya? Memang syahdu tapi tidak menyenangkan. Ngomong-ngomong dimana Bajulgeni dan yang lainnya ya? Apakah mereka sudah latihan terlebih dahulu," batin Bagaskoro. Tiba-tiba, "Huaaaaaaa," kejut Bajulgeni. "Aaaaaghhhhhhh," teriak Bagaskoro terkejut. "Hahahaha, hahahaha, kau terkejut ya. Mengapa kau melamun terus dari tadi. Sudah kupanggil beberapa kali, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan saja. Apa yang ada di pikiranmu saat ini?" ejek Bajulgeni. "Huuuu, Huuuu, Huuu. Kau ini ada-ada saja. Tidak mengenakkan orang kau ini," sahut Bagaskoro dengan nafas
Bagaskoro dan Bajulgeni terkejut dengan perkataan Master Li Mo. Mereka berdua semakin penasaran dibuat olehnya. "Apa yang sebenarnya ada di pikiran Master Li Mo. Kejutan apa yang hendak diberikan olehnya. Aku menjadi semakin penasaran," pikir Bagaskoro."Master, memang apa yang ingin master berikan. Apakah itu untuk salah satu dari kami atau untuk kami berdua?" tanya Bajulgeni. "Ini untuk kalian berdua. Tunggulah sebentar, aku akan masuk dan mengambilnya. Kalian jangan kemana-mana ya," jelas Master Li Mo. "Baik master!" ucap keduanya serempak.Master Li Mo pun membuka sebuah pintu rahasia yang ada di salah satu dinding. Di dalam ruangan tersebut, nampak ruangan yang lebih gelap dari ruangan sebelumnya. Sampai sampai Bagaskoro dan Bajulgeni tidak bisa melihat apapun di dalam ruangan tersebut."Kira-kira apa yang akan diberikan oleh Master Li Mo ya?" tanya Bagaskoro kepada Bajulgeni. "Entahlah, mungkin sebuah senjata. Semisal keris atau pedang, atau tombak, atau apapun lah," tebak Bajul
"Kapan? Di mana? Bagaimana cara Guru Mada bertemu guru saya?" tanya Irman. "Kau pasti tau kan sebelumnya aku sempat menghilang. Sebenarnya aku tidak menghilang pada waktu itu. Hanya saja aku tersesat di waktu ikut rombongan festival. Aku terbawa menuju Padepokan Bayangan Singa," jelas Guru Mada. "Oh jadi pada waktu itu, guru tersesat ya. Lantas bagaimana guru bisa kembali lagi ke sini?" tanya Irman heran. "Aku mengikuti rombongan festival di hari terakhir. Toh, mereka melakukan perjalanan kembali dari Padepokan Bayangan Singa menuju alun-alun dekat bandar pelabuhan kan," jelas Guru Mada."Maaf guru, jika aku boleh tau. Hal apa saja yang guru temukan sewaktu guru berada di padepokan Bayangan Singa selain guru menjumpai Ki Segara Wetan?" tanya Irman kembali. "Hmmm, begini nak. Sebenarnya aku hanya diberi titipan surat ini oleh Guru mu, aku tidak bisa berbincang secara langsung," jelas Guru Mada sembari memberikan sepucuk surat kepada Irman. "Jadi Guru Mada hanya berpapasan saja dengan G
Irman segera membuka surat yang ditulis oleh sang guru. Di surat tersebut, hanya berisi tentang perintah dari Ki Segara Wetan kepada Irman, agar menuruti segala kata dari Guru Mada. Sebagai seseorang murid yang penurut, Irman tentunya akan menuruti segala kata yang ditulis oleh gurunya di surat tersebut."Apa kau sudah selesai membacanya?" tanya Guru Mada. "Sudah guru, saya telah selesai membacanya," jawab Irman. "Baguslah kalau begitu. Sekarang kita harus mempersiapkan diri untuk berangkat ke Kerajaan Kahn. Oh maaf maksudku kalau kau mau ikut. Kalau kau tidak berminat ikut ya sudahlah tidak masalah," jelas Guru Mada. "Aku ikut guru, bagaimanapun juga aku akan menyelamatkan guru ku dari Si Keparat Wei Fang itu," sahut Irman dengan amarah menyala-nyala. "Kau punya semangat yang bagus nak, namun perlu kau ingat satu hal. Kita harus dapat mengontrol emosi kita apa pun yang terjadi. Jika kita sampai mendahulukan emosi daripada akal sehat. Kita akan mati di tempat sebelum kita berperang," t
Bagaskoro dan Bajulgeni masih berada di dalam ruangan khusus Master Li Mo. Akan tetapi, buku yang diberikan oleh Master Li Mo tersebut menggunakan aksara sansekerta kuno. Untungnya di buku tersebut terdapat catatan di beberapa halaman buku. Catatan tersebut diselipkan oleh Master Li Mo tatkala Master Li Mo mencoba menafsirkan arti buku tersebut. Di beberapa halaman pula Master Li Mo menandai beberapa kata yang dinilai punya makna ganda."Buku ini memang unik ya kang," ujar Bagaskoro. "Begitulah, tapi aku tidak bisa paham semua bahasanya," jelas Bajulgeni. "lho, bukankah kakang paham tentang bahasa sansekerta ya?" tanya Bagaskoro. "Ya aku memang paham, namun di beberapa kutipan itu ada bahasa kuno lainnya. Ditambah ada beberapa istilah yang mengartikan makna lain di dalamnya," jelas Bajulgeni.Bajulgeni yang mengerti bahasa sansekerta terus meneliti isi buku tersebut. Ia membaca halaman daftar isi yang kebetulan menggunakan bahasa sansekerta dengan cermat. Ia membaca dengan teliti, bah
Setelah mendengar penuturan Master Li Mo, Bajulgeni terkejut bukan kepalang. Sejenak Bajulgeni mencoba mengingat-ingat tentang semua pelajaran yang sudah diberikan oleh gurunya. Termasuk, dulu ia pernah diceritakan bermacam-macam hal oleh gurunya. Bajulgeni dengan sekuat tenaga masih mencoba mengingat-ingatnya. Ia tidak asing dengan nama Wijaya Negoro."Ada apa kakang? Adakah suatu hal yang aneh?" tanya Bagaskoro memastikan. "Entahlah aku sepertinya pernah mendengar nama Wijaya Negoro. Dan seingatku juga, dulu aku terkagum-kagum tidak karuan. Aku ingat betul Guru Mada pernah menyebut nama itu," jelas Bajulgeni. "Oh jadi begitu ya," timpal Bagaskoro. "Bagaimana nak? Apa ada hal yang perlu kau tanyakan. Atau ada hal yang ingin kau diskusikan. Kelihatannya kau berpikir sangat keras," ujar Master Li Mo yang ternyata memiliki nama asli Wijaya Negoro tersebut."Maaf Master Wijaya, aku ingin bertanya beberapa hal jika diizinkan. Sebelumnya aku benar-benar minta maaf, jika nantinya aku menyin
"Apa yang terjadi Wijaya? Apa kau baik-baik saja?" tanya Segara Wetan. "Tidak, aku tidak apa-apa," jawabku. "Kau di sini saja. Aku dan rekan-rekan akan mencoba mengejar dan mencari keberadaan Wei Fang. Hei kalian! Ayo kita cari Wei Fang," ujar Segara Wetan. Aku pun segera kembali menuju ruangan Guru Suleiman.Guru Suleiman nampak bingung akan apa yang terjadi barusan. Beliau hanya menatap ku dengan perasaan sedih. "Ada apa guru? Mengapa guru kelihatan sangat sedih?" tanyaku. "Hmmmm, Bagaimana ya? Aku akan menjelaskannya nanti setelah aku selesai dengan pewarisan pusaka kepada Mada," tegas Guru Mada. Aku pun menunggu dengan sabar sampai Guru Suleiman menyelesaikan perbincangannya.Tidak berselang lama, aku pun tertidur. Aku dibangunkan oleh Mada setelahnya. "Hei Wijaya! ayo bangun, perbincangan ku dengan guru telah selesai. Sekarang beliau menunggumu," ucap Mada. "Huaaa, apa sudah selesai dari tadi?" tanyaku setengah sadar. "Tidak, baru saja selesai, lebih baik kau basuh muka dulu. Set
Aku pun segera pergi ke kamar dan beristirahat. Dalam tidur pun aku masih terngiang-ngiang atas apa yang telah menimpa ku sebelumnya. Hal itu membuatku semakin sulit untuk tidur. Aku pun mencoba membaca beberapa buku, untuk menghilangkan keraguan dan menenangkan pikiranku. Tak ayal, saat membaca buku pun aku akhirnya tertidur.***"Maaf master, aku izin menyela," ujar Bajulgeni. "Ya nak, ada apa? apa yang ingin kau sampaikan?" tutur Master Li Mo. "Bagaimana kalau ceritanya dilanjutkan esok hari saja. Lihatlah ke luar jendela, hari sudah petang," ujar Bajulgeni. "Oh, benarkah?" sahut Master Li Mo dengan kaget.Master Li Mo pun setelah menengok ke arah luar. Betapa terkejutnya Master Li Mo, mendapati bahwa matahari telah terbenam. Ia pun segera kembali ke tempat duduknya. "Kelihatannya, aku bercerita terlalu asik, sampai tidak ingat dengan waktu ya," celetuk Master Li Mo. "Mungkin begitu master, hehehehe," timpal Bagaskoro. "Baiklah, kalau begitu kita cukupkan saja untuk hari ini. Kalia