Share

7. Konferensi Pers

Tidak seperti Marvin yang terbiasa dilayani, aku menolak para pelayan yang hendak mendandaniku dan memakaikanku pakaian untuk acara konferensi pers. Aku tidak sudi ada pelayan pria atau wanita yang tidak aku kenal sama sekali menyentuh-nyentuhku. Jadi, semua aku kerjakan sendiri di kamar dengan arahan dari Eva mengenai riasan.

Pemakaian tabir surya, lalu ditambah pelembab bibir, alas bedak dan bedak tabur diajari oleh Eva tentang cara pemakaiannya. Satu kali contoh, aku bisa memakainya sendiri. Aku menolak riasan lebih dari ini.

Setiap aku bercermin, aku teringat dengan masa mudaku yang penuh percaya diri di bidang tulis-menulis. Aku menyisir rambut sendiri ke belakang setelah ditambah gel rambut. Tampilan yang biasa aku gunakan tiap menghadiri sebuah acara yang berkaitan tentang karya-karyaku.

Eva menghampiriku. Tangannya mengambil sisir ramping yang ujungnya agak tajam. Dia menarik garis menggunakan ujung sisir dari arah depan ke belakang, membelah rambut dan membaginya dengan bagian rambut lebih banyak ke arah kiri. Lalu dia menyisir sedikit ke arah depan di bagian kiri agar tidak semua rambutnya mengarah ke belakang.

“Ini tampilan terbaru yang saya lihat di internet.  Tuan Muda Marvin lebih keren dengan gaya rambut seperti ini,” komentar Eva. Dia tersenyum bangga dengan hasil dari tangan lihainya.

Mulutku sedikit terbuka. Manikku berbinar saat melihat bayanganku di meja rias. Perubahan tatanan rambut yang biasa aku lihat di cermin setiap akan pergi, sudah cukup membuatku terkagum.

“Terima kasih Bi Eva.”

Mata sayunya melengkung mengikuti senyum di bibirnya dan berkata, “Sama-sama. Silakan Tuan Muda Marvin ke meja makan. Sarapan sudah siap.”

Mendengar sarapan sudah siap, cukup membuat diriku seperti dimanja. Aku selalu membuat sarapan untuk diri sendiri dan tiga anakku, hampir tidak pernah membeli makanan atau dibuatkan oleh orang lain. Rose juga tidak pandai memasak dan anak-anak pernah trauma dengan masakannya ketika gadis itu mencoba-coba membuat sebuah masakan. Alhasil, aku harus bangun lebih pagi sebelum bertemu editor penerbit untuk buat sarapan, makan siang, dan makan malam yang semuanya bisa didinginkan di lemari pendingin agar Rose tinggal menghangatkannya di microwave.

Lemari pendingin dan microwave sudah ada di saat aku hidup. Aku penasaran bagaimana perkembangan alat-alat dapur sekarang. Namun sayangnya, aku terus diarahkan ke meja makan di lantai satu yang ternyata meja makan itu berada di ruang makan yang terpisah dari dapur.

Meja panjang yang dilapisi oleh kain satin cokelat mengkilap mengikuti warna kayu meja. Sisi kanan dan kiri meja tersebut masing-masing muat untuk lima kursi kayu dengan bantalan empuk berlapis beludru berwarna merah kecokelatan. Ada dua kursi dengan bantalan empuk berlapis beludru berwarna biru tua yang diletakkan di ujung meja. Sebuah chandelier cantik tergantung di langit-langit tepat di tengah meja makan. Tepat di bawah hiasan langit itu, terdapat hiasan meja makan berupa rangkaian bunga plastik yang didominasi oleh bunga warna merah dibanding warna kuning dan biru di sekitarnya.

Aku tidak terkesan, justru melihat semua ini membuatku mengeluh karena membayangkan berapa banyak benda yang harus dibersihkan ketika berdebu. Meski aku dapat melihat pelayan mondar-mandir membawakan sarapan dan sudah menjadi tugas mereka membersihkan debu di sekitar, aku tetap tidak menyukai keramaian di meja makan ini.

“Kenapa kau berdiri saja di sana? Cepat duduk dan habiskan sarapanmu!” sahut ‘Mama’ yang sudah duduk di ujung kursi. Aku terlalu mengamati sekitar, sampai-sampai tidak sadar kalau wanita dengan riasan tebal di wajahnya serta dua kakak kembar yang riasannya tak kalah tebal dengan mama mereka sudah duduk kursi meja makan.

Pelayan wanita hendak sepiring makanan di samping ‘Mama’ atau di hadapan Vina, namun dicegah oleh perempuan berbandana merah muda itu dengan berkata, “Aku tidak sudi makan di depan dia. Jangan taruh makanan dia di depanku!”

“Sama! Aku juga!” tambah Viona.

“Taruh di ujung sana,” perintah ‘Mama’ sambil menunjuk di ujung meja. Bukan di hadapan kursi biru yang berhadapan dengan wanita itu, melainkan di sebelahnya. Barisan kursi kelima yang jauh dari jangkauan mereka bertiga.

Untuk sekarang, aku diam saja. Suasana hatiku sedang cukup baik di pagi ini sehingga aku masih bisa bersabar menghadapi mereka. Selain itu, sarapan pagi yang disajikan juga lebih dari cukup untuk meredam rasa benci atas diskriminasi. Hidangan utama terdiri dari bacon, sosis, telur, puding, kacang panggang, tomat, jamur, dan roti panggang. Minuman yang menemani sarapan pagi ini berupa teh hitam dengan susu cair dan sedikit madu sehingga rasanya tidak terlalu pahit. Aku tidak pernah menikmati sarapan pagi selengkap dan seenak ini.

“Wah, kau seperti sedang menyantap makanan terlezat di dunia,” komentar Marvin yang tampak duduk di meja makan hadapanku.

“Apa terlihat sejelas itu?”

“Iya. Kau selalu tersenyum setiap menyuap tiap bagian makanan itu.”

“Tapi nyatanya memang ini enak. Aku biasanya—“

“Ma, lihat, Ma. Dia bicara sendiri,” tunjuk Viona padaku.

“Kemarin malam dia juga teriak-teriak sendiri di kamarnya. Padahal tidak ada siapa-siapa di sana,” tambah Vina.

Oh sial. Aku lupa dengan kehadiran mereka.

Alis pirang wanita itu tampak hampir menyatu di pangkal hidung. “Kau bicara dengan siapa?” tanyanya padaku.

Aku memandang Marvin di hadapanku sekilas. Dia menggeleng, memperingatiku untuk tidak memberitahu keberadaannya meski mereka tidak bisa melihatnya. “Teman imajinasiku,” jawabku.

“Teman imajinasi? Kau gila, ya?” seru Viona dengan suara tinggi.

“Aku akan menyalahkan semua tindakan kalian padaku jika aku memang kalian anggap gila.”

“Jovian!” Marvin melotot padaku. “Ini masih pagi! Jangan buat mereka marah!”

“Aku bicara apa adanya dan tidak bermaksud menyinggung. Jika mereka marah, itu kembali pada mereka yang sangat payah mengatur emosi mereka.” Aku menjawab sambil mengarah pada Marvin.

“Marvin Alexander!” bentak ‘Mama’. “Jangan coba-coba kau bicara sendiri di hadapan wartawan! Sekali kau buka suara di depan wartawan dan keluar dari naskah yang sudah disiapkan untuk kau, jangan harap kau bisa keluar dari gudang selama dua hari penuh dan semua jadwalmu akan aku batalkan! Mengerti?”

Aku hendak suara untuk membantah lagi, namun Marvin sudah menyela. “Kau mau bertemu anak-anakmu, ‘kan, Jovian?”

Iya. Aku sangat menginginkan bertemu mereka.

“Jika begitu, ikuti aturan dalam kehidupanku ini dan jangan coba-coba membangkang. Aku tidak punya relasi di luar rumah ini dan aku yakin kau tidak bisa bertahan hidup cukup lama jika memilih keluar rumah.”

Aku diam saja. Pandanganku ke arah piring sarapan yang menyisakan bacon dan roti panggang yang tinggal sedikit. Jika Marvin sudah memperingati demikian, aku memang perlu bersabar lagi dan mengikuti apa saja yang sudah diperintahkan meski diriku memberontak atas ketidakadilan yang terjadi pada kehidupan baruku.

“Apa kau mengerti, Marvin Alexander?!” tanya ‘Mama’ dengan suara lebih tinggi.

“Mengerti, Ma. Maaf,” ucapku.

Seorang pelayan wanita tiba di samping ‘Mama’ dan berkata bahwa wartawan sudah tiba di gerbang rumah. Aku pun disuruh bergegas untuk menyelesaikan santapan pagi ini dan bersiap untuk memasang topeng senyum saat dihadapkan kamera. Tidak lupa sebuah kertas berisi tulisan-tulisan yang harus aku hafalkan dan sampaikan kepada para wartawan. Tulisan yang terlalu banyak serta kacamata yang sampai sekarang belum aku dapatkan, cukup untuk membuatku berimajinasi melihat huruf-huruf di tulisan itu seperti menari-nari.

“Marvin, aku tidak bisa menghafal sebanyak ini dalam waktu singkat,” bisikku sambil duduk di kursi tempat konferensi pers itu akan berlangsung. Sebuah aula dekat tangga lantai dua sudah diatur sedemikian mungkin agar bisa menerima banyak orang dengan kamera-kameranya.

“Letakkan kertas itu di pangkuanmu. Aku akan bacakan itu untukmu.”

Meja di hadapanku yang dijadikan tempat diletakkannya mic-mic wartawan ditutup oleh kain bercorak, sehingga aku bisa meletakkan kertas itu dengan leluasa. Susunan duduk di meja panjang itu ada ‘Mama’ ujung sebelah kiri, Vina di sebelah kanannya, Viona sebelah kanannya, dan aku ujung paling kanan.

Tidak lama kemudian, para wartawan berkerubung memasuki rumah menuju tempat kami duduk. Ada tiga pelayan pria yang mengarahkan para wartawan itu untuk tidak melewati batas yang sudah dibuat. Ada sekitar 15 wartawan dengan kamera di tangannya dan beberapa teknologi yang belum aku kenali betul yang bernama smartphone.

Jovian, tenang saja, Jovian. Kamu bisa menjawab semua pertanyaan. Anggap saja ini... Anggap saja mereka para penggemar yang ingin bertanya lebih lanjut mengenai progres tulisanmu, batinku. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan banyak orang yang memasang mata padaku, tapi dadaku tetap saja berdegup cukup cepat. Tangan di pangkuanku berkeringat dan terasa dingin. Aku menggesekkan antar kuku jari tangan hingga ada sedikit bagian kuku panjang yang terpotong, sehingga tiap ujung jariku ini tampak tidak rapi.

Suara orang-orang di sekitarku terdengar seperti bicara di dalam air. Aku tidak mendengar begitu jelas topik yang sedang diangkat dan apa saja yang mereka bicarakan. Tiap kilatan kamera seperti sebuah bogem mentah yang terus menghantam wajah. Padahal, kilatan itu juga sudah beberapa kali pernah aku temui saat tulisan-tulisanku melejit dan memenangkan banyak penghargaan. Namun kali ini, kilatan kamera itu justru tampak jauh lebih silau dari yang pernah aku temui. Seakan tiap partikel cahayanya dapat aku rasakan di tiap inci kulit wajahku.

“Jovian. Kau pucat sekali. Kau baik-baik saja?” suara Marvin terdengar jelas dari arah kananku. “Wartawan redaksi bertanya padamu. Kau jawab sesuai naskah ini. Biar aku bantu dikte.”

Setelah Marvin berkata demikian, aku tidak mendengar suara Marvin dengan jelas. Lagi-lagi suaranya seperti sedang bicara di bawah air. Pandanganku semakin buram. Semua indraku mendadak mati rasa dan hanya gelap yang aku lihat di sekitarku.

Di detik berikutnya, aku membuka mata untuk menemukan diriku di sebuah ruangan dengan lampu temaram dan sedang berbaring di tempat yang empuk dan nyaman.

“Aghh...” Aku meringis merasakan sakit di kepala. Aku coba bangkit ke duduk, namun kepalaku terasa seperti berputar. Tubuhku oleng. Aku berusaha menahan tubuh dengan menyandarkan dua tangan ke belakang.

“Akhirnya kau bangun juga!”

Aku mendengar suara dari arah pintu. Sosok arwah yang menembus banyak benda itu menghampiriku dan duduk melayang di sebelahku. “Apa yang terjadi?”

“Sepertinya kau pingsan.”

“Pingsan?”

“Iya. Dan entah bagaimana, aku bisa merasuki tubuhmu lalu menjalani jadwal satu hari ini,” jawab Marvin. “Tetapi aku tidak menyangka kalau kau akan pingsan selama ini. Saat aku ingin meninggalkan tubuhmu itu, kau terlihat pucat lagi dan seperti mau pingsan. Jadi aku harus berada di tubuhmu terus sampai malam tiba.”

Aku memijat batang hidungku, menekan rasa nyeri yang masih menyelimuti kepalaku. “Kau berkata demikian seolah ini bukan tubuhmu.”

“Aku sudah mati dan itu menjadi tubuhmu. Kau tidak perlu menjelaskan kenapa bisa pingsan. Sebelum kau pingsan, aku sudah mendengar cukup banyak isi pikiranmu. Kau sangat gugup menghadapi banyak orang tanpa persiapan. Cemas berlebihan. Apa kau punya semacam fobia sosial?”

Sosok Marvin menjadi buram. Sekitarku juga sama. Buram dan memunculkan bayangan seakan apa yang aku lihat itu ada dua. Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan apa, karena sudah teralihkan dengan pandanganku yang sulit untuk mengamati rupanya. “Marvin.”

“Ya?”

“Besok, bantu aku mencari toko kacamata. Aku membutuhkan itu.”

“Tapi besok sudah hari Senin.”

“Lalu?”

“Besok kamu ada kelas penelitian di kampus untuk tugas akhir.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status