“Mau dicoba lagi?”Marvin bertanya padaku saat mobil melaju. “Apanya?”“Kemarin. Aku merasuki tubuhmu dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Asal kau tahu, jadwal kemarin berjalan lancar. Aku bisa menjawab pertanyaan wartawan, hasil jepretan foto model jaket terbaru L’Éclatan memuaskan, rektor kampusku setuju untuk bekerja sama dengan penerbit JBA, dan makan malam bersama keluarga Fisher untuk membicarakan kerja sama bisnis juga berjalan lancar.”“Ughh...” Aku mengusap wajah dan menyandarkan punggungku ke sandaran jok mobil. “Aku benci kehidupanmu, Marvin.”“Aku juga,” sambar Marvin.Aku mengintip di balik sela-sela jari. Arwah Marvin yang tembus pandang, cukup untuk membuatku sadar pada sepasang manik cokelat milik Will yang memperhatikanku dari spion dalam mobil.“Apa ada yang ingin kau sampaikan, Will?” Aku langsung bertanya sambil menjauhkan tanganku dari wajah.“Kamu bukan Marvin Alexander, ‘kan?” tebaknya.Aku melirik pada Marvin dulu. “Kau boleh jujur di depan Will. Dia berpr
Aku diturunkan di depan sebuah gerbang besi kecil yang cukup untuk dilalui beberapa orang saja tanpa kendaraan. Will menyarankanku untuk mengenakan kacamata hitam dan topi kupluk. Alasannya dia menurunkanku di sini dan mengenakan kacamata hitam dan topi tersebut agar menghindari para penggemar yang tergila-gila dengan sosok Marvin.Satu hal yang tidak pernah aku dengar dari Marvin lagi, yaitu penggemar. Aku pikir Marvin hanya banyak teman. Nyatanya dia memiliki penggemar perempuan setia yang kata Will terbilang banyak. Aku bisa mengatasi penggemar karena semasa hidupku, aku juga memiliki penggemar setia bukuku. Akan tetapi, masaku dan masa Marvin pasti sangat berbeda dan aku juga tidak bisa membayangkan apakah penggemar era ini masih sopan seperti dulu atau sudah bar-bar.Jika dilihat dari beberapa mahasiswa yang keluar masuk dari gerbang kecil itu untuk sekedar beli jajanan di truk-truk makanan di dekat kampus, sepertinya era ini akan lebih bar-bar.Rambut hijau, biru, ungu, campuran
Rambut dicat merah terang yang klimis selalu rapi dibiarkan cukup panjang di bagian atas, memberikan kesan pemuda yang stylish. Mata yang tajam dengan iris berwarna hazel mencerminkan kecerdasan dan kewaspadaan yang melampaui usianya adalah ciri sekilas dari sosok Sebastian Bennet.Dengan tinggi badan sedang, Sebastian memiliki postur atletik yang menunjukkan bahwa dia aktif secara fisik. Penampilannya selalu terawat, memadukan gaya klasik dengan sentuhan modern. Dia sering mengenakan kemeja berwarna gelap dengan blazer yang memberikan kesan profesional. Sebastian memiliki reputasi sebagai tangan kanan Dominic yang setia dan mampu mengeksekusi perintah dengan kebrutalan yang memadai.Theodore Francis adalah sosok yang bertolak belakang dengan Sebastian. Dia memiliki penampilan yang lebih kasual dan santai dengan jeans sobek serta hoodie hijaunya yang menutupi tubuh besar—tapi tidak gemuk—nya. Rambut hijau terang gondrongnya memberikan kesan bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan f
“Ma...Maaf aku terlambat, Lindsey.” Aku menarik kursi dan langsung duduk menyandarkan punggung sambil mengatur napasku yang masih terengah-engah mengejar waktu yang terus meninggalkanku. Sepasang manik saphire yang berada di seberang meja, menatapku. Sempat tertegun dengan kehadiranku, namun setelahnya dia mengulum senyum. Senyum manis yang selalu berhasil membuatku lupa akan semua masalah yang sedang aku emban—bahkan rasa tidak enakku padanya karena telah datang terlambat di kencan pertama kami, juga perlahan menguap oleh senyum manisnya. “Ini, minumlah dulu.” Gadis itu menggeser segelas air mineral yang tampak segar karena es batunya yang banyak. “Ini milikmu, bukan?” “Iya. Aku membagikannya denganmu, Jovian. Minumlah. Aku tidak mau melihatmu dehidrasi setelah berlari jauh,” jawabnya sambil merogoh sesuatu dari tas selempang kecilnya. “Ba-bagaimana kamu tahu aku berlari jauh?” tanyaku sebelum aku meneguk air dingin itu. Sensasi menyegarkan mengalir dari mulut ke tenggorokanku.
Suara Lindsey masih bisa kudengar meski kesadaranku kian meningkat. Air mata mengalir di sepanjang pelipis dari pelupuk mata yang masih terpejam. Aroma menyengat obat-obatan menyeruak masuk ke hidung. Jariku perlahan bergerak dan kelopak mata juga perlahan terangkat. Ada tiga wajah yang familier berdiri di sisi kanan dan kiri tempatku berbaring.“Marvin sadar,” kata Laura.“Cepat panggil perawat!” perintah Avery pada Khari.“Ok!” Dia menuju tombol di samping pintu dan menekannya.Tidak lama kemudian, seorang perawat dan dokter memasuki ruangan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter pria itu sambil mengenakan stetoskop.“Pusing sedikit,” lirihku.Dia menempelkan ujung stetoskop ke dada dan perut. Suster juga mengecek tensi darahku dan mengusap satu tetes air mata yang sempat mengalir. Entah apa lagi yang mereka berdua lakukan dalam proses pengecekan ini, aku sulit untuk mendeskripsikannya lebih lanjut karena perbedaan era pengecekan pasien di jamanku dan jaman sekarang.“Kondisinya sema
“Apa itu benar? Avery dan Khari dibayar untuk mengawasiku?”Dibanding menjawab pertanyaan William mengenai kondisiku, aku justru bertanya balik padanya ketika dia baru tiba di klinik.“Benar,” jawab Will. “Apa Marvin memberitahumu?”“Iya.” Aku melirik pada Marvin yang melayang sambil duduk bersila di ujung tempat tidur. Dia mengedikkan bahu. “Kenapa kau membayar mereka untuk mengawasiku? Mengapa tidak mempekerjakan bodyguard yang mumpuni saja?” tanyaku pada Will lagi, tapi pandanganku masih pada Marvin.“Tuan Muda tidak ingin terlihat terlalu mencolok seperti dua kakaknya yang juga mempekerjakan bodyguard.”Ah, sudah kuduga. Itu semua dari kau juga, batinku sambil menatap datar Marvin.“Hey, bukan salahku jika mereka ingin dibeli.” Marvin mengangkat tangan.“Dibeli?” Keningku berkerut. “Avery temanmu dari SMA. Pertemanan itu bukan berdasarkan dari duit saja,” timpalku.Marvin mendecih. “Kau bilang kau penulis melegenda di eramu, bukan? Pasti kau pernah merasakan di puncak karier dan m
Sialan. Lagi-lagi aku dibuat jalan sendiri oleh Marvin yang kabur begitu saja. Aku tidak melihat tanda-tanda arwah itu melayang saat aku berada di luar klinik. Untungnya Will mau mengantarku hingga ke depan kafe Mocha Matcha yang terletak dekat jalan utama lalu lintas Bus LU. Setelah mengucapkan terima kasih, aku keluar dari mobil sedan hitam ini.Aku tidak tahu banyak tentang Kafe Mocha Matcha, namun katanya kafe itu adalah destinasi populer bagi mahasiswa fakultas MIPA dan Teknik, yang mencari tempat nyaman untuk nongkrong dan bersantai yang lumayan dekat dari dua fakultas itu. Kafe ini menawarkan pengalaman unik dengan desain berlantai dua yang modern dan atmosfer yang hangat.Fasad kafe ini terbuat dari kaca besar yang memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam ruangan, menciptakan suasana terang dan segar. Logo kafe yang khas berbentuk cangkir dan daun dengan kombinasi warna cokelat dan hijau menarik perhatian pengunjung sejak mereka melangkah masuk.Setelah memasuki kafe, pengunju
Perpustakaan Pusat Lexicon adalah sebuah monumen gemilang yang menjadi pusat intelektual dan pengetahuan di kampus terbesar ini. Dengan kemegahan bangunannya yang menjulang setinggi 24 lantai, perpustakaan ini menonjol di tengah kampus, menunjukkan dedikasi universitas terhadap pendidikan dan penelitian. Perpustakaan itu memiliki empat lantai lebih tinggi dari gedung rektor yang berada di seberangnya. Perpustakaan dan gedung rektor dipisahkan oleh Green Lake—danau alami sebesar lapangan bola yang dimiliki kampus. Penampakan luar perpustakaan didesain dengan bangunan modern yang menciptakan kesan futuristik dan elegan. Kaca-kaca besar di beberapa lantainya memungkinkan cahaya sore dan pagi memasuki ruang baca dan membuat atmosfir yang terang dan menyegarkan. Taman kecil di sekitar perpustakaan menambah suasana damai dan nyaman bagi para pengunjung. Ada pengunjung lokal yang merupakan warga kampus, dan pengunjung umum yang berasal dari luar Universitas Lexicon. Keduanya memiliki jenis