Share

6. Kekecewaan Anak-Anak

Ketika aku membuka mata, tampak sebuah pintu kayu di hadapanku. Pintu kayu yang begitu familier dan tiap hari aku lewati. Aku tidak langsung meletakkan tanganku di atas gagang pintu, melainkan melihat sekitar terlebih dahulu dan melihat apa saja yang membuat tanganku terasa berat.

Tangan kiriku sedang membawa piagam penghargaan Book of The Year. Tangan kananku tergantung tas-tas hadiah sambil menggenggam tiga mainan plastik berbentuk kucing yang sedang menggandeng satu sama lain. Aku sedang berdiri di teras sebuah rumah berlantai dua. Mobil Audi 5000S berwarna hitam terparkir di halaman depan dan belum dimasukkan ke dalam bagasi.

Aku pulang, begitu di pikiranku.

Tanpa menunggu lama lagi, aku segera menekan gagang pintu rumah. Lorong yang di ujungnya mengarah ke tangga lantai dua, dan di kirinya ada dapur dan kanannya ada ruang keluarga juga ruang tamu. Aku melangkah cepat ke arah ruang keluarga. Tempat anak-anak biasa menungguku pulang.

Tapi ternyata mereka bertiga tidak ada di ruang keluarga. Ruangan itu tampak rapi. Seperti tidak ada tanda-tanda bahwa ketiganya pernah berada di ruangan itu. Lalu aku menuju dapur dan halaman belakang.

“Rose?” Aku juga memanggil pengasuh triplet. Seorang gadis yang bekerja paruh waktu sebagai pengasuh tiga anakku di kala aku bekerja. “Rose? Di mana kamu?” Aku juga menuju kamar tamu di lantai satu. Tidak ada.

Kakiku bergerak menanjaki anak tangga kayu menuju lantai dua. Di atas juga ada ruangan di depan kamar triplet yang juga biasa digunakan untuk mereka berkreasi. Tetapi, lantai dua juga rapi. Kanvas lukis milik Ethan tak tersentuh, masih tersusun rapi beserta alat lukisnya. Berbagai alat musik seperti klarinet, biola, dan harmonika kesukaan Nathan masih berada di tempatnya. Mainan puzzle dan susun balok kesukaan Ryan tidak berserakan di sekitar karpet. Aku biasanya melihat Rose merapikan barang-barang itu saat aku baru sampai rumah.

Apa aku pulang terlalu malam?

Saat aku tengok jam, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Ah, pantas saja. Mereka pasti sudah tertidur. Tapi kenapa aku tidak menemukan Rose di kamar tamunya?

Aku meletakkan penghargaanku di meja kayu lantai dua juga beberapa tas tentengnya. Aku hendak ke kamar triplet saat tiba-tiba saja pintu kamar triplet terbuka dan keluarlah tiga anakku.

Ryan, si bungsu berambut hitam yang senang mengenakan warna merah atau putih, memiliki manik hitam pula dan wajahnya mengikutiku, namun sifat cerewetnya mengikuti ibunya. Ethan, si sulung berambut pirang ikal bermata biru yang senang dengan warna biru dan hijau, memiliki tahi lalat di ujung mata dan wajahnya mengikuti mamanya, namun sifat kalemnya mengikutiku. Nathan, anak tengah yang merupakan perpaduan dariku dan mamanya, berambut hitam dan bermata biru, tapi paling aktif dan agak ceroboh, penyuka semua warna kecuali merah.

Mereka bertiga keluar dengan jaket tebal masing-masing sambil membawa tas ransel. Wajah mereka tampak murung. Gadis berambut kemerahan ikal, juga keluar dari dalam kamar itu. Dia mengunci kamar itu lalu berkata, “Sebentar lagi Paman kalian datang. Kita tunggu di bawah ya.”

“Paman? Kalian mau ke mana malam-malam begini sama Paman Victor?” Aku bergegas menghampiri mereka.

Ketiganya terbelalak dengan kehadiranku.

“Papa! Rose! Papa masih hidup!” teriak Ryan sambil menarik ujung rok panjang Rose.

“Tentu saja Papa masih—“

“Ryan sayang. Papamu sudah tiada.” Rose memotong ucapanku sambil mengelus pipi tembam Ryan.

“Aku masih hidup—“ ucapanku terpotong lagi saat tertegun mendapati ragaku melewati raga Rose. “Ba-bagaimana bisa?”

“Ayo anak-anak, kita turun.” Rose mengangkat tas lainnya yang mereka bawa.

“Sebentar. Kita mau bawa-bawa barang lain dulu,” kata Ethan.

“Baiklah. Ambil yang ingin sekali dibawa ya.” Gadis itu tersenyum, sebelum melangkah turun ke lantai satu.

“Anak-anak?” Aku coba menyentuh mereka, namun mereka juga tidak bisa disentuh olehku.

“Nathan, Ryan, ambil mainan kesukaan kalian,” pinta Ethan.

“Tapi Papa—“

“Berhenti berhalusinasi, Ryan!” bentak Nathan. “Papa sudah mati! Kamu tidak baca berita di koran-koran?!”

“Nathan, jangan teriak-teriak depan Ryan,” tegur Ethan seraya mengambil sebuah kanvas putih berukuran sedang dan alat-alat lukisnya.

“Tapi Ethan, kamu bisa lihat Papa juga, ‘kan?” tanya Ryan.

“Bisa. Tapi aku sudah menganggapnya tidak ada.” Jawaban dingin Ethan menyesakkan dada.

“Kenapa?” Aku melangkah menghampirinya. “Kenapa kamu menganggapku tidak ada, Ethan?” Aku coba untuk menyentuh pundaknya, namun malah menembusnya. Ragaku terlihat sangat nyata dan aku tidak melayang, tapi aku tidak dapat menyentuh mereka.

Manik biru Ethan tampak tajam ke arahku. “Karena Papa menenggelamkan diri di sungai. Papa tidak mau melihat kami lagi...”

“Kata siapa?” Aku meninggikan suaraku. “Papa tidak ada satu niat pun ingin meninggalkan kalian!”

Nathan membanting kertas koran di sebelahku. “Papa selalu berkata itu setiap kami melihat Papa. Baca sendiri!”

Aku tercengang mendengar bentakan dari Nathan yang setahuku tidak pernah meninggikan suaranya padaku. Kepalaku menunduk, ke arah headline koran yang bertuliskan, ‘Penulis Berbakat J.T Ray Menenggelamkan Diri di Malam Kemenangannya.’

“Siapa yang bilang Papa menenggelamkan diri?” tanyaku cepat sambil melihat satu per satu manik mereka.

“Saksi yang melihat. Siapa lagi?” ketus Nathan.

Aku tidak mengacuhkan perubahan sifat Nathan menjadi temperamen itu. Aku perlu jawaban. “Siapa saksinya?” tanyaku dengan suara tenang.

“Tidak tahu dan tidak disebutkan,” jawab Ethan. “Papa, bisakah Papa pergi dengan tenang sekarang? Aku tidak tega melihat Ryan menangis lagi,” tambahnya.

Aku mengikuti arah pandang Ethan yang berjalan menghampiri Si Bungsu yang duduk memunggungiku dekat tangga. Ethan merangkul pundaknya yang bergetar. Pemandangan yang membuatku ingin ikut menangis juga, tapi aku harus tetap tegar.

“Sudah berapa kali Papa muncul di hadapan kalian?”

Nathan mengambil tas biolanya, lalu menjawabku, “Ini sudah ke-7 kali.”

“Sebanyak itu?” kagetku. “Papa baru pertama kali melihat kalian—“

“Ungkapan yang sama saat kami melihat Papa untuk ke-5 dan ke-6,” potong Nathan. “Itu sebabnya aku sangat marah tiap bertemu Papa biar Papa segera pergi dengan tenang dan berhenti menemui kami.”

“Kalau Papa boleh bertanya, kenapa—“

“Kenapa malah marah? Karena aku sudah benci Papa lebih dulu saat tahu Papa bunuh diri. Itu pertanyaan yang sama dan ini jawaban yang sama yang aku berikan untuk Papa.”

Aku semakin tidak mengerti. Bagaimana tiga anakku sangat mengetahui kemunculanku sedangkan aku sendiri berkomunikasi dengan mereka baru sekarang? Di tengah kebingungan itu, Nathan tidak menungguku untuk bertanya lagi. Dia berjalan begitu saja melewati ragaku dengan tas biolanya untuk mengambil kotak puzzle, lalu berjalan menghampiri dua saudaranya.

“Ayo kita pergi,” kata Nathan seraya menyerahkan kotak puzzle pada Ryan.

“Papa?” Ryan menoleh ke belakang, ke arahku yang masih belum menerima kenyataan.

“Biarkan saja. Papa akan menghilang dengan sendirinya,” jawab Nathan sambil melangkah lebih dulu menuruni tangga.

Ryan menyeka air matanya yang sulit berhenti. Mata sembabnya mengarah padaku. Dari sorot matanya yang menampilkan kekecewaan bercampur kesedihan itu sudah cukup membuatku jatuh berlutut.

“Papa... Papa tidak bunuh diri, Nak...” lirihku. Tidak ada yang menanggapinya. Nathan dan Ryan menuruni tangga lebih dulu. Tinggallah Ethan yang berdiri memunggungiku di ujung tangga.

“Papa sungguh tidak bunuh diri?” Kepala Ethan menoleh sedikit ke arahku.

“Papa tidak pernah tega meninggalkan kalian. Bukti apa lagi yang harus Papa tunjukkan kalau Papa sangat menyayangi kalian?” Aku mengucapkannya dengan mata terasa panas.

“Tapi Paman Victor berkata sebaliknya. Papa selalu mengeluh di depan Paman Victor mengenai kami. Itu sebabnya kami percaya bahwa Papa tidak pernah menginginkan kami.”

Tepat setelah Ethan mengatakan itu, aku merasakan entakkan di dadaku. Mataku langsung terbuka lebar dengan napas memburu.

Pemandangan langit-langit kamar tinggi dengan cahaya temaram dari lampu tidur di nakas adalah pandangan yang pertama aku lihat.

“Tidak. Itu tidak benar,” gumamku.

“Apanya yang tidak benar?”

Jantungku mencelus saat mendengar suara dari kananku. Aku sempat menegang dan berteriak dalam pikiran saat mendapati raga tembus pandang seorang pemuda yang melayang di sebelahku berbaring.

“Tenang! Tidak perlu teriak-teriak!” ucapnya seraya menutup telinga. “Kamu baru bangun. Apa kamu mimpi buruk?”

Aku mengatur napasku sejenak. Pikiranku kembali berjalan. Ingatan-ingatan kembali muncul di permukaan pikiran. Arwah ini bernama Marvin Alexander. Aku sudah mati dan dihidupkan kembali di tubuh dia.

“Jovian? Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali.”

Aku membasahi mataku dengan kedipan beberapa kali. “Aku bermimpi... anak-anakku.”

“Oh, berarti bukan mimpi buruk.” Marvin menyimpulkan.

Aku menggeleng, tapi tetap merebahkan diri. “Mimpi buruk. Anak-anak membenciku.”

“Kenapa?”

“Mereka mengira aku bunuh diri. Mencelakakan diri dan menenggelamkan diri di Sungai Chasmic.”

Marvin melotot. “Jovian tenggelam di Sungai Chasmic?”

“Iya. Kenapa?”

“Itu sungai yang sama aku menenggelamkan diri.”

Aku tidak terlalu terkejut karena sudah menghubung-hubungkan kesempatan yang aku terima ini. “Sudah aku duga. Tapi bedanya, aku tidak menenggelamkan diri. Ada dua orang yang mencelakakanku dan membuatku tenggelam.”

“Iya, iya. Aku tahu.”

Aku bangkit ke duduk saat teringat dengan tujuanku hari ini. “Aku harus ke kamar Papamu. Aku perlu melihat bagaimana perkembangan kasus kematianku.”

“Tidak bisa,” tolak Marvin. Dia menunjuk ke jam dinding. “5 menit lagi, Bi Eva membangunkanmu untuk siap-siap.” Waktu sudah menunjukkan pukul 6 kurang 5 menit.

Aku hanya bisa merutuk. Kehidupan keduaku yang sangat berbeda ini dimulai dalam waktu 5 menit lagi.

Dan benar saja, Eva membuka waktu saat jarum pendek mengarah ke angka 6 pas.

Ya, mungkin saat pulang nanti aku akan mengecek kamar papanya Marvin

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status