Share

7. Asing

Happy Reading

*****

Terik mentari terasa menyengat saat Adilla dan Anwar kembali ke rumah. Selesai dengan pembayaran dan segala macam administrasi, mereka meninggalkan dealer. Niat hati ingin membawakan buah tangan untuk keluarga di rumah, urung. Pasalnya, Eric sudah mengirimkan chat bahwa dia sudah ada di depan rumah mereka.

"Itu bosnya Mbak Rum, ya?" tanya Anwar, "ganteng banget, Mbak. Kelihatan kalau orang kaya."

Adilla turun dari motor si Adik. "Ntar kamu juga bisa gitu, Dik. Sekolah yang rajin, ya. Buat Mbak dan keluarga bangga." Perempuan itu menepuk lengan adiknya.

"Aamiin. Insya Allah, Adik bakal banggain Mbak dan semuanya." Anwar mengikuti langkah si sulung menyapa bosnya.

Eric menoleh ke arah Adilla yang baru saja memanggil. Meneliti tampilan salah satu anak kesayangannya. Cantik alami tanpa polesan make up seperti biasa dilihatnya. Pantas jika banyak pelanggan tergila-gila pada perempuan satu ini. Gayanya sangat natural tanpa dibuat-buat, kentara sekali kebahagiaan terpancar.

"Dad!" panggil Adilla. Namun, dia segera meralat ucapannya tadi ketika gelengan kepala Eric terlihat. Agar tak menimbulkan kecurigaan bagi keluarga. "Bapak kapan datang?"

"Sekitar sepuluh menit lalu. Mana lelaki yang kamu rekomen buat satpam rumah baruku?" tanya Eric sedikit kaku. Pasalnya, Anwar memicingkan mata, menelisik setiap gerak-gerik keduanya.

"Masuk dulu, Pak," pinta Adilla.

Sesampainya di ruang tamu, perempuan itu memanggil Ibu serta memperkenalkan Anwar pada Eric. Dari pengamatan si bos, keluarga Adilla cukup sederhana, meskipun kemewahan sudah tercukupi.

"Njenengan ngunjuk nopo (Mau minum apa), Pak?" tanya Sumaiyah pada Eric dan sopirnya.

Dua lelaki yang ditanya malah saling menatap, bingung mesti menjawab. Pasalnya perempuan yang mereka kenal tadi masuk ke kamar, mengganti pakaian dan Anwar juga tidak berada di ruang tamu itu. Eric menaikkan dagu yang dibalas dengan bahu yang terangkat oleh pegawainya.

"Maaf, Bu. Bisa ulangi pertanyaannya. Terus terang saya nggak ngerti artinya. Kalau bisa sih pake bahasa Indonesia saja," kata Eric pelan takut menyinggung perasaan sang pemilik rumah.

Sumaiyah tersenyum lebar. "Jadi,  njenengan bukan orang Jawa, tho. Pantas ndak ngerti artinya. Bapak mau minum apa?"

"Oh, artinya gitu." Senyum Eric tak kalah lebar dibanding Sumaiyah. "Nggak perlu repot-repot, Bu. Kami berdua sudah minum tadi." Lelaki itu melirik sopirnya.

"Iya, Bu. Bener katanya Pak Bos. Saya juga baru minum." Si sopir menimpali.

"Bikinin aja kopi, Bu. Mereka paling suka minuman satu itu." Adilla menyahuti perkataan dari belakang.

"Yo wis tak bikinkan dulu." Perempuan sepuh itu pamit.

Sepeninggal ibunya Adilla, Eric menatap sekeliling, memastikan tak ada orang selain mereka bertiga. Satu lirikan pada si sopir agar dia meninggalkan ruangan itu. Setelahnya, Eric mendekat pada Adilla. Menyentuh pipi dengan bibir serta memeluk anak kesayangan.

"You look so beauty, Beib. Nggak nyangka kecantikanmu sealami ini kalau di kampung."

"Jangan di sini, Dad," bisik Adilla.

"Oke." Eric kembali duduk di tempat semula bersamaan dengan salam yang diucap oleh seorang pria.

Adilla salah tingkah, sementara Eric mengamati tampilan lelaki yang berada di ambang pintu. Tubuh tinggi tegap dengan wajah yang lumayan ganteng, tetapi cara berpakaiannya sangatlah tidak sedap dipandang. Rambut sedikit gondrong, kumis serta jambang yang belum dirapikan.

"Masuk, Nang," pinta Adilla, "silakan duduk! Ini bos yang aku ceritain tadi pagi." Perempuan itu menunjuk Eric dengan tangan kanan.

"Selamat siang, Pak," sapa Danang yang langsung mengulurkan tangan hendak berjabat. "Saya Eric temen Erum dari kecil."

"Oke. Saya terima kamu sebagai satpam di rumah baru, tapi rapikan tampilanmu. Kita berangkat nanti malam. Gimana kamu setuju?" tanya Eric serius.

"Beneran, Pak. Nggak perlu di tes apa gitu?" tanya Danang antusias dan penuh kebahagiaan.

"Saya yakin rekomendasi dari Erum adalah yang terbaik," ucap Eric. Lirikan mata penuh hasrat dia berikan pada Adilla.

"Saya boleh permisi sekarang, Pak. Mau nyiapin diri dan ngasih tahu istri."

"Boleh. Lebih cepat lebih baik."

*****

Selepas salat Isya, rombongan Eric beserta Danang dan Adilla berangkat ke pulau seberang. Tangisan serta doa dari anak istri sahabatnya itu mengiringi kepergian mereka. Demikian juga keluarga Adilla yang masih belum puas melepas kangen, tetapi harus berpisah kembali karena keadaan.

"Jangan lupa ngabari kalau udah sampai, Nduk," suruh Sumaiyah.

Istri Danang pun mengatakan hal sama seperti perempuan sepuh itu. Satu per satu adik-adik Adilla memeluk dan mencium saudara tertua mereka. Sebagai lelaki yang tak memliki keluarga, Eric cukup terharu melihat adegan perpisahan itu.

Sedari kecil tak pernah mengetahui siapa orang tua kandungnya, hidup di panti asuhan dan diadopsi oleh seorang mucikari. Eric tak pernah benar-benar merasakan rasa kasih sayang keluarga. Pada anak buah yang lain, si bos tak pernah memiliki simpati sebesar pada Adilla.

Ya, semenjak kedatangannya di rumah sang anak kesayangan, Eric bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga walau dalam keadaan kekurangan. Rasa simpatinya pada Adilla makin besar saat dia tahu pekerjaan yang dilakonkan perempuan itu bukan semata untuk mencari kebahagiaan sendiri. Ada banyak nyawa bergantung pada perempuan itu.

Setelah suasana mengharu biru yang diwarnai tangisan, mereka berangkat. Danang duduk di depan sebelah sopir, sedangkan Adilla dan Eric berduaan di belakang.

Enam jam ke depan, mereka semua akan sampai pada kota tujuan. Bisa saja si bos naik pesawat mencapai pulau dewata karena di kota Gandrung sekarang ini, penerbangan domestik sudah dilakukan tiap hari. Namun, sensasinya akan sangat berbeda. Itulah kenapa lelaki itu masih betah dan menyukai perjalanan darat.

Dini hari, mereka semua baru sampai di rumah Eric. Rumah yang sengaja didesain seperti vila dan disewakan kepada para pelanggan yang memakai jasa anak buahnya. Danang menatap takjub pertama kali masuk ke sana.

"Kamarmu ada di pojok depan itu," tunjuk Eric pada sebuah rumah kecil yang ada di halaman vila. "ini kuncinya."

Danang menggerakkan bola mata tak percaya. Rumahnya saja tak sebagus bangunan yang dikatakan sebagai kamar oleh si bos. "Pak, itu saya sendirian yang tinggal di sana?" tanyanya masih tak percaya.

"Iya. Istirahatlah sekarang, besok pekerjaanmu sudah dimulai. Saya jelaskan besok gimana cara kerjamu. Saya capek, mau istirahat juga." Eric menggandeng tangan Adilla tanpa sadar dan hal itu sukses membuat Danang memicingkan mata.

Cepat Adilla menepis tangan si Daddy, sadar jika sahabatnya mulai curiga. "Jangan gini, Dad. Danang bisa tahu rahasia kita nanti," pinta perempuan itu.

*****

Pukul delapan pagi, dering suara telepon di ruangan Danang berbunyi nyaring. Subuh tadi, sebenarnya lelaki itu sudah bangun, tetapi melihat keadaan yang masih sepi. Dia memutuskan untuk tidur kembali.

"Halo. Siapa ini?" tanya Danang saat gagang telepon sudah di telinga kiri.

"Nang, Pak Eric mau bicara. Bisa kamu ke rumah utama?" Suara di seberang ternyata adalah Adilla.

"Oke, Rum. Sepuluh menit lagi aku ke sana." Setelah mendengar perkataan Adilla, Danang gegas bangun dan bersiap.

Satu perintah dari Eric dan arahan yang diberikan pada Danang sudah cukup mewakili apa tugas lelaki itu. Setelahnya si bos dan Adilla pergi meninggalkannya sendirian di vila.

Danang mulai mengenakan seragam yang diberi oleh salah satu perempuan sepuh yang diduga sebagai asisten rumah tangga. Ayah dua anak itu mulai menjalankan perintah si bos. Duduk menunggu tamu yang datang ke vila.

Bakda Magrib, satu mobil mulai memasuki halaman vila. Ketika Danang membantu membukakan pintu kendaraan tamunya, dia melihat adegan mesra sang pengemudi dengan perempuan seksi. Asyik sekali mereka dengan adegan seperti saling bertukar permen.

Danang mengelus dada, jika memang masih ingin bermesraan mengapa pintu mobil tidak dikunci otomatis. Namun,  lelaki itu kembali pada fokus utama tugasnya. Menjaga keamanan vila.

Semakin malam, vila itu makin ramai dikunjungi pasangan-pasangan dan rata-rata perempuannya berpakaian seksi yang sangat mengundang hasrat. Danang merenung, ada apa dengan tempat ini. Mengapa siang tadi sepi, tetapi makin malam bertambah ramai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status