Share

6. Persahabatan dan Kemanusiaan

Happy Reading

*****

Sesampainya di rumah, Adilla mulai terpengaruh dengan curhatan sang sahabat. Terbayang bagaimana susahnya hidup dengan penghasilan pas-pasan sementara kebutuhan hidup terus melambung tinggi. Perempuan itu sudah pernah berada pada fase yang dialami Danang.

Reflek tangannya meraih ponsel dan menghubungi Eric. Beberapa kali memanggil, tetapi belum diangkat oleh si daddy. Adilla melirik jam di meja rias, masih pukul sembilan malam.

Nggak mungkin Daddy tidur jam segini. Apa dia lagi seneng-seneng sama anak-anak, ya.

Adilla menghempaskan diri ke ranjang. Pikirannya terpecah antara membantu Danang atau membiarkan sang sahabat seperti itu seterusnya. Rasa khawatir jika suatu hari nanti pekerjaan itu terbongkar pada keluarga menyelimuti perempuan dengan kulit kuning langsat itu. Namun, sisi kemanusiaannya lebih dominan.

Masih bergelut dengan pikirannya sendiri, suara ponsel Adilla berdering. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan video dari orang yang ditunggu-tunggu sejak tadi. Sebelumnya, dia memastikan bahwa pintu kamar sudah terkunci, tak ingin keluarga tahu apa yang akan dibicarakan dengan si daddy.

"Hay, Dad. Apa kabar?" tanya Adilla manja.

Terlihat wajah Eric yang berkeringat dan tak mengenakan baju bagian atas. "Hay, Beib. Cepet pulang! Banyak yang nyariin kamu, aku nggak mau kehilangan pelanggan-pelanggan loyal." Saat berkata, mata si Daddy terlihat merem melek keenakan. Perkataannya tadi pun sedikit tersendat-sendat dengan desahan lirih yang dia keluarkan.

"Daddy lagi ngasah senjata? Sama siapa?"

"Kamu emang anak kesayangan. Peka banget tanpa dijelaskan. Ada anak baru, jadi harus di tes dulu, dong. Gimana servisnya." Di ujung perkataan, si Daddy mengeluarkan lenguhan panjang.

"Ya udah, deh. Lanjutin aja ngetes anak baru. Ntar aku telepon lagi kalau udah selesai." Adilla cepat menutup panggilan video dari Eric.

Semakin lama, mata Adilla makin meredup dan akhirnya terlelap dalam tidur. Bukan kebiasaan sang pemain hati memejamkan mata di jam sepuluh malam. Sudah cukup lama perempuan itu tidak menikmati tidurnya dengan tenang. Dunia malam seolah menenggelamkan semua keinginan itu.

Dering ponsel yang terus berbunyi nyaring membangunkan tidur Adilla. Tangan kirinya meraba-raba mencari benda pintar itu. Tanpa membuka mata, dia langsung menjawab panggilan.

"Halo," sapa Adilla dengan suara serak bangun tidur.

"Udah tidur, Beib?" tanya seseorang di seberang. "Tumben banget."

Adilla berusaha membuka mata. "Udah selesai, Dad?" tanyanya, "nggak tahu, nih. Kalau pulang kampung pasti ngantuk bawaaannya. Sepi sih di sini. Jam tujuh aja udah nggak ada orang lewat."

Lelaki yang dipanggil Dad itu tertawa keras. Setelah itu dia berkata, "Tadi mau ngomong apa?"

"Waktu ini Daddy kan nyari satpam di rumah baru. Udah dapet belum?"

"Kenapa? Ada orang yang mau kamu rekomen?"

"Ada temen kecilku. Dia lagi butuh kerjaan. Apa Daddy bisa bantu?"

"Oke. Aku lihat anaknya besok pagi, langsung."

Adilla memicingkan mata. "Daddy mau ke sini, gitu?"

"Iya. Ini lagi on the way. Tunggu aku besok pagi, Beib." Setelah mengatakan kalimat terakhir, terdengar suara ciuman darinya. Jempol lelaki itu sudah akan mengakhiri panggilan, tetapi suara Adilla menghentikan.

"Dad, ingat. Jangan dandan terlalu mencolok, biar orang kampung sini nggak curiga sama kita. Oke!" Adilla mewanti-wanti lelaki itu. Dia belum siap jika harus menjadi gunjingan para tetangga. Berdandan dan bersikap biasa aja, banyak dari mereka yang mempertanyakan pelerjaannya apalagi dandan seksi.

"Oke. Tenang aja, Beib. Aku juga nggak mau jadi pusat perhatian. Sampai ketemu besok, ya." Suara tawa Adilla mengakhiri panggilan mereka.

Ada kelegaan tersendiri dalam diri gadis itu ketika Eric menyetujui permintaannya. Satu ganjalan dalam hati berkurang sudah. Bagaimanapun tak ada yang tahu hidup ke depan akan seperti apa. Namun, prinsip Adilla bahwa ketika kita memudahkan jalan orang lain, maka jalan kita pun akan dipermudah. Adilla kembali menguap, rasa kantuk kembali menyerang perempuan itu.

*****

Pagi setelah sarapan Adilla mengajak Anwar ke dealer. Janji untuk membelikan motor sang adik bisa dipenuhi hari ini. Tadi pagi Eric mentranfer uang.

"Mbak, kita mau ke mana? Kenapa adik-adik ndak diajak," tanya Anwar di atas motor yang mereka tunggangi.

"Nanti juga kamu tahu, Dik." Adilla berkata sedikit keras.

"Ah. Mbak'e ono-ono wae." Anwar mengeraskan laju motor saat lampu merah di perempatan terlihat warna kuning. Namun, Adilla memukul bahunya. "Ono opo neh (ada apa lagi), Mbak?"

"Dik, pelan-pelan wae. Itu kayak Danang. Kalau bisa, berhenti dulu. Mbak mau ngomong sama dia."

Anwar menurunkan kecepatan motornya. Meminggirkan ketika jarak sudah dekat dengan Danang. Adilla tersenyum, si adik paham betul keinginannya tanpa bertanya terlebih dahulu.

"Hai, Nang," sapa Adilla ketika sudah turun dari motor.

Danang yang sedang menunggu pembeli di sebuah bangku pinggir jalan menoleh. "Erum?" ucapnya kaget.

"Iya, Nang," jawabnya, "aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Ada waktu, 'kan?"

"Tentu ada, buat seorang sahabat waktuku selalu tersedia. Ono opo, Rum?" Danang menatap Adilla, penasaran.

Di depan mereka, Anwar duduk di atas motor menunggu saudaranya berbincang. Pemuda itu memberikan banyak waktu agar Adilla lebih leluasa berbincang dengan sahabatnya. Tanpa berniat bertanya tentang apa itu.

"Misal kamu ikut aku kerja di luar kota mau nggak?" tanya Adilla.

"Kerja apa, Rum?"

"Kerja jagain rumah bosku yang baru. Semalam pas bosku nelpon, dia bilang butuh satpam. Kamu 'kan pinter pencak silat." Adilla menatap sahabatnya.

Binar kebahagiaan langsung terpancar dari wajah Danang. "Aku mau, Rum," jawab lelaki dengan dua anak itu bersemangat.

"Nanti, kalau bosku datang tak ajak ketemuan, ya. Boleh minta nomor handpone-mu."

Danang mengeluarkan ponsel kuno miliknya yang cuma bisa dipakai menelepon. Setelah menyebutkan angka pada Adilla, dia berkata, "Istriku pasti seneng, Rum. Terima kasih sudah membantuku."

"Sama-sama. Semoga istrimu bisa menyetujui ini. Aku duluan, ya. Mau ngantar Anwar ke dealer. Ntar tak hubungi kalau bosku dah datang." Adilla berdiri dan meninggalkan Danang. Lelaki itupun ikut berdiri menghormati sang sahabat dan tersenyum ramah.

Anwar dan Adilla kembali melanjutkan perjalanannya hingga pada deretan pertokoan.

"Mbak mau ngapain kita ke sini?"

"Mbak, udah janji beliian kamu motor baru. Ayo masuk! Pilih sendiri sesuai seleramu. Jangan pikirin masalah harga."

Senyum ramah dari para pegawai dealer saat menyambut kedatangan keduanya membuat Anwar gugup. Pandangannya menyapu keseluruhan ruangan dealer yang dipenuhi motor-motor baru. Kini, matanya terhenti pada motor sport warna hitam yang iklannya sering muncul di televisi.

Adilla mengikuti arah pandang Anwar.  "Adik mau motor itu?" tanyanya.

"Ndak, Mbak. Pasti mahal hargane. Nyari yang biasa aja, wis. Motor matic juga boleh, biar bisa dipake Nita kalau udah gede."

Adilla memukul lengan Anwar pelan. "Ish, pikiranmu. Dia itu masih kecil. Nunggu dia dewasa motornya udah rusak, kali, Dik. Dah, tenang aja. Mbak, tanyakan sama pegawainya dulu berapa hargane."

Adilla memanggil dan bertanya pada karyawan dealer harga motor yang ditunjuk Anwar. Begitu disebutkan harganyanya, si Adik melotot sementara si sulung cuma tersenyum manis menanggapi. Melihat reaksi calon pembelinya, si karyawan langsung mengarahkan pada motor sport beda merk dengan harga di bawah motor pertama.

"Bagusan pilihan pertama, Dik," kata Adilla.

Anwar menatap tak percaya pada si sulung. "Mending beli mobil kalau sama yang pertama, Mbak. Tinggal nambahin dikit. Sayang uangnya."

"Kamu, Dik. Kebiasaan mikir harga," bisik Adilla.

"Ya, gimana. Harga motor pertama tujuh puluh juta sekian, terus yang ini 33 juta. Mending beli matic aja, Mbak. Sisanya bisa dipakai buat usaha." Lagi-lagi Anwar berkata masalah harga.

"Wis, pokok iki wae (udah pokoknya ini aja). Mbak,  juga pengen dibonceng pake motor keren gini."

Adilla segera meminta sang karyawan untuk mengurus surat-surat pembelian. Sementara Anwar terlihat manyun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status