Surapati bertemu dengan pendekar itu di kedai minuman, di wilayah Galuga. Tempat Elang terakhir kalinya berada, sepengetahuan Surapati. Dengan keluwesan dan keroyalannya mentraktir sang pendekar itu. Akhirnya Surapati mendapat kabar, bahwa Elang saat ini sedang menuju ke wilayah Shaba. Segera saja Surapati banting arah ke wilayah Shaba saat itu juga. 'Hmm. Elang! Ke langit manapun kau pergi, takkan kubiarkan kau lolos dari pengawasanku..!', bathin Surapati geram. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka tepat pada saat malam menjelang, Surapati telah memasuki kotaraja Shaba. Namun Surapati sama sekali tak tahu, soal kabar akan munculnya Naga Hijau di Telaga Wangipandan. Karenanya dia langsung memutuskan bermalam di rumah 'kembang', yang berada di sudut kotaraja Shaba. Rumah 'Kembang' adalah istilah rumah pelacuran di jaman dulu. Sedangkan adalagi istilah 'Rumah Dadu' dan sabung ayam, untuk istilah tempat perjudian di jaman itu. Sebetulnya pihak kerajaan pada masa itu,
Ya, siapa wanita yang tak 'tergiur', untuk tetap tampil awet muda..? Dan Nyi Sekarwati inilah salah satunya. Walau syarat untuk itu, dia harus memberikan tumbal 3 orang pemuda perjaka setiap bulannya. Sungguh suatu syarat yang sesat dan kejam.! "Hahahaa..! Cantiknya istriku, setelah mendapatkan tumbalnya," terdengar tawa terbahak senang, dari seorang lelaki diluar rumah kosong itu. "Masuk saja Kangmas Sardujagat suamiku. Baiknya kita tinggal di rumah ini hingga esok malam," sahut Nyi Sekarwati, yang mengenali suara suami sekaligus gurunya itu. "Kau benar Sekar. Dari sini ke Telaga Wangipandan, hanya sepenanakkan nasi saja jauhnya. Kita bisa berangkat besok sore menjelang malam dari sini," ujar Ki Sardujagat, yang tahu-tahu telah berada di dalam rumah itu. Di angkatnya sosok mayat pemuda, yang kini nampak kurus kering itu. Lalu mayat itu dilemparkannya keluar, melalui pintu rumah yang terbuka itu. Weesh..! Brugh! Mayat pemuda itu pun melayang dan jatuh terhempas, di atas semak-
"Beberapa kali Eyang bentrok dengan Sardujagat. Dia selalu datang ke kediaman mendiang Guru Bhaskoro. Dia mengatasnamakan gurunya, untuk meminta Batu Mustika Hijau itu dari tangan mendiang Eyang Bhaskoro. Namun beruntung Eyang Guru selalu bisa mengatasinya. Dan sayangnya, hingga mendiang Eyang Bhaskoro menghembuskan nafas terakhirnya. Eyang Guru tak menunjukkan keberadaan Batu Mustika Hijau itu pada Eyang. Mungkin Batu Mustika Hijau itu sudah hilang, atau diberikan pada orang lain. Entahlah," ujar Eyang Wilapasara. "Apakah mungkin ada suatu rahasia yang mereka ketahui. Tentang Batu Mustika Hijau itu, yang tak kita ketahui Eyang? Melihat sepertinya keras sekali usaha mereka, untuk mendapatkan batu mustika itu," ujar Elang akhirnya, mencoba mengambil kesimpulan. "Hmm. Bisa jadi Elang," ucap eyang Guruchakra menimpali. "Wah, ada Eyang Guruchakra," ucap Prasti, yang baru saja keluar dari dapur. Dia segera mencium tangan Eyang Guruchakra. "Eyang Guru, Eyang Guruchakra, Mas Yoga. Ki
"Ahh..! D-darimana Eyang tahu Elang berasal..?!" tanya Elang agak gugup. Karena Elang merasa tak melihat bayangan atau lintasan apapun, tentang Eyang Wilapasara. Bahkan nampaknya sepuh itu tak pernah berhubungan, dengan pihak di luar lembah Marabunta itu. "Hmm. Elang, kau tak perlu kaget mengenai itu. Eyang adalah sahabat Maharesi Salopa. Soal kabar nama dan waktu kedatanganmu ke alam ini. Semuanya Eyang ketahui dari Maharesi Salopa langsung," ujar eyang Wilapasara tenang. "Baiklah, silahkan Eyang Guru dan Mas Yoga berbincang dulu ya. Prasti akan memasak hasil buruan Eyang dulu," ucap Prasti, seraya beranjak menuju dapur. Dia memang ingin memasak suatu yang istimewa, buat Elang dan Eyang Gurunya itu. "Ahh, rupanya Eyang bersahabat dekat dengan Maharesi Salopa. Pantas saja Eyang demikian yakin dengan hal itu," ucap Elang. Hampir tak kuat rasanya Elang balas menatap pandangan Eyang Wilapasara, yang bagai menembus ke relung hatinya. Elang yakin, seperti halnya Eyang Guruchakra p
Usai bersantap di rumah makan itu. Elang dan Prasti segera beranjak, untuk menuju ke Telaga Wangipandan. Dan benar saja, tak lama kemudian Elang dan Prasti tiba di sebuah lereng perbukitan Lasinda. Letaknya memang tak begitu jauh dari rumah makan tadi. Elang dibuat takjub, dengan keindahan alam yang tersaji di hadapannya. Air jernih telaga yang segar, sejuk, serta wangi semerbak aroma pandan. Kini terhampar nyata di sana. Nampak saat itu juga ada beberapa orang, yang tengah mandi di telaga itu, dengan menggunakan kain atau pakaian. Bebatuan besar juga banyak terdapat di telaga itu. Telaganya sendiri cukup luas, namun airnya tak begitu dalam. Hanya sekitar dada orang dewasa. Dan dibagian tengah telaga itu, terdapat sebuah pusaran kecil. Itu adalah suatu hal yang aneh di mata Elang. Bagaimana mungkin ada sebuah pusaran, di tengah telaga seperti itu..? Lalu pusaran air itu menembus ke mana..? Pikir Elang. "Mas Yoga, ini adalah bagian luar dari Telaga Wangipandan ini. Di bagian ini
"Aku setuju dengan usulan Kakang Kampala. Bagaimana kalau gerakkan kita tunda dulu..? Sambil menunggu Mahaguru kembali. Karena sepertinya hanya Mahaguru sendiri, yang bisa mengatasi orang bernama Elang itu," ujar Surapati, menanggapi usulan Kampala. "Baiklah. Mulai besok, kita tarik mundur semua pasukkan kita ke Hutan Lawangjati, yang merupakan perbatasan Tlatah Kalpataru dan Palapa. Maharaja Kumbadewa Padmachakra sendiri telah mengatakan, dia akan menyerang Kalpataru pada saat yang tepat. Lebih baik kita menunggu kepulangan Mahaguru di hutan Lawangjati, dan menunggu juga kesiapan Maharaja Palapa Kumbadewa Padmachakra, untuk menyerang secara serentak ke Kalpataru," akhirnya Gardika memberikan putusannya. Keputusan yang langsung disambut baik oleh kedua adik seperguruannya. "Namun sementara waktu menunggu Mahaguru tiba. Kita juga harus menyelidiki dan selalu mengawasi, sepak terjang orang bernama Elang itu. Kita harus tahu banyak tentang orang itu, dan juga kelemahannya," ujar G
"Prayoga..! Prasti..! Mari kita bersama ke istana," seru Ki Randujati pada Elang. "Baik Ki Randujati. Dimana yang lain Ki?" tanya Elang. "Semuanya sudah bergerak ke alun-alun, mengawal para tawanan pemberontak, Prayoga. Istriku, Dirga, Panji, Lanjarsari, Batara, dan yang lainnya sudah ke sana. Sementara Kedasih langsung pulang menuju ke Jurang Hampa Sukma," jelas Ki Randujati. Akhirnya mereka pun tiba di istana Galuga. Kepala pengawal istana langsung menyambut mereka, dan mempersilahkan mereka semua berkumpul di Pendopo Agung istana. "Selamat datang seluruh para satria kerajaan Galuga..! Suatu kebanggaan bagiku menerima kedatangan kalian semua. Tanpa kalian, mungkin saat ini kerajaan Galuga telah runtuh tak terselamatkan. Elang Prayoga, terimakasih atas sumbangsihmu menyelamatkan putriku Arum Sokawati, dan mengalahkan Panglima pemberontak. Ki Randujati dan semua para pendekar wilayah Galuga. Terimakasih atas kesetiaan kalian pada tanah air Galuga. Aku Dewangga Kusumawardhana,
"Keparat dangkalan..! Rupanya kau yang membunuh adik seperguruanku.! Hiaahh..!!" Werrssh..! Wusshk..!!Betapa murka Lamhot hingga ke ubun-ubun, karena di antara saudara seperguruan lainnya, dia memang paling dekat dengan Bashuta. Dia langsung berseru keras kibaskan deras Kipas Awan Saktinya. Dua serangannya seketika mengarah ke leher dan pinggang Elang. Dua larikkan hawa dingin berselimut cahaya putih, menderu tajam dan ganas. Elang langsung melenting tinggi, menghindari serangan Lamhot. Dan selanjutnya Elang berlesatan kian kemari, menghindar dan sesekali menangkis serangan membabibuta Lamhot, yang sedang dikuasai amarahnya itu. Larikan-larikan serangan kipas Lamhot, bagaikan liukkan ular yang mencari mangsa. Sedangkan Elang yang sejak tadi hanya menghindar, kini mulai balas menyerang. Spratzh..! ... Blastth..! Pukulan-pukulan jarak jauh Elang dilesatkan, untuk mengacaukan arah serangan kipas Lamhot. "Bedebah..! Hanya jurus monyet main petak umpet inikah kebisaanmu Elang..! Ay
"Lihatlah..! Pemimpin kalian telah mati..! Menyerahlah..!" teriak Prasti lantang di tengah medan perang, seraya menunjuk Ki Reksogoro yang terkapar tanpa nyawa. Namun pasukan pemberontak tak menyerah. Karena mereka melihat, di sektor kanan sana para rekan mereka masih sengit berperang, bersama Panglima Awan. Namun tentu saja perlawanan pasukkan pemberontakkan di sektor kanan itu tak sedahsyat sebelumnya. Apalagi kini dengan masuknya pasukkan para pendekar, yang kemampuan seorang saja dari mereka, sudah setara dengan 5 orang pasukkan pemberontak. Maka tak lama kemudian. Pasukkan pemberontak di sektor kanan, yang masuk melalui gerbang Campaga berhasil di tumpas habis. 'Kemana Mas Yoga? Mengapa dia lama sekali tak kembali..?' bathin Prasti. Dia segera mendekati Ki Randujati, yang tengah menyiapkan kembali pasukkan pendekar. Untuk membantu menghadapi pasukan pemberontak di sektor kiri. "Ki Randujati, sepertinya aku lebih baik mendahului ke sana menyusul Mas Yoga," ucap Prasti membe