"Hahh..?!" betapa terkejutnya si Galora. Melihat golok bajanya yang terkenal itu, hanya ditangkis oleh sebuah tusuk kayu bekas membakar kelinci. Padahal ayunan goloknya itu, bahkan bisa menebas batu gunung sebesar kambing sekalipun. Maka diapun sadar, jika wanita yang tengah dihadapinya ini bukanlah wanita sembarangan. Wukh..! ... Wesh..! Dengan cepat Galora memutar balik ayunan goloknya, dan langsung menebas ke arah pinggang, yang lalu dilanjutkan dengan tebasan ke arah kaki Prasti. Tagkh..! Takhh..! Kembali dua serangan kilat Galora gagal, tertangkis oleh tusukkan kayu yang dipegang Prasti. "Galora..! Sekali lagi kau menyerang, maka kau akan menyesal seumur hidupmu..!" seru Prasti tegas mengancam. Sepadang matanya kini menatap tajam pada si Botak itu. 'Gila..! Tenaga dalam gadis ini jelas berada di atasku! Tapi aku tak boleh menyerah begitu saja', pikir Galora penasaran. Segera dia menyiapkan jurus pamungkasnya 'Golok Pembelah Samudera'. Sebuah jurus yang mampu membelah ba
"Kalau begitu ya sudah tak apa-apa. Aku percaya sama kamu, Prasti. Kata orangtua, wanita lebih bisa menyimpan uang dibanding lelaki," sahut Elang enteng. Baginya uang memang bukan masalah besar. 'Kalau kepepet, mudah saja bagiku mencuri seperlunya dari pejabat korup, atau orang kaya yang kikir', pikir Elang. Malam harinya seperti rencana semula, mereka bermalam di bawah sebuah pohon rindang, di dalam hutan di bawah bukit Rajawali itu. Terdapat pula sebuah sendang kecil, dengan mata air yang cukup jernih di dekat tempat mereka bermalam. Api unggun juga sudah dinyalakan oleh Elang, seraya menunggu Prasti selesai mandi di sendang. Prasti berkata akan berburu kelinci atau ayam hutan, yang bisa mereka makan malam itu. Taph..! Brugh..!! "Itu makanan kita malam ini, Yoga," ucap Prasti, yang datang tiba-tiba dsn menjatuhkan hasil buruannya di dekat Elang. Sementara Elang saat itu sedang menambahkan kayu, pada api unggun yang dibuatnya. Nampak dua ekor ayam hutan dan seekor kelinci, y
"Ketahuilah Yoga, guruku adalah Eyang Wilapasara. Orang nomor dua di daftar peringkat itu," ucap Prasti akhirnya memberitahu. "Wah! Pantas kemampuan beladirimu benar-benar mengagumkan Prasti. Kiranya gurumu adalah orang nomor dua dalam daftar itu," seru Elang dengan wajah kagum. Dan Elang memang kagum pada dara baju hijau ini. Karena di usianya yang sekitar 20 tahunan itu, Prasti sudah memiliki kemampuan yang tinggi. 'Bisa dibayangkan sosok Guru di belakang gadis itu. Pastilah sepuh berilmu sangat mumpuni', pikir Elang. "Prasti, bolehkah kita melakukan perjalanan bersama? Aku jadi tertarik ingin mengetahui juga, siapa dibalik penyebaran daftar 17 pendekar itu. Sepertinya hal itu pasti akan menimbulkan gejolak di dunia persilatan," ujar Elang menawarkan diri. Sejenak Prasti dilanda kebimbangan. Jika dia menuruti ajakan Elang, berarti dia harus siap terbebani dengan keberadaan pemuda yang tak berkemampuan itu. Sedangkan perjalanannya pastilah akan penuh, dengan resiko pertarungan
"Namaku Yoga. Terimakasih Prasti. Kalau tak ada kau, aku pasti sudah dikubur saat ini," ujar Elang, memperkenalkan nama belakangnya saja. Entah kenapa dia merasa enggan, untuk memperkenalkan nama panggilannya pada Prasti. Dan Elang memang menutup dan menekan aura 'power'nya di hadapan gadis itu. Elang merasa lebih baik dia bersikap tak tahu apa-apa, soal kemampuan beladiri pada Prasti. "Aduh warungku bagaimana ini..?!" seru si Ibu warung mengeluh sedih. Melihat kondisi warungnya, yang kini ngablak terbuka lebar tanpa pagar dari arah luar. Lelaki berumur yang berada disebelahnya juga menatap lesu, ke arah dinding warung yang rubuh itu, "Sudahlah Bu. Biar nanti bapak perbaiki saja sendiri. Yang penting kita selamat dari amukan wong edan itu," ujar sang suami menenangkan istrinya. "Ibu, pesanan saya dan Prasti jadi berapa semuanya?" tanya Elang tersenyum. "O ya, Masnya tadi nambah satu piring lagi ya, jadi dua piring tambah lauknya. Den ayu ini hanya sepiring saja. Jadi semuanya
"Bu, saya tambah lagi ya," ucap Elang cuek. Tertegunlah si Ibu warung, melihat 'betapa licinnya' piring tembikar bekas Elang makan. Padahal tadi dia mengambilkan nasi agak banyak untuk Elang, dibandingkan porsi biasanya. 'Sepertinya pemuda ini habis berjalan jauh dan kelaparan', bisik hati si Ibu. Segera dia mengambilkan kembali pesanan Elang. "Permisi Ibu, warung ini sudah bukakah..?" tanya renyah seorang gadis cantik berbaju hijau, yang berdiri di depan pintu warung makan. 'Wah..! Wanita baju hijau yang tadi di sungai', bathin Elang, yang mengenali wanita cantik berbaju hijau itu, dengan sudut matanya. "Oh, sudah Den Ayu. Silahkan masuk saja," sahut si ibu senang. Karena sepagi itu, dia sudah kedatangan dua orang penglaris di warung makannya. Gadis cantik berbaju hijau itu pun masuk, dan langsung duduk di sudut dalam kursi panjang warung. Seperti halnya Elang. Akhirnya sang gadis berbaju hijau itu memesan menu, yang memang sudah tersedia saja di pagi itu. Gadis itu melirik s
"Ahh..!" Elang terkejut dan segera alihkan pandangannya. Karena nampak jelas sekali terlihat, beberapa wanita di antara mereka tengah membuka kain penutup dadanya. Suasana di sekitar sungai yang memang sepi, rupanya membuat para wanita itu tak sungkan lagi berlaku seperti itu. Mungkin juga karena memang mereka sudah terbiasa berlaku seperti itu, setiap harinya di sungai itu. Wilayah Galuga memang berada di dataran agak tinggi, dan masih hijau asri alamnya. Hal itu diketahui oleh Elang dari pembicaraannya dengan sang Patih, sebelum dia berangkat kemarin. Kriuyuukk..! Suara demo di perut Elang pun tak terbendung, dan berbunyi tanpa permisi. 'Aduh..! Aku harus secepatnya mencari warung makan terdekat', bathin Elang mengeluh. Memang sejak kemarin, Elang terakhir kali makan hanya saat sebelum masuk ke dalam hutan. Dan hingga kini, perutnya belum lagi terisi makanan. Segera Elang membereskan dan memasang buntalan pakaian di tubuhnya. Namun saat dia hendak melesat ke arah desa terde
"Tentu saja banyak kerugiannya Elang..! Jika kau bercerita pada orang banyak, tentang keberadaan kami di sini. Maka berbondong-bondong mereka akan datang ke sini, dan mencari kami untuk dimiliki..! Hingga kesakralan tempat ini pun menjadi hilang karenanya. Kau mengerti Elang..?!' sahut Ki Cakra Buana marah, seraya mengungkapkan kecemasannya. "Baiklah. Kalau begitu aku berjanji, aku tak akan menceritakan soal keberadaan kalian di wilayah ini pada orang lain..!" seru Elang berjanji, seraya bersiap untuk melesat pergi meninggalkan tiga pusaka itu. Namun ... Seth..! ... Seeth..! Ketiga pusaka itu segera melesat mengepung Elang di depan, kiri, dan kanannya. Mereka seperti sepakat, untuk menyelesaikan urusan mereka dengan Elang lebih dahulu. Sebelum melanjutkan urusan mereka nanti. 'Manusia bernama Elang..! Ratusan bahkan ribuan tahun kami mengenal yang namanya manusia. Dan selama itu pula kami telah mengetahui. Bahwa bangsa kalian adalah bangsa yang sering berdusta terhadap janjiny
"Baik Paman Patih. Elang akan berhati-hati dalam perjalanan. Elang pamit dulu Paman," ucap Elang, seraya mengangguk hormat pada sang Patih. Slaph..! Elang pun melesat lenyap dari hadapan Kalagama. 'Luar biasa kau Elang.! Semuda itu ilmumu sudah tak terselami lagi kedalamannya', bathin Patih Kalagama kagum. Hari sudah menjelang malam, namun Elang masih berada dalam lebatnya hutan belantara. Perkiraan perjalanan menuju ke Galuga memang satu hari perjalanan, jika ditempuh dengan berkuda seperti yang dikatakan sang Patih sebelum Elang berangkat tadi. Namun Elang memang berniat berjalan santai saja. Dia masih ingin menikmati suasana alam, yang terasa sangat asri dan bersih di masa itu. Elang terus berjalan menyusuri jalan setapak, yang menunjukkan memang jalan itu pernah dilalui orang. Elang terpaksa menerapkan 'powernya', untuk mempertajam pandangan matanya dalam gelapnya rimba belantara. Nampak sepasang mata Elang mencorong merah bak seekor Naga. Pandangannya kini menjadi lebih t
"Silahkan duduk Putri Ratih, Mas Elang, dan kau Patih Kalagama," ucap sang Raja tersenyum hangat, menyambut kedatangan mereka. Hati sang Raja mendadak diliputi rasa kegembiraan. Dia seolah bisa menduga, jika kembalinya patih Kalagama bersama Ratih dan Elang, pastilah membawa kabar gembira. Kabar kemenangan kerajaan Dhaka, atas pertempuran di markas pemberontak Panglima Api. Hal itu seolah sudah terbayang-bayang di benak sang Raja. "Bagaimana dengan penyerangan kita, ke markas pasukkan pemberontak di hutan Kandangmayit itu Patih Kalagama?" tanya sang Prabu tenang, setelah ketiganya telah duduk di kursi ukir kayu istana. "Berkat restu Gusti Prabu. Akhirnya kami berhasil memenangkan perang itu, dan kembali dengan selamat. Kami juga menawan dan membawa serta pasukkan pemberontak yang tersisa. Mereka berjumlah 600 orang lebih. Dan kami telah mengumpulkan mereka di alun-alun istana. Menunggu keputusan Gusti Prabu terhadap mereka," sahut patih Kalagama melaporkan. "Syukurlah Patih Kal