"Katakan saja keperluanmu datang kemari Caplang..! Bu Laras sedang istirahat di dalam..! Biar nanti saya sampaikan pesanmu padanya..!" seru Elang mulai kesal, dengan sikap arogan dan kurang ajar si Caplang pada Bu Laras. Murka si Caplang pun bukan olah-olah. Demi mendengar Elang menyebut namanya, tanpa embel-embel 'Pak atau Tuan' seperti orang kebanyakkan menyebutnya. Dia seperti dianggap anak kecil saja oleh Elang. "Hei Pemuda keparat..! Apa kau tidak mengenal dua orang disampingku ini..?! Mereka adalah 'Macan Kembar Pringgapala'! Kau masih berani cari mati berurusan denganku, pemuda bedebah..!" sentak murka si Caplang, dengan kuping terlihat bergerak-gerak. Hal yang membuat Elang gemas, ingin sekali memelintir kedua kuping itu sampai putus. Dan Elang pun sampai pada batas kesabarannya. Kedua matanya mencorong merah menyala. Dia segera menghimpun 'power' bathin di dadanya. Dia berniat melambari sugesti pada suaranya, dengan pengerahan energi bathinnya. Si Caplang agak terceka
'Hahahaa..! Luar biasa pesonamu Elang..! Bahkan putri Raja Galuga itu nampaknya juga jatuh hati padamu..! Hahahaa..! Nanti malam sepertinya aku bisa 'berlayar' sepuasnya, dengan putri Raja itu..! Bersiaplah kau untuk 'mencuci piring', atas perbuatanku Elang..! Hahahaa!' bathin Surapati bersorak girang bukan main. Karena dia mendapat calon korban istimewanya saat itu, seorang putri Raja yang cantik jelita. "Arum Sokawati putriku. Segera kabarkan pada Ibundamu, agar mempersiapkan pesta penyambutan Mas Elang untuk nanti malam. Sementara Mas Elang tentunya lelah dan ingin beristirahat, di kamar tamu kehormatan istana," ujar sang Prabu Dewangga. "Baik Ayahandu Prabu," sahut Arum, seraya matanya mengerling sekilas ke arah Elang, dengan malu-malu. Hatinya berdebar penuh kabahagiaan, mengetahui pemuda pujaannya itu hendak bermalam di istana malam itu. Dia berniat kembali ke keputren, dan berdandan secantik mungkin. Tentunya untuk mendapat perhatian 'lebih' dari Elang, pada pesta perja
Hanya dengan beberapa lesatan saja, kini Surapati telah menjejak di tepi jurang. Tempat dulu dia pertama kali menuruni jurang itu bersama Kedasih. Namun dia tak hendak mampir ke pondok Kedasih saat itu. Karena dia memiliki rencana dan niat lain di hatinya. Teringat dia akan kata-kata Kedasih dulu. Bahwa Elang telah dinobatkan sebagai 'Pendekar Kehormatan Galuga', dan bebas keluar masuk ke dalam istana. 'Hahahaa..! Sebaiknya aku ke istana Galuga saja. Dengan kecepatanku saat ini, menuju kesana kiranya tak sampai tengah hari. Ya, aku akan sampai sebelum sore hari. Berpesta dengan tuak dan makanan terbaik di istana, bermalam di sana, lalu pagi harinya aku akan kembali ke gua menemui Eyang. Aku akan membawakan tuak serta makanan terbaik dari istana untuk Eyang..! Hahahaa..!' ujar bathin Surapati. Dia merencanakan acara pembebasannya, setelah sebulan lebih dia terkurung dalam gua itu. Slaph..! Surapati melesat ke dalam rerimbunan semak. Diterapkannya kembali aji 'Malih Rupa'nya di
"Masih ada lagi sebuah kitab dan pusaka Pedang Rajawali Api..! Eyang akan mewariskannya untukmu nanti Surapati..!Setelah kau menguasai ajian pamungkas 'Selaksa Sayap Neraka' dengan sempurna. Karena jika ajian pamungkas itu kau gabungkan dengan 'power' dari pusaka Pedang Rajawali Api. Maka niscaya hanya 'Manusia Setengah Dewa' keparat Indra Prayoga itu saja, yang bisa menahannya..! Sedangkan pastinya orang itu sudah mati saat ini..! Hahahaa..!" seru Eyang Salsapala. Gelak tawanya menggema keras menggetarkan seantero gua. Sungguh menggidikkan nyali, bagi siapapun yang mendengarnya. Tubuh Surapati bergetar antara rasa senang dan takut, mendengar tawa mengerikkan sepuh Salsapala. Karena suara tawa Eyang Salsapala itu, bagai dipenuhi oleh rasa amarah, dendam, dan kegembiraan. Ya, sesungguhnyalah Salsapala masih merasa marah, dan menyimpan dendam kesumat terhadap Indra Prayoga. Namun di sisi lain dia sadar, pastinya Indra Prayoga telah mati saat itu. Karena telah 200 tahun lebih, dir
"Tak apa-apa Mas Aji. Tadi Wika dikeroyok di pasar. Terus ditolong oleh Mas ini," sahut Wika, menenangkan anak itu sekaligus berbohong. Tentu saja dia tak ingin saudara-saudaranya tahu, kalau dia tertangkap mencuri di pasar. "Ibu dimana Mas Aji..?" tanya Wika. "Ibu sedang memijat orang di desa sebelah. Sebentar lagi mungkin pulang," sahut Aji. "Mas Wika nggak bawa makanan ya hari ini..?" tanya seorang adik angkat perempuannya, dengan wajah murung. "Iya Dek. Hari ini mas belum dapat pekerjaan," sahut Wika dengan wajah sedih. "Yahh....!" terdengar seruan kecewa dari adik-adik angkatnya, mendengar ucapan Wika. Elang langsung trenyuh, melihat anak-anak yang nampaknya memang sudah kelaparan itu. "Adik-adik, apakah di dekat sini ada warung makanan..? Bisa minta tolong belikan mas makanan ya. Mas lapar," tanya Elang seraya membuka kantung uangnya. "Ada Mas, biar saya belikan saja," ucap Aji menawarkan diri. "Ini uangnya Aji. Tolong belikan juga buat semua yang ada di rumah ya. Term
"Pudji, katakan saja bila kau butuh sesuatu padaku ya," ucap Joko lembut. Joko keluarkan lagi kantung uangnya, dan sekeping gobog perak kini diberikan pada Pudji. "Ambillah Pudji. Untuk adik-adikmu di rumah," bisik Joko lembut. "Ahh, Mas Joko. I-ini terlalu besar Kangmas," ucap Pudji tergagap. Dia sangat mengenal lelaki baik yang satu ini, pria beristri namun tak bahagia dengan istrinya. Percekcokan kerap terjadi antara dia dan istrinya, yang sering main gila dengan pemuda-pemuda berandalan. Ya, Pudji dan Joko saling tahu satu sama lain, tentang latar kehidupan mereka. Karena sebenarnya kediaman mereka tak jauh. Hanya berjarak ratusan langkah saja. "Ssthh..! Terimalah saja Pudji. Mas pulang dulu ya. Mmhhp," ucap Joko, seraya mencium kening Pudji, lalu membuka pintu kamar dan pergi. Pudji baru saja menutup pintu kamarnya, dan hendak merebahkan diri sejenak. Saat ... Tok, tok, tokk..! "Pudji..! Ada Utari mencarimu di ruang depan..!" terdengar suara ketukkan pintu kamar. Salah