Share

03. Budak Bernama Muhan

Muhan berjalan mondar-mandir dengan kegelisahan yang merayap. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kehadiran para pengawal yang mengawasi dirinya bagaikan tahanan perang itu berhasil memberdirikan bulu kuduknya. Genap setengah jam pemuda itu dibiarkan menunggu tanpa kepastian selepas menyerahkan mayat Kim Joon, dan dia tak mampu menduga apa yang akan dihadapi setelah ini.

Sebetulnya, nama itu tak terdengar asing dalam pendengaran Muhan. Tadinya dia mengira bahwa seorang Gyeonggukdae yang dibawa merupakan pasukan biasa. Namun setelah penjaga gerbang memberitahu pangkat yang dimiliki oleh mayat yang dibawanya tadi, Muhan dilanda kekalutan yang tak mampu dijabarkan dengan baik.

Dia menemukan Panglima Divisi Gyeonggukdae dalam keadaan sekarat. Muhan takkan melupakan rupa genangan darah yang masih membekas di hutan sana. Dari yang terlihat, Muhan mendapati beberapa tusukan pada perut dan paha yang tidak sedikit. Entah pertempuran macam apa yang baru dilakoni oleh Kim Joon, dia merasa harus memberikan pecahan permata naga yang sangat berharga itu kepada Raja.

Baru saja berpikir demikian, derap langkah sekumpulan orang mendekatinya. Muhan mendongakkan kepala, terkesiap saat mendapati sosok Raja yang ditemani oleh kasim dan selusin pelayan di belakang mereka. Muhan bersungkur memberi hormat.

"Kau budak yang menemukan Kim Joon di hutan?" tanya Raja dengan suara berat dan menggelegar.

Muhan mengangguk sekali, "Betul, Yang Mulia."

"Apa kau menemukan Kim Joon sudah dalam keadaan tidak bernyawa? Atau apakah saat itu dia masih bernapas?"

"Masih bernapas, Yang Mulia. Dan sebenarnya, Tuan Kim Joon menyerahkan sesuatu kepada saya."

"Apa itu?"

Secara perlahan, Muhan mengeluarkan sesuatu dari balik pakaian lusuh yang sedari tadi tersimpan begitu rapat. Meskipun Raja sempat memandang jijik atas penampilan Muhan saat ini, pria itu tetap menjaga raut wajahnya yang berwibawa.

"Ini, Yang Mulia."

Raja menyipitkan mata, memindai sesuatu yang berada di atas telapak tangan Muhan. Beberapa detik berpikir, muncul kerlingan berbeda dari mata sang Raja. Pria itu menengadahkan tangan kanan, memberi perintah melalui tatapan tegasnya agar Muhan memindahkan benda tersebut ke tangannya.

Menurut, Muhan menyerahkan benda berharga yang memang seharusnya berada di tangan Raja itu. Dengan hati-hati, Raja menyambutnya dilingkupi ketakjuban yang memenuhi seisi dada. Raja memandangi pecahan permata sewarna air itu dengan mulut menganga.

"Aku tidak pernah melihat permata naga yang secantik ini." Ujar Raja, mengangumi tiap inci pecahan permata tersebut. "Kau mendapatkan ini dari Kim Joon?"

"Benar, Yang Mulia. Tuan Kim Joon menyerahkan pecahan permata naga itu tepat sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Maaf, saya tidak bisa menyelamatkan Tuan Kim Joon."

"Tidak apa-apa." Raja mengulum senyum. "Kim Joon telah melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Mungkin, memang hari ini merupakan hari terakhirnya mengabdi. Tetapi, dia tetap membawakan pecahan permata naga ini untuk Wari. Kau juga sudah melakukan yang terbaik, Nak. Sebagai imbalannya, kami akan memberikan beberapa uang yang bisa kau gunakan untuk membeli pakaian baru."

"Tapi—"

"Adakah sesuatu yang ingin kau berikan selain pecahan permata naga ini, Nak? Apakah ada pesan lainnya?" sela Raja.

Muhan mengatupkan bibir rapat-rapat. Entah mengapa, rasanya sengaja mengusirnya. "Ti-tidak, Yang Mulia. Tuan Kim Joon tidak sempat mengatakan apa-apa. Hanya menyerahkan pecahan permata itu dan ...."

Raja mengangguk paham. "Ya, saya paham. Sekarang, kau bisa pulang, Nak. Terima kasih karena sudah membawa Kim Joon dan permata ini ke sini."

Sesaat setelah berbalik, Kasim Heo menyerahkan sekantung kain sebesar genggaman tangan orang dewasa yang berat dan gemerincing. Isinya tentu saja uang. Begitu keluar dari Istana, Muhan menilik jumlah uang yang diberikan padanya. Hanya memakan waktu lima detik, Muhan cepat-cepat menyimpannya sembari melirik sekitar. Untuk saat ini, menjadi pelit tidak masalah kan?

Sementara itu, Raja memasuki Geumjung—kediamannya diikuti oleh Kasim Heo dan ahli permata yang datang untuk memastikan keaslian dari pecahan permata naga yang dibawanya. Seperti yang diharapkan, permata tersebut memang sebuah permata naga yang sangat senantiasa menjadi penopang kemakmuran Tanah Wari.

Raja tersenyum semringah, menahan diri agar tidak melambungkan tawa. Di tengah berita kematian Kim Joon, berkah semacam ini berhasil menepis seluruh duka yang bersambang.

"Ini indah sekali ...."

Raja tak bisa berhenti memandang pecahan permata naga yang kini tergeletak di atas kain beludru berbentuk persegi yang memilaukan.

"Entah pertempuran macam apa yang berhasil mereka lalui, tapi Kim Joon sudah memberikan yang terbaik untuk negeri ini. Termasuk ... permata yang kelewat indah ini.

•••••

Sekembalinya ke Perguruan, para pemuda-pemudi tengah berlatih mengenakan tongkat di halaman utama. Melihatnya, Muhan sempat terdiam di ambang gerbang. Kalau diperbolehkan, dia sangat ingin memegang tongkat atau pedang barang sekali. Sekadar mengayunkan untuk sedetik pun, Muhan akan sangat bahagia. Tetapi, selama ini Guru Yeom selalu melarangnya. Dia hanya kacung di tempat ini. Tidak seharusnya seorang kacung menggenggam sebuah benda yang sangat berharga—sebut saja senjata.

Ah, lalu bagaimana reaksi Guru Yeom saat mengetahui bahwa dia baru saja memegang pecahan permata naga ya? Apakah dia bakal kena omel?

"Dari mana saja kau?"

Pertanyaan itu menyentakkan Muhan. Tanpa perlu menoleh, Muhan mengenali suara dari Guru Yeom tersebut. Menunduk, dia berusaha agar tak bergerak banyak—yang mana akan mengundang bunyi koin yang bergesekan di balik pakaiannya.

"Sa-saya baru saja dari Istana, Guru."

"Istana?" Guru Yeom mendekat dengan kedua tangan bertaut di belakang tubuhnya. "Apa yang membuat budak rendahan sepertimu mendatangi Istana, wahai Bocah?"

"Se-sebenarnya ... tadi di hutan, saya ...."

"Awas!"

Muhan berjingkat mundur, menghindari sebuah tongkat yang terbang ke arahnya secara tak terduga. Lantaran terlalu terkejut, Muhan terjatuh dan sekantung uang yang didapatkannya tadi tercecer dengan sendirinya.

Guru Yeom menyipitkan mata, mendekat beberapa langkah. "Uang? Dari mana kau mendapatkan uang segini banyaknya, Muhan?"

Muhan tergagap, lekas mengambil beberapa koin dalam genggaman. "Sa-saya—"

"Apa kau baru saja mencurinya?" tuding Guru Yeom. "Oleh karena itu bukannya membawa obat-obatan, justru kau membawa pulang beberapa keping uang hasil curianmu, Muhan?"

"Ti-tidak, Guru! Guru salah paham! Aku tidak mencurinya! Aku mendapatkannya dari—"

Plak!

Tak berkesempatan menyelesaikan kalimatnya, Guru Yeom mendaratkan satu tamparan yang lebih sering didapat akhir-akhir ini daripada jatah makan malam. Melihat emosi yang meluap, tampaknya Muhan takkan mendapatkan makan malam pula.

"Bocah nakal! Aku akan mengurungmu dan tidak memberi makan malam untuk malam ini!"

Selepas mengambil uang yang berada dalam genggaman Muhan, Guru Yeom berlalu dan menggembok kamar kecil milik Muhan yang mulanya merupakan tempat menyimpan peralatan kebersihan itu. Terdengar derap langkah Guru Yeom yang kian menjauh, sedangkan keramaian di sekitar Perguruan masih mengudara.

Lagi-lagi, Muhan hanya mampu menerima takdirnya yang tak pernah berjalan mulus ini. Meringkuk menghadap pintu, Muhan mempertanyakan untuk apa dia hidup bila tujuan dari kehidupannya ialah penderitaan dan kesengsaraan belaka.

Pada akhirnya, sisa hari itu Muhan kembali meratapi nasibnya yang bagaikan banyolan di mata orang lain.

•••••

Di sisi lain Wari, seseorang berdiri mengenakan jubah hitam kebesaran yang turut menutupi kepalanya. Menjejaki titik yang diduduki oleh Muhan siang tadi, indra penciumannya mulai bekerja pada satu arah.

Dari belakang, muncul seorang lagi yang mengenakan pakaian khusus salah satu anggota Pasukan Pemburu Naga dengan kedua pedang yang terlepas dari sarungnya. "Tuan, mayatnya tidak ada di sini. Mungkinkah, Kim Joon berhasil mencapai Wari lebih dulu?"

"Tidak." Pria berjubah itu berbalik, menampilkan seringai mengerikan yang mampu menerbangkan kegelapan pada tiap mata. "Kim Joon sudah tewas. Aku bisa mencium aroma kematian di hutan ini—dan aroma itu milik Kim Joon. Tetapi, tampaknya ada satu aroma lagi yang bercampur dengan milik Kim Joon."

Memiringkan kepala, pria itu menatap ujung alas kakinya. Sepasang matanya menyipit, menyadari adanya bekas asing yang tertangkap oleh radarnya. "Apa ini? Seseorang juga duduk di sini rupanya."

Berpikir demikian, pria misterius itu melontarkan perintah pada salah satu tangan kanan terbaiknya. "Pulanglah ke Istana! Selidiki apa yang sebenarnya terjadi."

"Baik, Tuan!"

•••••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status