Muhan berjalan mondar-mandir dengan kegelisahan yang merayap. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kehadiran para pengawal yang mengawasi dirinya bagaikan tahanan perang itu berhasil memberdirikan bulu kuduknya. Genap setengah jam pemuda itu dibiarkan menunggu tanpa kepastian selepas menyerahkan mayat Kim Joon, dan dia tak mampu menduga apa yang akan dihadapi setelah ini.
Sebetulnya, nama itu tak terdengar asing dalam pendengaran Muhan. Tadinya dia mengira bahwa seorang Gyeonggukdae yang dibawa merupakan pasukan biasa. Namun setelah penjaga gerbang memberitahu pangkat yang dimiliki oleh mayat yang dibawanya tadi, Muhan dilanda kekalutan yang tak mampu dijabarkan dengan baik.Dia menemukan Panglima Divisi Gyeonggukdae dalam keadaan sekarat. Muhan takkan melupakan rupa genangan darah yang masih membekas di hutan sana. Dari yang terlihat, Muhan mendapati beberapa tusukan pada perut dan paha yang tidak sedikit. Entah pertempuran macam apa yang baru dilakoni oleh Kim Joon, dia merasa harus memberikan pecahan permata naga yang sangat berharga itu kepada Raja.Baru saja berpikir demikian, derap langkah sekumpulan orang mendekatinya. Muhan mendongakkan kepala, terkesiap saat mendapati sosok Raja yang ditemani oleh kasim dan selusin pelayan di belakang mereka. Muhan bersungkur memberi hormat."Kau budak yang menemukan Kim Joon di hutan?" tanya Raja dengan suara berat dan menggelegar.Muhan mengangguk sekali, "Betul, Yang Mulia.""Apa kau menemukan Kim Joon sudah dalam keadaan tidak bernyawa? Atau apakah saat itu dia masih bernapas?""Masih bernapas, Yang Mulia. Dan sebenarnya, Tuan Kim Joon menyerahkan sesuatu kepada saya.""Apa itu?"Secara perlahan, Muhan mengeluarkan sesuatu dari balik pakaian lusuh yang sedari tadi tersimpan begitu rapat. Meskipun Raja sempat memandang jijik atas penampilan Muhan saat ini, pria itu tetap menjaga raut wajahnya yang berwibawa."Ini, Yang Mulia."Raja menyipitkan mata, memindai sesuatu yang berada di atas telapak tangan Muhan. Beberapa detik berpikir, muncul kerlingan berbeda dari mata sang Raja. Pria itu menengadahkan tangan kanan, memberi perintah melalui tatapan tegasnya agar Muhan memindahkan benda tersebut ke tangannya.Menurut, Muhan menyerahkan benda berharga yang memang seharusnya berada di tangan Raja itu. Dengan hati-hati, Raja menyambutnya dilingkupi ketakjuban yang memenuhi seisi dada. Raja memandangi pecahan permata sewarna air itu dengan mulut menganga."Aku tidak pernah melihat permata naga yang secantik ini." Ujar Raja, mengangumi tiap inci pecahan permata tersebut. "Kau mendapatkan ini dari Kim Joon?""Benar, Yang Mulia. Tuan Kim Joon menyerahkan pecahan permata naga itu tepat sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Maaf, saya tidak bisa menyelamatkan Tuan Kim Joon.""Tidak apa-apa." Raja mengulum senyum. "Kim Joon telah melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Mungkin, memang hari ini merupakan hari terakhirnya mengabdi. Tetapi, dia tetap membawakan pecahan permata naga ini untuk Wari. Kau juga sudah melakukan yang terbaik, Nak. Sebagai imbalannya, kami akan memberikan beberapa uang yang bisa kau gunakan untuk membeli pakaian baru.""Tapi—""Adakah sesuatu yang ingin kau berikan selain pecahan permata naga ini, Nak? Apakah ada pesan lainnya?" sela Raja.Muhan mengatupkan bibir rapat-rapat. Entah mengapa, rasanya sengaja mengusirnya. "Ti-tidak, Yang Mulia. Tuan Kim Joon tidak sempat mengatakan apa-apa. Hanya menyerahkan pecahan permata itu dan ...."Raja mengangguk paham. "Ya, saya paham. Sekarang, kau bisa pulang, Nak. Terima kasih karena sudah membawa Kim Joon dan permata ini ke sini."Sesaat setelah berbalik, Kasim Heo menyerahkan sekantung kain sebesar genggaman tangan orang dewasa yang berat dan gemerincing. Isinya tentu saja uang. Begitu keluar dari Istana, Muhan menilik jumlah uang yang diberikan padanya. Hanya memakan waktu lima detik, Muhan cepat-cepat menyimpannya sembari melirik sekitar. Untuk saat ini, menjadi pelit tidak masalah kan?Sementara itu, Raja memasuki Geumjung—kediamannya diikuti oleh Kasim Heo dan ahli permata yang datang untuk memastikan keaslian dari pecahan permata naga yang dibawanya. Seperti yang diharapkan, permata tersebut memang sebuah permata naga yang sangat senantiasa menjadi penopang kemakmuran Tanah Wari.Raja tersenyum semringah, menahan diri agar tidak melambungkan tawa. Di tengah berita kematian Kim Joon, berkah semacam ini berhasil menepis seluruh duka yang bersambang."Ini indah sekali ...."Raja tak bisa berhenti memandang pecahan permata naga yang kini tergeletak di atas kain beludru berbentuk persegi yang memilaukan."Entah pertempuran macam apa yang berhasil mereka lalui, tapi Kim Joon sudah memberikan yang terbaik untuk negeri ini. Termasuk ... permata yang kelewat indah ini.•••••Sekembalinya ke Perguruan, para pemuda-pemudi tengah berlatih mengenakan tongkat di halaman utama. Melihatnya, Muhan sempat terdiam di ambang gerbang. Kalau diperbolehkan, dia sangat ingin memegang tongkat atau pedang barang sekali. Sekadar mengayunkan untuk sedetik pun, Muhan akan sangat bahagia. Tetapi, selama ini Guru Yeom selalu melarangnya. Dia hanya kacung di tempat ini. Tidak seharusnya seorang kacung menggenggam sebuah benda yang sangat berharga—sebut saja senjata.Ah, lalu bagaimana reaksi Guru Yeom saat mengetahui bahwa dia baru saja memegang pecahan permata naga ya? Apakah dia bakal kena omel?"Dari mana saja kau?"Pertanyaan itu menyentakkan Muhan. Tanpa perlu menoleh, Muhan mengenali suara dari Guru Yeom tersebut. Menunduk, dia berusaha agar tak bergerak banyak—yang mana akan mengundang bunyi koin yang bergesekan di balik pakaiannya."Sa-saya baru saja dari Istana, Guru.""Istana?" Guru Yeom mendekat dengan kedua tangan bertaut di belakang tubuhnya. "Apa yang membuat budak rendahan sepertimu mendatangi Istana, wahai Bocah?""Se-sebenarnya ... tadi di hutan, saya ....""Awas!"Muhan berjingkat mundur, menghindari sebuah tongkat yang terbang ke arahnya secara tak terduga. Lantaran terlalu terkejut, Muhan terjatuh dan sekantung uang yang didapatkannya tadi tercecer dengan sendirinya.Guru Yeom menyipitkan mata, mendekat beberapa langkah. "Uang? Dari mana kau mendapatkan uang segini banyaknya, Muhan?"Muhan tergagap, lekas mengambil beberapa koin dalam genggaman. "Sa-saya—""Apa kau baru saja mencurinya?" tuding Guru Yeom. "Oleh karena itu bukannya membawa obat-obatan, justru kau membawa pulang beberapa keping uang hasil curianmu, Muhan?""Ti-tidak, Guru! Guru salah paham! Aku tidak mencurinya! Aku mendapatkannya dari—"Plak!Tak berkesempatan menyelesaikan kalimatnya, Guru Yeom mendaratkan satu tamparan yang lebih sering didapat akhir-akhir ini daripada jatah makan malam. Melihat emosi yang meluap, tampaknya Muhan takkan mendapatkan makan malam pula."Bocah nakal! Aku akan mengurungmu dan tidak memberi makan malam untuk malam ini!"Selepas mengambil uang yang berada dalam genggaman Muhan, Guru Yeom berlalu dan menggembok kamar kecil milik Muhan yang mulanya merupakan tempat menyimpan peralatan kebersihan itu. Terdengar derap langkah Guru Yeom yang kian menjauh, sedangkan keramaian di sekitar Perguruan masih mengudara.Lagi-lagi, Muhan hanya mampu menerima takdirnya yang tak pernah berjalan mulus ini. Meringkuk menghadap pintu, Muhan mempertanyakan untuk apa dia hidup bila tujuan dari kehidupannya ialah penderitaan dan kesengsaraan belaka.Pada akhirnya, sisa hari itu Muhan kembali meratapi nasibnya yang bagaikan banyolan di mata orang lain.•••••Di sisi lain Wari, seseorang berdiri mengenakan jubah hitam kebesaran yang turut menutupi kepalanya. Menjejaki titik yang diduduki oleh Muhan siang tadi, indra penciumannya mulai bekerja pada satu arah.Dari belakang, muncul seorang lagi yang mengenakan pakaian khusus salah satu anggota Pasukan Pemburu Naga dengan kedua pedang yang terlepas dari sarungnya. "Tuan, mayatnya tidak ada di sini. Mungkinkah, Kim Joon berhasil mencapai Wari lebih dulu?""Tidak." Pria berjubah itu berbalik, menampilkan seringai mengerikan yang mampu menerbangkan kegelapan pada tiap mata. "Kim Joon sudah tewas. Aku bisa mencium aroma kematian di hutan ini—dan aroma itu milik Kim Joon. Tetapi, tampaknya ada satu aroma lagi yang bercampur dengan milik Kim Joon."Memiringkan kepala, pria itu menatap ujung alas kakinya. Sepasang matanya menyipit, menyadari adanya bekas asing yang tertangkap oleh radarnya. "Apa ini? Seseorang juga duduk di sini rupanya."Berpikir demikian, pria misterius itu melontarkan perintah pada salah satu tangan kanan terbaiknya. "Pulanglah ke Istana! Selidiki apa yang sebenarnya terjadi.""Baik, Tuan!"•••••Muhan kembali bergelut dalam dunianya yang menyedihkan. Ketika pemuda-pemudi seusianya sibuk mengasah kemampuan bela diri dan sihir masing-masing agar dapat menjadi bagian dari Pasukan Pemburu Naga, Muhan hanya mampu memandang keseharian yang menyesakkan itu dengan segudang kehampaan. Sudut matanya menangkap dua baris orang yang duduk bersila seraya mengeluarkan aura berwarna-warni dari tubuh mereka. Dipimpin oleh Guru Yeom, sesi tersebut dinamakan Peningkatan Him. Andai saja Muhan memiliki Him, dapat dipastikan dia akan melakukannya seorang diri.Sayangnya, Guru Yeom telah memberitahu bahwa tubuhnya tak memiliki Him Kera sekali pun—Him dari rakyat biasa yang masih bisa diasah dan ditingkatkan. Him Kera dapat menjangkau kelas Gyeomsabok hingga Jungrowi. Semisal Muhan memiliki sedikit Him saja, dia sudah sangat bersyukur. Asalkan tak hidup terus menerus dalam lubang yang sama seperti ini.Dukk!"Aw!" Muhan mengusap-usap kepalanya seraya mendongak, mencari asal atas sesuatu yang mengha
Muhan yakin seratus persen, dia tidak berbuat salah apa pun sampai harus dipanggil ke Istana lagi. Apa dikarenakan oleh belati yang masih dibawanya itu? Astaga bisa saja! Tetapi mau kembali ke Perguruan untuk mengambil belati itu pun tidak mungkin. Dia sudah melewati gerbang utama, diikuti oleh Guru Yeom yang mendampingi, barangkali Muhan mau disembelih—kelakar Roah yang tidak masuk akal pun mulai menyambangi.Melewati gerbang utama, Guru Yeom dan Muhan menuju salah satu ruangan di paviliun tamu. Tiap langkah yang tertuai, Muhan takut apabila setelah ini akan diseret ke depan Rumah Penghakiman dan berakhir mendekam di balik penjara bawah tanah. Diam-diam merutuki diri sendiri pula, lantaran tak membawa belati yang dapat bersinar di kamarnya itu secara sadar."Selamat Pagi, Guru Yeom!"Muhan mengerjap-ngerjapkan mata, lantas menunduk hormat setelah menyadari kedatangan Raja dan para Panglima dari Pasukan Pemburu Naga yang lain. Sepertinya mereka baru saja datang, sebab kemarin para pen
"AKAN KUBUNUH KAU, BUDAK RENDAHAN!!!"Clang!Entah mendapat keberanian dari mana, Muhan menahan kepala anjing paling tengah menggunakan pedang bercahaya dalam genggamannya itu. Dengan napas tersengal-sengal, Muhan berusaha mendorong si kepala anjing yang berada dalam jangkuannya sejauh mungkin agar dapat dikalahkan oleh Guru Yeom.Selagi terpusat pada si tengah, dua kepala anjing lainnya disibukkan oleh sodoran pedang dan tali dari Panglima Naegeumwi yang sadar lebih dulu. Muhan terhenyak, terkejut sendiri atas sejumput kekuatan yang mendorongnya untuk tetap bertahan. Guru Yeom bergegas mencari belati hitam yang bersembunyi di balik jubah abu-abu kebanggaannya, lantas melemparkan belati tersebut hingga mengenai jantung si Cerberus yang terlihat oleh pandangan.Cerberus tersebut masih mengenakan pakaian yang dikenakan oleh Panglima Howechung tadi. Dengan tiga kepala masih berhadapkan kesibukan masing-masing, sosoknya menggelinjang seperti terkena kejut listrik bertegangan tinggi. Peda
"Cerberus itu berasal dari dataran Yunhan, tetapi bagaimana caranya roh siluman itu bisa menetap pada tubuh Panglima Howechung?" tanya Guru Yeom kepada dua panglima yang menaruh kebingungan sama besar. Sekembalinya Raja ke Geumjung—kediaman utama Raja, Guru Yeom beserta kedua pangilma tersebut tetap berada di paviliun tamu di tengah sisa kekacauan yang masih terpampang nyata. Mereka bertiga membentuk suatu lingkaran yang menutupi meja sepinggang dari pandangan Muhan. Muhan mengembuskan napas perlahan. Selepas keterkejutan yang menghampirinya berangsur merendah, pemuda itu berdiri di ambang pintu sembari memandang sepasang telapak tangannya. Siapa yang mengira bila dia memiliki kemampuan seorang Gyeonggukdae?Belum lagi, Raja langsung menyuruh Kasim Heo untuk mengikutsertakan namanya sebagai calon peserta Pasukan Pemburu Naga yang akan diseleksi sebentar lagi. Mengetahui dirinya diperbolehkan memegang salah satu pedang saja sudah sangat membahagiakan. Lalu menjadi calon peserta? Enta
Mengitari lembah dari barat ke timur maupun sebaliknya, ternyata tidak semudah itu. Terdapat alasan mengapa hutan yang dijejakinya itu rawan saat malam. Di dalamnya dihuni begitu banyak binatang buas yang bertugas menjaga hutan dari terkaman musuh. Kabarnya para penjaga hutan itu mampu mengenali para kesatria yang berperan besar bagi kerajaan.Mereka tidak akan menyerang Pasukan Pemburu Naga, lantaran mengenali aura hanya berdasarkan derap langkah yang terdengar. Muhan bukanlah salah satu anggota Pasukan Pemburu Naga. Kebetulan yang membuatnya dapat mengeluarkan kemampuan seorang Gyeonggukdae saja masih dipertanyakan. Itulah mengapa, para penjaga hutan masih menganggap Muhan sebagai gangguan atau mangsa empuk.Hari pertama tidak berjalan baik. Muhan kembali ke titik di mana Guru Yeom duduk bersila sesaat setelah terbenamnya matahari. Penjaga hutan yang ganas-ganas itu tidak akan melepaskan satu target yang sudah mereka putuskan. Maka saat matahari telah memperlihatkan diri sepenuhnya,
"SIALAN KAUUU!!!!"Brakk!!Seisi kantin yang tadinya mulai berdengung untuk mengata-ngatai kehadiran Muhan di aula makan, langsung terpaku setelah seruan penuh keterkejutan mengudara.Bukan—bukan disebabkan oleh Muhan yang terlempar ke salah satu meja dengan wajah sebagai tumpuan, tetapi sebaliknya. Muhan yang melempar Woon begitu mudah, seolah-olah perundungnya itu seringan kapas.Muhan berdiri dengan napas terengah-engah, memindai sekeliling yang menganga. Bahkan dia mendapati Shim Gyeong yang mengerutkan kening, tak menduga akan keberanian serta kekuatan yang Muhan miliki.Semua orang mengetahui betapa lemahnya Muhan. Disenggol sedikit saja oleh anak yang memiliki Him, pemuda itu bisa oleng sampai berciuman dengan tanah. Tetapi sekarang, Muhan mampu melempar Woon yang tentunya skenario semacam itu tidak pernah terlintas dalam benak siapa pun."Sial! Apa yang baru saja kaulakukan, hah?!" Salah satu anggota perundung melontarkan sepasang sumpit yang tiba-tiba saja berubah menjadi dua
"Salah satu permata naga yang disimpan oleh Raja dicuri oleh seseorang!""Apa? Yang benar saja? Bagaimana bisa? Bukannya tempat penyimpanan permata naga berada di Geumjung?""Sepagian ini, Raja mengamuk dan membunuh salah satu penjaga langsung di tempat." Seorang kurir berpakaian compang-camping menyerahkan gulungan sutra terakhir pada Guru Yeom. "Maka dari itu, Selir Seo sedang berusaha untuk menenangkan Raja sekarang ini. Beliau meminta maaf sebab tidak bisa mengobrol dengan Guru Yeom."Guru Yeom manggut-manggut. Hari ini, dikarenakan kondisi Muhan masih terlalu lemah, Guru Yeom tetap berada di Perguruan. Begitu juga dengan Muhan yang berolahraga kecil-kecilan di depan kamar kecilnya.Selepas menerima sutra kiriman Selir Seo sebagai bentuk terima kasih yang senantiasa diterima setiap bulannya, Guru Yeom mendatangi Muhan. Sama seperti semalam, wajah pemuda itu terlihat pucat dan menyedihkan."Apakah ini yang dilakukan oleh seorang Gyeonggukdae, Muhan? Bermalas-malasan? Tidakkah kau m
"Ya, kau akan mengikuti latihan perburuan pertama pada malam hari ini, Muhan."Bagai mendapatkan sekarung penuh koin, Muhan terlonjak dari duduknya. Pemuda itu mendekati Guru Yeom dengan mata berbinar cerah. "Benarkah, Guru? Apa itu artinya saya akan mulai menggunakan pedang? Selama ini saya belum memegang pedang yang Guru berikan.""Setelah menguasai bela diri dan Him yang ada dalam tubuhmu, kau akan andal menggunakan pedang dengan sendirinya, Muhan. Memang tidak secara instan, tetapi kau bisa mengendalikan kekuatan itu melalui pergerakan pedangmu." Jelas Guru Yeom. "Jadi, semisal nanti malam kau tetap bersikeras membawa pedang, bawa saja! Tapi aku tidak yakin kau bisa menggunakannya dengan baik nanti.""Ah, itu tenang saja, Guru!" Muhan melirik Yidan yang duduk bersila di bawah pohon sembari mengelap tongkat kebanggaannya. "Yidan sudah mengajari saya beberapa hal yang bisa saya lakukan dengan pedang, Guru. Yah, walaupun kami berlatih menggunakan ranting."Guru Yeom menggelengkan kep