Beranda / Pendekar / Sang Pemburu Naga / 04. Belati yang Berkilauan

Share

04. Belati yang Berkilauan

Penulis: Hannfirda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-10 22:06:00

Muhan kembali bergelut dalam dunianya yang menyedihkan. Ketika pemuda-pemudi seusianya sibuk mengasah kemampuan bela diri dan sihir masing-masing agar dapat menjadi bagian dari Pasukan Pemburu Naga, Muhan hanya mampu memandang keseharian yang menyesakkan itu dengan segudang kehampaan.

Sudut matanya menangkap dua baris orang yang duduk bersila seraya mengeluarkan aura berwarna-warni dari tubuh mereka. Dipimpin oleh Guru Yeom, sesi tersebut dinamakan Peningkatan Him. Andai saja Muhan memiliki Him, dapat dipastikan dia akan melakukannya seorang diri.

Sayangnya, Guru Yeom telah memberitahu bahwa tubuhnya tak memiliki Him Kera sekali pun—Him dari rakyat biasa yang masih bisa diasah dan ditingkatkan. Him Kera dapat menjangkau kelas Gyeomsabok hingga Jungrowi. Semisal Muhan memiliki sedikit Him saja, dia sudah sangat bersyukur. Asalkan tak hidup terus menerus dalam lubang yang sama seperti ini.

Dukk!

"Aw!" Muhan mengusap-usap kepalanya seraya mendongak, mencari asal atas sesuatu yang menghantam kepalanya dari belakang. Terdengar derap langkah bersamaan. Dalam hati, Muhan membatin; apakah dia akan mendapatkan pelajaran baru dari anak-anak lain seperti biasanya? Sebuah pelajaran yang sangat dibencinya.

"Hei! Ke mana saja kau kemarin? Mau kabur dari kami, iya?" salah satu pemuda mendorong ujung tongkatnya pada bahu Muhan, lantas tertawa pelan diikuti pemuda lainnya. "Kacung sepertimu, memangnya mau jalan-jalan ke mana, hah? Kau lupa? Seharusnya kau memijat kami semua kemarin."

"Aku ke Istana."

"Ha? Apa?" pemuda yang terlihat seperti pemimpin di antara kumpulan tersebut menggelengkan kepala, memberi tatapan meremehkan. "Untuk apa manusia bodoh dan rendah sepertimu datang ke Istana, hah? Meminta sumbangan? Oh! Itulah kenapa kau dikurung oleh Guru Yeom—karena sudah sembarangan meminta sumbangan atas nama Perguruan. Iya? Wah! Anak ini harus kita beri pelajaran teman-teman!"

Seolah satu pikiran, kumpulan yang terdiri dari lima pemuda itu menendang kaki Muhan tanpa ampun. Terlalu keras, Muhan terjatuh walaupun ingin tetap berdiri untuk membuktikan bahwa dia tidak selemah yang mereka pikirkan. Tetapi, dari kekuatan fisik dalam maupun luar pun dia sudah kalah. Kelima pemuda yang sedari dulu menganggunya tiada henti itu mengetahui bahwa dirinya memang selemah dan tak seberdaya itu.

Bergelung bagaikan janin dalam rahim ibu, Muhan memergoki keberadaan seseorang yang berdiri di balik salah satu pohon. Pemilik Him Singa yang paling hebat di Perguruan, serta merupakan anggota keluarga kerajaan yang sangat dikenal oleh banyak orang.

Namanya Shim Gyeong, anak dari Selir Seo yang disegani oleh kebanyakan penduduk Tanah Wari. Dari tempatnya berdiri, Shim Gyeong mendengus bosan. Tak berniat menolong atau melerai. Dalam arti lain, tampaknya Shim Gyeong cukup menikmati perundungan yang Muhan alami.

Tanpa sadar, Muhan mengepalkan tangan. Tatapan merendahkan yang dilayangkan Shim Gyeong membuatnya geram. Detak jantungnya berlari kian cepat, seakan-akan tengah memompa sesuatu dari dalam diri Muhan untuk segera dilepaskan.

Detik berikutnya, Muhan berseru seperti orang kesetanan. Mendorong lima pemuda yang menendangnya dengan membabi buta. Lawannya terkejut akan keberanian Muhan. Namun menyadari bahwa Muhan merupakan manusia biasa yang tak pandai dalam hal apa pun, mereka melawannya balik. Sehingga dapat diperkirakan, Muhan kalah—lagi.

Pertempuran kecil-kecilan yang berat sebelah itu diakhiri oleh kedatangan seseorang yang cukup mereka takuti. Muhan terbatuk. Sudut pipi kanannya berdarah, sampai-sampai dia menyesal sudah membuka mulut lebar-lebar. Begitu kelima perundung itu berlalu, sebuah tangan terulur padanya.

Tak mau repot-repot mendongak, Muhan menepis tangan seseorang yang hendak menolongnya itu. Dengan susah payah, Muhan mencoba berdiri meski badannya terasa remuk. Seseorang yang mengulurkan tangan tadi pun bersedekap, memukul pelan bahu Muhan menggunakan ujung busur yang dibawa.

"Sama-sama."

Muhan melirik sinis. "Aku tidak butuh bantuanmu, Roah."

"Oh ya," gadis pembawa busur itu mengendikkan bahu. "Cara yang unik untuk berterima kasih."

"Buat apa menghentikan mereka? Bukannya kalian semua menyukainya?" tuding Muhan.

"Jangan samakan aku dengan manusia-manusia tidak beradab itu dong!" Roah mengembuskan napas perlahan, menyejajari Muhan yang berjalan sempoyongan. "Mau kubantu?"

"Jangan dekat-dekat!"

Muhan berhenti, memberi tanda mencegah pada anak dari pemilik Perguruan yang ajaibnya mau berbicara dengannya itu.

"Nanti kalau luka-lukanya membesar, bagaimana? Kau bisa mengobatinya?" tanya Roah, memastikan sekali lagi.

"Kau tau sendiri kalau aku sudah sering mengalami hal seperti ini kan? Sudahlah! Kembali latihan saja sana! Aku akan mengurus luka-lukaku sendiri. Jangan ikut campur!"

Sebelum Muhan memasuki kamarnya, dia mendapati sosok Shim Gyeong yang bersandar pada salah satu pohon dengan senyum timpang yang menyebalkan. Muhan berdecak kesal, memilih untuk menyingkir dari pandangan Shim Gyeong. Belum lagi, bisa-bisa emosinya mendidih kalau tidak lekas dicegah.

Di dalam kamar, Muhan melepas pakaian atasnya dan memindai beberapa bekas pukulan serta tendangan yang akan berubah ungu. "Pagi yang buruk!"

Mengedar sepenjuru kamar yang tak luas itu, Muhan teringat bahwa dia memiliki sesuatu yang disembunyikan di antara lipatan alas tidurnya. Sebuah belati yang diberikan oleh mendiang Kim Joon sesaat sebelum mengembuskan napas terakhirnya.

Penasaran, Muhan mendekati tumpukan alas tidurnya yang tidak terlalu tebal itu. Sarung belati tersebut bersalurkan warna emas yang berkilauan—barangkali saja memang emas sungguhan. Tidak terlalu berat, sehingga bisa dengan mudah dibawa ke mana pun. Bahkan oleh mendiang Kim Joon yang sekarat kala itu.

Pada pegangannya tersemat sebuah simbol yang tidak Muhan ketahui. Seperti cakar elang, atau naga? Menggelengkan kepala, Muhan lebih tertarik untuk menilik bagaimana rupa belati yang sebenarnya. Ditariknya secara perlahan, namun sebuah dorongan dari belati tersebut menyentakkan Muhan hingga jatuh tersungkur.

"Akhh!"

Mengerutkan kening, seberkas cahaya memenuhi kamarnya. Mencoba duduk, rupanya cahaya tersebut berasal dari belati tersebut. Terpana, pemuda itu tak mampu bersuara seolah-olah cahaya yang menyinarinya itu berhasil mencuri segala kosakata yang ada.

Mendekat, kini belati tersebut berada dalam genggaman tangan kanannya. "Menakjubkan! Ba-bagaimana bisa? Ini hanya belati biasa kan?"

Terpekur mengamati belati lamat-lamat, mendadak sesuatu dalam perutnya bergejolak. Cepat-cepat menyarungkan belati dan menyimpannya di tempat sebelumnya. Kemudian pemuda itu menyibak pintu kamarnya, keluar untuk menumpahkan sesuatu melewati mulut.

Anehnya, yang keluar bukanlah roti hasil sarapan pagi tadi, atau darah akibat pukulan bertubi-tubi yang didapat beberapa saat lalu. Melainkan, sebuah cairan kehitaman yang tampak asing dan mengerikan di mata Muhan.

"A-apa ini? Kenapa muntahannya berwarna hitam? Ini darah atau bukan?"

Entah mengapa, Muhan tak merasakan nyeri pada luka-lukanya. Bahkan tubuhnya terasa ringan, seperti kapas yang berterbangan tertiup angin. Muhan menggerakkan kedua lengannya secara bergantian. Tidak sakit sama sekali.

"Bagaimana bisa? Aku belum mengobatinya sama sekali. Tapi kenapa ...."

"Muhan!"

Meski masih kebingungan, Muhan menoleh ke arah si pemanggil. Rupanya Roah datang bersama Guru Yeom. "Kau dipanggil ke Istana."

"Ha? Aku? Ada apa lagi?"

•••••

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Pemburu Naga   41. [Mansil] Penghuni Gua

    Muhan dan Kihong tersentak. Dari sudut lain gua, mereka mendapati sosok yang berdiri di tengah kegelapan. Sosok tersebut mengambang, bagai hologram berwarna merah pudar yang siap menguap sewaktu-waktu. Muhan mendekat, sementara Kihong mematung di tempatnya. Sosok tersebut mengenakan pakaian lusuh, seperti penduduk pada umumnya. Berambut panjang, yang terlihat ujungnya dipotong tak beraturan. Memindai dari atas sampai bawah, Muhan menyadari bahwa sosok tersebut merupakan wanita yang tampak seperti korban dari sebuah peperangan memilukan."Hei? Apakah kau yang meminta tolong kepada kami sedari tadi?" tanya Muhan, berusaha ramah meskipun terlihat menggelikan di mata Kihong."Muhan! Apa yang kaulakukan? Dia itu hantu! Mau apa kau menolong sesosok hantu?" bisik Kihong setengah putus asa.Muhan memberi tanda bagi Kihong untuk diam, sedangkan langkahnya kian dekat pada sosok tersebut. Sosok itu tersenyum tipis, yang mana memperlihatkan sudut pipinya yang berdarah, seperti hendak disobek."K

  • Sang Pemburu Naga   40. [Mansil] Teror di Perkemahan

    Teriakan seorang pemuda yang berhasil menyentakkan kesadaran Panglima Naegeumwi itu turut mengejutkan Roah. Keduanya mematung, saling melempar tatapan ngeri."Apakah kau mendengarnya, Panglima?" tanya Roah. Pertanyaan tersebut masih bercampur aduk dalam pendengaran Panglima Naegeumwi sebab nyanyian pada isi kepalanya masih menguasai."Aku mendengarnya—tapi ... kenapa rasanya aneh sekali? Kenapa hanya terdengar satu jeritan saja? Kenapa yang lain ... ah? Apakah karena nyanyian yang berbunyi di dalam kepala kita ini?" terka Panglima Naegeumwi."Benar, Panglima. Sejak tadi, saya kesusahan untuk memghilangkan nyanyiannya." Balas Roah."Mari kita sumpal sebentar menggunakan kain atau apa pun itu!" Panglima Naegeumwi mengedar pandang, mencari selembar kain yang bisa disobek untuk dibagi dua dengan Roah. "Dengan begini, paling tidak kita suara nyanyiannya sedikit tidak jelas. Sekarang, kita harus mencari siapa dalangnya."Berusaha tetap tegar dan baik-baik saja, keduanya keluar dari tenda. J

  • Sang Pemburu Naga   39. [Mansil] Gua Misterius

    Berdasarkan pergerakan Ha-rang yang menunjuk ke bagian lain hutan, Muhan dan Kihong berhenti di depan sebuah gua misterius yang berada di pinggir sungai. Entah bagaimana caranya mereka bisa menjejaki tempat tersebut, Muhan berjalan begitu saja tanpa berpikir lebih."Kenapa kita bisa ada di sini?" tanya Kihong kebingungan. "Ini gua yang aneh. Kau mau masuk untuk memeriksanya?""Kau sedang menawarkan atau memang bertanya?" timpal Muhan."Aku menawarkanmu untuk masuk saja, Muhan. Sementara itu, aku akan menunggu di luar sini untuk berjaga-jaga. Oh iya, omong-omong, sejak kita menjauh dari perkemahan, nyanyian itu sudah tidak terdengar lagi." Ungkap Kihong.Muhan mengangguk mengiyakan. Memang benar, sekarang dia sudah tak mendengar nyanyian yang secara ajaib menghuni isi kepalanya itu.Menyadari bila dia harus mengecek gua tersebut secepat mungkin, Muhan memberi tanda bagi Kihong untuk menunggu selama beberapa saat. Berbekalkan pencahayaan minim dari belati istimewanya, Muhan juga mendapa

  • Sang Pemburu Naga   38. [Mansil] Nyanyian di Malam Hari

    Muhan memiringkan kepala selepas mendudukkan dirinya di samping Yidan. Malam kian larut. Dia baru saja membantu berburu rusa, lalu menguliti mereka agar bisa segera disantap. Begitu menuju ke tengah api unggun, Muhan memandangi sebongkah kayu yang berangsur menghilang menjadi sekumpulan abu tak berharga."Seharusnya ... menjadi seperti itu kan?""Apanya?" bingung Yidan sembari melahap dua butir anggur yang dengan ajaibnya menjulur di salah satu rumah. Namun pemuda itu dengan cepat mengeluarkannya lagi, sebab buahnya belum benar-benar masak.Muhan mendengus, menggelengkan kepala. "Paling cuma firasatku saja. Kau makan apa itu?""Jangan! Tidak enak! Kau tidak akan menyukainya—asam sekali." Timpal Yidan.Bertepatan saat itu, Roah lewat bersama Shim Gyeong. Mereka akan melakukan penjagaan di sisi timur perkemahan pada sesi kedua itu. "Hai, Muhan! Yidan! Ah, aku ingin mengbrol dengan kalian, tapi aku harus berjaga." Kata Roah, kemudi

  • Sang Pemburu Naga   37. [Mansil] Desa tak Berpenghuni

    Rombongan Pasukan Pemburu Naga menuju sisi barat daya sejak melepaskan diri dari Hutan Perbatasan. Sepanjang perjalanan awal itu, Muhan tak bisa menemukan Moque—serigala bersayap yang pernah membantunya saat latihan berburu tempo hari.Ketika Muhan benar-benar melewati garis perbatasan, pemuda itu mengulum senyum. Dia masih tidak menyangka akan kesempatan luar biasa ini. Sedari dulu, dia hanya akan berada di sisi hutan yang aman, mencari tanaman yang mampu digunakan sebagai obat-obatan, lalu membersihkan Perguruan sampai benar-benar bersih.Sekarang, dia telah menjadi Pasukan Pemburu Naga yang tersohor dan mengemban tugas besar. Kalau boleh jujur, dia sendiri tidak sabar untuk melihat Naga Neraka yang lain."Omong-omong," Muhan membuka suara, mendekatkan diri ke arah Panglima Gyeonggukdae yang baru itu. "Berarti kita akan melewati Mansil?""Hm, betul! Kau pasti sudah menghafal wilayah lainnya saat berlatih dengan Panglima Naegeumwi kan? Kita meman

  • Sang Pemburu Naga   36. Keberangkatan Pasukan Terbaru

    Muhan keluar sebagai peringkat pertama.Kenyataan tersebut menghantam dada Shim Gyeong dengan begitu kuat dan memilukan. Sebab bagaimana bisa? Seorang pemuda yang kebetulan mempunyai Him setelah sekian lamanya dirundung, lalu dengan keberuntungan besar mampu memusnahkan Naga Neraka tanpa latihan bertahun-tahun lamanya, justru mendulang peringkat pertama? Hal yang selama ini sangat Shim Gyeong inginkan?Masih dikuasai oleh keterkejukan, Muhan menaiki panggung. Pemuda itu sendiri bisa merasakan tatapan tajam bercampur protes yang tertambat padanya tanpa ampun."Selamat, Muhan!" Raja memejamkan mata sejenak untuk menyalurkan doa kemakmuran atas pencapaian pemuda itu. "Kau adalah peringkat pertama yang lulus dengan evaluasi khusus.""Ka-kalau hamba boleh tau, apa itu evaluasi khusus, Yang Mulia?" tanya Muhan setengah berbisik selepas menerima Hopae miliknya.Raja tersenyum samar. "Kau mengalahkan satu Naga Neraka dan berhasil mendapatkan permatanya yang berguna untuk melindungi Wari, Muha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status