Share

04. Belati yang Berkilauan

Muhan kembali bergelut dalam dunianya yang menyedihkan. Ketika pemuda-pemudi seusianya sibuk mengasah kemampuan bela diri dan sihir masing-masing agar dapat menjadi bagian dari Pasukan Pemburu Naga, Muhan hanya mampu memandang keseharian yang menyesakkan itu dengan segudang kehampaan.

Sudut matanya menangkap dua baris orang yang duduk bersila seraya mengeluarkan aura berwarna-warni dari tubuh mereka. Dipimpin oleh Guru Yeom, sesi tersebut dinamakan Peningkatan Him. Andai saja Muhan memiliki Him, dapat dipastikan dia akan melakukannya seorang diri.

Sayangnya, Guru Yeom telah memberitahu bahwa tubuhnya tak memiliki Him Kera sekali pun—Him dari rakyat biasa yang masih bisa diasah dan ditingkatkan. Him Kera dapat menjangkau kelas Gyeomsabok hingga Jungrowi. Semisal Muhan memiliki sedikit Him saja, dia sudah sangat bersyukur. Asalkan tak hidup terus menerus dalam lubang yang sama seperti ini.

Dukk!

"Aw!" Muhan mengusap-usap kepalanya seraya mendongak, mencari asal atas sesuatu yang menghantam kepalanya dari belakang. Terdengar derap langkah bersamaan. Dalam hati, Muhan membatin; apakah dia akan mendapatkan pelajaran baru dari anak-anak lain seperti biasanya? Sebuah pelajaran yang sangat dibencinya.

"Hei! Ke mana saja kau kemarin? Mau kabur dari kami, iya?" salah satu pemuda mendorong ujung tongkatnya pada bahu Muhan, lantas tertawa pelan diikuti pemuda lainnya. "Kacung sepertimu, memangnya mau jalan-jalan ke mana, hah? Kau lupa? Seharusnya kau memijat kami semua kemarin."

"Aku ke Istana."

"Ha? Apa?" pemuda yang terlihat seperti pemimpin di antara kumpulan tersebut menggelengkan kepala, memberi tatapan meremehkan. "Untuk apa manusia bodoh dan rendah sepertimu datang ke Istana, hah? Meminta sumbangan? Oh! Itulah kenapa kau dikurung oleh Guru Yeom—karena sudah sembarangan meminta sumbangan atas nama Perguruan. Iya? Wah! Anak ini harus kita beri pelajaran teman-teman!"

Seolah satu pikiran, kumpulan yang terdiri dari lima pemuda itu menendang kaki Muhan tanpa ampun. Terlalu keras, Muhan terjatuh walaupun ingin tetap berdiri untuk membuktikan bahwa dia tidak selemah yang mereka pikirkan. Tetapi, dari kekuatan fisik dalam maupun luar pun dia sudah kalah. Kelima pemuda yang sedari dulu menganggunya tiada henti itu mengetahui bahwa dirinya memang selemah dan tak seberdaya itu.

Bergelung bagaikan janin dalam rahim ibu, Muhan memergoki keberadaan seseorang yang berdiri di balik salah satu pohon. Pemilik Him Singa yang paling hebat di Perguruan, serta merupakan anggota keluarga kerajaan yang sangat dikenal oleh banyak orang.

Namanya Shim Gyeong, anak dari Selir Seo yang disegani oleh kebanyakan penduduk Tanah Wari. Dari tempatnya berdiri, Shim Gyeong mendengus bosan. Tak berniat menolong atau melerai. Dalam arti lain, tampaknya Shim Gyeong cukup menikmati perundungan yang Muhan alami.

Tanpa sadar, Muhan mengepalkan tangan. Tatapan merendahkan yang dilayangkan Shim Gyeong membuatnya geram. Detak jantungnya berlari kian cepat, seakan-akan tengah memompa sesuatu dari dalam diri Muhan untuk segera dilepaskan.

Detik berikutnya, Muhan berseru seperti orang kesetanan. Mendorong lima pemuda yang menendangnya dengan membabi buta. Lawannya terkejut akan keberanian Muhan. Namun menyadari bahwa Muhan merupakan manusia biasa yang tak pandai dalam hal apa pun, mereka melawannya balik. Sehingga dapat diperkirakan, Muhan kalah—lagi.

Pertempuran kecil-kecilan yang berat sebelah itu diakhiri oleh kedatangan seseorang yang cukup mereka takuti. Muhan terbatuk. Sudut pipi kanannya berdarah, sampai-sampai dia menyesal sudah membuka mulut lebar-lebar. Begitu kelima perundung itu berlalu, sebuah tangan terulur padanya.

Tak mau repot-repot mendongak, Muhan menepis tangan seseorang yang hendak menolongnya itu. Dengan susah payah, Muhan mencoba berdiri meski badannya terasa remuk. Seseorang yang mengulurkan tangan tadi pun bersedekap, memukul pelan bahu Muhan menggunakan ujung busur yang dibawa.

"Sama-sama."

Muhan melirik sinis. "Aku tidak butuh bantuanmu, Roah."

"Oh ya," gadis pembawa busur itu mengendikkan bahu. "Cara yang unik untuk berterima kasih."

"Buat apa menghentikan mereka? Bukannya kalian semua menyukainya?" tuding Muhan.

"Jangan samakan aku dengan manusia-manusia tidak beradab itu dong!" Roah mengembuskan napas perlahan, menyejajari Muhan yang berjalan sempoyongan. "Mau kubantu?"

"Jangan dekat-dekat!"

Muhan berhenti, memberi tanda mencegah pada anak dari pemilik Perguruan yang ajaibnya mau berbicara dengannya itu.

"Nanti kalau luka-lukanya membesar, bagaimana? Kau bisa mengobatinya?" tanya Roah, memastikan sekali lagi.

"Kau tau sendiri kalau aku sudah sering mengalami hal seperti ini kan? Sudahlah! Kembali latihan saja sana! Aku akan mengurus luka-lukaku sendiri. Jangan ikut campur!"

Sebelum Muhan memasuki kamarnya, dia mendapati sosok Shim Gyeong yang bersandar pada salah satu pohon dengan senyum timpang yang menyebalkan. Muhan berdecak kesal, memilih untuk menyingkir dari pandangan Shim Gyeong. Belum lagi, bisa-bisa emosinya mendidih kalau tidak lekas dicegah.

Di dalam kamar, Muhan melepas pakaian atasnya dan memindai beberapa bekas pukulan serta tendangan yang akan berubah ungu. "Pagi yang buruk!"

Mengedar sepenjuru kamar yang tak luas itu, Muhan teringat bahwa dia memiliki sesuatu yang disembunyikan di antara lipatan alas tidurnya. Sebuah belati yang diberikan oleh mendiang Kim Joon sesaat sebelum mengembuskan napas terakhirnya.

Penasaran, Muhan mendekati tumpukan alas tidurnya yang tidak terlalu tebal itu. Sarung belati tersebut bersalurkan warna emas yang berkilauan—barangkali saja memang emas sungguhan. Tidak terlalu berat, sehingga bisa dengan mudah dibawa ke mana pun. Bahkan oleh mendiang Kim Joon yang sekarat kala itu.

Pada pegangannya tersemat sebuah simbol yang tidak Muhan ketahui. Seperti cakar elang, atau naga? Menggelengkan kepala, Muhan lebih tertarik untuk menilik bagaimana rupa belati yang sebenarnya. Ditariknya secara perlahan, namun sebuah dorongan dari belati tersebut menyentakkan Muhan hingga jatuh tersungkur.

"Akhh!"

Mengerutkan kening, seberkas cahaya memenuhi kamarnya. Mencoba duduk, rupanya cahaya tersebut berasal dari belati tersebut. Terpana, pemuda itu tak mampu bersuara seolah-olah cahaya yang menyinarinya itu berhasil mencuri segala kosakata yang ada.

Mendekat, kini belati tersebut berada dalam genggaman tangan kanannya. "Menakjubkan! Ba-bagaimana bisa? Ini hanya belati biasa kan?"

Terpekur mengamati belati lamat-lamat, mendadak sesuatu dalam perutnya bergejolak. Cepat-cepat menyarungkan belati dan menyimpannya di tempat sebelumnya. Kemudian pemuda itu menyibak pintu kamarnya, keluar untuk menumpahkan sesuatu melewati mulut.

Anehnya, yang keluar bukanlah roti hasil sarapan pagi tadi, atau darah akibat pukulan bertubi-tubi yang didapat beberapa saat lalu. Melainkan, sebuah cairan kehitaman yang tampak asing dan mengerikan di mata Muhan.

"A-apa ini? Kenapa muntahannya berwarna hitam? Ini darah atau bukan?"

Entah mengapa, Muhan tak merasakan nyeri pada luka-lukanya. Bahkan tubuhnya terasa ringan, seperti kapas yang berterbangan tertiup angin. Muhan menggerakkan kedua lengannya secara bergantian. Tidak sakit sama sekali.

"Bagaimana bisa? Aku belum mengobatinya sama sekali. Tapi kenapa ...."

"Muhan!"

Meski masih kebingungan, Muhan menoleh ke arah si pemanggil. Rupanya Roah datang bersama Guru Yeom. "Kau dipanggil ke Istana."

"Ha? Aku? Ada apa lagi?"

•••••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status