Share

06

"Apa yang kamu lakukan disini?" Muka Reni berubah tegang. 

"Apa maksud kamu, Nona? Tentu saja saya datang untuk memenuhi undangan wawancara saya." Jezin berdiri balas menatap Reni dengan wajah tanpa bersalah. Senyum kemenangan terukir di wajah tampannya. 

Reni kelimpungan. Ia tidak menyangka pria mesum yang berdiri di depannya ini adalah tamu kehormatan di kantornya. 

Reni memegang kepalanya bingung. Ingin rasanya dia membatalkan sesi wawancara ini. Tapi bagaimana bisa? Dia hanya seorang penyiar disini. Dia tidak punya hak. Lagi pula, dia akan langsung ditendang dari kantor jika melakukan kesalahan dengan tamu terhormat ini. 

"Buat diri Anda nyaman Tuan. Perkenalkan, ini Reni. Penyiar terbaik di stasiun kami. Reni yang akan menemani Anda dalam sesi wawancara, Tuan." Produser menghampiri Reni dan Jezin. 

Reni hanya diam membatu. Jezin merespon dengan senyuman miringnya. 

"Kenapa, Reni?" Produser melihat wajah ditekuk Reni. 

"Tidak ada apa-apa, Pak."

"Lakukan wawancaranya dengan baik. Buat Tuan Jezin merasa nyaman."

"Baik, Pak."

Produser sedikit membungkuk ke arah Jezin, lalu berlalu meninggalkan mereka berdua. Jezin semakin di atas angin. Dia kembali duduk dengan angkuhnya. 

"Aku tidak ingin melakukan wawancara ini sebelum kau menepati janjimu yang kau ingkari." Jezin membuka suara. 

"Bagus. Itu artinya saya tidak akan buang-buang waktu saya dengan Anda, Tuan."

"Dan itu artinya, kau akan menanggung semua akibatnya sendiri. Apa kau tau, aku adalah tamu yang sangat dinanti di stasiun radio ini. Jika sesi wawancaraku batal disini, sudah bisa dipastikan, berita buruk tentang stasiun radio ini akan tersebar di seluruh pelosok." Jezin melipat kedua lengannya di depan dada. Sangat puas melihat kebingungan Reni yang terbingkai jelas di wajahnya. 

"Bagaimana, Nona? Haruskah aku keluar sekarang?"

Reni berpikir keras. Matanya manatap Jezin penuh amarah. Bagaimana mungkin dia menerima tawaran konyol ini, sedangkan ia baru saja berbaikan dengan Gery. Bisa-bisa Gery benar-benar salah paham padanya. 

"Baiklah. Mungkin saya akan melakukan sesi wawancara ini di stasiun radio lain." Melihat tidak ada reaksi dari Reni, Jezin bangkit dari duduknya. Berjalan menuju pintu. 

"Baiklah. Saya akan menjadi kekasih Anda. Tapi hanya selama 3 hari." Reni memejamkan matanya. Berat mengambil keputusan itu. 

Jezin berbalik. Tertawa pelan, menambah kesan rupawan di wajahnya. 

"Kenapa saya harus melakukan wawancara menyebalkan ini hanya untuk berkencan denganmu selama 3 hari? 1 bulan. Jadi kekasihku selama 1 bulan." Jezin berdiri pas disamping Reni. 

Lagi-lagi Reni menatapnya tajam. Jezin tak peduli. Ia mengeluarkan selembar kertas dari saku setelan hitamnya. 

"Aku dengar, manusia membutuhkan hal seperti ini agar tidak ingkar janji."

Manusia? Terus kamu apa? Setan? Batin Reni. 

Reni mengambil kertas itu dari tangan Jezin. Sebuah surat perjanjian.

1. Tidak boleh menolak bertemu dengan Jezin. 

2. Tidak boleh menemui Gery selama berkencan dengan Jezin. 

3. Tidak boleh membantah. 

Jika tidak mematuhi aturan di atas, maka Jezin akan membuat Reni kehilangan pekerjaannya dan memastikan tidak bisa menemukan pekerjaan lagi. 

"Apa ini? Semua menguntungkan Anda dan merugikan saya." Reni meletakkan surat itu pas di depan Jezin. Ia sedikit menggebrak meja. 

"Saya tidak akan memaksa kamu untuk setuju Nona. Tanda tangan jika setuju, atau saya keluar dari sini jika kamu keberatan."

Kepala Reni seakan ingin meledak. Ingin sekali dia menenggelamkan pria di depannya ini. Namun dia tak berdaya, satu-satunya jalan adalah tanda tangani suratnya. 

Jezin tersenyum puas melihat Reni membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang ia bawa tadi. Hatinya bersorak penuh kemenangan. 

"Keputusan yang bijak. Apa kau suka hadiahku? Kau sangat cantik dengan itu " Jezin menggoda Reni tersenyum nakal. 

Reni menunduk melihat gaunnya. Harga dirinya seakan terkoyak. Dia sangat menyukai gaun itu, sangat pas di tubuhnya. Dia mengira hadiah itu dari Gery. Ternyata dari pria mesum yang sangat dia benci. Reni sudah tidak bisa berkutik. Jezin menguasai dunianya. 

Reni pun memulai siaran dengan perasaan berkecamuk. Terlebih selama lebih 1 jam kedepan harus melihat wajah yang sangat ia benci. Dengan nada bicara yang dibuat selembut mungkin, dan senyum semanis madu. Hanya untuk memuaskan para pendengar. 

"Tuan Jezin, kalau tidak salah ini adalah wawancara pertama Anda dengan media asing. Apa alasan Anda menerima melakukan wawancara dengan kami?" Wawancara mereka sudah setengah jalan. 

"Brand saya berkembang pesat disini. Jadi saya pikir, tidak ada salahnya jika orang mengenal sosok dibalik brand yang sangat mereka cintai itu."

Hah. Dasar pria mesum sombong. Batin Reni. 

"Apa Anda akan menetap disini, Tuan Jezin?"

"Yah. Untuk saat ini, saya berniat menetap disini." 

"Apa alasan Anda, Tuan? Seperti yang kita tau, Anda lahir dan besar di Eropa, dan semua kesuksesan Anda berawal dari sana."

"Saya jatuh cinta dengan negara ini. Saya ingin menetap dan menenukan belahan jiwa saya disini." Jezin menatap Reni penuh arti. Reni yang menyadari itu mencibir tak suka. 

"Wah, sahabat pendengar radio Berbagi Kisah, Tuan Jezin dengan wajahnya yang tampan, kaya raya, dan murah hati ini mencari belahan jiwanya di negara kita. Itu sebuah kehormatan bagi negara kita tercinta. Siapa tau salah satu dari pendengar setia radio berbagi kisah adalah belahan jiwa Tuan Jezin. Hehehe." Reni berusaha mencairkan suasana. 

"Bagaimana jika belahan jiwa saya penyiar radionya?" Jezin lagi-lagi menggoda Reni. 

"Wah. Itu sebuah kehormatan bagi saya, Tuan. Tapi saya sudah memiliki kekasih."

"Sayang sekali. Sepertinya saya terlambat."

Reni memutar bola matanya muak dengan sandiwara yang dia mainkan. 

"Baik, sahabat pendengar berbagi kisah. Kita akan jeda sejenak. Selamat menikmati lagu yang akan kami putarkan. "

Reni menekan salah satu tombol yang ada di depannya setelah mendapat sinyal cut dari sutradara. Bertujuan meredam suara dari ruangan penyiar agar tidak terdengar oleh rekan-rekannya di ruang audio mixer yang hanya terhalang dinding kaca. 

Pandangan Jezin terus melekat pada Reni. Ia menyadari Reni berusaha mengacuhkan dirinya. Dengan sibuk membaca ulang script yang ada di depannya dan sesekali membalas chat yang masuk di ponselnya. 

"Apa kau tidak tau jika tamu adalah raja? Begini caramu memperlakukan rajamu?"

Reni mengangkat kepalanya. Menatap ke arah sumber suara. 

"Bagaimana saya harus memperlakukan Anda? Haruskah saya mengangkat gelas itu ke mulut Anda? Mengantar Anda ke toilet? Atau Anda ingin saya melepas sepatu Anda, Tuan Jezin yang terhormat?" Reni membalas dengan senyuman palsu dengan nada mengejek. 

Jezin yang membaca raut jengkel Reni tersenyum puas. 

"Tidak. Kau tidak perlu menjadi babuku. Kau hanya perlu bersikap manis di depanku layaknya seorang kekasih."

"Anda harus tidur dulu sebelum bermimpi, Tuan."

"Hahaha. Sepertinya kau tidak membaca surat yang baru saja kau tanda tangani."

Reni memejamkan matanya kesal. Ia merasa kepalanya berasap karena amarah. 

"Anda ingin kopi yang baru, Tuan? Saya akan mengganti kopi Anda." Reni seakan robot yang memiliki tombol di punggungnya. Bisa dikontrol sesuka hati oleh pemiliknya. Wajahnya seketika menampilkan senyum manis. 

"Apa kau tuli? Kau tidak perlu menjadi babuku. Kau hanya perlu menampilkan wajah manismu itu."

"Melayani juga bentuk bersikap manis pada pasangan Anda, Tuan." Reni masih menampilkan senyum palsunya. 

"Benarkah? Lalu, apa kau juga melayani pacarmu itu seperti ini? Atau kau bahkan melayaninya juga di ranjangnya?" Jezin menggeser kursinya mendekat ke Reni. Berbisik ke telinga Reni membuat bulu kuduk Reni berdiri tegak. 

Reni menggeser kursinya menjauh dari Jezin. Senyum palsu yang tadinya menghiasi wajahnya seketika terganti dengan amarah yang memuncak. Wajahnya memerah. Ia berdiri dan sebuah tamparan keras ia layangkan ke wajah Jezin. 

Jezin tertawa miring. Wajah piciknya terbaca. Ia merasa pipinya panas akibat tamparan tangan kecil Reni. 

"Aku tidak serendah apa yang otak mesummu pikir."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status