Dengan kesaktian yang mampu menentang langit dan menundukkan takdir, Lautan Dunia berisi jutaan alam berhasil Bima Bayukana satukan di bawah kekuasaan Raja Langit. Dia menjadi Jendral Dewa Tertinggi yang begitu setia dan berjasa pada Kerajaan Dewa. Namun, di ujung pencapaiannya itu dia dibunuh oleh kekasihnya yang ternyata berselingkuh dengan sang raja. Di alam Fana, alam terabaikan yang bahkan tidak mengetahui ada alam lain di luarnya, dia terlahir kembali sebagai bayi cacat tanpa anggota tubuh yang lengkap. Meski demikian, dia berjanji akan kembali berdiri di puncak Lautan Dunia. Membalas segala ketidakadilan yang pernah terjadi kepadanya!
Lihat lebih banyakSelama berbulan-bulan, ledakan yang menghancurkan segalanya terus bergema di Lautan Dunia. Guncangan-guncangan dahsyat yang dihasilkannya membuat seluruh kehidupan tenggelam ke dasar jurang ketakutan.
Sampai kini, lebih dari seribu alam musnah tak bersisa akibat dijadikan medan tempur. Dan entah berapa banyak makhluk lagi yang harus menyumbang nyawa karena tidak sengaja termuat ke dalam kekacauan. Bima Bayukana, sosok yang menjadi pusat kekacauan itu, bertempur seorang diri melawan seluruh Kerajaan Dewa. Gempuran pasukan Raja Langit selama berbulan-bulan belum juga menumbangkannya. Namun, sebagai orang yang berdiri di puncak Lautan Dunia sekalipun, sulit baginya untuk terus-menerus bertarung. "Ini saatnya, Wirabuana!" Bima Bayukana tanpa ragu membuat segel tangan ketika melihat secercah celah melarikan diri. Khodam ular naga yang membawanya dan sang kekasih segera meliuk ke arah formasi terlemah yang akan mengepung mereka. "Ajian Tenaga Dalam—" Jleb! Belum sempat menyelesaikan rapalannya, sebilah pedang dengan tidak terduga lebih dulu menembus dada Bima Bayukana. Seteguk darah lantas saja menyembur dari mulutnya. Tenaga dalam yang dia himpun untuk menciptakan ajian mau tidak mau harus gagal dan tercerai-berai. "A—apa yang kau lakukan, Wulandari?" Bima Bayukana terbata, matanya bergetar tidak percaya. "Selama ini aku terus menunggu waktu yang tepat untuk dapat membantumu, Bima. Membantumu cepat menemui kematian!" jawab sosok perempuan cantik di belakangnya lalu melompat dari khodam ular naga yang mereka pijak bersama. Perbuatan dan ucapan Wulandari begitu mengejutkan. Bagaimana pun memikirkannya, Bima Bayukana menolak untuk percaya. Hatinya menentang keras bahwa sang kekasih yang begitu dia lindungi malah berbalik menyerangnya. Namun, kebenaran tidak bisa disalahi, rasa sakit di dadanya yang tertembus bilah pedang itu nyata. Dan tubuhnya yang sedari awal sudah terluka parah karena bertempur tanpa henti, kini mencapai titik kerusakan yang tidak dapat dibendung lagi. Ribuan Jendral Kerajaan Dewa lantas mengunci kepungan mereka. Ular naga yang Bima Bayukana pijak sepenuhnya kehilangan ruang gerak. Sebagai pertahanan terakhir, khodam panggilan bernama Wirabuana itu melilit tuannya, lalu meraung ganas kepada semua orang untuk tidak mendekat. "Hahaha ... akhirnya kau tidak bisa lari lagi Bima!" tukas Raja Langit terbang ke sisi Wulandari. Sambil tersenyum mengejek tangannya merengkuh mesra pinggang perempuan cantik itu. "Kalian ...." Bima Bayukana kehilangan kata-kata. Dalam perang berkepanjangan di Lautan Dunia, dia berjuang di garis paling depan untuk Kerajaan Dewa. Pertempuran tak terhitung dilaluinya, menempatkannya di jurang kematian tak terhitung pula. Semua itu rela ia lakukan karena percaya Lautan Dunia akan damai setelah disatukan di bawah kekuasaan Raja Langit. Sayangnya, ketika dia berhasil memenangkan perang dan kembali ke Alam Dewa, Raja Langit menuduhnya akan melakukan pemberontakan. Karena tuduhan tanpa dasar tersebut seluruh keluarganya dieksekusi, dan demi bertahan hidup dia terpaksa melarikan diri ke berbagai alam. Dalam pelarian tersebut Bima Bayukana tidak dapat menghirup napas lega barang sejenak saja. Sebab, ke mana pun dia pergi entah kenapa pasukan Raja Langit selalu menemukannya. Memikirkan hal ini lebih dalam, meskipun mengkhianati hatinya, Bima Bayukana tidak bisa untuk tidak mengabaikan kemungkinan kejam yang mulai terlintas di benaknya. "Apa yang kau sangkakan benar, Bima. Ke mana pun kau bersembunyi, kekasihmu akan mengirimkan sinyal kepadaku," ungkap Raja Langit seolah tahu tebakan-tebakan yang kini tampil di ekspresi Jendral tertingginya itu. "Dan sebelum mati sepertinya kau juga harus tahu ini," lanjut Raja Langit mempererat pelukannya terhadap wanita di sampingnya. "Selama kau berperang, sebenarnya aku dan kekasihmu juga siang dan malam berperang di ranjang." Dikonfirmasi langsung oleh Raja Langit, kebingungan Bima Bayukana seketika berubah menjadi kemarahan tak terbendung. Di samping hal tersebut, Hatinya seperti tersayat-sayat melihat Wulandari malah tersipu malu. Seakan belum cukup akan luka fisik dan hatinya, Raja Langit serta Wulandari lanjut menyatukan bibir. Kini yang tertinggal di ekspresi Bima Bayukana hanyalah kegelapan. Dengan dingin kemudian dia berkata, "Jika aku memiliki kesempatan untuk melawan ketiadaan, maka aku Bima Bayukana, bersumpah Lautan Dunia akan damai di bawah kakiku sendiri. Akan kubuat dunia di mana orang seperti kalian tidak memiliki hak untuk bernapas!" Perasaan aneh yang tidak dapat dipahami seketika menghentikan kegiatan Wulandari dan juga Raja Langit. Namun, melihat khodam Ular Naga yang melindungi Bima Bayukana mulai terkikis habis, perasaan itu langsung terusir dari hati keduanya. Tanpa pikir panjang Raja Langit melesat menusuk Bima Bayukana yang sudah tak berdaya. "Aku akui kau jendralku yang sangat kuat, Bima. Namun, sekuat apapun seseorang, tidak mungkin baginya melawan kematian," ujar Raja Langit kemudian menancapkan lebih dalam pedangnya. "Kau terlalu buta akan cinta. Berkat kesaksian kekasihmulah aku bisa menjatuhkan hukuman eksekusi padamu dan seluruh keluargamu." Dunia seketika dikepung gelap dan Bima Bayukana perlahan tidak lagi merasakan apapun, bahkan luka di seluruh tubuhnya. Namun, melihat senyum Raja Langit dan mengetahui kebenaran itu di ujung kematiannya, kebencian tak berujung menyelimuti hatinya. Begitu perih, dingin, dan menyakitkan. *** Entah seberapa lama keheningan yang menenangkan dilaluinya, dingin menggerogoti tulang menyadarkan Bima Bayukana akan keadaan sekitar. Dia merasa seperti sedang mengambang di suatu tempat. Di lain hal, matanya yang sudah dibuka lebar-lebar hanya menangkap kegelapan tak berujung. "Di mana ini? Apa ini alam kematian? Apa di alam kematian semuanya memang tidak dapat dilihat?" gumamnya kebingungan dan mencoba menggerakkan tangan untuk menggapai apa saja. Nihil. Tidak ada benda yang tertangkap baik dengan mata ataupun indra peraba. Bahkan telinganya hanya menangkap kesunyian tanpa akhir. Perlahan tapi pasti suhu dingin di sekitar berubah menjadi rasa sakit yang mencabik tubuh. Tidak jelas apa yang terjadi, tapi yang pasti sesuatu yang terhindarkan terus menggores tubuhnya. "Aku mengerti, sepertinya ini ketiadaan yang diceritain dalam legenda. Kalau aku bertahan selama 400 tahun setelah kematian, mungkin sukmaku bisa mendapatkan jasadnya kembali." Bima Bayukana menjadi bersemangat karena pikirannya sendiri. Namun sesaat setelahnya, ketiadaan yang mengikisnya terus bertambah ganas. Jangankan 400 tahun, sepuluh hari pun dia merasa tidak akan sanggup. Kesadaran dirinya terus terkikis dan tubuh sukmanya terus tercabik-cabik. Di kegelapan tak berujung itu Bima Bayukana tidak ingin menyerah begitu saja. Dia menebar pandang ke berbagai arah mencari sesuatu selain kehampaan. Hingga akhirnya dia melihat cahaya putih kecil datang dari kejauhan. Dia segera mengarungi kegelapan menuju ke sana. Karena terlalu jauh, ketika sudah dekat Bima Bayukana baru menyadari apa yang dia tuju adalah seekor buaya putih. Satu-satunya yang bisa dia pahami tentang makhluk tersebut adalah ukurannya yang begitu besar. "Sial, kenapa ada buaya yang lebih besar dari Alam Dewa di sini?" decak Bima Bayukana berbalik melarikan diri. "Kalau tahu dari awal aku tidak akan cukup bodoh dengan mendatanginya." Dia tidak tahu makhluk seperti apa buaya putih tersebut. Dan lagi dirinya sama sekali tidak memiliki kesempatan bertahan dari ketiadaan. Sekarang mudah baginya untuk menyerah, tapi entah mengapa tubuhnya tetap bergerak menyelamatkan diri. Mungkin kebencian tak tertahan yang membuatnya terus berjuang sampai akhir. Dia sangat ingin membalas ketidakadilan yang telah diterimanya semasa hidup. Tentu tidak semua usaha dibayar hasil, Bima Bayukana merasakan sukmanya terus menipis. Kesadarannya tidak dapat bertahan hingga dia tidak bisa cepat menjauh lagi. Tanpa bisa melawan, pada akhirnya dia ditelan oleh mulut buaya yang begitu besar dan menakutkan. "A—apa ini akhir bagiku?" gumamnya lirih kemudian kegelapan kembali mengepung segalanya."Aku akan menjelaskannya sambil istirahat," putus Arkadewi dan berhenti berjalan. "Aku tidak masalah melakukan perjalanan sejauh apapun, tapi ingat sejak tadi kita berlari dan berjalan tanpa henti." Kondisi tubuh wanita dan lelaki jauh berbeda. Bahkan tubuh sesama lelaki tidak bisa dibandingkan dengan Bima Bayukana yang telah menjalani latihan ekstrem. Keluhan yang datang dari gadis itu merupakan hal yang wajar. Bima Bayukana menghela napas. "Baiklah, kita istirahat. Jelaskan kepadaku hal-hal yang tidak aku ketahui padaku." Dia mengikuti Arkadewi yang duduk lebih dahulu di sisi lorong. Tanpa melepaskan deteksi sukma ia menunggu gadis itu berbicara. "Kau tahu? Ada seorang putri dengan kecantikan tiada tara di kerajaan Kastara?" mulai Arkadewi. "Tidak," jawab Bima Bayukana jujur. Alam fana terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan dan Kerajaan Kastara salah satunya. Bima Bayukana tidak mengetahui keadaan politik atau bagian-bagian yang menurutnya tidak penting. Apalagi sampai me
"Kau berhutang penjelasan tentang memilihku sebagai tunangan," imbuh Bima Bayukana melangkah ke samping Arkadewi lalu dengan dingin menatap Abinaya Bayukana. "Karena kau sudah tahu aku, kurasa aku tidak lagi perlu menyembunyikan kebencianku terhadapmu." "Memang seperti itu seharusnya." Abinaya Bayukana menyeringai. "Gadis di belakangmu pasti telah menjelaskan bagaimana orang tuamu terbunuh karena ayahku. Bagaimana mungkin kita masih bisa bersikap selayaknya sepupu?" Gelap langsung menelan sebagian ekspresi Bima Bayukana. Dengan ringannya pemuda itu mengakui bahwa ia anak dari dalang yang menyebabkan keluarga serta desanya dibantai. Sekarang Bima Bayukana bisa menarik jelas orang seperti apa sepupunya tersebut. "Nanti, aku sendiri yang akan mengambil kehidupan kalian," tegas Bima Bayukana dengan dingin, matanya berkilat penuh dendam. "Seni Tubuh! Langkah Gelombang Cahaya!" Bima Bayukana segera mengais pinggang Arkadewi dan bergerak cepat melarikan diri ke dalam istana Kerajaan L
Bima Bayukana mengabaikan kebingungan Arkadewi akan tindakannya. Sesuai yang dia duga, semua binatang mundur dan berhenti menyerang. Seolah takut dia akan melukai gadis itu."Sejak awal aku sudah merasa aneh," gumamnya berbicara pada diri sendiri.Setelah memulihkan diri di dalam gua selama beberapa hari, tidak terjadi serangan sama sekali. Bahkan halangan seperti gelombang binatang tidak menghadang mereka saat melanjutkan perjalanan ke gunung cincin. Rasanya itu mustahil mengingat saat melewati celah dua gunung mereka harus melawan kawanan lebah, Beruang Madu Api dan Macan Dahan, serta Ular Langit Malam."Jika aku tidak salah. Kedatangan para pendekar ke gunung ini tidak diharapkan oleh pemilik Fenomena Ghaib. Tapi melihat gadis ini, tampaknya dia berubah pikiran. Apa sebenarnya tujuannya?"Bima Bayukana tercenung dalam pikiran yang rumit. Arkadewi yang sejak tadi menunggu penjelasan menjadi kesal. Bima Bayukana tidak juga menurunkan pedang yang terhunus ke lehernya."Hei! Aku tanya
Sebab sulitnya untuk merekonstruksi alam sukma ke dunia nyata, Fenomena Gaib memakan banyak tenaga dalam. Penggunanya hampir mustahil menerapkan kemampuan ini dalam jangka waktu yang lama. Bagi Bima Bayukana yang belum memiliki cara untuk melawan, hal tersebut merupakan celah satu-satunya yang memungkinkan ia keluar dari situasi sekarang. Dia dan Arkadewi harus bertahan setidaknya sampai Fenomena Ghaib berakhir. "Kau harus bertarung untuk dirimu sendiri." Merasakan banyaknya binatang di sekelilingnya, Bima Bayukana merapatkan punggung pada Arkadewi. "Baikkah, jangan khawatirkan bagianku," jawab gadis itu. Seperti makhluk haus darah, ratusan bintang segera menyerbu mereka brutal. Arkadewi mengeratkan cengkeraman pada pedangnya dan apik mempertontonkan tekniknya—memotong setiap binatang yang datang menyerang hingga mereka tak lagi dapat bangkit. Di sisi lain, demi menyimpan energi untuk pertarungan yang mungkin masih panjang, Bima Bayukana bertahan tanpa sedikitpun memaksimalka
Arkadewi masih sangat kesal. Namun, sekarang dia dan Bima Bayukana terjebak dalam keadaan genting, tidak ada kesempatan baginya untuk bersikap berlawanan. Ia terpaksa mengenyampingkan perasaannya dan menjaga pegangan terhadap pemuda itu agar tidak terpisah di dalam kabut yang menebal. "Kita harus keluar dari sini," imbuh pemuda itu. Padahal tadi berada di barisan yang sama, tapi semua orang telah menghilangkan dan menyatu dengan kabut. Persepsi sukma yang dilepas memang menangkap keberadaan di sekitar, akan tetapi, Bima Bayukana tetap kesulitan mendekat pada yang lain karena hampir semua posisi tercerai berai. Perubahan struktur tempat mulai dirasakan Bima Bayukana. Ketika dia menyeret Arkadewi untuk melarikan diri, sebuah dinding tiba-tiba tercipta di depan mereka—menutup akses pergi dari kawasan kaki bukit gunung Cincin. "Apa ini ilusi?" tanya Arkadewi menyentuh tembok di depannya dengan serius. "Dinding ini nyata. Apa artinya mekanisme kerajaan lawas membuatnya tiba-tiba mun
Penglihatan Bima Bayukana memuat semua orang sesaat kelopak matanya terangkat penuh. Sosok penting seperti Bratadikara, Saktika Senjani, serta Saguna Bayukana menyambutnya dengan tatapan kagum—bercampur keingintahuan besar. "Efek samping Akar Jantung Bumi selalu membunuh pengonsumsinya. Selama ini tidak ada yang pernah berhasil selamat, bahkan pendekar tingkat Khodam Sejati sepertiku," ungkap Bratadikara masih dengan perasan sulit percaya. Ia membawa Akar Jantung Bumi sebagai rencana terakhir seandainya dirinya berada di kondisi hidup dan mati. Dalam kondisi tersebut, walaupun semua pendekar berakhir dengan kematian setelah menggunakan Akar jantung Bumi sebagai obat, resiko mengonsumsinya tidak lagi menjadi hal yang perlu ditakutkan. "Bagaimana kau bisa melakukan hal-hal menakjubkan?" tambah Saktika Senjani menatap serius pemuda itu. "Seandainya tidak membunuh tiga Ular Langit Malam, pertarungan sebelumnya pasti akan lebih banyak memakan waktu dan korban. Padahal kau berumur tid
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen