Keesokan hari, Levon berangkat ke kantor dengan peran seperti biasa. Levon langsung pergi menuju ruangan cleaning service untuk mengganti pakaian lusuhnya dengan seragam khusus cleaning service.
Saat Levon membuka loker pakaian miliknya, ia kaget dan tak percaya. Di dalam loker ada jam tangan mahal merk Rolex. Beberapa detik, kekagetan Levon berubah menjadi sengiran, “Kau masih ingin bermain denganku? Sepertinya aku harus memberikan pelajaran padamu.” Yang dimaksud Levon adalah Fletcher. Ia tahu, jam tangan mahal yang ada di loker pakaian adalah milik Fletcher. Otak Levon bekerja, ia mengerti jam tangan ini dijadikan alat untuk menjebak dirinya.
“Kau licik, Fletcher. Dan sedikit pintar,” gerutu Levon menyeringai sambil mengambil jam tangan.
Bersamaan dengan itu, Fletcher, Jackson, dan beberapa staf lainnya datang ke ruangan Levon.
“DASAR MALING!” teriak Fletcher menatap marah pada Levon yang sedang memegang jam tangan mahal miliknya. “dugaanku benar, kau yang telah mencuri jam tangan mahal milikku.”
“Astaga! Bukan fisikmu saja yang kotor, tetapi perilakumu lebih kotor!” seru Jackson mengatupkan rahang. Dan mereka menghampiri Levon.
“Sampah sepertimu seharusnya tidak ada di tempat ini!” geram Hana menyatukan alis dengan gerakan kaki yang dipercepat menuju Levon.
Levon sebenarnya ingin tertawa, tetapi ia lebih memilih pura-pura bodoh dan memasang wajah ketakutan, “Ampun, Tuan. Saat kubuka loker pakaian, jam tangan ini sudah ada di dalam.”
Fletcher mengambil kasar jam tangan miliknya dari tangan Levon, “Kau mau bilang jam tangan ini berjalan sendiri? Dasar maling!” gertak Fletcher sambil memberikan pukulan keras ke pipi Levon.
“Hajar lagi! Sampah sepertinya pantas mendapatkannya.”
“Kalau perlu lenyapkan Sampah ini dari bumi.”
“Tidak ada tempat untuk para maling di tempat ini.”
Mereka silih berganti menghakimi Levon.
“Ampun, Tuan, Nona. Saya berkata jujur. Saya—”
“Kau sudah tertangkap basah, tetapi kau masih berani berbohong!” Hana memotong pembelaan Levon dengan nada tinggi sambil menampar pipi kanan Levon.
“Sungguh, saya berani sumpah,” ucap Levon dalam keadaan mata berkunang.
Bukk ...!
Fletcher memberikan pukulan keras, tepat di perut Levon. Lalu, Fletcher meraih kerah baju setengah mencekik Levon dan menyeret paksa menuju keluar ruangan. Dan yang lainnya sibuk memukuli Levon dari arah belakang.
Levon meringis keras, "Sakit, hentikan!"
Setelah keluar dari ruangan, Fletcher berkata dengan nada yang sangat keras, “Dengar semuanya! Kalian harus lihat! Aku sudah menangkap basah maling di perusahaan ini. Dia sudah mencuri jam tangan mahal milikku.”
Para staf perusahaan berkerumun menghampiri penghakiman pada Levon. Para staf tidak terlalu keget atas pencurian yang dilakukan oleh Levon. Dia dianggap seorang cleaning service yang sangat miskin.
“Ya ampun, lagi-lagi Si sampah itu berulah.”
“Mungkin dia frustasi menjadi orang miskin dan bermimpi menjadi orang kaya dengan cara instan.”
Tentu Levon mendengar semua tuduhan miring padanya. Ia merasa Fletcher sudah sangat keterlaluan menjebak dan mempermalukan dirinya dengan tuduhan sampah di depan banyak orang.
Bersamaan dengan itu, Rose keluar dari lift dan menghampiri kerumunan, “Apa yang terjadi?” tanya Rose.
“Nona—”
“Kau harus tahu Sayang, Sampah ini sudah tertangkap basah mencuri dan mennyembunyikan Jam tangan mewahku.” Fletcher menyela Levon dan menjelaskan pada Rose sambil memutar bola mata dengan tatapan marah pada Levon.
“Levon mencuri? Tidak mungkin!” tanya Rose kaget tidak percaya.
“Kau harus percaya, sudah ada buktinya. Barusan kami memergoki Levon memegang jam tanganku di ruangannya,” jawab Fletcher meyakinkan Rose.
“Ya ... itu benar Rose! Aku saksinya! Aku juga melihat dengan mataku sendiri!” tegas Hana untuk memperjelas ucapan Fletcher.
“Ya, aku juga saksinya!” sambung Jackson dan beberapa orang untuk memperkuat tuduhan Fletcher.
Rose menghampiri Levon, “Apakah itu benar, Lev?” tanya Rose penasaran, tetapi hatinya tetap tidak percaya bahwa Levon telah mencuri.
“Tidak perlu kau tanyakan padanya, pasti Sampah itu berbohong,” timpal Fletcher geram menatap Levon.
Rose menghiraukan ucapan Fletcher dan lebih mendekat pada Levon, “Jawablah, Lev. Aku ingin mendengarnya sendiri penjelasan darimu.”
“Saya tidak mencuri, Nona. Saya memang orang miskin, tetapi tidak mungkin saya melakukan pencurian itu. Jam tangan itu sudah ada di dalam loker pakaian milikku, saya juga terkejut dengan itu,” jelas Levon pada Rose dengan mata berkunang.
“Dasar pembohong! Kau sudah jelas tertangkap basah, tetapi kau masih tidak mengakuinya. Dan loker pakaianmu terkunci, mana mungkin jam tanganku berada di sana jika kau tidak mencurinya,” kelakar Fletcher pada Levon.
Staf lainnya setuju dengan ucapan Fletcher. Mereka semakin geram dengan Levon. Mereka menganggap Levon adalah manusia rendah dan hina.
Berbeda dengan Rose, ia lebih percaya pada Levon. “Aku percaya pada Levon. Ini pasti fitnah! Aku yakin, dia pasti dijebak oleh seseorang yang membencinya!” ucap Rose sambil melirik Fletcher setengah menyindir tanpa menunjuk dirinya. Fletcher dan staf lainnya terkejut dengan ucapan Rose.
“Apa? Kau mempercayainya? Buka matamu, Sayang. Kau sudah dibodohi oleh Sampah itu,” celetuk Fletcher pada Rose sambil menunjuk Levon.
“Mohon maaf, Tuan. Mengapa kita tidak melihat cctv yang mengarah pada pintu masuk ruangan cleaning service saja?” Levon tiba-tiba memberikan solusi atas tuduhan yang ditujukan padanya. Semua staf menoleh seketika ke arahnya. Tanpa bersuara, mereka menunjukkan gestur setuju pada Levon. Mereka menunjukkan gestur setuju bukan berarti mereka percaya bahwa Levon tidak mencuri, melainkan mereka tidak sabar melihat Levon dipenjara melalui bukti dari cctv. Berbeda dengan Fletcher dan Jackson, mereka seperti tersengat lebah dengan ucapan Levon. Mereka berdua tampak gelisah dan khawatir, sedangkan Rose tersenyum puas menatap perubahan sikap mereka berdua.
“Dasar bodoh! Dia membuat blunder sendiri dengan memperlihatkan dirinya sendiri yang sedang mencuri,” timpal Hana tertawa renyah menatap Levon. Beberapa staf lainnya pun tertawa.
“Ya, kau benar Lev. Aku tidak sabar melihat Si penjebak itu!” sindir Rose menyengir melirik Fletcher. Ia sangat senang dengan ide Levon.
“Mengapa harus pakai cctv? Kita tidak perlu bukti lain. Sudah jelas Levon terpergok sedang menyembunyikan hasil curiannya,” lontar Fletcher menunjukkan sikap tidak setuju dengan ide Levon.
“Ya, Tuan Fletcher benar. Kita harus membawanya ke kantor polisi,” tambah Jackson terlihat gugup dan tertawa di saat yang tidak seharusnya.
Rose tersenyum sinis, “Mengapa kalian berdua terlihat cemas? Apakah kalian takut rencana licik kalian untuk menyingkirkan Levon akan terbongkar?” sindir Rose dengan tatapan puas.
“Takut? Rencana licik? Aku tidak mengerti maksudmu, Sayang,” ucap Fletcher memalingkan muka agar Rose tidak melihat ekspresi wajahnya yang terlihat gugup.
“Tunggu apa lagi? Mari kita ke ruangan IT,” ucap Levon memasang wajah konyol dan tidak sabar, tetapi di berikutnya ia tersenyum dan berkata dalam hati. “Dasar bodoh! Lebih bodoh dari anak kecil yang sedang membuat jebakan.”
“Ya, lebih baik kita segera kesana,” respon cepat Rose.
Mereka pun berbondong-bondong ke ruangan IT bagian khusus pengendali cctv di lantai tiga, sedangkan Fletcher dan Jackson memperlambat langkah mereka dan memainkan bahasa isyarat dengan wajah cemas.
Levon tersenyum menoleh ke belakang, “Mari, Tuan. Cepatlah!” Levon sengaja ingin membuat mereka semakin cemas.
Mereka pun gelapan, padahal hanya ucapan biasa dari Levon, “Siapa dirimu, Sampah? Berani menyuruhku seenaknya!” ketus Fletcher menatap Levon penuh emosi.
“Jangan-jangan kalian mau melarikan diri,” ejek Rose tanpa menoleh ke belakang.
Mendengar ucapan Rose, Fletcher dan Jackson spontan mempercepat langkah mereka hingga akhirnya semua orang yang ikut sampai di ruangan IT.
“Permisi, Tuan Ronald” sapa Rose pada petugas yang ada di ruangan IT.
“Ya, Nona ... Mengapa kalian kesini?” tanya Ronald penasaran melihat banyak orang datang ke ruangan IT.
“Kami ingin melihat rekaman cctv hari ini yang langsung mengarah depan pintu ruangan cleaning service lantai satu,” pinta Rose tanpa basa-basi menjelaskan maksud kedatangan mereka ke ruangan IT.
“Baik, Nona,” jawab Ronald langsung membuka cctv yang dimaksud Rose di layar komputer. Ia langsung memutar rekaman itu. Semua orang memasang wajah tidak sabar ingin melihat siapa pelakunya.
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B