“Iya, nanti malam kita akan berkencan,” balas cepat Rose dengan senyuman manis menatap Levon.
Fletcher tersulut emosi. Bara apinya di dalam hati Sudah memuncak, tapi kemarahannya itu bukan ditujukan pada Rose, melainkan pada Levon.
“Dia hanya cleaning service!” berang Fletcher berusaha mengingatkan posisi Levon.
“Dia jauh lebih tampan dan baik daripada lelaki brengsek sepertimu!” seru Rose sambil lebih mempererat pegangannya pada tangan Levon. Ekspresi Levon terlihat tidak enak hati dipegang oleh Rose, tetapi batinnya tertawa.
“Hey, sampah! Jika kamu berkencan dengan Rose, maka akan kubunuh dirimu!” cecar Fletcher menatap dengan tatapan iblis pada Levon.
“Ampun, Tuan,” ucap Levon dengan terlihat tegang, lalu menoleh ke arah Rose. “Nona, sepertinya diriku tidak bisa berkencan dengan dirimu.” Levon ketakutan menatap dan memelas pada Rose. Fletcher tersenyum, ia yakin ancamannya itu membuat mereka batal untuk berkencan.
“Jika kamu menyakiti Levon, maka aku akan pergi dari perusahaan ini dengan membawa Levon bekerja di perusahaan lain.” Rose menatap Fletcher dengan nada menantang.
Fletcher kehabisan akal dan pergi dari ruangan Rose dengan perasaan kesal sambil menatap dengan tatapan bahaya penuh ancaman pada Levon.
Setelah Fletcher pergi dari ruangan, Rose berkata pada Levon, “Maafkan aku Lev, aku berkata seperti itu karena aku jengkel pada keangkuhan Fletcher. Aku mau menunjukkan pada dirinya bahwa uang bukan segalanya. Tapi kamu tenang saja, aku akan menepati ucapanku barusan.”
“Maksud, Nona?”
“Nanti malam kita akan kencan di restoran RDO. Disana makanan dan minumannya sangat lezat.”
“Tapi disana harganya sangat mahal, Nona. Gajiku saja tidak cukup untuk membeli satu jenis makanan saja.”
“Tenang, kamu jangan khawatir. Aku yang bayar.”
“Tapi, Nona—”
“Jangan membantah!” sela Rose sambil menatap tajam Levon.
“Baiklah, Nona,” jawab Levon. Kemudian, Rose dan Levon kembali bekerja.
Setelah berkutat dengan pekerjaan, Levon segera pulang kerumahnya, tapi di depan perusahaan, Fletcher menghampirinya. Levon berpikir bahwa Fletcher akan memukulnya.
“Hai teman?” sapa Fletcher dengan suara lembut, tidak seperti biasanya.
“Iya Tuan?” Levon tersenyum.
“Aku meminta maaf padamu atas setiap perilaku burukku padamu,” ucap Fletcher setengah menunduk. Ia memasang wajah sedih penuh penyesalan.
“Tuan, jangan seperti ini. Aku sudah memaafkan Tuan.”
“Terima kasih, teman. Kamu memang orang yang paling baik yang kukenal. Aku menyesal telah berbuat buruk padamu.”
“Tuan, janganlah bersedih. Yang berlalu biarlah berlalu, sekarang kita adalah teman.”
“Terima kasih, teman. Dan sebagai permintaan maaf, aku ingin mengajakmu ke bar nanti malam. Aku akan memberikan kesenangan untukmu disana.”
“Terima kasih, Tuan, tapi nanti malam aku sudah punya janji dengan Nona Rose,” tolak Levon secara halus.
“Ayolah teman. Jika kamu menolak ajakanku, seumur hidupku akan merasa bersalah padamu.” Fletcher memelas.
“Tapi—”
“Apakah kamu tidak menerima permintaan maafku?” Fletcher menyela dan tidak memberikan kesempatan kepada Levon untuk berbicara. Ia terus saja memelas dan mengiba-iba agar Levon mau menerima ajakannya.
“Baiklah, Tuan. Nanti aku akan menelpon Nona Rose untuk menunda kencan nanti malam,” balas Levon sambil menghembuskan napas pelan.
“Ow itu tidak perlu, teman. Aku sendiri yang akan meneleponnya agar Rose tidak salah paham,” respon cepat Fletcher.
“Baik, Tuan.”
“Terima kasih, teman,” jawab Fletcher sambil memeluk Levon yang sebenarnya jijik melakukannya.
“Baiklah, Tuan. Sampai ketemu nanti malam di bar.”
“Oke, jangan sampai telat karena pasti kamu sangat menyukainya. Aku pastikan kesenangan yang kamu dapatkan nanti malam adalah kesenangan yang paling indah dalam hidupmu.” Fletcher melepaskan pelukannya dan tersenyum pada Levon.
“Aku tidak sabar menunggunya, Tuan.”
“Aku juga, persiapkan dirimu,” balas Fletcher tersenyum. Lalu ia meninggalkan Levon dengan kegirangan.
Levon memandang sinis pada Fletcher yang berjalan meninggalkannya. Ia sadar, ini hanya akal-akalan Fletcher untuk menjebak dirinya.
Dua jam kemudian Levon meminta Pulisic untuk mengantarnya ke bar dan menyuruh menunggu di area sekitar bar. Disana Levon disambut dengan suka cita oleh Fletcher yang sudah berada di depan meja bartender, “Selamat datang, temanku. Kesenangan akan dimulai dari sekarang.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Buatkan minuman untuk kita berdua!” perintah Fletcher kepada bartender.
“Siap, Tuan.” Si bartender melayani mereka dengan senang hati dan menyodorkan 2 gelas minuman whisky.
“Tuan, aku tidak terbiasa meminum minuman beralkohol,” protes Levon pada Fletcher setelah ia tahu minuman yang dipesan.
“Ayolah, teman! Minumlah demi merayakan pertemanan kita.” Fletcher memelas.
“Baiklah, aku akan meminumnya demi merayakan pertemanan kita.” Levon pun meminum sedikit demi sedikit sampai habis, tubuhnya mulai panas.
“Tambah satu lagi.” Fletcher mengambil gelas Levon dan menyodorkan kepada si bartender.
“Sudah cukup Tuan,” pinta Levon yang sudah terlihat linglung.
“Satu kali lagi!” Fletcher bersikeras. Dan ini terulang lagi sampai lima kali, sehingga Levon merasakan suatu di kepalanya. Ia mulai tidak bisa mengontrol dirinya. Bahkan, Levon meminta lagi.
“Tambah lagi, cepat.” Suara Levon sudah meracau, Fletcher sangat kegirangan.
“Ya tentu saja ... Cepat bodoh turuti kemauan temanku!” titah Fletcher kepada bartender sambil tersenyum lebar menatap Levon yang sudah mabuk.
“Baik, Tuan.” bartender itu juga tersenyum puas, sepertinya ia sudah bekerja sama dengan Fletcher.
Di detik ini pula, tiba-tiba ada seorang wanita cantik berpakaian seksi menghampiri mereka berdua. Ia menyentuh bahu dan turun ke dada Levon dengan sentuhan sensual. Levon sedikit terangsang karena pikirannya sudah dikuasai oleh minuman whisky yang memabukkan. Sementara itu, Fletcher berkedip mata kepada wanita cantik itu sebagai isyarat untuk membawa Levon ke ruangan VVIP yang sudah dipesan.
“Puncak kesenangan akan dimulai, teman. Silahkan bersenang-senang dengan wanita cantik ini di ruangan khusus yang sudah kupesan untukmu,” ucap Fletcher tersenyum menatap Levon yang terlihat mabuk sekali.
Levon sudah dikuasai, sehingga ia menuruti perintah Fletcher. Levon digandeng wanitu itu berjalan menuju ruangan yang dimaksud. Berberapa langkah, Levon berhenti dan menoleh ke belakang. “Mengapa Tuan tidak ikut dengan kita berdua?” tanya Levon dengan gerakan yang hampir seperti mau terjatuh. Wanita itu segera mengimbangi dan membopoh tubuh Levon agar tidak terjatuh.
Fletcher menyadari bahwa Levon sudah mabuk berat, ia tertawa lepas sebagai pertanda kemenangan, “Kesenangan ini hanya milikmu, sedangkan aku ....” Fletcher tersenyum dan menghentikan ucapannya bagaikan memikirkan sesuatu.
“Ya, Tuan? Marilah ikut bersenang-senang denganku,” ajak Levon kepada Fletcher sambil melirik wanita cantik yang menempel disampingnya.
Fletcher menyeringai jahat memainkan bibirnya. “Ow tidak Levon, aku akan bersenang-senang dengan wanitaku sendiri.”
“Dimana dia, Tuan?” tanya Levon, tetapi Fletcher tidak menjawab dan memberi isyarat kepada wanita itu untuk segera membawa Levon pergi dari hadapannya.
Setelah Levon berbalik badan dan berjalan, Fletcher menatap tajam Levon dan menyeringai jahat, “Wanitaku sekarang berada di retoran dan sedang menungguku. Aku akan bersenang-senang dengannya. Sementara dirimu ... malam ini akan bersenang-senang dengan wanita jal*ng itu. Ini sekaligus malam terakhirmu untuk bersenang-senang, karena setelah ini dirimu akan tamat.”
“Selamat masuk di perangkapku, Levon,” perangai Fletcher sambil berdiri dan tertawa sepuasnya.
Berselang beberapa menit, Levon dan wanita itu sudah berada di ruangan VVIP dan menuntun Levon menuju kasur. Kurang beberapa langkah, Levon mendorong keras wanita itu sampai terpental ke atas kasur.“Hei pemuda tampan, bersabarlah dan jangan bermain kasar,” ketus wanita itu kesakitan.“Siapa namamu, wanita jal*ng?” tanya Levon mempertebal ucapannya.“Brenda.”“Oke, Brenda. Malam ini kamu milikku!” seru Levon dengan tatapan menyeramkan sambil berjalan menghampiri Brenda dan menjambak rambutnya.“Sakit, Tuan. Jangan bermain kasar!” pinta Brenda menahan sakit.“Bukankah kamu sudah dibayar oleh Fletcher? Jadi aku berhak atas dirimu dan sesuka hatiku melakukan apa saja.”“Anda sangat mabuk be—berat,” rintih Brenda karena Levon semakin menekan rambutnya.Levon membanting tubuh Brenda, “Mabuk ataupun tidak, itu bukan urusanmu!” seru L
“Aku membicarakanmu, bajingan!” kesal Rose pada Fletcher sambil mengeraskan suara speaker hp yang sedang memutar isi rekaman video. Lalu, Rose menyodorkan hp itu pada Fletcher.“Apa? Tidak mungkin.” Fletcher terkejut setengah menahan malu setelah tahu rekaman video itu bukan Levon dan wanita jal*ng, melainkan video p*rno. Semua pengunjung yang mendengar, menertawakan Fletcher.“Diam!” teriak Fletcher sambil mematikan hp itu. Fletcher menatap tajam Levon sambil menelepon seseorang.“Kau salah mengirim video, sialan!” umpat Fletcher pada sesorang yang diteleponnya.“Maaf Tuan, sepertinya ada yang menghack isi rekaman itu,” jawab seseorang yang ditelepon Fletcher.“Bangsat!” kesal Fletcher sambil mematikan teleponnya dan menghampiri Levon penuh amarah.“Siapa dibalik semua ini, Sampah? Siapa yang kau suruh untuk menghack isi rekaman video bejatmu bersama wanita
“Ya...?” Rose tidak mengedipkan mata menatap Levon. Ia tidak sabar menunggu jawaban dari Levon.“Saya hanya menebak saja sosok Tuan Leo, setengah memberikan sedikit ancaman kepada Tuan Ethan agar sikapnya tidak semena-mena... tapi mereka justru tertawa dan mengangap ucapanku sebagai lelucon. Saya memang bodoh, tidak pandai mengarang cerita,” jelas Levon menyengir sambil memiringkan kepala menyipitkan mata.Rose menghela napas dan beberapa detik kemudian, ia tertawa sambil menepuk paha Levon, “Rupanya kau sedikit berani juga, Lev. Kau harus belajar lagi untuk meyakinkan sesorang bahwa ucapanmu itu fakta.”“Hehehe”“Aku tahu, kau melakukannya karena dirimu merasa kesal dan—” Rose tiba-tiba berhenti berkata dan bagai mikir seharusnya ia tak mengatakan ini pada Levon.“Dan selalu dihina oleh orang lain ... saya sudah terbiasa dengan itu,” sambung Levon tersenyum menatap
“Kau ...?” Rose dan Levon terperangah melihat kehadiran Fletcher, tanpa disadari ia sudah ada di meja makan sebelah.“Dasar Sampah tidak berguna! Bisanya hanya mengkhayal ... Mana mungkin orang miskin sepertimu bisa datang ke ruangan bawah tanah? Alam mimpi pun tidak sudi menerima orang kotor sepertimu!” sindir Fletcher di tempat duduk meja makannya. Ia tertawa sinis pada Levon.“Mengapa kau mengikuti kami, bajingan?” Rose spontan berdiri dan melotot pada Fletcher. Hal itu membuat para pengunjung melirik ke arah mereka.Fletcher berdiri menghampiri mereka, “Duduklah sayang ... Aku mengikutimu karena ingin menjagamu dari niat tangan kotor itu,” pungkas Fletcher lembut sambil melirik Levon dengan mata menyempit.“Ayo kita pergi dari tempat ini, Lev,” kesal Rose pada Fletcher sambil menarik tangan Levon, tetapi Levon tidak berdiri menuruti kemauan Rose.“Nona, makanannya dihabiskan dulu
“Maafkan aku, Rose. Maafkan jika pertanyaanku menyinggung perasaanmu.” Levon langsung menunduk dan mengatupkan tangan di depan dada. Rose terlihat marah, tetapi detik berikutnya berubah tertawa keras sampai memegangi perut, “Hahaha kau lucu, Lev. Kau seperti mobil tanpa rem.” “Hehehe.” Levon hanya bisa menyengir sambil menggaruk kepala. “Oke! Berhubung kau bertanya banyak sekaligus dengan super cepat maka kujawab juga dengan super cepat ... nama Papaku, Frankie. Nama Mamaku, Evelyn. Papa mempunyai perusahaan industri kimia di Washington. Dan mereka tinggal di rumah Washington agar lebih dekat dengan perusahaan. Seminggu sekali, Papa dan Mama mengunjungiku kesini.” Rose membalas Levon dengan menjawab pertanyaan dengan super cepat. “Oke! Kalau Papamu punya perusahaan, mengapa Rose tidak bekerja disana?” Levon tak mau kalah, ia bertanya lagi dengan super cepat. “Karena aku ingin mandiri dan untuk mencapai terget hidup.” Rose masih men
Keesokan hari, Levon berangkat ke kantor dengan peran seperti biasa. Levon langsung pergi menuju ruangan cleaning service untuk mengganti pakaian lusuhnya dengan seragam khusus cleaning service.Saat Levon membuka loker pakaian miliknya, ia kaget dan tak percaya. Di dalam loker ada jam tangan mahal merk Rolex. Beberapa detik, kekagetan Levon berubah menjadi sengiran, “Kau masih ingin bermain denganku? Sepertinya aku harus memberikan pelajaran padamu.” Yang dimaksud Levon adalah Fletcher. Ia tahu, jam tangan mahal yang ada di loker pakaian adalah milik Fletcher. Otak Levon bekerja, ia mengerti jam tangan ini dijadikan alat untuk menjebak dirinya.“Kau licik, Fletcher. Dan sedikit pintar,” gerutu Levon menyeringai sambil mengambil jam tangan.Bersamaan dengan itu, Fletcher, Jackson, dan beberapa staf lainnya datang ke ruangan Levon.“DASAR MALING!” teriak Fletcher menatap marah pada Levon yang sedang mem
“Coba dipercepat sedikit!” pinta Rose terus menerus mengetukkan jari pada meja komputer.“Baik, Nona.” Ronald mengangguk dan mempercepat rekaman cctv.“Stop!” perintah Rose melebarkan mata ketika isi rekaman menunjukkan seseorang yang mencurigakan.Orang yang dimaksud adalah Jackson. Ia mengendap-endap penuh hati-hati memasuki ruangan cleaning service. Di tangan Jackson terlihat sedang memegang sebuah jam tangan.“Tuan Jackson?” semua orang mulai bertanya-tanya keheranan pada Jackson.“Orang itu bukan aku!” kilah Jackson ragu-ragu membuka mulut dan kaki bergerak-gerak tidak tenang.“Untuk memperjelas, coba di zoom, Tuan,” pinta Levon dengan pandangan tidak terlepas dari layar komputer yang berisi rekaman cctv di depan pintu cleaning service.“Kamu benar, Lev. Cepat, Tuan Ronald!” Rose mempertegas ucapan Levon.“Baik.&rdqu
“Mengapa kau terkejut, Ethan? Tidak ada yang mustahil bagi Tuan Leo. Meski berada di Turki, ia tetap tahu pekerjaan anak buahnya disini!” geram Pulisic mengeraskan rahang memutari Ethan dengan tatapan iblis. “Tuan Leo sangat marah, ada pengunjungnya yang dihina oleh CEO restoran RDO sendiri.”“Ampun, Tuan. Sampaikan permintaan maafku pada Tuan Leo,” balas Ethan memelas sambil menurunkan badannya dan bersujud di kaki Pulisic.“Bukan kakiku yang harus kau cium, Ethan,” respon Pulisic tetap membiarkan Ethan mencium sepatu bersihnya.Ethan mengangkat alis, “Lalu? Siapa Tuan?”“Tuan Leo tidak akan memecatmu, asal kau mencium kaki pengunjung yang kau hina,” jelas Pulisic.Ethan membulatkan mata dan berdiri lagi, “Tidak mungkin, Tuan,” kata Ethan sambil melirik jijik ke arah Levon. Ethan semakin merasa jijik ketika melihat sepetu bekas yang melekat pada kaki Levon. “