Berselang beberapa menit, Levon dan wanita itu sudah berada di ruangan VVIP dan menuntun Levon menuju kasur. Kurang beberapa langkah, Levon mendorong keras wanita itu sampai terpental ke atas kasur.
“Hei pemuda tampan, bersabarlah dan jangan bermain kasar,” ketus wanita itu kesakitan.
“Siapa namamu, wanita jal*ng?” tanya Levon mempertebal ucapannya.
“Brenda.”
“Oke, Brenda. Malam ini kamu milikku!” seru Levon dengan tatapan menyeramkan sambil berjalan menghampiri Brenda dan menjambak rambutnya.
“Sakit, Tuan. Jangan bermain kasar!” pinta Brenda menahan sakit.
“Bukankah kamu sudah dibayar oleh Fletcher? Jadi aku berhak atas dirimu dan sesuka hatiku melakukan apa saja.”
“Anda sangat mabuk be—berat,” rintih Brenda karena Levon semakin menekan rambutnya.
Levon membanting tubuh Brenda, “Mabuk ataupun tidak, itu bukan urusanmu!” seru Levon sambil dengan tatapan mata seorang penjahat pada Brenda.
Brenda ketakutan, “Dengar, Tuan! Malam ini tubuhku milikmu, aku akan memuaskanmu dengan satu syarat ... jangan bermain kasar.” Ucapan Brenda sangat lembut. Ia berharap Levon luluh.
“Apakah aku tidak salah dengar? Anda tidak berhak memberi syarat apapun karena anda sudah dibayar!” Levon mengangkat dagu dan melebarkan matanya sebagai isyarat akan bermain kasar kepada Brenda.
“Baiklah, Tuan. Lakukan sesuka hatimu,” balas Brenda pasrah dengan gerakan gelisah dan menelan ludahnya sendiri.
Levon membuka pengait ikat pinggang dan menariknya. Kemudian mencambukkan hingga memunculkan suara tertentu.
“Apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Brenda gemetar dengan napas memburu.
“Untuk memukuli tubuhmu sampai memar,” jawab Levon menatap bringas kepada Brenda.
“Ma-maaf, Tuan. Sepertinya anda sudah kelewatan. Aku dibayar untuk memuaskan birahimu, bukan untuk disiksa,” kesal Brenda dengan menatap arah lain sambil bangkit dari kasur, tetapi Levon segera menghempaskan tubuhnya lagi dengan keras.
“Justru birahiku akan puas ketika menyiksa wanita murahan seperti dirimu!” teriak Levon membuat Brenda merasa terancam.
“Tuan! Aku akan kembalikan uangnya padamu, tapi biarkan aku pergi dari sini.” Brenda memelas dengan mengatupkan kedua tangan di depan dada.
“Baiklah kalau begitu, berikan uangnya dan kamu boleh pergi.” Levon menurunkan suaranya.
Brenda bangun dan berjalan menuju sofa di sebelah kasur. “Ini uangnya, Tuan.” Brenda menyodorkan uang 500 dolar yang diambil dalam tasnya.
“Rupanya sebelum membawaku kesini, anda sudah kesini terlebih dahulu,” singgung Levon tersenyum kecut melihat tas Brenda berada di dalam ruangan.
Brenda tidak merespon ucapan Levon, ia segera pergi. Di depan pintu ruangan, ia berhenti dan menoleh ke belakang dengan ekspresi sangat kesal, “Orang miskin seperti dirimu memang lebih tertarik pada uang daripada keindahan tubuh seorang wanita.”
Levon menyengir, “Brenda! Dirimu sangat cantik. Aku yakin kamu akan mudah mendapatkan pekerjaan yang terhormat daripada pekerjaan murahan ini,” nasihat Levon sambil memasang ikat pinggangnya kembali. Brenda berpikir sejenak, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Setelah selesai memakai ikat pinggang, Levon mengambil hp di dalam kantong celana dan menelpon Pulisic “Tunggu di depan bar!” perintah Levon dan langsung menutup teleponnya tanpa mendengar jawaban Pulisic.
Levon pun bergegas meninggalkan ruangan, di luar bar Pulisic sudah menunggu. Levon masuk ke dalam mobil bagian belakang dan langsung mengambil laptop di sampingnya.
“Apa yang dilakukan si bajingan itu kepada Tuan?” tanya Pulisic sambil melajukan mobilnya.
“Sedikit bersenang-senang. Dia mengira aku masuk ke dalam jebakannya. Dia mengira aku terpengaruh oleh minuman beralkohol. Dia mengira aku mabuk berat, padahal aku hanya berpura-pura saja. Dia mengira aku tidak sadar dengan kalimat terakhir darinya.” Levon menyengir sambil mengutak-atik laptopnya.
“Lalu, apa langkah selanjutnya yang akan Tuan lakukan?” tanya Pulisic penasaran.
“Mencari tahu rencananya,” ucap Levon sambil tetap mengotak-atik laptopnya.
Beberapa lama kemudian, Levon menyeringai menatap layar laptopnya, “Kamu memang pintar, tapi sayang kepintaranmu belum seberapa. Kamu pikir aku sebodoh yang kamu lihat? Kamu pikir akan bisa menghancurkanku? Kamu salah besar!”
“Bajingan itu memang sangat jahat,” geram Pulisic sambil menghentikan mobilnya yang sudah sampai di restoran RDO.
Sebelum Levon masuk ke dalam restoran, ia membagi-bagikan uang 500 dolar yang didapat dari Brenda kepada beberapa anak belasan tahun yang berkeliaran di area restoran. Levon berjalan lagi menuju ke dalam restoran, tetapi sebelum memasuki pintu otomatis, ia dihadang oleh satpam bertubuh besar.
“Maaf Pemuda, restoran ini tidak memberikan makanan gratis untuk seorang gelandangan.” Ucapan si satpam terlihat sopan, tapi tatapannya meremehkan penampilan Levon.
“Aku ingin makan di restoran ini,” ucap Levon lembut.
“Jangan bercanda, anak muda. Makanan dan minuman di restoran ini sangat mahal,” jawab si satpam sambil tertawa keras sampai didengar oleh pengunjung restoran.
“Aku benar-benar ingin makan disini, Tuan!” tegas Levon.
“Sepertinya anda sudah gila. Anda tahu harga satu minuman disini? Mungkin dirimu membutuhkan penghasilan satu tahun kerja untuk membeli satu minuman saja di restoran ini,” ucap si satpam sambil mendorong bahu Levon.
“Tuan! Aku berkata jujur. Di dalam sudah ada temanku yang menunggu. Izinkan aku masuk ke dalam,” ucap Levon memelas.
“Anda sudah melewati batas, membuat kesabaranku hilang. Jangan sampai aku bertindak kasar kepadamu.!” si satpam menggertakkan giginya untuk menakuti Levon.
“Nona Rose....” Levon justru berteriak sekencang mungkin. Si satpam semakin geram kepada Levon. Ia menghampiri dan mengayunkan tangan kanannya ke arah wajah Levon. Pukulan itu hanya sampai di depan wajah Levon karena dengan enteng tangan Levon menepisnya.
“Dengar Tuan! Aku sudah sabar dengan semua perlakuanmu padaku! Jangan membuatku marah dan memaksaku memukulmu!” Levon tiba-tiba memunculkan aura yang menakutkan kepada si satpam. Matanya tajam bak seekor elang membuat nyali si satpam menciut.
Di detik ini, Rose keluar dari restoran karena Levon berteriak memanggilnya. Levon langsung memasang aura orang biasa lagi.
“Levon?” sapa Rose.
“Maaf, Nona. Satpam ini tidak mengizinkanku masuk,” balas Levon sambil menunjuk si satpam.
“Mengapa anda tidak mengizinkan temanku masuk?” tanya Rose setengah memarahi si satpam di depannya.
“Maaf, Nona. Aku pikir dia berbohong.”
Rose menarik tangan Levon dan membawanya masuk ke dalam. Pengunjung keheranan melihat ada wanita cantik memakai baju bermerk sedang menggandeng seorang yang terlihat gembel. Di dalam juga ada Fletcher yang sudah berada di meja makan. Hatinya langsung tersengat ketika melihat Levon digandeng oleh Rose.
“Levon sudah datang. Jadi silahkan kamu pergi dari sini,” kata Rose pada Fletcher yang sudah sampai dihadapannya sambil tetap menggandeng tangan Levon.
Fletcher marah, tapi beberapa detik kemudian ia tertawa keras, “Hahaha apakah setelah kamu puas bermain dengan Brenda, kamu masih berani datang kesini?”
“Apa maksudmu, Fletcher?” tanya Rose penasaran.
“Apakah kamu tahu, Sayangku. Dia sudah bercinta dengan seorang pelacur di ruangan bar,” jawab Fletcher sambil melirik dengan tatapan sindiran pada Levon.
“Apa yang kau katakan, Tuan?” tanya Levon sambil menggelengkan kepalanya.
“Kau benar-benar manusia sampah, Fletcher. Barusan kau datang kesini menemuiku dan mengatakan Levon menyuruhmu untuk menggantikannya. Dan sekarang kau menuduhnya!” Rose memarahi Fletcher sambil menunjuk-nunjuk dirinya.
“Aku tidak menuduh, Sayangku. Dan kamu akan percaya kepadaku setelah melihat rekaman menjijikkan ini. Rekaman ini akan menunjukkan betapa bejatnya Levon dibalik wajah polosnya itu,” ucap Fletcher tersenyum jahat sambil memberikan hpnya kepada Rose.
Rose mengambil hp dari tangan Fletcher dan membuka rekaman yang dimaksud. Betapa terkejutnya setelah ia memutar rekaman itu, “Dasar otak mesum!”
“Itulah sifat asli si sampah itu,” timpal Fletcher sambil tertawa keras sampai pengunjung restoran memperhatikan mereka dan ingin tahu rekaman apa yang diberikan Fletcher kepada Rose.
“Aku membicarakanmu, bajingan!” kesal Rose pada Fletcher sambil mengeraskan suara speaker hp yang sedang memutar isi rekaman video. Lalu, Rose menyodorkan hp itu pada Fletcher.“Apa? Tidak mungkin.” Fletcher terkejut setengah menahan malu setelah tahu rekaman video itu bukan Levon dan wanita jal*ng, melainkan video p*rno. Semua pengunjung yang mendengar, menertawakan Fletcher.“Diam!” teriak Fletcher sambil mematikan hp itu. Fletcher menatap tajam Levon sambil menelepon seseorang.“Kau salah mengirim video, sialan!” umpat Fletcher pada sesorang yang diteleponnya.“Maaf Tuan, sepertinya ada yang menghack isi rekaman itu,” jawab seseorang yang ditelepon Fletcher.“Bangsat!” kesal Fletcher sambil mematikan teleponnya dan menghampiri Levon penuh amarah.“Siapa dibalik semua ini, Sampah? Siapa yang kau suruh untuk menghack isi rekaman video bejatmu bersama wanita
“Ya...?” Rose tidak mengedipkan mata menatap Levon. Ia tidak sabar menunggu jawaban dari Levon.“Saya hanya menebak saja sosok Tuan Leo, setengah memberikan sedikit ancaman kepada Tuan Ethan agar sikapnya tidak semena-mena... tapi mereka justru tertawa dan mengangap ucapanku sebagai lelucon. Saya memang bodoh, tidak pandai mengarang cerita,” jelas Levon menyengir sambil memiringkan kepala menyipitkan mata.Rose menghela napas dan beberapa detik kemudian, ia tertawa sambil menepuk paha Levon, “Rupanya kau sedikit berani juga, Lev. Kau harus belajar lagi untuk meyakinkan sesorang bahwa ucapanmu itu fakta.”“Hehehe”“Aku tahu, kau melakukannya karena dirimu merasa kesal dan—” Rose tiba-tiba berhenti berkata dan bagai mikir seharusnya ia tak mengatakan ini pada Levon.“Dan selalu dihina oleh orang lain ... saya sudah terbiasa dengan itu,” sambung Levon tersenyum menatap
“Kau ...?” Rose dan Levon terperangah melihat kehadiran Fletcher, tanpa disadari ia sudah ada di meja makan sebelah.“Dasar Sampah tidak berguna! Bisanya hanya mengkhayal ... Mana mungkin orang miskin sepertimu bisa datang ke ruangan bawah tanah? Alam mimpi pun tidak sudi menerima orang kotor sepertimu!” sindir Fletcher di tempat duduk meja makannya. Ia tertawa sinis pada Levon.“Mengapa kau mengikuti kami, bajingan?” Rose spontan berdiri dan melotot pada Fletcher. Hal itu membuat para pengunjung melirik ke arah mereka.Fletcher berdiri menghampiri mereka, “Duduklah sayang ... Aku mengikutimu karena ingin menjagamu dari niat tangan kotor itu,” pungkas Fletcher lembut sambil melirik Levon dengan mata menyempit.“Ayo kita pergi dari tempat ini, Lev,” kesal Rose pada Fletcher sambil menarik tangan Levon, tetapi Levon tidak berdiri menuruti kemauan Rose.“Nona, makanannya dihabiskan dulu
“Maafkan aku, Rose. Maafkan jika pertanyaanku menyinggung perasaanmu.” Levon langsung menunduk dan mengatupkan tangan di depan dada. Rose terlihat marah, tetapi detik berikutnya berubah tertawa keras sampai memegangi perut, “Hahaha kau lucu, Lev. Kau seperti mobil tanpa rem.” “Hehehe.” Levon hanya bisa menyengir sambil menggaruk kepala. “Oke! Berhubung kau bertanya banyak sekaligus dengan super cepat maka kujawab juga dengan super cepat ... nama Papaku, Frankie. Nama Mamaku, Evelyn. Papa mempunyai perusahaan industri kimia di Washington. Dan mereka tinggal di rumah Washington agar lebih dekat dengan perusahaan. Seminggu sekali, Papa dan Mama mengunjungiku kesini.” Rose membalas Levon dengan menjawab pertanyaan dengan super cepat. “Oke! Kalau Papamu punya perusahaan, mengapa Rose tidak bekerja disana?” Levon tak mau kalah, ia bertanya lagi dengan super cepat. “Karena aku ingin mandiri dan untuk mencapai terget hidup.” Rose masih men
Keesokan hari, Levon berangkat ke kantor dengan peran seperti biasa. Levon langsung pergi menuju ruangan cleaning service untuk mengganti pakaian lusuhnya dengan seragam khusus cleaning service.Saat Levon membuka loker pakaian miliknya, ia kaget dan tak percaya. Di dalam loker ada jam tangan mahal merk Rolex. Beberapa detik, kekagetan Levon berubah menjadi sengiran, “Kau masih ingin bermain denganku? Sepertinya aku harus memberikan pelajaran padamu.” Yang dimaksud Levon adalah Fletcher. Ia tahu, jam tangan mahal yang ada di loker pakaian adalah milik Fletcher. Otak Levon bekerja, ia mengerti jam tangan ini dijadikan alat untuk menjebak dirinya.“Kau licik, Fletcher. Dan sedikit pintar,” gerutu Levon menyeringai sambil mengambil jam tangan.Bersamaan dengan itu, Fletcher, Jackson, dan beberapa staf lainnya datang ke ruangan Levon.“DASAR MALING!” teriak Fletcher menatap marah pada Levon yang sedang mem
“Coba dipercepat sedikit!” pinta Rose terus menerus mengetukkan jari pada meja komputer.“Baik, Nona.” Ronald mengangguk dan mempercepat rekaman cctv.“Stop!” perintah Rose melebarkan mata ketika isi rekaman menunjukkan seseorang yang mencurigakan.Orang yang dimaksud adalah Jackson. Ia mengendap-endap penuh hati-hati memasuki ruangan cleaning service. Di tangan Jackson terlihat sedang memegang sebuah jam tangan.“Tuan Jackson?” semua orang mulai bertanya-tanya keheranan pada Jackson.“Orang itu bukan aku!” kilah Jackson ragu-ragu membuka mulut dan kaki bergerak-gerak tidak tenang.“Untuk memperjelas, coba di zoom, Tuan,” pinta Levon dengan pandangan tidak terlepas dari layar komputer yang berisi rekaman cctv di depan pintu cleaning service.“Kamu benar, Lev. Cepat, Tuan Ronald!” Rose mempertegas ucapan Levon.“Baik.&rdqu
“Mengapa kau terkejut, Ethan? Tidak ada yang mustahil bagi Tuan Leo. Meski berada di Turki, ia tetap tahu pekerjaan anak buahnya disini!” geram Pulisic mengeraskan rahang memutari Ethan dengan tatapan iblis. “Tuan Leo sangat marah, ada pengunjungnya yang dihina oleh CEO restoran RDO sendiri.”“Ampun, Tuan. Sampaikan permintaan maafku pada Tuan Leo,” balas Ethan memelas sambil menurunkan badannya dan bersujud di kaki Pulisic.“Bukan kakiku yang harus kau cium, Ethan,” respon Pulisic tetap membiarkan Ethan mencium sepatu bersihnya.Ethan mengangkat alis, “Lalu? Siapa Tuan?”“Tuan Leo tidak akan memecatmu, asal kau mencium kaki pengunjung yang kau hina,” jelas Pulisic.Ethan membulatkan mata dan berdiri lagi, “Tidak mungkin, Tuan,” kata Ethan sambil melirik jijik ke arah Levon. Ethan semakin merasa jijik ketika melihat sepetu bekas yang melekat pada kaki Levon. “
Levon tidak segera merespon ucapan Pulisic. Ia melangkah pada sofa dan mendaratkan pantatnya pada permukaan sofa, “Ceritakan!” perintah Levon dengan tatapan dingin pada Pulisic yang berdiri di hadapannya. “Omset perusahaan LEO Group di bulan ini sedang mengalami penurunan, Tuan,” jawab Pulisic dengan posisi masih berdiri di hadapan Levon. Ia sudah siap mendengar amarah dari Sang Tuan. Biasanya, Levon sangat marah ketika mendengar omzet perusahaan menurun. tidak seperti biasanya, Levon justru menguap mendengar penjelasan Pulisic. Ia tidak menunjukkan amarah sedikit pun, “Aku sangat mengantuk,” ucap Levon santai, lalu menepuk-nepuk sofa kosong disampingnya, “Kemarilah Tuan Pulisic, duduklah disampingku.” Pulisic menurut, ia melangkah dengan rasa takut. Pulisic duduk di samping Levon dengan wajah penuh keringat, padahal di ruangan ini sudah sangat dingin. Levon memang tersenyum, tetapi Pulisic mengartikan senyuman Levon adalah bahaya bagi dirinya. “Menga