Saat itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya di kaki Gunung Salak. Langit kelabu, seolah menutup rahasia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang cukup berani untuk mendengarnya.
Di antara pepohonan yang basah oleh embun, Arjuna Wisangjati berdiri dengan cangkul kecil di tangan kanan dan kamera dokumentasi di tangan kiri. Ia memandang batu-batu berlumut yang tertata acak namun tampak terlalu sempurna untuk buatan alam. Arjuna Wisangkati adalah arkeolog muda dari Universitas Padjadjaran. Ia dikirim untuk meneliti situs yang baru ditemukan setelah kejadian tanah longsor beberapa bulan lalu. Di catatan penduduk setempat, daerah ini disebut “Lembah Pameuntasan”, sebuah tempat para leluhur “berpulang dengan cara yang tidak manusia biasa ketahui.” Namun bagi Arjuna Wisangjati, ini hanyalah bagian dari pekerjaannya. Ia ilmuwan, bukan penganut takhayul. Atau begitulah pikirnya. “Ini koordinatnya, Juna. Tampaknya tanah longsor malam Minggu kemarin ternyata mengungkap lapisan yang belum pernah tersentuh sebelumnya.” Suryo membungkuk, menaruh paket alat ukur di meja. Matanya siaga seperti biasa, ia pragmatis, penanggung jawab lapangan yang jarang percaya pada cerita rakyat apalagi legenda. Arjuna mengangguk. “Kita dokumentasikan lapis demi lapis. Kerjakan grid tiga kali. Dan ingat, jangan sentuh ukiran tanpa kain!” Ia berbicara seperti seseorang yang menguasai prosedur ilmiah, tetapi di dalam dadanya seperti ada rasa lain yang bergetar samar. Matahari senja menyisakan garis oranye ketika mereka menemukan satu batu berbeda. Batu itu berbentuk segitiga datar, permukaannya ditumbuhi lumut namun tak acak, serta ada pola ukir melingkar yang seolah menunggu untuk dibaca. Arjuna mengambil kuas halus, menyapukan debu lembut dari permukaan. Tiba-tiba jarinya tersayat oleh serpihan batu kecil tersembunyi. Sakitnya tajam, ia menekan telunjuknya dan melihat setetes darah jatuh di atas ukiran. Seketika udara seperti menahan napas. Lumut di sekitar garis ukir tampak berkedip, dan garis-garis huruf yang semula samar memantulkan cahaya jingga keemasan halus, seperti bara yang menari dalam lapisan batu itu. “Juna, lihatlah!” Suryo mendesah, tetapi tetap menolak terlarut dalam kepanikan. “Reaksi kimia aneh? Mineral fosfor mungkin-.” Arjuna menatap ukiran yang kini menyala. Dalam kebisuan, suara halus menempel di benaknya, bukan suara dari luar, melainkan bisik di dalam. “Anjeun geus datang... Wisangjati.” (Kau telah datang... Wisangjati.) “Angin di gunung ini terasa aneh,” gumam Arjuna Wisangjati, ia berusaha terdengar dan terlihat rasional. “Mungkin fenomena elektromagnetik... atau refleksi cahaya.” Namun di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergetar. Seakan nama yang ia dengar dari bisikan itu... mengenalnya lebih dulu. Nama itu terdengar seperti gema yang menyingkap memori. Arjuna memejamkan mata, seraya menekan sendi telunjuk yang berdarah, serta mencoba menghitung kemungkinan ilmiah. Pengotor, luminesensi organik, reaksi oksidasi. Nalarnya sibuk berusaha memahami dan memberi nama. Namun ada sesuatu dalam nada bisikan yang membuat jantungnya rapuh, seperti mengetahui sebuah alamat lama yang lupa ditempati. Malam pun akhirnya menelan lereng Gunung Salak. Tenda-tenda tim memantulkan lampu sorot, bayangan manusia bergerak seperti potongan arsip hidup. Penduduk desa, seorang lelaki tua yang mereka undang sebagai penunjuk jalan, berdiri di tepi perkemahan. Ia datang dengan tongkat kayu, wajahnya seperti peta masa lalu. Arjuna mengenalnya dari cerita penduduk. Dia adalah Ki Sembada, tetua kampung yang selalu menyimpan sesajen di kantong bajunya. Ki Sembada tidak memberi ceramah. Ia mendekat pelan, meletakkan seikat bunga dan sedikit kemenyan pada tanah di dekat batu. Matanya menatap Arjuna lama, bukan menilai, tapi seolah membaca hal yang lebih dalam dari sekadar ekspedisi. “Leuweung jeung gunung teu sarua jeung peta, Nak,” katanya lirih. “Didieu aya nu dijaga ku karuhun.” (Hutan dan gunung tidaklah sama dengan peta, Nak. Di sini ada yang dijaga oleh leluhur.) Arjuna menunduk, menerima penghormatan simbolis itu. Ia tak mau menyinggung kepercayaan, namun rasa ilmiahnya menuntut bukti. Di catatan lapangan ia menulis. ‘Indikasi aktivitas fenomenologi tak biasa, dokumentasi lanjut’. Tulisan itu bagaimanapun terasa gersang, seperti halnya sebuah halaman yang sama pada salah satu tempat di hatinya kini juga berdetak lebih cepat. Malam pun semakin larut. Di luar tenda, kabut menampakkan kilau seperti upacara kecil. Di kejauhan, suara gamelan samar sayup terdengar, tapi entah dari pemuda desa atau dari sesuatu yang lain, seolah berputar-putar di antara batang pinus dan lebatnya pepohonan khas hutan tropis. Sementara Suryo, ia terlihat menutup kantung tidurnya dengan gelisah, namun kedua matanya tetap awas dan waspada. Arjuna sendiri tidak bisa tidur. Ia kemudian menaruh batu segitiga itu di meja kecil dan memutar ulang semua hipotesis yang ada. Entah mengapa, setiap kali ia menyentuh batu itu lagi, permukaan ukiran terasa hangat, seakan ada denyut dan hidup. Ia merogoh kantong, membersihkan telunjuknya dengan tisu, lalu bersandar ke kursi. Dalam keheningan itu, ia mendengar bukan lagi satu bisik, melainkan nyanyian pendek, layaknya kidung yang berulang: “Sang Hyang Nitenan, karuhun ngadangukeun, rasa ulah paeh.” (Sang Hyang mengamat, leluhur mendengar, rasa jangan padam.) Arjuna berusaha menutup mata keras-keras. Ia menolak memercayai sesuatu yang tidak ilmiah dan yang tak bisa diukur. Namun ternyata, mimpi datang seperti gelombang yang tak diminta. Saat itu, Arjuna melihat gambaran istana bata putih, sorak perang, seorang raja bertengger di singgasana, dan di antara kerumunan itu, seorang pria berpancang perisai yang wajahnya mengalir seperti air, namun ketika pria itu menoleh, Arjuna mengenali sorot matanya, pria itu seperti pantulan cermin dari dirinya sendiri. Arjuna kembali terjaga dengan napas tersengal, keringat menempel di pelipis. Saat itu dia pun akhirnya menyadari, di pergelangan tangan kanannya, samar ada bekas goresan yang menampakkan pola melengkung, sebuah garis halus seperti ukiran kujang. Ia menatapnya sejenak, lalu menutup telapak tangan. Bersamaan dengan itu, angin malam berhembus membawa bau dupa dari tempat Ki Sembada berdiri menunaikan doa. Pagi berikutnya lereng itu ternyata kembali berubah. Tim menemukan bekas longsor baru di sisi barat. Batu-batu yang terlepas menyingkap loteng batu lain, seperti titik awal sebuah labirin. Suryo memimpin pengukuran, ia menjajarkan tali, dan Ki Sembada berdiri memegang kain basah di tangannya, kedua matanya redup tapi penuh arti. Arjuna menatap lereng yang kini seakan menyimpan lebih banyak misteri. Ia menuliskan satu baris di jurnal lapangan yang terasa berbeda dari biasa. ‘Ekspedisi bukan lagi pencarian artefak. Ini mungkin panggilan ke asal yang lama.’ Di atas gua yang baru terbuka, kabut bergerak seperti bayangan yang mengenali bentuknya sendiri. Dan jauh di balik pepohonan, kilatan mata kuning sekelebat memantul, sesuatu yang bukan manusia, melainkan makna yang tak kunjung padam. Puncak bayangan yang akan menjadi legenda.Udara tiba-tiba bergemuruh, kemudian dari tengah ruangan, sebuah arca batu besar mulai retak dan cahaya biru tampak keluar dari sela-selanya.Bersamaan dengan itu, dari dalamnya muncul sosok pria berpakaian perang, bermahkota sederhana, membawa tombak berhulu kepala harimau. Kedua matanya menatap lurus pada Arjuna. “Anjeun nu nyekel Layung…” katanya dalam suara berat. “Getih karuhun geus nyambung deui. Tapi Pajajaran tacan rahayu.”(Kau yang memegang Layung… darah leluhur telah bersatu kembali. Tapi Pajajaran belum damai.)Arjuna hampir tidak bisa berbicara. “Anda… siapa?”Pria itu menancapkan tombaknya ke tanah. “Aku Raksa Dahana, panglima Pajajaran. Gugur di antara waktu, tapi tidak hilang dalam rasa.”Cahaya di sekeliling mereka semakin kuat.Raksa Dahana mendekat, menatap Arjuna dari dekat.“Kujang Layung itu bukan sekadar senjata. Ia adalah jembatan antara dunia dan rasa.Tapi bila hatimu tak jujur, kujang itu akan berbalik melawanmu,” ucap Raksa DahanaArjuna menunduk. “Bagaima
Ratu Rahayu pun menatap Arjuna penuh makna. “Apa yang baru saja terjadi itu baru permulaan. Sang Kala Niskala yang sebenarnya belum datang. Bila waktu sudah retak, duniamu akan menyaksikan Pajajaran bukan lagi hanya dalam cerita, tapi dalam kenyataan.”Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu mendekat, lalu menyentuh pundak Arjuna. Sentuhannya terasa dingin tapi menenangkan.“Kau harus pergi ke tempat asal Layung. Sebuah hutan yang disebut Lemah Niskala. Di sanalah para leluhur menunggu, dan jawaban tentang mengapa Pajajaran runtuh.”Tidak lama setelah itu, cahaya di sekitarnya mulai meredup. Ratu Rahayu menatap Arjuna sekali lagi, lalu berkata dengan suara lembut tapi tegas. “Jika kau tak datang kesana, Sang Kala Niskala akan menghapus rasa manusia.”Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu menghilang perlahan bersama kabut, meninggalkan harum bunga kantil dan wangi tanah hujan.Arjuna berdiri kaku, sementara di tangannya Kujang Layung kembali bersinar lembut. Sekarang bukan hanya memend
Nyi Pwah Aci melangkah mendekat dan menyentuh bilah Kujang Layung di tangan Arjuna. Dalam sekejap, cahaya merah yang dipendarkan kujang itu berganti menjadi cahaya putih keemasan.“Ini adalah tandanya Layung telah menerima darah baru. Tapi ingat, bila Layung telah mengenal pemiliknya, sang waktu takkan lagi melindungimu.”Tidak lama setelah itu, kabut mulai berputar di sekeliling mereka. Bayangan pasukan berseragam putih muncul samar. Mereka adalah prajurit Pajajaran, namun wajah mereka semua menunduk.Di antara mereka, Arjuna melihat sosok Raksa Dahana lagi. Namun kali ini, matanya menyala seperti bara.“Kau terlambat, Wisangjati!” Ucap Raksa Dahana, suaranya bergema dari segala arah. “Gerbang sudah terbuka. Sang Kala Niskala telah melangkah ke dunia kalian.”Arjuna ingin bertanya, tapi tiba-tiba semuanya memudar. Ia tersadar di tempat semula, lututnya tertekuk di tanah lembab.Suryo berlari menghampiri. “Juna! Apa yang terjadi? Mengapa kau pingsan?!”Ki Sembada hanya menatapnya deng
Raksa Dahana yang berdiri di samping Arjuna berkata, “Ini bukan mimpi, Arjuna. Ini adalah nyawa dari batu. Setiap batu di tanah Pajajaran ini menyimpan ingatan, setiap tanah yang kau pijak adalah saksi akan sesuatu yang belum usai.”Arjuna mengedarkan tatapannya, ia terpana. Ia melihat wajah-wajah rakyat yang hidup damai, suara gamelan lembut mengalun di kejauhan. Tapi seketika, langit jingga itu retak. Angin bertiup kencang, dan bayangan gelap mulai turun dari langit, seperti kabut hitam yang membawa bau besi dan darahRaksa Dahana menghunus kujang merah yang mirip dengan kujang di tangan Arjuna.“Apa yang kau lihat ini adalah saat ketika Pajajaran mulai runtuh,” Raksa Dahana lirih.Bersamaan dengan itu, Arjuna melihat pasukan berkerudung hitam menyerbu gerbang. Jeritan, benturan besi, dan doa-doa bersahutan dalam kekacauan.Ia berusaha berlari, tapi kakinya tak bergerak.Raksa Dahana berbalik kepada Arjuna. “Layung tak memilih, tapi membangunkan. Kau harus ingat, Arjuna Wisangjati —
Suryo tampak panik, karena lorong tempat Arjuna masuk terdengar cukup hening.Bahkan setelah beberapa kali berteriak tetap tak ada jawaban. Hanya saja beberapa kilatan cahaya yang semakin terang telihat memancar dari lorong tersebut.Sementara itu, Ki Sembada justeru terlihat menunduk dan bahkan terdengar berbisik. “Siksa Kandang Karesian, jaga rahayu bumi Sunda.”(Siksa Kandang Karesian, jagalah keseimbangan bumi Sunda.Kembali ke dalam lorong, saat itu Arjuna justeru sedang melihat kilasan gambar cepat di matanya.Langit tampak memerah, pasukan berpakaian putih berbaris di bawah gerbang batu dan seorang lelaki bertopeng berdiri di hadapan mereka, membawa kujang yang sama. “Raksa Dahana...” gumam Arjuna tanpa sadar.Dalam penglihatannya itu, lelaki bertopeng tersebut juga sedang menatapnya dengan mata menyala dan berkata. “Kujang Layung bukan senjata, tapi perjanjian. Jika kau sudah memegangnya, berarti kau menerima sumpah yang belum selesai ditebus.”Arjuna berteriak berusaha men
Ki Sembada kembali berteriak beberapa kali, namun Arjuna tetap berdiri dan tak bergeming, kedua sorot matanya kosong menatap ke arah kabut. Yang tidak diketahui orang lain, saat itu dalam pandangan Arjuna, dunia yang dia lihat berubah. Saat itu dia tidak berada di Gunung Salak, tapi sedang berdiri di halaman istana besar, tembok putih, air kolam yang memantulkan sinar matahari. Orang-orang berbusana kerajaan berjalan cepat, membawa tombak dan panji. Ia bahkan mendengar suara tabuhan gamelan, lalu suara keras dari seseorang yang memanggil. “Raksa Dahana!” Arjuna menoleh ke arah sumber suara itu. Di sana ia melihat seseorang berdir,i seorang pria bertubuh tinggi, berwajah tegas dan memakai baju zirah ringan. Sorot matanya seperti bara, hidup dan menakutkan. Pria itu menatap Arjuna dan berkata, “Wisangjati, waktumu sudah tiba. Pajajaran runtuh bukan karena musuh, tapi karena lupa. Dan kita... adalah penjaga terakhir dari rasa itu.” Tiba-tiba, semuanya bergetar. Istana itu seketika