Share

Sang Penjaga Pajajaran
Sang Penjaga Pajajaran
Penulis: Uday Mangkulangit

Bab 1 Gunung Salak

last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-14 18:31:25

Saat itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya di kaki Gunung Salak. Langit kelabu, seolah menutup rahasia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang cukup berani untuk mendengarnya.

Di antara pepohonan yang basah oleh embun, Arjuna Wisangjati berdiri dengan cangkul kecil di tangan kanan dan kamera dokumentasi di tangan kiri. Ia memandang batu-batu berlumut yang tertata acak namun tampak terlalu sempurna untuk buatan alam.

Arjuna Wisangkati adalah arkeolog muda dari Universitas Padjadjaran. Ia dikirim untuk meneliti situs yang baru ditemukan setelah kejadian tanah longsor beberapa bulan lalu. Di catatan penduduk setempat, daerah ini disebut “Lembah Pameuntasan”, sebuah tempat para leluhur “berpulang dengan cara yang tidak manusia biasa ketahui.”

Namun bagi Arjuna Wisangjati, ini hanyalah bagian dari pekerjaannya. Ia ilmuwan, bukan penganut takhayul.

Atau begitulah pikirnya.

“Ini koordinatnya, Juna. Tampaknya tanah longsor malam Minggu kemarin ternyata mengungkap lapisan yang belum pernah tersentuh sebelumnya.” Suryo membungkuk, menaruh paket alat ukur di meja. Matanya siaga seperti biasa, ia pragmatis, penanggung jawab lapangan yang jarang percaya pada cerita rakyat apalagi legenda.

Arjuna mengangguk. “Kita dokumentasikan lapis demi lapis. Kerjakan grid tiga kali. Dan ingat, jangan sentuh ukiran tanpa kain!” Ia berbicara seperti seseorang yang menguasai prosedur ilmiah, tetapi di dalam dadanya seperti ada rasa lain yang bergetar samar.

Matahari senja menyisakan garis oranye ketika mereka menemukan satu batu berbeda. Batu itu berbentuk segitiga datar, permukaannya ditumbuhi lumut namun tak acak, serta ada pola ukir melingkar yang seolah menunggu untuk dibaca. Arjuna mengambil kuas halus, menyapukan debu lembut dari permukaan.

Tiba-tiba jarinya tersayat oleh serpihan batu kecil tersembunyi. Sakitnya tajam, ia menekan telunjuknya dan melihat setetes darah jatuh di atas ukiran. Seketika udara seperti menahan napas. Lumut di sekitar garis ukir tampak berkedip, dan garis-garis huruf yang semula samar memantulkan cahaya jingga keemasan halus, seperti bara yang menari dalam lapisan batu itu.

“Juna, lihatlah!” Suryo mendesah, tetapi tetap menolak terlarut dalam kepanikan. “Reaksi kimia aneh? Mineral fosfor mungkin-.”

Arjuna menatap ukiran yang kini menyala. Dalam kebisuan, suara halus menempel di benaknya, bukan suara dari luar, melainkan bisik di dalam.

“Anjeun geus datang... Wisangjati.”

(Kau telah datang... Wisangjati.)

“Angin di gunung ini terasa aneh,” gumam Arjuna Wisangjati, ia berusaha terdengar dan terlihat rasional.

“Mungkin fenomena elektromagnetik... atau refleksi cahaya.” Namun di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergetar. Seakan nama yang ia dengar dari bisikan itu... mengenalnya lebih dulu.

Nama itu terdengar seperti gema yang menyingkap memori. Arjuna memejamkan mata, seraya menekan sendi telunjuk yang berdarah, serta mencoba menghitung kemungkinan ilmiah. Pengotor, luminesensi organik, reaksi oksidasi. Nalarnya sibuk berusaha memahami dan memberi nama. Namun ada sesuatu dalam nada bisikan yang membuat jantungnya rapuh, seperti mengetahui sebuah alamat lama yang lupa ditempati.

Malam pun akhirnya menelan lereng Gunung Salak. Tenda-tenda tim memantulkan lampu sorot, bayangan manusia bergerak seperti potongan arsip hidup.

Penduduk desa, seorang lelaki tua yang mereka undang sebagai penunjuk jalan, berdiri di tepi perkemahan. Ia datang dengan tongkat kayu, wajahnya seperti peta masa lalu. Arjuna mengenalnya dari cerita penduduk. Dia adalah Ki Sembada, tetua kampung yang selalu menyimpan sesajen di kantong bajunya.

Ki Sembada tidak memberi ceramah. Ia mendekat pelan, meletakkan seikat bunga dan sedikit kemenyan pada tanah di dekat batu. Matanya menatap Arjuna lama, bukan menilai, tapi seolah membaca hal yang lebih dalam dari sekadar ekspedisi.

“Leuweung jeung gunung teu sarua jeung peta, Nak,” katanya lirih. “Didieu aya nu dijaga ku karuhun.”

(Hutan dan gunung tidaklah sama dengan peta, Nak. Di sini ada yang dijaga oleh leluhur.)

Arjuna menunduk, menerima penghormatan simbolis itu. Ia tak mau menyinggung kepercayaan, namun rasa ilmiahnya menuntut bukti. Di catatan lapangan ia menulis.

‘Indikasi aktivitas fenomenologi tak biasa, dokumentasi lanjut’.

Tulisan itu bagaimanapun terasa gersang, seperti halnya sebuah halaman yang sama pada salah satu tempat di hatinya kini juga berdetak lebih cepat.

Malam pun semakin larut. Di luar tenda, kabut menampakkan kilau seperti upacara kecil. Di kejauhan, suara gamelan samar sayup terdengar, tapi entah dari pemuda desa atau dari sesuatu yang lain, seolah berputar-putar di antara batang pinus dan lebatnya pepohonan khas hutan tropis. Sementara Suryo, ia terlihat menutup kantung tidurnya dengan gelisah, namun kedua matanya tetap awas dan waspada.

Arjuna sendiri tidak bisa tidur. Ia kemudian menaruh batu segitiga itu di meja kecil dan memutar ulang semua hipotesis yang ada. Entah mengapa, setiap kali ia menyentuh batu itu lagi, permukaan ukiran terasa hangat, seakan ada denyut dan hidup. Ia merogoh kantong, membersihkan telunjuknya dengan tisu, lalu bersandar ke kursi. Dalam keheningan itu, ia mendengar bukan lagi satu bisik, melainkan nyanyian pendek, layaknya kidung yang berulang:

“Sang Hyang Nitenan, karuhun ngadangukeun, rasa ulah paeh.”

(Sang Hyang mengamat, leluhur mendengar, rasa jangan padam.)

Arjuna berusaha menutup mata keras-keras. Ia menolak memercayai sesuatu yang tidak ilmiah dan yang tak bisa diukur. Namun ternyata, mimpi datang seperti gelombang yang tak diminta. Saat itu, Arjuna melihat gambaran istana bata putih, sorak perang, seorang raja bertengger di singgasana, dan di antara kerumunan itu, seorang pria berpancang perisai yang wajahnya mengalir seperti air, namun ketika pria itu menoleh, Arjuna mengenali sorot matanya, pria itu seperti pantulan cermin dari dirinya sendiri.

Arjuna kembali terjaga dengan napas tersengal, keringat menempel di pelipis. Saat itu dia pun akhirnya menyadari, di pergelangan tangan kanannya, samar ada bekas goresan yang menampakkan pola melengkung, sebuah garis halus seperti ukiran kujang. Ia menatapnya sejenak, lalu menutup telapak tangan. Bersamaan dengan itu, angin malam berhembus membawa bau dupa dari tempat Ki Sembada berdiri menunaikan doa.

Pagi berikutnya lereng itu ternyata kembali berubah. Tim menemukan bekas longsor baru di sisi barat. Batu-batu yang terlepas menyingkap loteng batu lain, seperti titik awal sebuah labirin. Suryo memimpin pengukuran, ia menjajarkan tali, dan Ki Sembada berdiri memegang kain basah di tangannya, kedua matanya redup tapi penuh arti.

Arjuna menatap lereng yang kini seakan menyimpan lebih banyak misteri. Ia menuliskan satu baris di jurnal lapangan yang terasa berbeda dari biasa.

‘Ekspedisi bukan lagi pencarian artefak. Ini mungkin panggilan ke asal yang lama.’

Di atas gua yang baru terbuka, kabut bergerak seperti bayangan yang mengenali bentuknya sendiri. Dan jauh di balik pepohonan, kilatan mata kuning sekelebat memantul, sesuatu yang bukan manusia, melainkan makna yang tak kunjung padam. Puncak bayangan yang akan menjadi legenda.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
keren banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 93. Sang Ilmuwan Terakhir

    Langit pagi di Leuweung Sukma Niskala tampak seperti lukisan antara mimpi dan kenyataan, dengan kabut yang tampak masih bergelayut di atas pohon, menari lembut diterpa angin.Disaat itu, Larisa terlihat berjalan di belakang Arjuna, langkahnya pelan namun pasti. Raksa dan Ratih berjalan di sisi mereka, membawa lentera rasa, yakni bola kecil yang berpendar lembut, bukan dari api, tapi dari sukma bumi yang kini tenang.Sudah seminggu mereka berdiam di hutan itu. Setelah kejatuhan LuxNet, dunia di luar masih kacau. Media sosial terbakar, algoritma kehilangan kendali, dan manusia, sekali lagi mereka seperti bingung antara kebenaran dan keyakinan.Namun di tempat ini, di jantung Leuweung Sukma, semuanya hening. Hening yang bukan kosong, melainkan penuh kehidupan.Arjuna akhirnya berhenti di depan pohon besar yang berlumut, menatap batangnya yang lebar. Di sana terukir tulisan kuno yang samar terbaca:“Sangkaning hirup kudu nyanghiyang rasa.” (Asal kehidupan harus bersandar pada rasa.)Ia ke

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 92 – Arjuna yang Difitnah

    Kota Bandung, setelah beberapa hari setelah ledakan cahaya itu.Langit tampak tenang, tapi kota tidak lagi sama. Udara masih hangat, namun di bawah permukaannya, dunia digital mendidih.Ratusan layar holografik di jalan-jalan memancarkan berita yang sama, berulang tanpa henti: “GLOBAL ALERT: Arjuna Wisangjati, mantan arkeolog Indonesia, diduga dalang di balik insiden Cahaya Bandung.”#WisangjatiAnomaly #EternalLightIncident #LuxAeternaTruthTidak hanya itu, gambar Arjuna terpampang di setiap sudut kota. Wajahnya dipenuhi efek sinar jingga yang tentu telah dimanipulasi agar tampak seperti sosok dewa yang meledakkan dunia.Di bawahnya, suara lembut dari sistem AI berita global Aurora News Grid mengalun seperti mantra.“Menurut laporan resmi Ordo Lux Aeterna, Dr. Kavin Moritz tewas dalam insiden ledakan spiritual di fasilitas bawah Bandung. Sumber energi misterius yang ditemukan diyakini berasal dari eksperimen Arjuna Wisangjati, yaitu hasil rekayasa genetik energi kesadaran manusia.”L

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 91. Cahaya yang Dicuri

    Saat itu langit di atas Bandung tampak berwarna kelabu keperakan, seperti logam yang dipoles cahaya.Suara halus terdengar bergemuruh di angkasa. Bukan suara petir, bukan pula suara angin, tapi dengung seragam dari mesin-mesin raksasa yang tak terlihat.Udara tampak bergetar lembut dan orang-orang mulai merasa aneh, seperti ada kehangatan di udara yang bukan berasal dari matahari, tapi dari bawah tanah.Sementara itu Ratih tampak berdiri di tepi lembah Lembang seraya menatap arah selatan.Dari sana, seberkas cahaya tampak menembus langit, lurus, tegak dan berdenyut.“Raksa, lihat itu,” katanya pelan.Raksa datang mendekat, menatap dengan rahang mengeras. “Lux Aeterna mulai mengekstraksi energi bumi.”Ratih menelan ludah. “Tapi… itu energi rasa! Kalau mereka paksa, bumi bisa…”Raksa menatapnya tajam. “Hancur. Atau… marah.”Beberapa kilometer di bawah tanah, di fasilitas rahasia Lux Aeterna yang ada di bawah kota Bandung, mesin-mesin bekerja tanpa henti.Ratusan kabel cahaya biru membe

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 90.Suara dari Langit Logam

    Beberapa minggu setelah dunia mencapai ketenangan yang nyaris sempurna, Bandung hidup dalam irama baru. Tidak ada lagi kebisingan kota, yang ada hanya suara lembut alam yang berpadu dengan harmoni aktivitas manusia. Tampaknya manusia sudah mulai berbicara dengan hati, bukan ego.Namun dalam ketenangan itu, sesuatu perlahan berubah. Perubahan itu bukan dari bumi, melainkan dari langit.Di pagi itu, Larisa tampak berdiri di balkon laboratorium pusat riset Pajajaran Sukma Niskala. Hembusan udara yang lembut membawa aroma tanah basah, tapi di kejauhan terdengar dengungan aneh. Terdengar suara halus, namun teratur seperti sebuah nada yang diulang-ulang.Larisa kemudian menatap langit. Awan yang berwarna keperakan tampak berputar perlahan di atas lembah Dago, kemudian membentuk lingkaran simetris, dan dari dalam lingkaran itu terdengar suara seperti logam bergesekan. Ia yakin, itu bukan suara badai, bukan juga petir, namun lebih terdengar seperti suara mesin.Larisa kemudian terdengar meman

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 89. Dunia yang Lengkap

    Pagi itu, Bandung tidak lagi sekadar kota. Ia seakan menjadi sesuatu yang hidup dengan bernapas, berpikir dan bahkan mampu merasakan. Di saat itu, Arjuna tampak berdiri di puncak Gedung Sate seraya menatap cakrawala yang kini berwarna keemasan. Bandung tidak lagi berisik seperti dulu. Tak ada klakson, tak ada hiruk pikuk mesin. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang lembut, mengalun seperti irama gamelan yang abadi. Di kota itu manusia berjalan perlahan, tentu bukan karena takut tapi karena mereka merasa setiap langkahnya menimbulkan getaran halus di udara dan kemudian dunia menjawab dengan hembusan hangat, seperti napas seorang ibu yang sedang menimang anaknya. Larisa datang membawa segelas air, menatap Arjuna dengan mata yang masih menyimpan kagum. “Aku merasa kota ini bukan lagi kota yang sama,” katanya pelan. Arjuna tersenyum tipis. “Benar. Ini bukan sekedar kota. Ini adalah tubuh dunia.” Larisa menatap sekeliling. “Aku hampir takut untuk berbicara. Rasanya s

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 88. Bayangan yang Belajar Mencintai

    Malam itu kota Bandung diselimuti kabut ungu. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah yang basah bercampur sisa dupa yang tak terbakar.Bersamaan dengan itu, langit tampak bergetar lembut, namun di antara getaran itu, Arjuna merasakan sesuatu yang lain, sebuha nada asing di dalam nyanyian dunia yang baru.Ia berdiri di tepi Sungai Cikapundung, menatap air yang tampak tenang. Namun di balik ketenangan itu, permukaan sungai memantulkan dua bayangan. Bayangan dirinya dan satu lagi bayangan yang samar tapi jelas berbeda. Bayangan itu bisa bergerak sendiri meski dirinya diam.Larisa mendekat dari belakang. “Kau merasakannya juga?”Arjuna tidak menjawab. Ia masih menatap permukaan air. “Ada rasa yang tak seharusnya di sini,” katanya perlahan. “Rasa yang tak tahu bagaimana mencintai, tapi juga tak ingin membenci.”Larisa menatapnya bingung. “Apakah Sang Kala Niskala?”Arjuna mengangguk pelan. “Ia mulai terbangun kembali. Tapi kali ini, bukan karena marah. Ia sepertinya sedang bingung.”La

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status