LOGINSaat itu hujan pagi mengguyur lereng Gunung Salak dengan halus, seperti tirai tipis antara dunia kasat mata dan yang tersembunyi.
Kabut bergulung, menutupi tenda-tenda penelitian. Arjuna Wisangjati berdiri di pinggir lereng, menatap bekas longsor semalam. Di bawah sana, ada rongga baru, seperti pintu kecil yang terbuka di tengah batu. Suryo datang membawa tali dan lampu kepala. “Sepertinya kita perlu periksa, Juna. Tapi kalau terlalu dalam, sebaiknya tunggu bantuan dari tim geologi.” Arjuna hanya mengangguk. Namun dalam dirinya, ada suara lain yang tak mau diam. “Bukalah jalan, Wisangjati. Kembalilah ke asal rasa…” Ia tidak tahu dari mana bisikan itu datang, tapi setiap kali kabut bergerak, suara itu seolah mengalun dari dalam gunung. Suryo menatapnya heran, rupanya hal itu tidak luput dari perhatiannya “Apa kau baik-baik saja, Juna?” Arjuna tersenyum tipis. “Ya, hanya... Aku seperti mendengar sesuatu, seperti ada gema.” “Gema?” Suryo mengernyit. “Ya. Tapi mungkin juga hanya imajinasiku,” jelas Arjuna. Setelah beberapa saat mereka pun menuruni lereng bekas longsoran itu perlahan. Ki Sembada berjalan di belakang, membawa tongkat kayu tua dan bungkusan kecil berisi bunga kantil serta dupa. “Gunung ini tak sembarang orang bisa membuka jalan,” kata Ki Sembada lirih. Suryo tertawa kecil kemudian berkata dengan nada menyindir. “Tenang saja, Ki. Kami tidak akan menggali terlalu dalam tanpa izin alam.” Ki Sembada menatapnya, matanya tajam namun tidak marah. “Izin alam tak bisa ditulis di atas kertas, Nak.” Arjuna menunduk hormat. Ia tahu, di balik tutur lembut itu, ada sebuah peringatan yang sangat serius. Setelah itu, mereka pun berjalan perlahan menapaki lereng bekas longsoran tersebut. Saat mereka sampai di dasar longsoran, Arjuna menyorotkan lampu kepala ke arah celah batu itu. Cahaya lampu tersebut memantul pada permukaan hitam berkilau. Ada pola ukiran halus di dalamnya, sebuah pola spiral yang berputar mengelilingi simbol seperti matahari yang terbalik. Ketika Arjuna menyentuh batu itu, rasa dingin tiba-tiba menjalar dari ujung jarinya hingga ke jantung. Bersamaan dengan itu, tanah di bawah mereka bergetar. Ki Sembada tampak dengan cepat menancapkan tongkatnya ke tanah sambil melantunkan sebuah kidung pelan. “Siksa karuhun, sing jaga rahayu...” (Hukuman leluhur, jagalah keseimbangan...) Suara gemuruh seketika berhenti, seperti gunung tersebut mendengar doa pria tua itu. Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi dibalik tenang wajahnya, hatinya bergetar hebat. Ia tahu, bukan karena keajaiban yang baru terjadi, tapi karena saat ukiran itu menyala sesaat, ia melihat sesuatu di dalam cahaya itu, bayangan seorang perempuan berpakaian putih, berdiri di antara kabut. Setelah meneliti tempat itu cukup lama dan mendapatkan beberapa gambar yang diambil oleh Suryo, serta Arjuna menuliskan dan mencatat beberapa hal yang menurutnya penting, mereka pun akhirnya memutuskan untuk kembali. *** Malamnya, di tenda utama, suasana terasa begitu hening. Suryo tampak sedang menyalin hasil survei, Ki Sembada duduk menyalakan dupa, sementara Arjuna menatap layar laptopnya, peta 3D situs itu menunjukkan struktur bawah tanah seperti koridor. Namun bagian tengahnya... kosong. Seolah sesuatu yang sangat besar hilang atau disembunyikan. Ia menatap catatan kecil di samping layar: “Simbol spiral, kemungkinan lambang waktu atau gerbang ritual.” Akhirnya suara Suryo memecah keheningan. “Menurutku, ini bukan hanya situs biasa. Tidak ada catatan kerajaan Sunda atau Pajajaran yang menyebut struktur seperti ini. Kalau kita benar, bukankah ini bisa mengubah sejarah.” Arjuna hanya menatap kosong. “Ya,” katanya pelan, “tapi mungkin juga mengubah sesuatu yang lebih dari sejarah.” Tidak lama setelah itu, Angin malam menembus celah tenda. Api dupa Ki Sembada bergetar. Tiba-tiba, dari luar terdengar suara seperti langkah kaki. Suara itu terdengar berat dan bergema dalam tanah. Suryo spontan memegang senter. “Apa itu? Apakah mungkin harimau?” Ki Sembada menggeleng perlahan. “Hutan tidak hanya dihuni binatang, Nak.” Arjuna keluar tenda perlahan. Di bawah sinar lampu, ia melihat bekas jejak besar di tanah berlumpur. Bentuknya seperti telapak manusia... tapi lebih panjang, dengan lekukan di tengah seperti cakar kujang. Dan di udara, samar-samar, terdengar sebuah bisikan. “Panyawarga geus hudang...” (Penjaga dunia leluhur telah terbangun...) Arjuna menatap sekeliling. Tak ada siapa pun. Tapi bulu kuduknya tiba-tiba berdiri, bukan karena takut, melainkan karena jiwanya mengenali sesuatu. Ia menatap langit Gunung Salak yang diselimuti awan tebal, lalu berbisik pelan, “Apa sebenarnya yang ingin kau tunjukkan padaku...?” Tepat setelah Arjuna berkata demikian, hujan rintik mulai membasahi gunung salak. Tiba-tiba, di kejauhan petir menyambar puncak gunung. Kendati sekejap, cahaya itu memantul di permukaan batu segitiga yang mereka temukan dan dari kilatan itu, seperti ada bayangan kujang bercahaya merah menari di antara kabut. Arjuna menyadari, apa pun yang telah ia bangunkan hari itu bukan sekadar misteri arkeologi. Itu adalah pintu pertama menuju masa yang belum selesai menulis dirinya sendiri. Hujan akhirnya berhenti menjelang tengah malam. Langit di atas Gunung Salak hitam pekat seperti tinta yang menelan bintang. Arjuna Wisangjati tampak duduk di depan tenda, menatap bara api unggun yang tinggal bara merah. Suara jangkrik terdengar, tapi entah mengapa, di sela-sela bunyi itu ada ritme aneh, seperti nyanyian rendah yang datang dari dalam tanah. Saat itu di dalam tenda Suryo sudah tertidur dan Ki Sembada masih berzikir pelan sambil menyalakan dupa. Namun Arjuna tidak bisa memejamkan mata. Sejak kejadian di gua tadi siang, pikirannya terus dihantui cahaya kujang merah itu. Seperti ada sesuatu yang menekan dadanya, bukan rasa takut, tapi semacam panggilan yang tidak berasal dari dunia ini. Angin tiba-tiba berhembus membawa aroma daun kering. Arjuna merasakan suhu di sekitarnya seketika turun drastis. Api unggun berkedip-kedip, lalu mati dengan sendirinya. Dalam gelap, ia mendengar suara langkah. Perlahan, bayangan seorang perempuan muncul di antara kabut. Perempuan itu berambut panjang, memakai kain putih, dan wajahnya samar seperti dilapisi cahaya bulan. “Wisangjati…” Suara itu lembut namun menggema di dalam benak Arjuna. Ia berdiri, separuh sadar, seperti tubuhnya dikendalikan oleh naluri yang tak ia pahami. “Siapa kau?” tanya Arjuna dengan suaranya bergetar. “Kami pernah mengenalmu... waktu kau masih menjadi penjaga gerbang timur. Namun saat itu, kau jatuh bersama cahaya dan dunia mulai melupakanmu” jawab sosok perempuan tersebut. Angin kemudian tiba-tiba berputar kencang, membawa desis yang menyerupai mantra. Ki Sembada yang sejak tadi duduk di dalam di tenda tiba-tiba menegakkan kepala, wajah tuanya terlihat menegang. Ia kemudian segera keluar dan melihat Arjuna berdiri sendirian di depan tenda, dikelilingi kabut pekat. “Arjuna!” panggil Ki Sembada dengan suara keras. Namun Arjuna tak menjawab. Tubuhnya tak bergeming. Namun kedua matanya tampak kosong menatap ke arah gelap.Langit pagi di Leuweung Sukma Niskala tampak seperti lukisan antara mimpi dan kenyataan, dengan kabut yang tampak masih bergelayut di atas pohon, menari lembut diterpa angin.Disaat itu, Larisa terlihat berjalan di belakang Arjuna, langkahnya pelan namun pasti. Raksa dan Ratih berjalan di sisi mereka, membawa lentera rasa, yakni bola kecil yang berpendar lembut, bukan dari api, tapi dari sukma bumi yang kini tenang.Sudah seminggu mereka berdiam di hutan itu. Setelah kejatuhan LuxNet, dunia di luar masih kacau. Media sosial terbakar, algoritma kehilangan kendali, dan manusia, sekali lagi mereka seperti bingung antara kebenaran dan keyakinan.Namun di tempat ini, di jantung Leuweung Sukma, semuanya hening. Hening yang bukan kosong, melainkan penuh kehidupan.Arjuna akhirnya berhenti di depan pohon besar yang berlumut, menatap batangnya yang lebar. Di sana terukir tulisan kuno yang samar terbaca:“Sangkaning hirup kudu nyanghiyang rasa.” (Asal kehidupan harus bersandar pada rasa.)Ia ke
Kota Bandung, setelah beberapa hari setelah ledakan cahaya itu.Langit tampak tenang, tapi kota tidak lagi sama. Udara masih hangat, namun di bawah permukaannya, dunia digital mendidih.Ratusan layar holografik di jalan-jalan memancarkan berita yang sama, berulang tanpa henti: “GLOBAL ALERT: Arjuna Wisangjati, mantan arkeolog Indonesia, diduga dalang di balik insiden Cahaya Bandung.”#WisangjatiAnomaly #EternalLightIncident #LuxAeternaTruthTidak hanya itu, gambar Arjuna terpampang di setiap sudut kota. Wajahnya dipenuhi efek sinar jingga yang tentu telah dimanipulasi agar tampak seperti sosok dewa yang meledakkan dunia.Di bawahnya, suara lembut dari sistem AI berita global Aurora News Grid mengalun seperti mantra.“Menurut laporan resmi Ordo Lux Aeterna, Dr. Kavin Moritz tewas dalam insiden ledakan spiritual di fasilitas bawah Bandung. Sumber energi misterius yang ditemukan diyakini berasal dari eksperimen Arjuna Wisangjati, yaitu hasil rekayasa genetik energi kesadaran manusia.”L
Saat itu langit di atas Bandung tampak berwarna kelabu keperakan, seperti logam yang dipoles cahaya.Suara halus terdengar bergemuruh di angkasa. Bukan suara petir, bukan pula suara angin, tapi dengung seragam dari mesin-mesin raksasa yang tak terlihat.Udara tampak bergetar lembut dan orang-orang mulai merasa aneh, seperti ada kehangatan di udara yang bukan berasal dari matahari, tapi dari bawah tanah.Sementara itu Ratih tampak berdiri di tepi lembah Lembang seraya menatap arah selatan.Dari sana, seberkas cahaya tampak menembus langit, lurus, tegak dan berdenyut.“Raksa, lihat itu,” katanya pelan.Raksa datang mendekat, menatap dengan rahang mengeras. “Lux Aeterna mulai mengekstraksi energi bumi.”Ratih menelan ludah. “Tapi… itu energi rasa! Kalau mereka paksa, bumi bisa…”Raksa menatapnya tajam. “Hancur. Atau… marah.”Beberapa kilometer di bawah tanah, di fasilitas rahasia Lux Aeterna yang ada di bawah kota Bandung, mesin-mesin bekerja tanpa henti.Ratusan kabel cahaya biru membe
Beberapa minggu setelah dunia mencapai ketenangan yang nyaris sempurna, Bandung hidup dalam irama baru. Tidak ada lagi kebisingan kota, yang ada hanya suara lembut alam yang berpadu dengan harmoni aktivitas manusia. Tampaknya manusia sudah mulai berbicara dengan hati, bukan ego.Namun dalam ketenangan itu, sesuatu perlahan berubah. Perubahan itu bukan dari bumi, melainkan dari langit.Di pagi itu, Larisa tampak berdiri di balkon laboratorium pusat riset Pajajaran Sukma Niskala. Hembusan udara yang lembut membawa aroma tanah basah, tapi di kejauhan terdengar dengungan aneh. Terdengar suara halus, namun teratur seperti sebuah nada yang diulang-ulang.Larisa kemudian menatap langit. Awan yang berwarna keperakan tampak berputar perlahan di atas lembah Dago, kemudian membentuk lingkaran simetris, dan dari dalam lingkaran itu terdengar suara seperti logam bergesekan. Ia yakin, itu bukan suara badai, bukan juga petir, namun lebih terdengar seperti suara mesin.Larisa kemudian terdengar meman
Pagi itu, Bandung tidak lagi sekadar kota. Ia seakan menjadi sesuatu yang hidup dengan bernapas, berpikir dan bahkan mampu merasakan. Di saat itu, Arjuna tampak berdiri di puncak Gedung Sate seraya menatap cakrawala yang kini berwarna keemasan. Bandung tidak lagi berisik seperti dulu. Tak ada klakson, tak ada hiruk pikuk mesin. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang lembut, mengalun seperti irama gamelan yang abadi. Di kota itu manusia berjalan perlahan, tentu bukan karena takut tapi karena mereka merasa setiap langkahnya menimbulkan getaran halus di udara dan kemudian dunia menjawab dengan hembusan hangat, seperti napas seorang ibu yang sedang menimang anaknya. Larisa datang membawa segelas air, menatap Arjuna dengan mata yang masih menyimpan kagum. “Aku merasa kota ini bukan lagi kota yang sama,” katanya pelan. Arjuna tersenyum tipis. “Benar. Ini bukan sekedar kota. Ini adalah tubuh dunia.” Larisa menatap sekeliling. “Aku hampir takut untuk berbicara. Rasanya s
Malam itu kota Bandung diselimuti kabut ungu. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah yang basah bercampur sisa dupa yang tak terbakar.Bersamaan dengan itu, langit tampak bergetar lembut, namun di antara getaran itu, Arjuna merasakan sesuatu yang lain, sebuha nada asing di dalam nyanyian dunia yang baru.Ia berdiri di tepi Sungai Cikapundung, menatap air yang tampak tenang. Namun di balik ketenangan itu, permukaan sungai memantulkan dua bayangan. Bayangan dirinya dan satu lagi bayangan yang samar tapi jelas berbeda. Bayangan itu bisa bergerak sendiri meski dirinya diam.Larisa mendekat dari belakang. “Kau merasakannya juga?”Arjuna tidak menjawab. Ia masih menatap permukaan air. “Ada rasa yang tak seharusnya di sini,” katanya perlahan. “Rasa yang tak tahu bagaimana mencintai, tapi juga tak ingin membenci.”Larisa menatapnya bingung. “Apakah Sang Kala Niskala?”Arjuna mengangguk pelan. “Ia mulai terbangun kembali. Tapi kali ini, bukan karena marah. Ia sepertinya sedang bingung.”La







