แชร์

Bab 2. Pembuka Jalan

ผู้เขียน: Uday Mangkulangit
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-14 18:36:12

Saat itu hujan pagi mengguyur lereng Gunung Salak dengan halus, seperti tirai tipis antara dunia kasat mata dan yang tersembunyi.

Kabut bergulung, menutupi tenda-tenda penelitian. Arjuna Wisangjati berdiri di pinggir lereng, menatap bekas longsor semalam. Di bawah sana, ada rongga baru, seperti pintu kecil yang terbuka di tengah batu.

Suryo datang membawa tali dan lampu kepala. “Sepertinya kita perlu periksa, Juna. Tapi kalau terlalu dalam, sebaiknya tunggu bantuan dari tim geologi.”

Arjuna hanya mengangguk. Namun dalam dirinya, ada suara lain yang tak mau diam.

“Bukalah jalan, Wisangjati. Kembalilah ke asal rasa…”

Ia tidak tahu dari mana bisikan itu datang, tapi setiap kali kabut bergerak, suara itu seolah mengalun dari dalam gunung.

Suryo menatapnya heran, rupanya hal itu tidak luput dari perhatiannya “Apa kau baik-baik saja, Juna?”

Arjuna tersenyum tipis. “Ya, hanya... Aku seperti mendengar sesuatu, seperti ada gema.”

“Gema?” Suryo mengernyit.

“Ya. Tapi mungkin juga hanya imajinasiku,” jelas Arjuna.

Setelah beberapa saat mereka pun menuruni lereng bekas longsoran itu perlahan. Ki Sembada berjalan di belakang, membawa tongkat kayu tua dan bungkusan kecil berisi bunga kantil serta dupa.

“Gunung ini tak sembarang orang bisa membuka jalan,” kata Ki Sembada lirih.

Suryo tertawa kecil kemudian berkata dengan nada menyindir. “Tenang saja, Ki. Kami tidak akan menggali terlalu dalam tanpa izin alam.”

Ki Sembada menatapnya, matanya tajam namun tidak marah. “Izin alam tak bisa ditulis di atas kertas, Nak.”

Arjuna menunduk hormat. Ia tahu, di balik tutur lembut itu, ada sebuah peringatan yang sangat serius.

Setelah itu, mereka pun berjalan perlahan menapaki lereng bekas longsoran tersebut. Saat mereka sampai di dasar longsoran, Arjuna menyorotkan lampu kepala ke arah celah batu itu.

Cahaya lampu tersebut memantul pada permukaan hitam berkilau. Ada pola ukiran halus di dalamnya, sebuah pola spiral yang berputar mengelilingi simbol seperti matahari yang terbalik.

Ketika Arjuna menyentuh batu itu, rasa dingin tiba-tiba menjalar dari ujung jarinya hingga ke jantung.

Bersamaan dengan itu, tanah di bawah mereka bergetar. Ki Sembada tampak dengan cepat menancapkan tongkatnya ke tanah sambil melantunkan sebuah kidung pelan.

“Siksa karuhun, sing jaga rahayu...”

(Hukuman leluhur, jagalah keseimbangan...)

Suara gemuruh seketika berhenti, seperti gunung tersebut mendengar doa pria tua itu.

Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi dibalik tenang wajahnya, hatinya bergetar hebat. Ia tahu, bukan karena keajaiban yang baru terjadi, tapi karena saat ukiran itu menyala sesaat, ia melihat sesuatu di dalam cahaya itu, bayangan seorang perempuan berpakaian putih, berdiri di antara kabut.

Setelah meneliti tempat itu cukup lama dan mendapatkan beberapa gambar yang diambil oleh Suryo, serta Arjuna menuliskan dan mencatat beberapa hal yang menurutnya penting, mereka pun akhirnya memutuskan untuk kembali.

***

Malamnya, di tenda utama, suasana terasa begitu hening. Suryo tampak sedang menyalin hasil survei, Ki Sembada duduk menyalakan dupa, sementara Arjuna menatap layar laptopnya, peta 3D situs itu menunjukkan struktur bawah tanah seperti koridor. Namun bagian tengahnya... kosong. Seolah sesuatu yang sangat besar hilang atau disembunyikan.

Ia menatap catatan kecil di samping layar: “Simbol spiral, kemungkinan lambang waktu atau gerbang ritual.”

Akhirnya suara Suryo memecah keheningan. “Menurutku, ini bukan hanya situs biasa. Tidak ada catatan kerajaan Sunda atau Pajajaran yang menyebut struktur seperti ini. Kalau kita benar, bukankah ini bisa mengubah sejarah.”

Arjuna hanya menatap kosong.

“Ya,” katanya pelan, “tapi mungkin juga mengubah sesuatu yang lebih dari sejarah.”

Tidak lama setelah itu, Angin malam menembus celah tenda. Api dupa Ki Sembada bergetar.

Tiba-tiba, dari luar terdengar suara seperti langkah kaki. Suara itu terdengar berat dan bergema dalam tanah.

Suryo spontan memegang senter. “Apa itu? Apakah mungkin harimau?”

Ki Sembada menggeleng perlahan. “Hutan tidak hanya dihuni binatang, Nak.”

Arjuna keluar tenda perlahan. Di bawah sinar lampu, ia melihat bekas jejak besar di tanah berlumpur. Bentuknya seperti telapak manusia... tapi lebih panjang, dengan lekukan di tengah seperti cakar kujang.

Dan di udara, samar-samar, terdengar sebuah bisikan.

“Panyawarga geus hudang...”

(Penjaga dunia leluhur telah terbangun...)

Arjuna menatap sekeliling. Tak ada siapa pun. Tapi bulu kuduknya tiba-tiba berdiri, bukan karena takut, melainkan karena jiwanya mengenali sesuatu. Ia menatap langit Gunung Salak yang diselimuti awan tebal, lalu berbisik pelan, “Apa sebenarnya yang ingin kau tunjukkan padaku...?”

Tepat setelah Arjuna berkata demikian, hujan rintik mulai membasahi gunung salak. Tiba-tiba, di kejauhan petir menyambar puncak gunung. Kendati sekejap, cahaya itu memantul di permukaan batu segitiga yang mereka temukan dan dari kilatan itu, seperti ada bayangan kujang bercahaya merah menari di antara kabut.

Arjuna menyadari, apa pun yang telah ia bangunkan hari itu bukan sekadar misteri arkeologi. Itu adalah pintu pertama menuju masa yang belum selesai menulis dirinya sendiri.

Hujan akhirnya berhenti menjelang tengah malam. Langit di atas Gunung Salak hitam pekat seperti tinta yang menelan bintang.

Arjuna Wisangjati tampak duduk di depan tenda, menatap bara api unggun yang tinggal bara merah. Suara jangkrik terdengar, tapi entah mengapa, di sela-sela bunyi itu ada ritme aneh, seperti nyanyian rendah yang datang dari dalam tanah.

Saat itu di dalam tenda Suryo sudah tertidur dan Ki Sembada masih berzikir pelan sambil menyalakan dupa. Namun Arjuna tidak bisa memejamkan mata. Sejak kejadian di gua tadi siang, pikirannya terus dihantui cahaya kujang merah itu. Seperti ada sesuatu yang menekan dadanya, bukan rasa takut, tapi semacam panggilan yang tidak berasal dari dunia ini.

Angin tiba-tiba berhembus membawa aroma daun kering. Arjuna merasakan suhu di sekitarnya seketika turun drastis. Api unggun berkedip-kedip, lalu mati dengan sendirinya. Dalam gelap, ia mendengar suara langkah.

Perlahan, bayangan seorang perempuan muncul di antara kabut. Perempuan itu berambut panjang, memakai kain putih, dan wajahnya samar seperti dilapisi cahaya bulan.

“Wisangjati…”

Suara itu lembut namun menggema di dalam benak Arjuna. Ia berdiri, separuh sadar, seperti tubuhnya dikendalikan oleh naluri yang tak ia pahami.

“Siapa kau?” tanya Arjuna dengan suaranya bergetar.

“Kami pernah mengenalmu... waktu kau masih menjadi penjaga gerbang timur.

Namun saat itu, kau jatuh bersama cahaya dan dunia mulai melupakanmu” jawab sosok perempuan tersebut.

Angin kemudian tiba-tiba berputar kencang, membawa desis yang menyerupai mantra.

Ki Sembada yang sejak tadi duduk di dalam di tenda tiba-tiba menegakkan kepala, wajah tuanya terlihat menegang. Ia kemudian segera keluar dan melihat Arjuna berdiri sendirian di depan tenda, dikelilingi kabut pekat.

“Arjuna!” panggil Ki Sembada dengan suara keras.

Namun Arjuna tak menjawab. Tubuhnya tak bergeming. Namun kedua matanya tampak kosong menatap ke arah gelap.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 8. Sang Kala Niskala dari Timur

    Udara tiba-tiba bergemuruh, kemudian dari tengah ruangan, sebuah arca batu besar mulai retak dan cahaya biru tampak keluar dari sela-selanya.Bersamaan dengan itu, dari dalamnya muncul sosok pria berpakaian perang, bermahkota sederhana, membawa tombak berhulu kepala harimau. Kedua matanya menatap lurus pada Arjuna. “Anjeun nu nyekel Layung…” katanya dalam suara berat. “Getih karuhun geus nyambung deui. Tapi Pajajaran tacan rahayu.”(Kau yang memegang Layung… darah leluhur telah bersatu kembali. Tapi Pajajaran belum damai.)Arjuna hampir tidak bisa berbicara. “Anda… siapa?”Pria itu menancapkan tombaknya ke tanah. “Aku Raksa Dahana, panglima Pajajaran. Gugur di antara waktu, tapi tidak hilang dalam rasa.”Cahaya di sekeliling mereka semakin kuat.Raksa Dahana mendekat, menatap Arjuna dari dekat.“Kujang Layung itu bukan sekadar senjata. Ia adalah jembatan antara dunia dan rasa.Tapi bila hatimu tak jujur, kujang itu akan berbalik melawanmu,” ucap Raksa DahanaArjuna menunduk. “Bagaima

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 7. Lemah Niskala

    Ratu Rahayu pun menatap Arjuna penuh makna. “Apa yang baru saja terjadi itu baru permulaan. Sang Kala Niskala yang sebenarnya belum datang. Bila waktu sudah retak, duniamu akan menyaksikan Pajajaran bukan lagi hanya dalam cerita, tapi dalam kenyataan.”Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu mendekat, lalu menyentuh pundak Arjuna. Sentuhannya terasa dingin tapi menenangkan.“Kau harus pergi ke tempat asal Layung. Sebuah hutan yang disebut Lemah Niskala. Di sanalah para leluhur menunggu, dan jawaban tentang mengapa Pajajaran runtuh.”Tidak lama setelah itu, cahaya di sekitarnya mulai meredup. Ratu Rahayu menatap Arjuna sekali lagi, lalu berkata dengan suara lembut tapi tegas. “Jika kau tak datang kesana, Sang Kala Niskala akan menghapus rasa manusia.”Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu menghilang perlahan bersama kabut, meninggalkan harum bunga kantil dan wangi tanah hujan.Arjuna berdiri kaku, sementara di tangannya Kujang Layung kembali bersinar lembut. Sekarang bukan hanya memend

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 6. Sang Ratu dalam kabut.

    Nyi Pwah Aci melangkah mendekat dan menyentuh bilah Kujang Layung di tangan Arjuna. Dalam sekejap, cahaya merah yang dipendarkan kujang itu berganti menjadi cahaya putih keemasan.“Ini adalah tandanya Layung telah menerima darah baru. Tapi ingat, bila Layung telah mengenal pemiliknya, sang waktu takkan lagi melindungimu.”Tidak lama setelah itu, kabut mulai berputar di sekeliling mereka. Bayangan pasukan berseragam putih muncul samar. Mereka adalah prajurit Pajajaran, namun wajah mereka semua menunduk.Di antara mereka, Arjuna melihat sosok Raksa Dahana lagi. Namun kali ini, matanya menyala seperti bara.“Kau terlambat, Wisangjati!” Ucap Raksa Dahana, suaranya bergema dari segala arah. “Gerbang sudah terbuka. Sang Kala Niskala telah melangkah ke dunia kalian.”Arjuna ingin bertanya, tapi tiba-tiba semuanya memudar. Ia tersadar di tempat semula, lututnya tertekuk di tanah lembab.Suryo berlari menghampiri. “Juna! Apa yang terjadi? Mengapa kau pingsan?!”Ki Sembada hanya menatapnya deng

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 5. Nyawa dari batu

    Raksa Dahana yang berdiri di samping Arjuna berkata, “Ini bukan mimpi, Arjuna. Ini adalah nyawa dari batu. Setiap batu di tanah Pajajaran ini menyimpan ingatan, setiap tanah yang kau pijak adalah saksi akan sesuatu yang belum usai.”Arjuna mengedarkan tatapannya, ia terpana. Ia melihat wajah-wajah rakyat yang hidup damai, suara gamelan lembut mengalun di kejauhan. Tapi seketika, langit jingga itu retak. Angin bertiup kencang, dan bayangan gelap mulai turun dari langit, seperti kabut hitam yang membawa bau besi dan darahRaksa Dahana menghunus kujang merah yang mirip dengan kujang di tangan Arjuna.“Apa yang kau lihat ini adalah saat ketika Pajajaran mulai runtuh,” Raksa Dahana lirih.Bersamaan dengan itu, Arjuna melihat pasukan berkerudung hitam menyerbu gerbang. Jeritan, benturan besi, dan doa-doa bersahutan dalam kekacauan.Ia berusaha berlari, tapi kakinya tak bergerak.Raksa Dahana berbalik kepada Arjuna. “Layung tak memilih, tapi membangunkan. Kau harus ingat, Arjuna Wisangjati —

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 4. Kujang Layung

    Suryo tampak panik, karena lorong tempat Arjuna masuk terdengar cukup hening.Bahkan setelah beberapa kali berteriak tetap tak ada jawaban. Hanya saja beberapa kilatan cahaya yang semakin terang telihat memancar dari lorong tersebut.Sementara itu, Ki Sembada justeru terlihat menunduk dan bahkan terdengar berbisik. “Siksa Kandang Karesian, jaga rahayu bumi Sunda.”(Siksa Kandang Karesian, jagalah keseimbangan bumi Sunda.Kembali ke dalam lorong, saat itu Arjuna justeru sedang melihat kilasan gambar cepat di matanya.Langit tampak memerah, pasukan berpakaian putih berbaris di bawah gerbang batu dan seorang lelaki bertopeng berdiri di hadapan mereka, membawa kujang yang sama. “Raksa Dahana...” gumam Arjuna tanpa sadar.Dalam penglihatannya itu, lelaki bertopeng tersebut juga sedang menatapnya dengan mata menyala dan berkata. “Kujang Layung bukan senjata, tapi perjanjian. Jika kau sudah memegangnya, berarti kau menerima sumpah yang belum selesai ditebus.”Arjuna berteriak berusaha men

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 3. Bisikan malam

    Ki Sembada kembali berteriak beberapa kali, namun Arjuna tetap berdiri dan tak bergeming, kedua sorot matanya kosong menatap ke arah kabut. Yang tidak diketahui orang lain, saat itu dalam pandangan Arjuna, dunia yang dia lihat berubah. Saat itu dia tidak berada di Gunung Salak, tapi sedang berdiri di halaman istana besar, tembok putih, air kolam yang memantulkan sinar matahari. Orang-orang berbusana kerajaan berjalan cepat, membawa tombak dan panji. Ia bahkan mendengar suara tabuhan gamelan, lalu suara keras dari seseorang yang memanggil. “Raksa Dahana!” Arjuna menoleh ke arah sumber suara itu. Di sana ia melihat seseorang berdir,i seorang pria bertubuh tinggi, berwajah tegas dan memakai baju zirah ringan. Sorot matanya seperti bara, hidup dan menakutkan. Pria itu menatap Arjuna dan berkata, “Wisangjati, waktumu sudah tiba. Pajajaran runtuh bukan karena musuh, tapi karena lupa. Dan kita... adalah penjaga terakhir dari rasa itu.” Tiba-tiba, semuanya bergetar. Istana itu seketika

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status