LOGINSaat itu fajar belum sepenuhnya datang.Udara di lembah Sukma Niskala terasa berbeda pagi itu, terasa lebih berat, lebih sunyi, seolah bumi sedang menahan napas.Di langit, cahaya jingga tampak tak lagi bergerak. Awan berhenti di tempatnya.Burung-burung yang biasanya melintas kini menggantung diam di udara,sayapnya tidak berkibar dan bahkan matanya tak berkedip.Larisa menatap ke langit dengan wajah pucat. “Juna… apa yang terjadi?”Arjuna berdiri di sisi batu besar, matanya menatap langit yang beku.“Waktu berhenti,” katanya perlahan. “Bukan karena dunia rusak, tapi karena rasa telah mencapai titik paling dalam.”Raksa berjalan mendekat, wajahnya tegang. “Kau bilang waktu berhenti? Tapi bagaimana kita masih bisa bergerak?”Arjuna menatapnya lembut. “Karena kita adalah bagian dari rasa, bukan bagian dari waktu.”Ratih menyentuh tanah. “Lihat ini… bahkan embun tidak jatuh dan daun tidak bergerak.”Ia kemudian menatap Arjuna dengan mata cemas. “Juna, apakah ini akhir dari segalanya?”A
Langit pagi di barat tampak tenang,namun di balik garis cakrawala, laut tampak berkilau dengan warna yang tidak biasa. Bukan biru, bukan hijau,melainkan campuran cahaya jingga dan keemasan yang bergerak seperti napas.Larisa berdiri di tepi pantai, alat pemindainya bergetar tanpa henti.“Juna,” katanya dengan nada cemas, “laut ini… tidak normal.”Arjuna berjalan mendekat. Ia menatap ombak yang datang perlahan, lalu surut kembali. Tapi setiap kali ombak menyentuh pasir, ia meninggalkan cahaya halus yang berdenyut seperti urat nadi.“Ini bukan laut yang marah,” kata Arjuna pelan. “Ini laut yang sedang mengingat.”Raksa mengerutkan kening. “Mengingat apa?”Arjuna menunduk kemudianmencelupkan jarinya ke dalam air. Begitu disentuh, suara-suara lembut muncul di udara. Suara itu bukan dari ombak, tapi dari dalam air itu sendiri. Bisikan dalam berbagai bahasa, dari masa dan tempat yang berbeda. Tangisan, tawa, doa dan sumpah bercampur jadi satu.Ratih menutup mulutnya, matanya berkaca. “Jun
Sore turun perlahan di dunia yang baru.Langit di atas lembah Sukma Niskala tampak berwarna keemasan, tapi di ujung barat, ada garis jingga pekat yang tidak pernah muncul sebelumnya, seolah cahaya itu menyimpan rahasia yang tak terucap.Larisa menatap ke arah itu dari atas batu tinggi. “Juna… kenapa warnanya berbeda?”Arjuna berdiri di sampingnya, tangan bersedekap, mata menatap ufuk. “Itu bukan warna langit, Larisa,” katanya perlahan. “Itu pantulan dari rasa manusia yang mulai tumbuh lagi. Cahaya dan bayangan selalu datang bersamaan.”Raksa datang membawa kabar dari lembah. “Juna, ada yang aneh. Beberapa orang di bawah sana… mulai mendengar suara-suara yang tidak bisa dijelaskan.”Ratih menatapnya khawatir. “Suara seperti apa?”Raksa menatap mereka satu per satu. “Suara dari dalam diri mereka sendiri.Ada yang menangis tanpa sebab, ada yang tertawa tiba-tiba, ada pula yang berteriak karena katanya, bumi berbicara terlalu keras.”Larisa menatap Arjuna, wajahnya cemas. “Apakah ini… efe
Fajar di dunia baru datang tanpa suara, tanpa kilatan cahaya yang tiba-tiba, hanya kelembutan warna lembayung yang perlahan menyelimuti bumi.Udara di lembah Sukma Niskala bergetar tenang. Pohon-pohon tua memancarkan embun bercahaya, air di sungai mengalir dengan irama pelan, seperti sedang bernyanyi.Larisa menatap pemandangan itu dari tepi batu besar di punggung gunung.“Juna,” katanya dengan lembut, “ini… terasa berbeda.”Arjuna yang berdiri di sampingnya dengan mata menatap lembah di bawah, ketempat cahaya dan bayangan kini menari tanpa saling menelan.“Ya,” jawabnya tenang. “Dunia sedang belajar bernafas lagi.”Raksa datang membawa kendi berisi air dari sungai. Ia menuangkannya ke dalam wadah tanah liat di depan Arjuna.“Airnya berwarna jingga,” katanya pelan. “Seperti langit sore.”Arjuna menyentuh air itu. Terasa hangat dan hidup. “Bukan warna air yang berubah, Raksa. Tapi rasa kita yang kini bisa melihatnya.”Ratih duduk di atas batu datar, menatap langit yang perlahan membent
Lorong cahaya itu memanjang tanpa ujung, seperti perjalanan tanpa jarak, hanya perubahan warna, dari keemasan menjadi lembayung, lalu biru tua yang tenang. Udara di dalamnya tidak bergerak, namun setiap langkah terasa seperti melangkah di antara detak jantung dunia.Larisa menatap sekeliling, matanya terbelalak kagum. “Juna… di mana kita?”Arjuna berjalan di depan, langkahnya pelan tapi pasti. “Di antara waktu dan rasa, Larisa. Tempat ini bukan masa depan, bukan masa lalu, tapi jembatan di antara keduanya.”Raksa menatap sekeliling, wajahnya tegang. “Seperti mimpi yang sadar.”Ratih mengangguk pelan. “Atau seperti ketika kita bermimpi tentang sesuatu yang sudah terjadi, tapi belum selesai.”Arjuna tersenyum tipis. “Itu karena semua waktu sebenarnya tidak terpisah. Mereka hidup di dalam rasa yang sama.Cahaya di ujung lorong pun tampak mulai berubah. Kini warnanya seperti api lembut, bukan panas, tapi hidup. Di tengah cahaya itu, tampak gerbang raksasa dari energi murni, penuh dengan u
Cahaya lembut menyelimuti tubuh mereka saat melangkah masuk ke dalam celah bercahaya itu. Udara di sekitar seketika terasa hangat namun tenang, seperti napas bumi yang mengalun di antara detik dan hening.Arjuna berjalan paling depan seraya membawa Kujang Layung yang berpendar perlahan. Setiap langkahnya tampak menimbulkan riak cahaya di lantai yang bukan tanah, melainkan semacam kristal tembus pandang, layaknya pijakan dari rasa itu sendiri.Raksa menatap sekeliling, matanya bergetar. “Jun… ini bukan gua.”Larisa mengangguk, suaranya nyaris berbisik. “Ini… seperti dunia lain.”Ratih menatap langit-langit di atas mereka, tak ada batu yang ada hanya hamparan cahaya yang bergerak seperti air. Dari kejauhan terdengar suara halus, seperti kidung kuno yang dinyanyikan ribuan suara, namun tidak berasal dari satu arah pun.Arjuna menutup mata sejenak, lalu berbisik, “Selamat datang di Pajajaran Sukma Niskala.”Larisa menatapnya tak percaya. “Juna… jadi kerajaan ini benar-benar ada?”Arjuna m







