แชร์

Bab 6. Sang Ratu dalam kabut.

ผู้เขียน: Uday Mangkulangit
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-16 13:39:38

Nyi Pwah Aci melangkah mendekat dan menyentuh bilah Kujang Layung di tangan Arjuna. Dalam sekejap, cahaya merah yang dipendarkan kujang itu berganti menjadi cahaya putih keemasan.

“Ini adalah tandanya Layung telah menerima darah baru. Tapi ingat, bila Layung telah mengenal pemiliknya, sang waktu takkan lagi melindungimu.”

Tidak lama setelah itu, kabut mulai berputar di sekeliling mereka. Bayangan pasukan berseragam putih muncul samar. Mereka adalah prajurit Pajajaran, namun wajah mereka semua menunduk.

Di antara mereka, Arjuna melihat sosok Raksa Dahana lagi. Namun kali ini, matanya menyala seperti bara.

“Kau terlambat, Wisangjati!” Ucap Raksa Dahana, suaranya bergema dari segala arah. “Gerbang sudah terbuka. Sang Kala Niskala telah melangkah ke dunia kalian.”

Arjuna ingin bertanya, tapi tiba-tiba semuanya memudar. Ia tersadar di tempat semula, lututnya tertekuk di tanah lembab.

Suryo berlari menghampiri. “Juna! Apa yang terjadi? Mengapa kau pingsan?!”

Ki Sembada hanya menatapnya dengan mata tajam penuh makna. “Apakah kau sudah mulai bisa menyeberang?”

Arjuna tak menjawab. Ia masih belum memahami sepenuhnya pertanyaan Ki Sembada. Tatapan Arjuna justru terpusat pada tangannya, sebab di telapak kirinya kini terukir pola cahaya berbentuk tujuh titik melingkar, seperti lambang matahari Pajajaran. Dan ketika ia menyentuh kujang itu lagi, terdengar bisikan dari dalam logam:

“Sang Kala Niskala moal bisa ditahan, ngan bisa dijaga.”

(Sang Kala Niskala tak bisa dicegah, hanya bisa dijaga.)

***

Malam itu, Arjuna duduk di luar tenda, ia memandangi bintang-bintang dilangit.

Suryo tampak sudah tidur, tapi Ki Sembada terlihat masih terjaga, ia mengamati sekitar dengan mata tajam penuh rahasia.

“Ki… ” kata Arjuna pelan, “Apa maksudnya... Sang Kala Niskala sudah melangkah ke dunia kita?”

Ki Sembada menarik napas panjang. “Saat Pajajaran runtuh, tak semua roh kembali ke langit. Ada yang tertahan, ada yang mengeras oleh dendam. Mereka itulah yang kini mulai bangun kembali.”

Arjuna menggenggam Kujang Layung di pangkuannya. Cahaya merahnya sesekali berkedip, seperti napas seseorang dalam tidur.

Dan di kejauhan, dari arah hutan, terdengar suara seruling bambu mengalun, seperti irama kuno yang seharusnya tak mungkin ada di zaman ini.

Arjuna menutup matanya dan berbisik lirih. “Jika Sang Kala Niskala sudah melangkah... maka aku harus tahu kenapa mereka kembali.”

Dari dalam hatinya, suara Raksa Dahana berbisik pelan, “Sabab nagara teu sirna, ngan nungguan juru jagana.”

(Sebab negeri tak hilang, hanya menunggu penjaganya.)

Dan malam itu, Arjuna merasa sedikit mulai memahami, dunia yang ia kenal ini baru saja berubah selamanya.

Tampaknya malam itu kabut turun lebih awal. Namun angin seperti berhenti, dan seluruh hutan di kaki Gunung Salak menjadi sunyi, bahkan terlalu sunyi untuk disebut alam liar.

Arjuna Wisangjati yang duduk di luar tenda memandangi Kujang Layung di tangannya yang bersinar redup, berdenyut pelan seperti jantung yang menunggu detik kematian.

Ki Sembada tampak duduk bersila dengan tenang, entah tidur atau atau sedang berdo’a. Sedangkan Suryo, ia masih sibuk mencatat hasil pengukuran yang mereka lakukan beberapa hari di tempat tersebut.

Namun tiba-tiba, semua alatnya berhenti bekerja, kompas, GPS, bahkan jam tangannya. Jarum jam tangan kemudian berputar liar, lalu berhenti serentak, mengarah ke utara.

Arjuna segera berdiri.

“Ki, lihat ini…!”

Tapi ternyata Ki Sembada sudah membuka mata lebih dulu dan berkata dengan lirih, “Sekarang adalah saatnya! Kabut sudah turun, Sang Ratu akan datang.”

Bersamaan dengan itu, dari arah hutan suara kecapi terdengar sayup mengalun. Lembut, tapi setiap nadanya seperti menembus dada. Kabut mulai menebal, membentuk pusaran yang berputar perlahan. Di tengahnya, tiba-tiba muncul bayangan samar seorang perempuan dengan rambut panjang dan selendang putih berkilau. Setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya di tanah lembab.

Arjuna terpaku. Ia mengenal aura itu, sama seperti yang muncul dalam penglihatan sebelumnya. Sementara Suryo, ia tampak mundur beberapa langkah, wajahnya tampak sangat pucat.

Namun berbeda dengan Arjuna dan Suro, Ki Sembada justeru terlihat menunduk dalam-dalam seraya menempelkan tangan di dada.

“Wilujeng sumping, Nyi Mas Sri Rahayu,” katanya penuh hormat.

(Selamat datang, Nyi Mas Sri Rahayu.)

Arjuna menatap perempuan itu. Sekarang ia bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Muda, namun sorot kedua matanya penuh misteri, seakan menyimpan usia ribuan tahun. Kulitnya putih pucat bagai bulan, dan di dahinya tampak tanda tujuh titik bercahaya, sama dengan simbol di telapak tangan Arjuna.

“Kawula téh nu dijaga waktu,” ucapnya lirih, “tapi ayeuna waktu nu datang nyiar kawula.”

(Aku yang dulu dijaga waktu, tapi kini waktu yang datang mencariku.)

Arjuna memberanikan diri melangkah maju dan bertanya,“Apakah Anda... dari Pajajaran?”

Perempuan itu tersenyum samar. “Aku memang berasal dari Pajajaran, tapi bukan dari dunia ini.”

Ki Sembada menjelaskan pelan, “Beliau adalah Sang Ratu Rahayu, putri terakhir Pajajaran yang disembunyikan dalam hutan waktu sebelum kerajaan runtuh.”

Ratu Rahayu menatap Arjuna dalam-dalam. “Arjuna Wisangjati, darah leluhur telah kembali dalam tubuhmu. Layung yang kau pegang menyatukan dua dunia, dunia hidup dan dunia rasa.”

Tiba-tiba angin berhembus, membuat kabut bergulung ke segala arah. Dari dalam pusaran itu muncul bayangan- bayangan hitam. Bayangan itu tinggi, tanpa wajah, bergerak seperti asap yang hidup.

Suryo berteriak, “Apa itu, Juna?!”

Dengan segera Ki Sembada terlihat berdiri. Kemudian dia menancapkan tongkat kayunya ke tanah, membaca mantra dari Siksa Kandang Karesian:

“Heuleut, heuleut rasa, sing karuhun teu keuna kana rasa manusa!”

(Tahan, tahan rasa, jangan biarkan roh leluhur menyentuh jiwa manusia!)

Tapi bayangan-bayangan itu terus mendekat, dia bergerak melingkari mereka. Arjuna menggenggam Kujang Layung, dan cahaya merah dari bilahnya menyala terang.

Ratu Rahayu menatapnya, kemudian berkata, “Kujang Layung hanya bisa melawan bila hati pemiliknya sudah tak lagi memiliki keraguan.”

Mendengar hal itu, Arjuna dengan segera menutup kedua matanya, mengatur napas. Dalam sekejap, ia mendengar lagi suara Raksa Dahana di kepalanya:

“Jaga rasa, jaga nagara…!!!”

Arjuna kemudian membuka kedua matanya perlahan. Kemudian ia mengayunkan kujang itu ke arah bayangan tersebut. Cahaya merah yang keluar dari kujang menyapu kabut. Bukan hanya membakar, tapi membelah. Bayangan-bayangan itu tiba-tiba lenyap seketika, meninggalkan aroma besi dan dupa terbakar.

Suryo jatuh terduduk,napasnya terengah dengan mata terbelalak. “Juna... kau... Apa yang kau lakukan baru saja itu seperti…”

Arjuna tidak menjawab. Ia hanya menatap Ratu Rahayu yang kini berdiri diam di tengah kabut yang mulai menipis.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 93. Sang Ilmuwan Terakhir

    Langit pagi di Leuweung Sukma Niskala tampak seperti lukisan antara mimpi dan kenyataan, dengan kabut yang tampak masih bergelayut di atas pohon, menari lembut diterpa angin.Disaat itu, Larisa terlihat berjalan di belakang Arjuna, langkahnya pelan namun pasti. Raksa dan Ratih berjalan di sisi mereka, membawa lentera rasa, yakni bola kecil yang berpendar lembut, bukan dari api, tapi dari sukma bumi yang kini tenang.Sudah seminggu mereka berdiam di hutan itu. Setelah kejatuhan LuxNet, dunia di luar masih kacau. Media sosial terbakar, algoritma kehilangan kendali, dan manusia, sekali lagi mereka seperti bingung antara kebenaran dan keyakinan.Namun di tempat ini, di jantung Leuweung Sukma, semuanya hening. Hening yang bukan kosong, melainkan penuh kehidupan.Arjuna akhirnya berhenti di depan pohon besar yang berlumut, menatap batangnya yang lebar. Di sana terukir tulisan kuno yang samar terbaca:“Sangkaning hirup kudu nyanghiyang rasa.” (Asal kehidupan harus bersandar pada rasa.)Ia ke

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 92 – Arjuna yang Difitnah

    Kota Bandung, setelah beberapa hari setelah ledakan cahaya itu.Langit tampak tenang, tapi kota tidak lagi sama. Udara masih hangat, namun di bawah permukaannya, dunia digital mendidih.Ratusan layar holografik di jalan-jalan memancarkan berita yang sama, berulang tanpa henti: “GLOBAL ALERT: Arjuna Wisangjati, mantan arkeolog Indonesia, diduga dalang di balik insiden Cahaya Bandung.”#WisangjatiAnomaly #EternalLightIncident #LuxAeternaTruthTidak hanya itu, gambar Arjuna terpampang di setiap sudut kota. Wajahnya dipenuhi efek sinar jingga yang tentu telah dimanipulasi agar tampak seperti sosok dewa yang meledakkan dunia.Di bawahnya, suara lembut dari sistem AI berita global Aurora News Grid mengalun seperti mantra.“Menurut laporan resmi Ordo Lux Aeterna, Dr. Kavin Moritz tewas dalam insiden ledakan spiritual di fasilitas bawah Bandung. Sumber energi misterius yang ditemukan diyakini berasal dari eksperimen Arjuna Wisangjati, yaitu hasil rekayasa genetik energi kesadaran manusia.”L

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 91. Cahaya yang Dicuri

    Saat itu langit di atas Bandung tampak berwarna kelabu keperakan, seperti logam yang dipoles cahaya.Suara halus terdengar bergemuruh di angkasa. Bukan suara petir, bukan pula suara angin, tapi dengung seragam dari mesin-mesin raksasa yang tak terlihat.Udara tampak bergetar lembut dan orang-orang mulai merasa aneh, seperti ada kehangatan di udara yang bukan berasal dari matahari, tapi dari bawah tanah.Sementara itu Ratih tampak berdiri di tepi lembah Lembang seraya menatap arah selatan.Dari sana, seberkas cahaya tampak menembus langit, lurus, tegak dan berdenyut.“Raksa, lihat itu,” katanya pelan.Raksa datang mendekat, menatap dengan rahang mengeras. “Lux Aeterna mulai mengekstraksi energi bumi.”Ratih menelan ludah. “Tapi… itu energi rasa! Kalau mereka paksa, bumi bisa…”Raksa menatapnya tajam. “Hancur. Atau… marah.”Beberapa kilometer di bawah tanah, di fasilitas rahasia Lux Aeterna yang ada di bawah kota Bandung, mesin-mesin bekerja tanpa henti.Ratusan kabel cahaya biru membe

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 90.Suara dari Langit Logam

    Beberapa minggu setelah dunia mencapai ketenangan yang nyaris sempurna, Bandung hidup dalam irama baru. Tidak ada lagi kebisingan kota, yang ada hanya suara lembut alam yang berpadu dengan harmoni aktivitas manusia. Tampaknya manusia sudah mulai berbicara dengan hati, bukan ego.Namun dalam ketenangan itu, sesuatu perlahan berubah. Perubahan itu bukan dari bumi, melainkan dari langit.Di pagi itu, Larisa tampak berdiri di balkon laboratorium pusat riset Pajajaran Sukma Niskala. Hembusan udara yang lembut membawa aroma tanah basah, tapi di kejauhan terdengar dengungan aneh. Terdengar suara halus, namun teratur seperti sebuah nada yang diulang-ulang.Larisa kemudian menatap langit. Awan yang berwarna keperakan tampak berputar perlahan di atas lembah Dago, kemudian membentuk lingkaran simetris, dan dari dalam lingkaran itu terdengar suara seperti logam bergesekan. Ia yakin, itu bukan suara badai, bukan juga petir, namun lebih terdengar seperti suara mesin.Larisa kemudian terdengar meman

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 89. Dunia yang Lengkap

    Pagi itu, Bandung tidak lagi sekadar kota. Ia seakan menjadi sesuatu yang hidup dengan bernapas, berpikir dan bahkan mampu merasakan. Di saat itu, Arjuna tampak berdiri di puncak Gedung Sate seraya menatap cakrawala yang kini berwarna keemasan. Bandung tidak lagi berisik seperti dulu. Tak ada klakson, tak ada hiruk pikuk mesin. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang lembut, mengalun seperti irama gamelan yang abadi. Di kota itu manusia berjalan perlahan, tentu bukan karena takut tapi karena mereka merasa setiap langkahnya menimbulkan getaran halus di udara dan kemudian dunia menjawab dengan hembusan hangat, seperti napas seorang ibu yang sedang menimang anaknya. Larisa datang membawa segelas air, menatap Arjuna dengan mata yang masih menyimpan kagum. “Aku merasa kota ini bukan lagi kota yang sama,” katanya pelan. Arjuna tersenyum tipis. “Benar. Ini bukan sekedar kota. Ini adalah tubuh dunia.” Larisa menatap sekeliling. “Aku hampir takut untuk berbicara. Rasanya s

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 88. Bayangan yang Belajar Mencintai

    Malam itu kota Bandung diselimuti kabut ungu. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah yang basah bercampur sisa dupa yang tak terbakar.Bersamaan dengan itu, langit tampak bergetar lembut, namun di antara getaran itu, Arjuna merasakan sesuatu yang lain, sebuha nada asing di dalam nyanyian dunia yang baru.Ia berdiri di tepi Sungai Cikapundung, menatap air yang tampak tenang. Namun di balik ketenangan itu, permukaan sungai memantulkan dua bayangan. Bayangan dirinya dan satu lagi bayangan yang samar tapi jelas berbeda. Bayangan itu bisa bergerak sendiri meski dirinya diam.Larisa mendekat dari belakang. “Kau merasakannya juga?”Arjuna tidak menjawab. Ia masih menatap permukaan air. “Ada rasa yang tak seharusnya di sini,” katanya perlahan. “Rasa yang tak tahu bagaimana mencintai, tapi juga tak ingin membenci.”Larisa menatapnya bingung. “Apakah Sang Kala Niskala?”Arjuna mengangguk pelan. “Ia mulai terbangun kembali. Tapi kali ini, bukan karena marah. Ia sepertinya sedang bingung.”La

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status