Beranda / Fantasi / Sang Penjaga Pajajaran / Bab 7. Lemah Niskala

Share

Bab 7. Lemah Niskala

last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-16 13:41:57

Ratu Rahayu pun menatap Arjuna penuh makna. “Apa yang baru saja terjadi itu baru permulaan. Sang Kala Niskala yang sebenarnya belum datang. Bila waktu sudah retak, duniamu akan menyaksikan Pajajaran bukan lagi hanya dalam cerita, tapi dalam kenyataan.”

Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu mendekat, lalu menyentuh pundak Arjuna. Sentuhannya terasa dingin tapi menenangkan.

“Kau harus pergi ke tempat asal Layung. Sebuah hutan yang disebut Lemah Niskala. Di sanalah para leluhur menunggu, dan jawaban tentang mengapa Pajajaran runtuh.”

Tidak lama setelah itu, cahaya di sekitarnya mulai meredup. Ratu Rahayu menatap Arjuna sekali lagi, lalu berkata dengan suara lembut tapi tegas.

“Jika kau tak datang kesana, Sang Kala Niskala akan menghapus rasa manusia.”

Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu menghilang perlahan bersama kabut, meninggalkan harum bunga kantil dan wangi tanah hujan.

Arjuna berdiri kaku, sementara di tangannya Kujang Layung kembali bersinar lembut. Sekarang bukan hanya memendarkan warna merah, tapi campuran merah dan emas.

Ki Sembada mendekat pelan. “Sekarang kau sudah masuk ke waktu leluhur,” katanya dengan suara berat.

Arjuna menatap jauh ke arah hutan yang gelap. Di hatinya, suara Ratu Rahayu bergema sekali lagi.

“Leuweung nu tilem, lemah nu nyimpen kanyataan.”

(Hutan yang tertidur, tanah yang menyimpan kebenaran.)

Malam itu, Arjuna menulis catatan pendek di jurnalnya:

‘Hari ke-8 ekspedisi.

Subjek spiritual pertama muncul dalam bentuk manifestasi manusia.

Identifikasi: Ratu Rahayu Pajajaran.

Pesan utama: menuju Lemah Niskala.’

Ia menutup jurnalnya perlahan, kemudian memandangi kujang di tangannya.

Cahaya lembutnya memantul di matanya. Mata yang sekarang tidak lagi milik seorang arkeolog, tapi penjaga.

Dan dari arah hutan, sekali lagi suara kecapi terdengar…lirih, jauh, namun terasa penuh kerinduan.

***

Pagi datang dengan embun berat di dedaunan. Gunung Salak tampak bagai lautan kabut dari kejauhan.

Arjuna menatap puncak Gunung Salak, ia merasa sesuatu di dalam dirinya mulai berubah, seperti ada lapisan dunia lain yang perlahan terbuka di balik pandangannya.

Ki Sembada duduk bersila di samping api unggun kecil, menyalakan dupa dari kulit kayu. Aromanya tajam, bercampur wangi kapur barus. Sementara Suryo, meski masih takut, sekarang ia mulai ikut larut dalam keheningan pagi itu.

“Ki,” kata Arjuna pelan, “Apa sebenarnya Lemah Niskala itu?”

Ki Sembada menatapnya lama, lalu berkata lirih, “Lemah Niskala Itu adalah tempat atau tanah di antara dunia dan rasa. Di sana, waktu tidak mengalir. Raga bisa lenyap, tapi jiwa tetap hidup.”

Arjuna memandang kujang di tangannya. Bilahnya kini lebih terang, seperti memantulkan sinar dari dalam bumi.

Suryo menelan ludah. “Kalau benar itu tempat roh... Apakah kita tetap akan pergi ke sana?”

Ki Sembada tersenyum tipis. “Siapa pun yang datang ke sana, harus siap kembali bukan sebagai manusia.”

Setelah beberapa persiapan, mereka pun memutuskan untuk pergi ke tempat yang disebut Lemah Niskala.

Mereka berjalan beriringan menuju sisi barat Gunung Salak, menembus hutan yang semakin lebat. Burung-burung berhenti berkicau saat mereka lewat. Udara menebal dengan aroma tanah basah. Di kejauhan, Arjuna mendengar suara air mengalir, tapi semakin dekat, suara itu seketika lenyap, digantikan gema seruling yang entah dari mana asalnya.

Suryo memegang kamera kecilnya, tapi setiap kali ia mencoba merekam, layar hanya menampilkan kabut putih.

“Heh, semua sinyal mati lagi…” gumamnya kesal.

Arjuna berhenti di depan tebing batu yang ditumbuhi lumut hijau tua. Di sana, terukir tulisan kuno yang sebagian telah terkikis waktu. Namun saat ia mengusap permukaannya, huruf-huruf itu tiba-tiba menyala samar, membentuk kalimat dalam Aksara Sunda:

“Lamun rasa geus balik, lemah bakal muka jalan.”

(Bila jiwa telah pulang, tanah akan membuka jalan.)

Ki Sembada meletakkan tangannya di bahu Arjuna. “Hanya Kau yang bisa membuka jalan itu, Wisangjati. Tak ada yang lain.”

Mendengar hal itu, Arjuna kemudian menutup mata. Dalam dirinya, gema suara Ratu Rahayu terdengar lagi, suaranya lembut, tapi tegas.

“Lemah nu tilem, lemah nu nyimpen kanyataan…”

(Tanah yang hilang, tanah yang menyimpan kenyataan.)

Arjuna kemudian mengangkat Kujang Layung tinggi-tinggi. Begitu bilahnya menyentuh cahaya matahari, semburat merah keemasan menyala dari ujungnya, kemudian cahaya itu menembus batu di depannya. Tebing itu bergetar pelan, kemudian retak, lalu membuka celah sempit yang menelan kabut ke dalamnya.

Melihat hal itu, Suryo segera melangkah mundur. “Juna… apa kita benar-benar harus—”

“Tidak ada jalan lain,” potong Arjuna.

Ia menatap Ki Sembada, dan sang tetua hanya mengangguk. Mereka bertiga pun akahirnya melangkah masuk ke celah itu.

Ternyata di dalam celah itu udara berubah.

Hangat dan dingin bercampur emnjadi rasa yang aneh, mereka seperti berjalan dalam mimpi.

Dinding batu yang mereka lewati berkilau lembut, seolah ditumbuhi cahaya dari akar-akar yang hidup di bawah tanah.

Samar-samar suara-suara bergema, bukan dari luar, tapi dari dalam kepala mereka.

“Saha nu asup kudu bersih rasana…”

(Siapa pun yang masuk harus bersih jiwanya…)

“Mun aya nu ragu, lemah bakal nutup…”

(Jika ada yang ragu, tanah akan menutup…)

Suryo mulai gemetar. Ia nyaris mundur, tapi Arjuna memegang tangannya. “Tenanglah, Suryo. Fokus dan atur napasmu,” katanya.

Namun Suryo menatap sekeliling, wajahnya tampak pucat. “Juna, aku… aku dengar suara ibuku…”

Arjuna menatapnya tajam. “Jangan dengarkan. Itu bukan dia.”

Tapi ternyata sudah terlambat. Suryo melangkah ke arah gelap, dan seketika kabut hitam menelannya. Suara jeritan Suryo menggema sebentar… lalu hilang.

“Ki!” seru Arjuna, tapi Ki Sembada dengan segera menahan bahunya.

“Tidak semua hal harus diselamatkan sekarang.”

Merasa tidak ada pilihan lain, Arjuna pun akhirnya sejenak terdiam dengan kedua mata menatap kearah hilangnya Suryo.

Tidak lama setelah itu, Arjuna dan Ki Sembada pun memutuskan untuk terus berjalan. Hal itu setelah Arjuna yakin akan perkataan Ki Sembada, bahwa tidak semua takdir harus diselamatkan sekarang.

Kendati demikian, Arjuna tentu juga sangat berharap tidak terjadi apa-apa terhadap Suryo.

Setelah berjalan beberapa saat, Arjuna akhirnya mengetahui bahwa celah itu ternyata terbuka sampai ke sebuah ruang luas di bawah tanah. Menurut Ki Sembada itulah Lemah Niskala.

Di sana, tanah memantulkan cahaya keemasan, seperti langit yang tertanam di bawah bumi. Ratusan pilar batu berdiri mengelilingi mereka, masing-masing bertuliskan nama-nama yang kini hanya tinggal legenda:

“Sri Baduga Maharaja… Raksa Dahana… Rakeyan Wulung…”

Arjuna menatap nama terakhir dengan dada sesak. “Raksa Dahana…” gumamnya, “Aku pernah mendengar nama itu dalam mimpiku.”

Ki Sembada mengangguk. “Beliau adalah leluhur yang menitipkan jiwanya dalam tubuhmu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 93. Sang Ilmuwan Terakhir

    Langit pagi di Leuweung Sukma Niskala tampak seperti lukisan antara mimpi dan kenyataan, dengan kabut yang tampak masih bergelayut di atas pohon, menari lembut diterpa angin.Disaat itu, Larisa terlihat berjalan di belakang Arjuna, langkahnya pelan namun pasti. Raksa dan Ratih berjalan di sisi mereka, membawa lentera rasa, yakni bola kecil yang berpendar lembut, bukan dari api, tapi dari sukma bumi yang kini tenang.Sudah seminggu mereka berdiam di hutan itu. Setelah kejatuhan LuxNet, dunia di luar masih kacau. Media sosial terbakar, algoritma kehilangan kendali, dan manusia, sekali lagi mereka seperti bingung antara kebenaran dan keyakinan.Namun di tempat ini, di jantung Leuweung Sukma, semuanya hening. Hening yang bukan kosong, melainkan penuh kehidupan.Arjuna akhirnya berhenti di depan pohon besar yang berlumut, menatap batangnya yang lebar. Di sana terukir tulisan kuno yang samar terbaca:“Sangkaning hirup kudu nyanghiyang rasa.” (Asal kehidupan harus bersandar pada rasa.)Ia ke

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 92 – Arjuna yang Difitnah

    Kota Bandung, setelah beberapa hari setelah ledakan cahaya itu.Langit tampak tenang, tapi kota tidak lagi sama. Udara masih hangat, namun di bawah permukaannya, dunia digital mendidih.Ratusan layar holografik di jalan-jalan memancarkan berita yang sama, berulang tanpa henti: “GLOBAL ALERT: Arjuna Wisangjati, mantan arkeolog Indonesia, diduga dalang di balik insiden Cahaya Bandung.”#WisangjatiAnomaly #EternalLightIncident #LuxAeternaTruthTidak hanya itu, gambar Arjuna terpampang di setiap sudut kota. Wajahnya dipenuhi efek sinar jingga yang tentu telah dimanipulasi agar tampak seperti sosok dewa yang meledakkan dunia.Di bawahnya, suara lembut dari sistem AI berita global Aurora News Grid mengalun seperti mantra.“Menurut laporan resmi Ordo Lux Aeterna, Dr. Kavin Moritz tewas dalam insiden ledakan spiritual di fasilitas bawah Bandung. Sumber energi misterius yang ditemukan diyakini berasal dari eksperimen Arjuna Wisangjati, yaitu hasil rekayasa genetik energi kesadaran manusia.”L

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 91. Cahaya yang Dicuri

    Saat itu langit di atas Bandung tampak berwarna kelabu keperakan, seperti logam yang dipoles cahaya.Suara halus terdengar bergemuruh di angkasa. Bukan suara petir, bukan pula suara angin, tapi dengung seragam dari mesin-mesin raksasa yang tak terlihat.Udara tampak bergetar lembut dan orang-orang mulai merasa aneh, seperti ada kehangatan di udara yang bukan berasal dari matahari, tapi dari bawah tanah.Sementara itu Ratih tampak berdiri di tepi lembah Lembang seraya menatap arah selatan.Dari sana, seberkas cahaya tampak menembus langit, lurus, tegak dan berdenyut.“Raksa, lihat itu,” katanya pelan.Raksa datang mendekat, menatap dengan rahang mengeras. “Lux Aeterna mulai mengekstraksi energi bumi.”Ratih menelan ludah. “Tapi… itu energi rasa! Kalau mereka paksa, bumi bisa…”Raksa menatapnya tajam. “Hancur. Atau… marah.”Beberapa kilometer di bawah tanah, di fasilitas rahasia Lux Aeterna yang ada di bawah kota Bandung, mesin-mesin bekerja tanpa henti.Ratusan kabel cahaya biru membe

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 90.Suara dari Langit Logam

    Beberapa minggu setelah dunia mencapai ketenangan yang nyaris sempurna, Bandung hidup dalam irama baru. Tidak ada lagi kebisingan kota, yang ada hanya suara lembut alam yang berpadu dengan harmoni aktivitas manusia. Tampaknya manusia sudah mulai berbicara dengan hati, bukan ego.Namun dalam ketenangan itu, sesuatu perlahan berubah. Perubahan itu bukan dari bumi, melainkan dari langit.Di pagi itu, Larisa tampak berdiri di balkon laboratorium pusat riset Pajajaran Sukma Niskala. Hembusan udara yang lembut membawa aroma tanah basah, tapi di kejauhan terdengar dengungan aneh. Terdengar suara halus, namun teratur seperti sebuah nada yang diulang-ulang.Larisa kemudian menatap langit. Awan yang berwarna keperakan tampak berputar perlahan di atas lembah Dago, kemudian membentuk lingkaran simetris, dan dari dalam lingkaran itu terdengar suara seperti logam bergesekan. Ia yakin, itu bukan suara badai, bukan juga petir, namun lebih terdengar seperti suara mesin.Larisa kemudian terdengar meman

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 89. Dunia yang Lengkap

    Pagi itu, Bandung tidak lagi sekadar kota. Ia seakan menjadi sesuatu yang hidup dengan bernapas, berpikir dan bahkan mampu merasakan. Di saat itu, Arjuna tampak berdiri di puncak Gedung Sate seraya menatap cakrawala yang kini berwarna keemasan. Bandung tidak lagi berisik seperti dulu. Tak ada klakson, tak ada hiruk pikuk mesin. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang lembut, mengalun seperti irama gamelan yang abadi. Di kota itu manusia berjalan perlahan, tentu bukan karena takut tapi karena mereka merasa setiap langkahnya menimbulkan getaran halus di udara dan kemudian dunia menjawab dengan hembusan hangat, seperti napas seorang ibu yang sedang menimang anaknya. Larisa datang membawa segelas air, menatap Arjuna dengan mata yang masih menyimpan kagum. “Aku merasa kota ini bukan lagi kota yang sama,” katanya pelan. Arjuna tersenyum tipis. “Benar. Ini bukan sekedar kota. Ini adalah tubuh dunia.” Larisa menatap sekeliling. “Aku hampir takut untuk berbicara. Rasanya s

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 88. Bayangan yang Belajar Mencintai

    Malam itu kota Bandung diselimuti kabut ungu. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah yang basah bercampur sisa dupa yang tak terbakar.Bersamaan dengan itu, langit tampak bergetar lembut, namun di antara getaran itu, Arjuna merasakan sesuatu yang lain, sebuha nada asing di dalam nyanyian dunia yang baru.Ia berdiri di tepi Sungai Cikapundung, menatap air yang tampak tenang. Namun di balik ketenangan itu, permukaan sungai memantulkan dua bayangan. Bayangan dirinya dan satu lagi bayangan yang samar tapi jelas berbeda. Bayangan itu bisa bergerak sendiri meski dirinya diam.Larisa mendekat dari belakang. “Kau merasakannya juga?”Arjuna tidak menjawab. Ia masih menatap permukaan air. “Ada rasa yang tak seharusnya di sini,” katanya perlahan. “Rasa yang tak tahu bagaimana mencintai, tapi juga tak ingin membenci.”Larisa menatapnya bingung. “Apakah Sang Kala Niskala?”Arjuna mengangguk pelan. “Ia mulai terbangun kembali. Tapi kali ini, bukan karena marah. Ia sepertinya sedang bingung.”La

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status