LOGINRaksa Dahana yang berdiri di samping Arjuna berkata, “Ini bukan mimpi, Arjuna. Ini adalah nyawa dari batu. Setiap batu di tanah Pajajaran ini menyimpan ingatan, setiap tanah yang kau pijak adalah saksi akan sesuatu yang belum usai.”
Arjuna mengedarkan tatapannya, ia terpana. Ia melihat wajah-wajah rakyat yang hidup damai, suara gamelan lembut mengalun di kejauhan. Tapi seketika, langit jingga itu retak. Angin bertiup kencang, dan bayangan gelap mulai turun dari langit, seperti kabut hitam yang membawa bau besi dan darah Raksa Dahana menghunus kujang merah yang mirip dengan kujang di tangan Arjuna. “Apa yang kau lihat ini adalah saat ketika Pajajaran mulai runtuh,” Raksa Dahana lirih. Bersamaan dengan itu, Arjuna melihat pasukan berkerudung hitam menyerbu gerbang. Jeritan, benturan besi, dan doa-doa bersahutan dalam kekacauan. Ia berusaha berlari, tapi kakinya tak bergerak. Raksa Dahana berbalik kepada Arjuna. “Layung tak memilih, tapi membangunkan. Kau harus ingat, Arjuna Wisangjati — kaulah yang terakhir.” Cahaya merah dari Kujang Layung di tangan Raksa Dahana bersinar kuat, dan cahaya yang sama juga memancar dari bilah Arjuna dengan sendirinya. Kedua sinar itu bertemu di udara, menyatu dalam kilatan menyilaukan. Silau kilatan cahaya itu bahkan membuat Arjuna dengan refleks menutup kedua matanya. Saat Arjuna membuka mata lagi, ternyata ia sudah kembali di tendanya. Suryo tidur di sudut, dan Ki Sembada duduk bersila di depan pintu tenda, matanya terbuka setengah. “Kau sudah melihatnya?” tanya Ki Sembada tanpa menoleh. Arjuna mengangguk pelan. “Pajajaran... masih hidup, kan?” Ki Sembada tersenyum tipis. “Tidak hidup di dunia, tapi di dalam rasa. Kau baru mengintip sedikit.” Arjuna menatap Kujang Layung yang kini tergeletak diam. Namun di permukaannya, ia bisa melihat bayangan samar, Raksa Dahana berdiri di balik kabut, menatapnya dengan mata yang sama. Arjuna kemudian mengambil buku catatannya, lalu menulis di buku catatannya itu tentang kejadian malam tersebut. ‘Saya melihat Pajajaran. Tapi bukan di masa lalu, dia ada diantara napas. Mungkin benar kata Ki Sembada: Sejarah bukan yang tertulis, tapi dalam napas mereka yang masih mau mendengar.’ Bersamaan dengan itu, angin malam berhembus lembut melewati tenda. Dari kejauhan, hutan di kaki Gunung Salak seperti bergemuruh lirih, laksana seseorang yang sedang berdoa, namun dalam bahasa yang telah lama dilupakan. “Sunda teu sirna, ngan nyumput dina rasa nu satia.” (Sunda tidak lenyap, hanya bersembunyi dalam jiwa yang setia.) Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Arjuna Wisangjati menyadari, perjalanan ini bukan lagi penelitian. Ini adalah panggilan darah. Panggilan yang telah menunggu hampir lima abad lamanya. *** Pagi itu Gunung Salak diselimuti kabut yang begitu tebal hingga matahari pun seperti enggan untuk menembusnya. Arjuna Wisangjati duduk diam di depan tenda, segelas kopi hitam mengepul di tangannya. Tapi matanya tak menatap apa pun, hanya kosong ke arah hutan. Suryo baru bangun dan keluar dengan wajah kusut. “Apa kau tidak tidur semalaman lagi ?” Arjuna tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya diam. Dibenaknya dia masih bisa mendengar gema suara Raksa Dahana dalam pikirannya. “Kau yang terakhir…” Kata-kata itu menggema dalam benaknya seperti doa yang tak berhenti. Sejak malam Arjuna melihat Pajajaran yang hidup dalam rasa, banyak hal berubah di sekitarnya. Jam tangannya berhenti tepat pukul 3:33. Senter yang semalam redup kini menyala terang bahkan meski tanpa baterai. Dan yang paling aneh, di tanah sekitar tenda muncul jejak kaki yang tak dikenal. Bukan manusia, bukan hewan. Seolah cap dari telapak bersisik batu. Suryo ternyata sudah melihat hal itu lebih dulu. “Juna, kau lihatlah ini!” Ia menunjuk jejak itu, sebuah jejak yang menembus tanah basah lalu menghilang di antara akar pohon. Arjuna hanya diam, lalu berkata perlahan, “Jejak ini bukan datang dari luar… tapi dari dalam.” Suryo mengerutkan kening. “Dari dalam tanah, maksudmu?” Arjuna menatap hutan yang sunyi. “Dari dalam waktu!” Tidak lama, Ki Sembada datang membawa segenggam daun kering. Ia menaburkannya di atas jejak itu sambil bergumam seperti membaca mantra tua: “Nagara anu tilem, ulah hudang lamun nu jaga can tangtu.” (Negeri yang tertidur, jangan bangun bila penjaganya belum pasti.) Lalu, Asap tipis muncul dari daun-daun itu, membentuk lingkaran kabut kecil. Arjuna menatapnya, di sela asap ia melihat sebuah bayangan samar. Bayangan gerbang batu Pajajaran yang ia lihat dalam mimpi sebelumnya. Namun kali ini, bukan dalam tidur. Ia sadar sepenuhnya. “Ki, apa kau juga melihat itu?” tanya Arjuna. Ki Sembada mengangguk tenang. “Sekali gerbang ini terbuka, sulit ditutup kembali.” Arjuna kemudian berjongkok, mengamati tanah di bawah kabut. Tiba-tiba, ujung Kujang Layung yang ia simpan dalam sarungnya bergetar halus. Cahaya merah lembut kembali muncul, tapi kali ini bukan dari bilahnya, melainkan dari tanah di sekitarnya. Melihat hal itu, Suryo tampak terkejut dan dengan segera mundur beberapa langkah. “Juna, apa itu?” Arjuna mengeluarkan kujang itu perlahan. Cahaya dari bilahnya menembus kabut dan memperlihatkan pahatan batu yang sebelumnya tidak ada. Ukiran itu menggambarkan sosok manusia bermahkota, dikelilingi tujuh bintang. Dan di bawahnya, tertulis aksara Sunda Buhun: “Raksa rasa, jaga nagara. Ratu balik lamun rasa geus ngahiji” (Jaga rasa, jaga negeri. Ratu akan kembali bila rasa telah menyatu.) Arjuna menyentuh pahatan itu. Saat jarinya menyentuh batu, dunia di sekitarnya bergoyang halus, kabut menebal, suara burung menghilang, dan tiba-tiba… ia berdiri di jalan berbatu dengan pepohonan aren raksasa di kiri-kanan. Arjuna tanpa sadar menoleh. Suryo dan Ki Sembada tak ada. Hanya ada dia seorang, berdiri djalan batu yang mengarah ke gerbang tinggi berukir simbol matahari. Dengan rasa penasaran tinggi, Arjuna berjalan pelan. Di kejauhan terdengar gamelan lirih, mengalun seperti datang dari dalam tanah. “Layung geus muka, rasa geus nyambung…” (Layung telah terbuka, rasa telah terhubung…) Arjuna menoleh, dan di belakangnya berdiri seorang wanita berpakaian putih keperakan, rambutnya panjang hingga pinggang, matanya bening seperti air sungai. Wajahnya lembut namun penuh wibawa. “Siapa kau?” tanya Arjuna pelan. Wanita itu tersenyum lembut. “Kawula Nyi Pwah Aci, rahayu nu ngajaga leuweung larangan.” (Aku Nyi Pwah Aci, Penjaga Rahayu hutan larangan.) Arjuna terkejut, bagaimana tidak. Nama itu pernah ia baca di naskah Carita Parahyangan, tentang nama pelindung gaib yang dipercaya menjaga batas dunia manusia dan roh. Arjuna kemudian menatapnya tak percaya. “Apakah ini nyata?” “Nyata henteu bisa tingali ku panon,” jawabnya, “tapi ku rasa nu suci.” (Kenyataan tak harus dilihat oleh mata, tapi dirasakan dengan hati yang jernih.)Langit pagi di Leuweung Sukma Niskala tampak seperti lukisan antara mimpi dan kenyataan, dengan kabut yang tampak masih bergelayut di atas pohon, menari lembut diterpa angin.Disaat itu, Larisa terlihat berjalan di belakang Arjuna, langkahnya pelan namun pasti. Raksa dan Ratih berjalan di sisi mereka, membawa lentera rasa, yakni bola kecil yang berpendar lembut, bukan dari api, tapi dari sukma bumi yang kini tenang.Sudah seminggu mereka berdiam di hutan itu. Setelah kejatuhan LuxNet, dunia di luar masih kacau. Media sosial terbakar, algoritma kehilangan kendali, dan manusia, sekali lagi mereka seperti bingung antara kebenaran dan keyakinan.Namun di tempat ini, di jantung Leuweung Sukma, semuanya hening. Hening yang bukan kosong, melainkan penuh kehidupan.Arjuna akhirnya berhenti di depan pohon besar yang berlumut, menatap batangnya yang lebar. Di sana terukir tulisan kuno yang samar terbaca:“Sangkaning hirup kudu nyanghiyang rasa.” (Asal kehidupan harus bersandar pada rasa.)Ia ke
Kota Bandung, setelah beberapa hari setelah ledakan cahaya itu.Langit tampak tenang, tapi kota tidak lagi sama. Udara masih hangat, namun di bawah permukaannya, dunia digital mendidih.Ratusan layar holografik di jalan-jalan memancarkan berita yang sama, berulang tanpa henti: “GLOBAL ALERT: Arjuna Wisangjati, mantan arkeolog Indonesia, diduga dalang di balik insiden Cahaya Bandung.”#WisangjatiAnomaly #EternalLightIncident #LuxAeternaTruthTidak hanya itu, gambar Arjuna terpampang di setiap sudut kota. Wajahnya dipenuhi efek sinar jingga yang tentu telah dimanipulasi agar tampak seperti sosok dewa yang meledakkan dunia.Di bawahnya, suara lembut dari sistem AI berita global Aurora News Grid mengalun seperti mantra.“Menurut laporan resmi Ordo Lux Aeterna, Dr. Kavin Moritz tewas dalam insiden ledakan spiritual di fasilitas bawah Bandung. Sumber energi misterius yang ditemukan diyakini berasal dari eksperimen Arjuna Wisangjati, yaitu hasil rekayasa genetik energi kesadaran manusia.”L
Saat itu langit di atas Bandung tampak berwarna kelabu keperakan, seperti logam yang dipoles cahaya.Suara halus terdengar bergemuruh di angkasa. Bukan suara petir, bukan pula suara angin, tapi dengung seragam dari mesin-mesin raksasa yang tak terlihat.Udara tampak bergetar lembut dan orang-orang mulai merasa aneh, seperti ada kehangatan di udara yang bukan berasal dari matahari, tapi dari bawah tanah.Sementara itu Ratih tampak berdiri di tepi lembah Lembang seraya menatap arah selatan.Dari sana, seberkas cahaya tampak menembus langit, lurus, tegak dan berdenyut.“Raksa, lihat itu,” katanya pelan.Raksa datang mendekat, menatap dengan rahang mengeras. “Lux Aeterna mulai mengekstraksi energi bumi.”Ratih menelan ludah. “Tapi… itu energi rasa! Kalau mereka paksa, bumi bisa…”Raksa menatapnya tajam. “Hancur. Atau… marah.”Beberapa kilometer di bawah tanah, di fasilitas rahasia Lux Aeterna yang ada di bawah kota Bandung, mesin-mesin bekerja tanpa henti.Ratusan kabel cahaya biru membe
Beberapa minggu setelah dunia mencapai ketenangan yang nyaris sempurna, Bandung hidup dalam irama baru. Tidak ada lagi kebisingan kota, yang ada hanya suara lembut alam yang berpadu dengan harmoni aktivitas manusia. Tampaknya manusia sudah mulai berbicara dengan hati, bukan ego.Namun dalam ketenangan itu, sesuatu perlahan berubah. Perubahan itu bukan dari bumi, melainkan dari langit.Di pagi itu, Larisa tampak berdiri di balkon laboratorium pusat riset Pajajaran Sukma Niskala. Hembusan udara yang lembut membawa aroma tanah basah, tapi di kejauhan terdengar dengungan aneh. Terdengar suara halus, namun teratur seperti sebuah nada yang diulang-ulang.Larisa kemudian menatap langit. Awan yang berwarna keperakan tampak berputar perlahan di atas lembah Dago, kemudian membentuk lingkaran simetris, dan dari dalam lingkaran itu terdengar suara seperti logam bergesekan. Ia yakin, itu bukan suara badai, bukan juga petir, namun lebih terdengar seperti suara mesin.Larisa kemudian terdengar meman
Pagi itu, Bandung tidak lagi sekadar kota. Ia seakan menjadi sesuatu yang hidup dengan bernapas, berpikir dan bahkan mampu merasakan. Di saat itu, Arjuna tampak berdiri di puncak Gedung Sate seraya menatap cakrawala yang kini berwarna keemasan. Bandung tidak lagi berisik seperti dulu. Tak ada klakson, tak ada hiruk pikuk mesin. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang lembut, mengalun seperti irama gamelan yang abadi. Di kota itu manusia berjalan perlahan, tentu bukan karena takut tapi karena mereka merasa setiap langkahnya menimbulkan getaran halus di udara dan kemudian dunia menjawab dengan hembusan hangat, seperti napas seorang ibu yang sedang menimang anaknya. Larisa datang membawa segelas air, menatap Arjuna dengan mata yang masih menyimpan kagum. “Aku merasa kota ini bukan lagi kota yang sama,” katanya pelan. Arjuna tersenyum tipis. “Benar. Ini bukan sekedar kota. Ini adalah tubuh dunia.” Larisa menatap sekeliling. “Aku hampir takut untuk berbicara. Rasanya s
Malam itu kota Bandung diselimuti kabut ungu. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah yang basah bercampur sisa dupa yang tak terbakar.Bersamaan dengan itu, langit tampak bergetar lembut, namun di antara getaran itu, Arjuna merasakan sesuatu yang lain, sebuha nada asing di dalam nyanyian dunia yang baru.Ia berdiri di tepi Sungai Cikapundung, menatap air yang tampak tenang. Namun di balik ketenangan itu, permukaan sungai memantulkan dua bayangan. Bayangan dirinya dan satu lagi bayangan yang samar tapi jelas berbeda. Bayangan itu bisa bergerak sendiri meski dirinya diam.Larisa mendekat dari belakang. “Kau merasakannya juga?”Arjuna tidak menjawab. Ia masih menatap permukaan air. “Ada rasa yang tak seharusnya di sini,” katanya perlahan. “Rasa yang tak tahu bagaimana mencintai, tapi juga tak ingin membenci.”Larisa menatapnya bingung. “Apakah Sang Kala Niskala?”Arjuna mengangguk pelan. “Ia mulai terbangun kembali. Tapi kali ini, bukan karena marah. Ia sepertinya sedang bingung.”La







