Beranda / Fantasi / Sang Penjaga Pajajaran / Bab 97 – Jejak yang Tidak Tertulis

Share

Bab 97 – Jejak yang Tidak Tertulis

last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-08 08:41:47

Langit Bandung sore itu terlihat berwarna jingga keemasan. Sinar mentari tamoak menembus awan seperti pita-pita cahaya yang menari di antara gedung tinggi.

Namun, bagi Arjuna Wisangjati yang saat itu sedang berdiri di atap gedung tua, ia melihat dunia tampak berbeda, seolah setiap kilau lampu kota kini memancarkan denyut rasa yang hidup.

Larisa yang berdiri di sampingnya seraya membawa perangkat portabel yang kini tak lagi menampilkan data.

“Semua sistem analitik mati,” katanya, suaranya terdengar campuran antara frustrasi dan kagum.

“Gelombang resonansi berubah total sejak kita kembali dari Gunung Padang. Tidak ada pola tetap… tapi semuanya bergerak seperti… napas,” imbuhnya.

Arjuna tersenyum samar. “Itu karena dunia tidak lagi dikuasai rumus, Larisa. Ia mulai mendengarkan dirinya sendiri.”

Raksa yang bersandar di pagar besi, matanya tampak menyapu cakrawala kota yang berpendar cahaya biru samar. “Kalau begitu, kenapa aku merasa ini semua hanya ketenangan sebelum badai?”

Ratih menat
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 107– Sisa Cahaya di Langit Barat

    Sore turun perlahan di dunia yang baru.Langit di atas lembah Sukma Niskala tampak berwarna keemasan, tapi di ujung barat, ada garis jingga pekat yang tidak pernah muncul sebelumnya, seolah cahaya itu menyimpan rahasia yang tak terucap.Larisa menatap ke arah itu dari atas batu tinggi. “Juna… kenapa warnanya berbeda?”Arjuna berdiri di sampingnya, tangan bersedekap, mata menatap ufuk. “Itu bukan warna langit, Larisa,” katanya perlahan. “Itu pantulan dari rasa manusia yang mulai tumbuh lagi. Cahaya dan bayangan selalu datang bersamaan.”Raksa datang membawa kabar dari lembah. “Juna, ada yang aneh. Beberapa orang di bawah sana… mulai mendengar suara-suara yang tidak bisa dijelaskan.”Ratih menatapnya khawatir. “Suara seperti apa?”Raksa menatap mereka satu per satu. “Suara dari dalam diri mereka sendiri.Ada yang menangis tanpa sebab, ada yang tertawa tiba-tiba, ada pula yang berteriak karena katanya, bumi berbicara terlalu keras.”Larisa menatap Arjuna, wajahnya cemas. “Apakah ini… efe

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 106. Dunia yang Bernafas

    Fajar di dunia baru datang tanpa suara, tanpa kilatan cahaya yang tiba-tiba, hanya kelembutan warna lembayung yang perlahan menyelimuti bumi.Udara di lembah Sukma Niskala bergetar tenang. Pohon-pohon tua memancarkan embun bercahaya, air di sungai mengalir dengan irama pelan, seperti sedang bernyanyi.Larisa menatap pemandangan itu dari tepi batu besar di punggung gunung.“Juna,” katanya dengan lembut, “ini… terasa berbeda.”Arjuna yang berdiri di sampingnya dengan mata menatap lembah di bawah, ketempat cahaya dan bayangan kini menari tanpa saling menelan.“Ya,” jawabnya tenang. “Dunia sedang belajar bernafas lagi.”Raksa datang membawa kendi berisi air dari sungai. Ia menuangkannya ke dalam wadah tanah liat di depan Arjuna.“Airnya berwarna jingga,” katanya pelan. “Seperti langit sore.”Arjuna menyentuh air itu. Terasa hangat dan hidup. “Bukan warna air yang berubah, Raksa. Tapi rasa kita yang kini bisa melihatnya.”Ratih duduk di atas batu datar, menatap langit yang perlahan membent

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 105. Gerbang Waktu Rasa

    Lorong cahaya itu memanjang tanpa ujung, seperti perjalanan tanpa jarak, hanya perubahan warna, dari keemasan menjadi lembayung, lalu biru tua yang tenang. Udara di dalamnya tidak bergerak, namun setiap langkah terasa seperti melangkah di antara detak jantung dunia.Larisa menatap sekeliling, matanya terbelalak kagum. “Juna… di mana kita?”Arjuna berjalan di depan, langkahnya pelan tapi pasti. “Di antara waktu dan rasa, Larisa. Tempat ini bukan masa depan, bukan masa lalu, tapi jembatan di antara keduanya.”Raksa menatap sekeliling, wajahnya tegang. “Seperti mimpi yang sadar.”Ratih mengangguk pelan. “Atau seperti ketika kita bermimpi tentang sesuatu yang sudah terjadi, tapi belum selesai.”Arjuna tersenyum tipis. “Itu karena semua waktu sebenarnya tidak terpisah. Mereka hidup di dalam rasa yang sama.Cahaya di ujung lorong pun tampak mulai berubah. Kini warnanya seperti api lembut, bukan panas, tapi hidup. Di tengah cahaya itu, tampak gerbang raksasa dari energi murni, penuh dengan u

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 104. Jantung Pajajaran

    Cahaya lembut menyelimuti tubuh mereka saat melangkah masuk ke dalam celah bercahaya itu. Udara di sekitar seketika terasa hangat namun tenang, seperti napas bumi yang mengalun di antara detik dan hening.Arjuna berjalan paling depan seraya membawa Kujang Layung yang berpendar perlahan. Setiap langkahnya tampak menimbulkan riak cahaya di lantai yang bukan tanah, melainkan semacam kristal tembus pandang, layaknya pijakan dari rasa itu sendiri.Raksa menatap sekeliling, matanya bergetar. “Jun… ini bukan gua.”Larisa mengangguk, suaranya nyaris berbisik. “Ini… seperti dunia lain.”Ratih menatap langit-langit di atas mereka, tak ada batu yang ada hanya hamparan cahaya yang bergerak seperti air. Dari kejauhan terdengar suara halus, seperti kidung kuno yang dinyanyikan ribuan suara, namun tidak berasal dari satu arah pun.Arjuna menutup mata sejenak, lalu berbisik, “Selamat datang di Pajajaran Sukma Niskala.”Larisa menatapnya tak percaya. “Juna… jadi kerajaan ini benar-benar ada?”Arjuna m

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 103. Getar dari Dalam Bumi

    Malam turun perlahan di Neo-Galuh dan untuk pertama kalinya sejak berdirinya kota itu, langit tampak kembali memiliki warna. Semburat jingga keemasan terlihat berpadu dengan biru lembut, seolah bumi sedang bernafas lega setelah ratusan tahun menahan napas.Arjuna berdiri di tepi jembatan kaca yang membelah kota seraya melihat pantulan dirinya bersama Larisa, Raksa dan Ratih di bawah sinar bulan. Bayangan mereka kembali, tapi di antara pantulan itu, ada sesuatu yang berbeda, yaitu bayangan bumi yang bergerak sendiri.Larisa menatap pantulan itu, wajahnya tegang. “Juna… lihatlah. Bayangan kita bergetar.”Raksa menatap ke bawah. “Bukan kita yang bergetar, Larisa. Tapi tanah di bawah kota ini…”Bersamaan dengan itu, sebuah dentuman lembut terdengar, diikuti oleh getaran panjang dari arah selatan. Lampu-lampu kota bergoyang, dan air di sungai bawah jembatan membentuk pusaran aneh — berputar searah spiral Rahyang.Ratih menatap Arjuna. “Juna… apa yang terjadi?”Arjuna memejamkan mata. “Aku

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 102. Neo-Galuh: Kota Tanpa Bayangan

    Langit Neo-Galuh kini terlihat berwarna kelabu pucat. Tidak lagi biru, tidak pula berwarna jingga. Hanya warna datar tanpa kedalaman, seolah bumi sendiri kehilangan nuansa rasa.Disaat yang sama, Arjuna tampak berdiri di tengah alun-alun kota seraya memandangi pantulan dirinya di permukaan jalan kaca yang terlalu bersih.Tak ada bayangan di sana. Hanya refleksi samar, datar, dan tanpa warna.Raksa tampak melangkah mendekat, menatap sekeliling. “Tidak ada bayangan, Juna. Tidak dari matahari, tidak juga dari lampu. Seakan semua cahaya di sini menolak untuk berinteraksi.”Larisa yang memegang alat pemindai kecil, wajahnya tegang. “Ini bukan sekadar efek optik. Kelembaban udara, partikel cahaya, bahkan gelombang elektromagnetik di sini semuanya tampak steril dari interferensi. Seolah kota ini tidak memiliki kedalaman eksistensi.”Ratih menatap mereka dengan cemas.“Jadi maksudmu… kota ini tidak punya jiwa?”Larisa menatapnya pelan. “Atau mungkin… kehilangan rasa.”Arjuna sejenak diam. Ia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status