MasukAlvaro akhirnya tertidur lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya yang kelelahan, pikiran yang tercabik masa lalu, dan perasaan bersalah yang menumpuk seolah memaksa dirinya menyerah pada tidur yang gelap dan tidak tenang.Lyssa memandangi wajahnya dalam remang lampu kamar. Napas Alvaro terdengar berat, tidak teratur, seperti seseorang yang terus berlari tanpa henti dalam mimpi buruk yang tidak kunjung selesai. Sesekali jari-jarinya bergerak, seolah menggenggam sesuatu yang tidak ada. Entah rasa sakit, entah kenangan.Lyssa menyentuh pipinya perlahan.“Alvaro…” bisiknya, meski tahu laki-laki itu tidak akan mendengar.Dadanya terasa penuh. Berat. Sakit yang ia sembunyikan sejak tadi meledak perlahan, bukan dalam bentuk teriakan… tapi keheningan yang menusuk.Air matanya jatuh perlahan, satu tetes… lalu dua… lalu tiga, merembes tanpa ia pernah bermaksud menangis.Ia tidak ingin menyulitkan Alvaro. Ia tidak ingin menambah beban. Ia hanya ingin dicintai dengan setulus yang ia berikan. Ia ingin
Lyssa duduk di sofa ruang tamu sambil menatap layar laptop yang memantulkan cahaya kebiruan ke wajahnya. Halaman kosong itu seperti mengejeknya, menunjukkan seberapa kacau pikirannya hingga ia bahkan tak mampu menulis satu kata pun. Tangannya tergeletak di atas keyboard, tapi tidak bergerak. Tubuhnya ada di sini, tetapi pikirannya melayang jauh.Lima hari lagi.Ia memejamkan mata, mengulang kata-kata itu untuk kesekian kali. Lima hari lagi, orang tuanya akan dibebaskan dari penjara. Lima hari lagi, seharusnya menjadi hari bahagia, hari yang dulu pernah Alvaro janjikan. Hari ketika Alvaro akan melamarnya di hadapan kedua orang tuanya, janji yang membuat Lyssa mampu bertahan di salah satu masa paling gelap dalam hidupnya.Tapi hingga detik ini, tidak ada pembicaraan apa pun. Tidak ada cincin. Tidak ada rencana. Bahkan tidak ada tanda-tanda Alvaro mengingat janjinya.Lyssa menggenggam jemarinya sendiri. Dinginnya menembus kulit, menggetarkan seluruh tubuhnya."Apakah Alvaro… lupa?"Perta
Pagi itu masih samar ketika Reina dan Sofia duduk berhadapan di meja kecil dekat jendela, cahaya matahari baru menyisir tirai tipis apartemen sederhana itu. Reina memegang segelas air hangat, mencoba menenangkan perutnya yang masih mual sisa alkohol.Sementara Sofia menatapnya dengan ekspresi teduh, wajah yang tampak begitu lembut namun menyimpan sesuatu yang sulit dibaca.“Masih pusing?” tanya Sofia dengan nada lembut, hampir seperti kakak yang menenangkan adiknya.“Sedikit…” Reina memijat pelipisnya. “Maaf sudah merepotkanmu. Seharusnya aku tidak-”“Tidak apa-apa,” sela Sofia cepat, tersenyum kecil. “Aku tidak tega membiarkanmu terduduk di pinggir jalan begitu saja. Kau bisa saja diseret orang tak dikenal. Dunia tidak seaman yang terlihat.”Reina menelan ludah. Ada sesuatu dalam cara bicara Sofia yang membuatnya merasa dianggap. Diperhatikan. Hal yang akhir-akhir ini jarang ia rasakan bahkan dari teman sendiri.“Aku tidak tahu bagaimana membalas ini,” gumam Reina, agak kikuk.“Kau t
Langit sore tampak berat, menekan kota dengan warna kelabu yang pekat. Hujan tipis turun, menetes di kaca jendela ruang kerja Alvaro yang sepi. Lelaki itu duduk di kursinya, wajahnya menunduk dalam bayangan redup.Beberapa hari terakhir, dunia di sekelilingnya terasa seperti mimpi buruk yang belum berakhir. Foto itu, foto masa kecilnya yang berdarah masih menghantui di balik kelopak matanya setiap kali ia menutup mata.Pintu diketuk.“Masuk,” suaranya parau, lemah.Damar muncul di ambang pintu. Wajahnya terlihat letih, mata merah seperti habis begadang. Sesuatu dalam dirinya retak, antara keberanian untuk bicara dan rasa takut ditolak.“Alvaro,” panggilnya pelan.Alvaro mendongak perlahan, tatapannya tajam namun penuh luka. “Ada apa lagi?” katanya datar.Nada suaranya di sana terdengar dingin. Damar menelan ludah, tahu betapa jauhnya jarak di antara mereka kini.“Aku… ingin bicara. Tentang Sofia.”Alvaro mendengus pelan. “Kau baru sadar sekarang, setelah semuanya berantakan? Setelah d
Reina melangkah gontai di antara mobil-mobil yang melintas, tubuhnya limbung, langkahnya tak tentu arah.Alkohol masih menguasai darahnya. Setiap langkah terasa berat, setiap napas terasa seperti diambil dari seseorang yang lain. Ia tertawa kecil sendiri, tawa yang getir, tak ada bahagia di sana.Satu-satunya yang ia tahu hanyalah ia ingin pulang. Tapi entah ke mana. Rumahnya tak lagi terasa seperti rumah. Teman-temannya? Ia terlalu malu. Dunia sudah menertawakannya cukup keras."Lucu... ya," gumamnya miring, suaranya nyaris tertelan bising lalu lintas. "Aku bahkan nggak tahu ke mana aku harus pulang..."Ia melangkah tanpa memperhatikan arah. Lampu merah berubah hijau. Suara klakson menyambar. Reina kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh ketika seseorang tiba-tiba menarik lengannya.Tubuhnya bertubrukan keras dengan seseorang.“Awas!” seru suara perempuan itu.Tubuh Reina terhempas ringan ke pelukan asing, lembut tapi tegas. Saat Reina mengangkat wajahnya, pandangannya kabur, matany
Lampu-lampu neon menari liar di langit-langit klub malam, memantul di lantai yang licin oleh sisa minuman dan bayangan tubuh-tubuh yang bergerak tanpa arah.Bass berdentum keras, seolah ingin menenggelamkan semua pikiran yang masih waras. Di sudut bar, Reina menatap pantulan dirinya di gelas koktail, mata sayu, bibir merah, tapi tanpa cahaya.Ia sudah tak tahu berapa kali minuman itu berganti. Vodka, lalu gin, lalu entah apa lagi. Semua terasa sama, pahit, menusuk, tapi menenangkan dalam cara yang aneh.Lea tertawa di sampingnya, mencondongkan tubuh ke arah pacarnya yang duduk di kursi sebelah, tangan mereka saling menelusuri tanpa malu. Ana juga tak kalah riang, berdansa di tengah kerumunan bersama dua pria yang baru ia kenal malam itu. Reina hanya menatap mereka, iri, tapi juga muak."Rei! Ayo, jangan bengong. Ini malam kita!" seru Lea, wajahnya sudah memerah karena alkohol.Reina tersenyum hambar, lalu meneguk lagi minumannya. “Ya, malam kita,” gumamnya pelan, seolah ingin meyakink







