MasukDi balik jas mahal, tatapan dingin, dan nama besar Pradana Group, Alvaro menyimpan sebuah rahasia. Dia lahir dengan nama Reynanda, nama yang selalu ia benci karena mengingatkan pada luka masa lalu yang tak pernah sembuh. Dunia mengenalnya sebagai pewaris muda yang arogan, penguasa muda yang tak tersentuh. Namun di balik kesombongannya, berdiri tembok rapuh yang ia bangun untuk melindungi dirinya dari bayangan kelam keluarga. Hingga takdir mempertemukannya dengan Lyssa Arabella, seorang jurnalis muda yang idealis. Saat Lyssa menulis artikel pedas berjudul “Sang Pewaris Arogan”, namanya meledak di seluruh negeri. Tulisannya bukan hanya mengguncang reputasi Alvaro, tapi juga membuka kembali luka lama yang selama ini ia kubur. Bukannya menghancurkan Lyssa, Alvaro justru semakin tertarik padanya. Bagi Alvaro, keberanian Lyssa bukan ancaman, melainkan tantangan. Bagi Lyssa, mendekati Alvaro berarti berjalan di atas bara; satu langkah salah bisa membakar habis hidupnya. Ketika rahasia keluarga Pradana perlahan terungkap, keduanya terjebak dalam pusaran kekuasaan, dendam, dan perasaan yang tak bisa mereka tolak. Apakah Lyssa mampu bertahan menghadapi dunia penuh intrik yang selama ini disembunyikan Alvaro? Ataukah ia akan hancur di tangan lelaki yang sekaligus ia benci… dan cintai? “Kesombongan bisa membuatmu terlihat tak tersentuh. Tapi cinta… bisa meruntuhkan segalanya.”
Lihat lebih banyakLayar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja
Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan
Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat
Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya
Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen
Lampu ruang tamu rumah Alvaro meredup, menyisakan cahaya hangat dari satu lampu meja di sudut. Bayangan lembut menari di dinding, mengikuti gemericik hujan yang memantul dari jendela. Udara malam itu terasa tebal, seolah menampung semua kata yang belum sempat terucap di antara mereka.“Jangan lakukan semuanya sendirian,” kata Lyssa, pelan tapi penuh penekanan.Suaranya terdengar seperti doa yang disampaikan di antara deru hujan. Ia berdiri di hadapan Alvaro, matanya menelusuri wajah lelaki itu dengan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan oleh sikap tenang yang selama ini ia tunjukkan.“Lihat aku, Alvaro,” kata Lyssa lagi, suaranya mengandung sedikit paksaan yang lembut.Pria itu menatapnya. Mata mereka bertemu, tatapan yang mengungkap ketakutan untuk kehilangan, keengganan untuk berbagi, dan cinta yang begitu besar hingga nyaris menyesakkan dada. Lyssa tahu, hanya sentuhan yang bisa menembus dinding pertahanan Alvaro saat ini.Lyssa mendekat, langkahnya pelan, penuh kehati-hatian. T












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen