LOGINDi balik jas mahal, tatapan dingin, dan nama besar Pradana Group, Alvaro menyimpan sebuah rahasia. Dia lahir dengan nama Reynanda, nama yang selalu ia benci karena mengingatkan pada luka masa lalu yang tak pernah sembuh. Dunia mengenalnya sebagai pewaris muda yang arogan, penguasa muda yang tak tersentuh. Namun di balik kesombongannya, berdiri tembok rapuh yang ia bangun untuk melindungi dirinya dari bayangan kelam keluarga. Hingga takdir mempertemukannya dengan Lyssa Arabella, seorang jurnalis muda yang idealis. Saat Lyssa menulis artikel pedas berjudul “Sang Pewaris Arogan”, namanya meledak di seluruh negeri. Tulisannya bukan hanya mengguncang reputasi Alvaro, tapi juga membuka kembali luka lama yang selama ini ia kubur. Bukannya menghancurkan Lyssa, Alvaro justru semakin tertarik padanya. Bagi Alvaro, keberanian Lyssa bukan ancaman, melainkan tantangan. Bagi Lyssa, mendekati Alvaro berarti berjalan di atas bara; satu langkah salah bisa membakar habis hidupnya. Ketika rahasia keluarga Pradana perlahan terungkap, keduanya terjebak dalam pusaran kekuasaan, dendam, dan perasaan yang tak bisa mereka tolak. Apakah Lyssa mampu bertahan menghadapi dunia penuh intrik yang selama ini disembunyikan Alvaro? Ataukah ia akan hancur di tangan lelaki yang sekaligus ia benci… dan cintai? “Kesombongan bisa membuatmu terlihat tak tersentuh. Tapi cinta… bisa meruntuhkan segalanya.”
View MoreSorot lampu kamera berkilauan, berbaur dengan gemuruh tepuk tangan dari penonton yang memenuhi studio. Semua mata tertuju pada sosok pria muda di kursi tengah.
Dia duduk dengan tenang, seakan hiruk-pikuk di sekitarnya bukan apa-apa. Jas hitam Armani melekat sempurna di tubuh atletisnya, dasi sutra terikat rapi, dan sebuah jam tangan mewah berkilau di pergelangan kirinya. Setiap detail pada penampilannya berteriak satu hal: kemewahan dan kuasa.
Dialah Alvaro Pradana, pewaris tunggal Pradana Group, konglomerat raksasa yang menguasai hampir semua lini bisnis di negeri ini; mulai dari properti, perbankan, hingga media.
Wajahnya rupawan, rahang tegas, hidung mancung, bibir tipis yang mudah membentuk senyum meremehkan. Namun bukan itu yang membuat orang terpaku padanya. Sorot matanya dingin, penuh keangkuhan seolah mampu menelanjangi siapa pun yang berani menatap terlalu lama.
“Alvaro,” suara pembawa acara terdengar hati-hati, seakan takut tersandung kata. “Banyak yang mengatakan Anda arogan, terlalu meremehkan orang lain. Apa Anda tidak khawatir opini publik akan menjatuhkan citra Anda?”
Pertanyaan itu meluncur tajam. Penonton menahan napas, menunggu.
Alvaro mengangkat alis, lalu mengulas senyum tipis, senyum yang lebih mirip ejekan.
Bisikan terkejut terdengar dari barisan penonton. Beberapa kamera menyorot wajah host yang kikuk menahan ekspresi.
“Jadi… Anda benar-benar tidak peduli dengan kritik?” host mencoba mendesak.
Alvaro bersandar santai, menyilangkan kaki, lalu dengan sengaja memamerkan jam tangan yang memantulkan cahaya lampu studio. “Kritik dari orang-orang yang bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di posisi saya?” Suaranya naik setengah oktaf, tegas dan menusuk. “Itu bukan kritik. Itu cuma suara iri hati.”
Gemuruh kembali terdengar. Ada yang terkesima, ada yang muak. Tapi sorot kamera hanya menangkap wajah Alvaro yang tetap datar, seolah komentar pedasnya adalah kebenaran mutlak.
Di balik layar monitor, seorang pria muda dengan tablet di tangan menelan ludah gugup. Ia adalah asisten pribadi Alvaro, yang sudah cukup lama bekerja di bawah bayang-bayangnya.
“R-Reynanda…” gumamnya lirih, nyaris tak sengaja, ketika melihat sisi wajah sang pewaris dari monitor.
Seketika udara di sekitarnya membeku. Alvaro menoleh cepat, sorot matanya menusuk tajam bagaikan belati.
“Jangan. Pernah. Panggil. Aku. Dengan. Nama. Itu.” Suaranya berat, dingin, setiap kata keluar terpotong, seolah ancaman mematikan.
Asisten itu langsung pucat pasi. Jantungnya berdegup panik, tangan gemetar. Ia menunduk dalam-dalam, berharap tanah terbuka dan menelannya. Ia sadar, nama itu adalah pantangan. Ia mengumpati dirinya dalam hati akan kebodohannya itu.
“Ma-maaf, Tuan,” bisiknya tergagap, nyaris tak terdengar.
Alvaro mengalihkan pandangan, menutup rahangnya rapat. Tetapi jauh di balik wajah dinginnya, ada sesuatu yang bergolak.
Bagi dunia, ia adalah Alvaro Pradana, pewaris arogan yang selalu benar, pewaris yang ditakuti sekaligus dikagumi. Namun “Reynanda” adalah nama yang diberikan ibunya adalah sisi dirinya yang rapuh. Nama yang lahir dari cinta, tapi terkubur bersama luka kehilangan.
Sejak kecil, setiap kali mendengar panggilan itu, hatinya terasa teriris. Karena nama itu bukan hanya sebuah identitas, tapi pengingat tentang kelemahan, kesepian, dan seorang ibu yang pergi terlalu cepat.
Baginya, Reynanda sudah mati.
Sementara itu, di sebuah kamar sederhana di sudut kota, layar laptop menyala terang. Di hadapannya duduk seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai, wajahnya cantik meski lelah, matanya menyala penuh semangat.
Ia menatap siaran ulang wawancara Alvaro dengan mulut sedikit terbuka, lalu mendecak keras.
Kata-kata mengalir cepat, penuh amarah sekaligus keyakinan. Judul artikelnya segera muncul di layar:
“Alvaro Pradana: Pewaris Arogan yang Tak Layak Disebut Pemimpin.”
Wanita itu mengetik dengan napas terengah.
Baginya, kekuasaan adalah tameng untuk merendahkan orang lain. Bagaimana mungkin seorang pria yang bahkan tidak bisa merendahkan hatinya di depan publik, bisa dipercaya memimpin ribuan karyawan?
Ia berhenti sejenak, menatap kalimat itu dengan senyum getir. Bayangan wajah angkuh Alvaro masih jelas di kepalanya.
Jemarinya kembali bergerak, mengetik kalimat terakhir:
Kesombongan hanya akan membangun kerajaan rapuh. Dan ketika runtuh, bahkan pewaris arogan sekalipun akan belajar arti jatuh.
Klik. Artikel itu terunggah di blog pribadinya. Ia menarik napas panjang, merasa lega sekaligus berdebar. Ia tidak tahu apakah tulisannya akan dibaca banyak orang. Tapi satu hal pasti; ia tidak bisa diam menghadapi pria seperti Alvaro.
Di dalam mobil sport hitam yang meluncur di jalan kota, Alvaro menatap layar ponselnya. Lampu neon dari luar memantul di kaca jendela, memberi siluet dingin pada wajahnya.
Artikel itu terpampang jelas di layar. Ia membaca tiap kata dengan sorot mata yang semakin menyipit.
Nama penulis: Lyssa Arabella.
Rahangnya mengeras. Bibirnya perlahan melengkung, membentuk senyum tipis penuh ancaman.
Jarinya mengetuk setir perlahan, ritmis. Namun di balik senyum dingin itu, pikirannya melayang. Kata-kata di artikel itu menusuk sesuatu yang sudah lama ia kubur: nama yang ia benci.
Reynanda.
Ia terkekeh lirih, namun suaranya sarat kemarahan.
Lampu lalu lintas berubah hijau. Mobil sport hitam itu melesat, meninggalkan bayangan arogan di balik kaca gelap.
Dunia mengenalnya sebagai Alvaro, pewaris arogan yang berdiri di atas segalanya. Namun di balik nama itu, tersembunyi rahasia yang bahkan ia sendiri benci mengingatnya: Reynanda.
Alvaro akhirnya tertidur lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya yang kelelahan, pikiran yang tercabik masa lalu, dan perasaan bersalah yang menumpuk seolah memaksa dirinya menyerah pada tidur yang gelap dan tidak tenang.Lyssa memandangi wajahnya dalam remang lampu kamar. Napas Alvaro terdengar berat, tidak teratur, seperti seseorang yang terus berlari tanpa henti dalam mimpi buruk yang tidak kunjung selesai. Sesekali jari-jarinya bergerak, seolah menggenggam sesuatu yang tidak ada. Entah rasa sakit, entah kenangan.Lyssa menyentuh pipinya perlahan.“Alvaro…” bisiknya, meski tahu laki-laki itu tidak akan mendengar.Dadanya terasa penuh. Berat. Sakit yang ia sembunyikan sejak tadi meledak perlahan, bukan dalam bentuk teriakan… tapi keheningan yang menusuk.Air matanya jatuh perlahan, satu tetes… lalu dua… lalu tiga, merembes tanpa ia pernah bermaksud menangis.Ia tidak ingin menyulitkan Alvaro. Ia tidak ingin menambah beban. Ia hanya ingin dicintai dengan setulus yang ia berikan. Ia ingin
Lyssa duduk di sofa ruang tamu sambil menatap layar laptop yang memantulkan cahaya kebiruan ke wajahnya. Halaman kosong itu seperti mengejeknya, menunjukkan seberapa kacau pikirannya hingga ia bahkan tak mampu menulis satu kata pun. Tangannya tergeletak di atas keyboard, tapi tidak bergerak. Tubuhnya ada di sini, tetapi pikirannya melayang jauh.Lima hari lagi.Ia memejamkan mata, mengulang kata-kata itu untuk kesekian kali. Lima hari lagi, orang tuanya akan dibebaskan dari penjara. Lima hari lagi, seharusnya menjadi hari bahagia, hari yang dulu pernah Alvaro janjikan. Hari ketika Alvaro akan melamarnya di hadapan kedua orang tuanya, janji yang membuat Lyssa mampu bertahan di salah satu masa paling gelap dalam hidupnya.Tapi hingga detik ini, tidak ada pembicaraan apa pun. Tidak ada cincin. Tidak ada rencana. Bahkan tidak ada tanda-tanda Alvaro mengingat janjinya.Lyssa menggenggam jemarinya sendiri. Dinginnya menembus kulit, menggetarkan seluruh tubuhnya."Apakah Alvaro… lupa?"Perta
Pagi itu masih samar ketika Reina dan Sofia duduk berhadapan di meja kecil dekat jendela, cahaya matahari baru menyisir tirai tipis apartemen sederhana itu. Reina memegang segelas air hangat, mencoba menenangkan perutnya yang masih mual sisa alkohol.Sementara Sofia menatapnya dengan ekspresi teduh, wajah yang tampak begitu lembut namun menyimpan sesuatu yang sulit dibaca.“Masih pusing?” tanya Sofia dengan nada lembut, hampir seperti kakak yang menenangkan adiknya.“Sedikit…” Reina memijat pelipisnya. “Maaf sudah merepotkanmu. Seharusnya aku tidak-”“Tidak apa-apa,” sela Sofia cepat, tersenyum kecil. “Aku tidak tega membiarkanmu terduduk di pinggir jalan begitu saja. Kau bisa saja diseret orang tak dikenal. Dunia tidak seaman yang terlihat.”Reina menelan ludah. Ada sesuatu dalam cara bicara Sofia yang membuatnya merasa dianggap. Diperhatikan. Hal yang akhir-akhir ini jarang ia rasakan bahkan dari teman sendiri.“Aku tidak tahu bagaimana membalas ini,” gumam Reina, agak kikuk.“Kau t
Langit sore tampak berat, menekan kota dengan warna kelabu yang pekat. Hujan tipis turun, menetes di kaca jendela ruang kerja Alvaro yang sepi. Lelaki itu duduk di kursinya, wajahnya menunduk dalam bayangan redup.Beberapa hari terakhir, dunia di sekelilingnya terasa seperti mimpi buruk yang belum berakhir. Foto itu, foto masa kecilnya yang berdarah masih menghantui di balik kelopak matanya setiap kali ia menutup mata.Pintu diketuk.“Masuk,” suaranya parau, lemah.Damar muncul di ambang pintu. Wajahnya terlihat letih, mata merah seperti habis begadang. Sesuatu dalam dirinya retak, antara keberanian untuk bicara dan rasa takut ditolak.“Alvaro,” panggilnya pelan.Alvaro mendongak perlahan, tatapannya tajam namun penuh luka. “Ada apa lagi?” katanya datar.Nada suaranya di sana terdengar dingin. Damar menelan ludah, tahu betapa jauhnya jarak di antara mereka kini.“Aku… ingin bicara. Tentang Sofia.”Alvaro mendengus pelan. “Kau baru sadar sekarang, setelah semuanya berantakan? Setelah d












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews