Share

Bab 6 - Dering Telepon

Henry mengikuti staf rumah sakit yang sedang mengantarnya ke kamar VIP tempat Lily berada. Sebelumnya, Henry telah meminta kamar yang terbaik yang dimiliki rumah sakit tersebut, dengan fasilitas yang jauh lebih lengkap tentunya.

Setelah dua tahun mengajak Lily hidup dalam kesulitan, kali ini dan seterusnya, Henry berjanji akan memberikan yang terbaik untuk istrinya yang setia.

"Tuan Muda, ini adalah kamar baru untuk istri Anda. Kami telah menyiapkan fasilitas terbaik dan obat-obatan terbaik yang kami punya. Setiap pagi dokter akan datang untuk memeriksa kondisi istri Anda. Jika Anda membutuhkan sesuatu, silakan tekan bel di sini maka perawat akan datang ke sini dengan segera," ucap pria itu menjelaskan sekilas tentang ruangan VIP terbaru yang ditempati Lily.

Henry mengangguk. "Terima kasih banyak atas bantuanmu."

"Kami merasa bersyukur karena Anda bersedia memaafkan kesalahan kasir kami sebelumnya. Kami juga merasa terhormat karena anda berkenan mempercayakan kesembuhan istri anda di rumah sakit ini.”

Henry mengangguk tersenyum demi membalas kesopanan pria itu. Pria tersebut pun berujar lagi, “Jika tidak ada yang bisa saya bantu lagi, maka saya kembali,” ucap pria itu sambil membungkuk dengan hormat.

“Kau bisa pergi sekarang. Sekali lagi, terima kasih.”

Itu adalah untuk pertama kali dalam hidupnya, Henry merasa dihormati dan diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Henry teringat saat ia berjalan menuju ke ruangan VIP, para perawat dan staf rumah sakit membungkuk kepadanya untuk memberi penghormatan. Itu adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelum hari itu.

Selepas kepergian atasan si penjaga kasir, Henry mendekati tempat tidur Lily. Dia melihat istrinya sedang terlelap tidur. Perlahan, dia mengelus rambut Lily dengan lembut.

"Sayang, aku berjanji bahwa mulai sekarang aku tak akan membuat hidupmu sulit dan tak akan membiarkan orang lain merendahkanmu lagi. Untuk orang-orang yang pernah menghina dan merendahkanmu, kita bisa membuat mereka mendapatkan pelajaran yang berharga," bisik Henry di telinga Lily. Meskipun Lily tak mungkin bisa mendengarnya, Henry cukup puas bisa mengatakan semua itu kepada Lily.

Memandangi wajah teduh Lily, Henry bisa melihat ada kesedihan besar yang tersembunyi dengan rapi di sana. Sejenak, Henry tersenyum getir antara bahagia, sedih, dan terharu. Bagaimana bisa perempuan secantik itu tetap bersedia hidup susah dengan dirinya demi mempertahankan cinta dan komitmen.

Saat itu, Henry tetap duduk di samping tempat tidur Lily sembari mengelus rambut Lily dengan lembut, membayangkan betapa banyak hartanya saat ini, Henry sebenarnya tak sabar untuk mengajak Lily bersenang-senang.

Tak lama berselang, Lily terbangun. Perempuan itu terkejut karena saat ini berada di kamar yang teramat mewah yang tentu saja seharusnya itu mustahil terjadi padanya. Lily melemparkan pandangan curiga pada Henry.

"Sayang, katakan sejujurnya, kita ada di mana?" tanya Lily segera, "ini bukan kamar biasa. Henry, bukankah ini mirip seperti fasilitas ruang VIP?"

Henry mengangguk. "Iya, Sayang, saat ini kau berada di kamar VIP. Kau tidak perlu khawatir tentang semuanya, keadaanmu akan membaik segera. Aku berjanji jika kau sudah sehat, kita akan mencari rumah baru yang lebih sesuai untuk kita tinggali."

Lily mengamati suaminya dengan penuh kebingungan. "Apa maksudmu? Kita berdua sama-sama tak punya uang. Dan, bagaimana kita akan membayar tagihan rumah sakit ini? Ini kamar VIP, ingat?! Kau pasti tahu tarifnya akan sangat mahal dibandingkan dengan kamar biasa. Atau... apakah Albert Brown yang memindahkanku ke kamar ini? Apakah dia meminta sesuatu sebagai imbalan, begitu?" Lily berbicara panjang lebar sebagai imbas dari kegugupan dan kebingungannya yang melebur menjadi satu.

Henry menggelengkan kepala lalu tersenyum demi menenangkan rasa gelisah Lily yang seolah tumpah ruah. "Lily, percayalah padaku. Aku yang menciptakan semua keajaiban ini, tentu saja dengan bantuan orang baik yang Tuhan kirimkan untuk menyelamatkan kita. Tenangkan dirimu, kita akan baik-baik saja," pintanya.

Lily mengangguk. "Tentu saja aku percaya selalu percaya padamu. Tapi, sepertinya sulit untuk yang satu ini. Henry, ini semua mustahil!" ungkap Lily berterus terang.

Henry teringat ucapan Oliver Wood yang memintanya untuk merahasiakan terlebih dahulu statusnya sebagai ahli waris The Great James. Maka, untuk saat ini, dia juga berencana untuk tidak berterus terang kepada Lily mengenai hal itu.

"Lily sayang, aku dibantu oleh salah satu teman lama ayahku yang sudah meninggal. Kebetulan, aku baru saja bertemu dengannya dan dia memberi bantuan yang luar biasa besar," ucap Henry lalu ia mengatakan bahwa mendiang ayahnya memiliki teman yang teramat baik dan teman tersebut merasa berhutang budi sehingga kali ini membalaskan budi kepada Henry.

Lily mengerutkan dahi, cerita dari Henry terbilang cukup masuk akal meski dalam beberapa bagian, ia merasa ada yang janggal. “Mengapa dia tak membantu kita sejak dulu?" tanya Lily penasaran.

Dua tahun ini, Lily dan Henry memasuki masa-masa terburuk di hidup mereka, dan, selama itu juga tidak pernah ada siapa pun yang membantu mereka. Jadi, rasanya sedikit janggal jika tiba-tiba Henry mendapat bantuan dari seseorang yang dia katakan sebagai teman ayah kandungnya yang sedang membalas budi. "Kau tidak bohong padaku, kan? Sayang?" tanya Lily memastikan.

Henry mengambil napas dalam-dalam lalu menatap istrinya. "Aku akan memberitahumu cerita yang lebih lengkap, tapi nanti. Untuk saat ini, cukuplah gunakan hati nuranimu untuk menilai kejujuranku," pinta Henry dengan senyuman lembut yang nyaman dilihat mata.

Selama beberapa saat, Lily menatap mata suaminya. Ia tak melihat tanda-tanda kebohongan di sana.

Lily masih ingin bertanya, tapi Henry terlebih dahulu memeluknya. "Mulai hari ini aku akan membayar semua pengorbanan yang kamu lakukan demi membela cinta kita."

Lily, yang merasa sangat nyaman dalam pelukan suaminya, tampak menggeleng pelan namun dengan senyum hangat. "Kamu adalah suamiku, aku tidak pernah merasa seperti aku mengorbankan apa pun untuk bisa hidup denganmu. Tak ada yang perlu kau bayar, sayang," katanya dengan lembut.

Ketika keduanya masih menikmati kebersamaan mereka yang hangat, tiba-tiba ponsel Lily yang tergeletak di atas meja berdering. Henry menatap layar ponsel milik istrinya, sebuah senyum kecut tampak menghiasi wajah Henry, membuat kening Lily berkerut dan bertanya,

"Siapa yang menelepon?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Herson Henukh Mezeveo
keren banget ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status