Henry mengikuti staf rumah sakit yang sedang mengantarnya ke kamar VIP tempat Lily berada. Sebelumnya, Henry telah meminta kamar yang terbaik yang dimiliki rumah sakit tersebut, dengan fasilitas yang jauh lebih lengkap tentunya.
Setelah dua tahun mengajak Lily hidup dalam kesulitan, kali ini dan seterusnya, Henry berjanji akan memberikan yang terbaik untuk istrinya yang setia.
"Tuan Muda, ini adalah kamar baru untuk istri Anda. Kami telah menyiapkan fasilitas terbaik dan obat-obatan terbaik yang kami punya. Setiap pagi dokter akan datang untuk memeriksa kondisi istri Anda. Jika Anda membutuhkan sesuatu, silakan tekan bel di sini maka perawat akan datang ke sini dengan segera," ucap pria itu menjelaskan sekilas tentang ruangan VIP terbaru yang ditempati Lily.
Henry mengangguk. "Terima kasih banyak atas bantuanmu."
"Kami merasa bersyukur karena Anda bersedia memaafkan kesalahan kasir kami sebelumnya. Kami juga merasa terhormat karena anda berkenan mempercayakan kesembuhan istri anda di rumah sakit ini.”
Henry mengangguk tersenyum demi membalas kesopanan pria itu. Pria tersebut pun berujar lagi, “Jika tidak ada yang bisa saya bantu lagi, maka saya kembali,” ucap pria itu sambil membungkuk dengan hormat.
“Kau bisa pergi sekarang. Sekali lagi, terima kasih.”
Itu adalah untuk pertama kali dalam hidupnya, Henry merasa dihormati dan diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Henry teringat saat ia berjalan menuju ke ruangan VIP, para perawat dan staf rumah sakit membungkuk kepadanya untuk memberi penghormatan. Itu adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelum hari itu.
Selepas kepergian atasan si penjaga kasir, Henry mendekati tempat tidur Lily. Dia melihat istrinya sedang terlelap tidur. Perlahan, dia mengelus rambut Lily dengan lembut.
"Sayang, aku berjanji bahwa mulai sekarang aku tak akan membuat hidupmu sulit dan tak akan membiarkan orang lain merendahkanmu lagi. Untuk orang-orang yang pernah menghina dan merendahkanmu, kita bisa membuat mereka mendapatkan pelajaran yang berharga," bisik Henry di telinga Lily. Meskipun Lily tak mungkin bisa mendengarnya, Henry cukup puas bisa mengatakan semua itu kepada Lily.
Memandangi wajah teduh Lily, Henry bisa melihat ada kesedihan besar yang tersembunyi dengan rapi di sana. Sejenak, Henry tersenyum getir antara bahagia, sedih, dan terharu. Bagaimana bisa perempuan secantik itu tetap bersedia hidup susah dengan dirinya demi mempertahankan cinta dan komitmen.
Saat itu, Henry tetap duduk di samping tempat tidur Lily sembari mengelus rambut Lily dengan lembut, membayangkan betapa banyak hartanya saat ini, Henry sebenarnya tak sabar untuk mengajak Lily bersenang-senang.
Tak lama berselang, Lily terbangun. Perempuan itu terkejut karena saat ini berada di kamar yang teramat mewah yang tentu saja seharusnya itu mustahil terjadi padanya. Lily melemparkan pandangan curiga pada Henry.
"Sayang, katakan sejujurnya, kita ada di mana?" tanya Lily segera, "ini bukan kamar biasa. Henry, bukankah ini mirip seperti fasilitas ruang VIP?"
Henry mengangguk. "Iya, Sayang, saat ini kau berada di kamar VIP. Kau tidak perlu khawatir tentang semuanya, keadaanmu akan membaik segera. Aku berjanji jika kau sudah sehat, kita akan mencari rumah baru yang lebih sesuai untuk kita tinggali."
Lily mengamati suaminya dengan penuh kebingungan. "Apa maksudmu? Kita berdua sama-sama tak punya uang. Dan, bagaimana kita akan membayar tagihan rumah sakit ini? Ini kamar VIP, ingat?! Kau pasti tahu tarifnya akan sangat mahal dibandingkan dengan kamar biasa. Atau... apakah Albert Brown yang memindahkanku ke kamar ini? Apakah dia meminta sesuatu sebagai imbalan, begitu?" Lily berbicara panjang lebar sebagai imbas dari kegugupan dan kebingungannya yang melebur menjadi satu.
Henry menggelengkan kepala lalu tersenyum demi menenangkan rasa gelisah Lily yang seolah tumpah ruah. "Lily, percayalah padaku. Aku yang menciptakan semua keajaiban ini, tentu saja dengan bantuan orang baik yang Tuhan kirimkan untuk menyelamatkan kita. Tenangkan dirimu, kita akan baik-baik saja," pintanya.
Lily mengangguk. "Tentu saja aku percaya selalu percaya padamu. Tapi, sepertinya sulit untuk yang satu ini. Henry, ini semua mustahil!" ungkap Lily berterus terang.
Henry teringat ucapan Oliver Wood yang memintanya untuk merahasiakan terlebih dahulu statusnya sebagai ahli waris The Great James. Maka, untuk saat ini, dia juga berencana untuk tidak berterus terang kepada Lily mengenai hal itu.
"Lily sayang, aku dibantu oleh salah satu teman lama ayahku yang sudah meninggal. Kebetulan, aku baru saja bertemu dengannya dan dia memberi bantuan yang luar biasa besar," ucap Henry lalu ia mengatakan bahwa mendiang ayahnya memiliki teman yang teramat baik dan teman tersebut merasa berhutang budi sehingga kali ini membalaskan budi kepada Henry.
Lily mengerutkan dahi, cerita dari Henry terbilang cukup masuk akal meski dalam beberapa bagian, ia merasa ada yang janggal. “Mengapa dia tak membantu kita sejak dulu?" tanya Lily penasaran.
Dua tahun ini, Lily dan Henry memasuki masa-masa terburuk di hidup mereka, dan, selama itu juga tidak pernah ada siapa pun yang membantu mereka. Jadi, rasanya sedikit janggal jika tiba-tiba Henry mendapat bantuan dari seseorang yang dia katakan sebagai teman ayah kandungnya yang sedang membalas budi. "Kau tidak bohong padaku, kan? Sayang?" tanya Lily memastikan.
Henry mengambil napas dalam-dalam lalu menatap istrinya. "Aku akan memberitahumu cerita yang lebih lengkap, tapi nanti. Untuk saat ini, cukuplah gunakan hati nuranimu untuk menilai kejujuranku," pinta Henry dengan senyuman lembut yang nyaman dilihat mata.
Selama beberapa saat, Lily menatap mata suaminya. Ia tak melihat tanda-tanda kebohongan di sana.
Lily masih ingin bertanya, tapi Henry terlebih dahulu memeluknya. "Mulai hari ini aku akan membayar semua pengorbanan yang kamu lakukan demi membela cinta kita."
Lily, yang merasa sangat nyaman dalam pelukan suaminya, tampak menggeleng pelan namun dengan senyum hangat. "Kamu adalah suamiku, aku tidak pernah merasa seperti aku mengorbankan apa pun untuk bisa hidup denganmu. Tak ada yang perlu kau bayar, sayang," katanya dengan lembut.
Ketika keduanya masih menikmati kebersamaan mereka yang hangat, tiba-tiba ponsel Lily yang tergeletak di atas meja berdering. Henry menatap layar ponsel milik istrinya, sebuah senyum kecut tampak menghiasi wajah Henry, membuat kening Lily berkerut dan bertanya,
"Siapa yang menelepon?"
Dengan sedikit malas Henry menjawab pertanyaan istrinya, "Ibumu.” Henry tersenyum masam lalu mencibir ke arah ponsel itu, “pasti dia ingin membicarakan pernikahanmu dengan si tua Albert itu.”Dengan enggan, Henry mengambil ponsel tersebut lalu mengulurkannya pada Lily. Melihat wajah masam suaminya, Lily memberi senyum tipis lalu bertanya, "Apa kau ingin aku mengaktifkan pengeras suara?" tanya Lily.Henry mengangkat bahu tetapi kemudian mengangguk. Lily mengangguk, menarik napas dalam lalu mengangkat telepon ibunya sembari mengaktifkan tombol pengeras suara."Lily, di mana kau sekarang? Bagaimana kondisimu? Pasti kau pura-pura sakit, kan? Biar kutebak, kau berada di dalam Flat kumuhmu itu, kan?" tanya Catherine segera sesaat setelah Lily mengangkat telepon."Ibu, aku sekarang sedang berada di rumah sakit. Lagipula, untuk apa ibu meneleponku?" tanya Lily."Apa katamu?? Aku ini ibumu, memangnya, apa ada aturan yang tak membolehkan seorang ibu menelepon putri mereka?" tanya Catherine terd
“Berikan teleponnya padaku,” pinta Henry dengan suara pelan. Lily mengangguk dan mengulurkan ponselnya kepada sang suami. Begitu Henry menerima ponsel istrinya, ia segera menyapa sang ibu mertua.“Ibu, aku dan Lily tidak akan pernah bercerai. Jika ibu menginginkan harta Albert Brown, bercerailah dari ayah lalu menikah dengan Albert.”Catherine mengerucutkan bibirnya. "Menantu kurang ajar kau ini! Kau benar-benar…”“Karena aku memiliki mertua yang kurang ajar, wajar jika sikapku seperti ini,” sergah Henry memotong ocehan Catherine. Tentu saja, Catherine menjadi semakin menggila diperlakukan demikian oleh memantunya yang dia anggap tak berguna."Sial! Ingat, aku bersumpah aku akan membuatmu bercerai dari Lily dalam waktu dekat!" tantang Catherine sebagai ungkapan kekesalannya terhadap sang menantu. “Kau tahu sifatku bukan? Ha ha, jika memang Lily tak mau menandatangani surat gugatan perceraian, oh, aku bisa melakukannya dengan caraku sendiri!”Sebelum Henry merespon, sambungan telepon d
Catherine dan Jacob melongo mendengar janji sesumbar dari Henry. Jika dipikir-pikir, janji tersebut sangatlah menguntungkan pihak Catherine dan Jacob.“Kau sadar dengan apa yang kau ucapkan? Apa kau yakin akan menceraikan putriku?” tanya Catherine memastikan.“Tentu saja! Tetapi itu hanya terjadi jika aku gagal membawa kemenangan untuk Lily,” tutur Henry dengan yakin.Catherine dan Jacob pun saling berpandangan dengan senyum seringai terpampang jelas di wajah mereka. Mereka cukup senang karena pada akhirnya Henry sendiri yang bersedia menceraikan Lily.Mereka sangat yakin jika Henry tidak akan mampu membantu Lily memenangkan proyek Emerald Group. Di mata Catherine dan Jacob, Henry terlihat seperti menantu depresi yang baru saja membuat keputusan bodoh. Tetapi, itu membuat mereka merasa gembira tak terkira.Akhirnya, impian mereka memiliki menantu kaya seperti Albert Brown akan segera tercapai. Tak masalah jika putri mereka harus menderita hidup bersama lelaki tua, yang penting mereka
Kedatangan Henry di ruang CEO Emerald Group disambut segera oleh Jinny Baker. Jinny merupakan CEO perempuan pertama di Emerald Group dan sekaligus menyandang predikat CEO termuda sepanjang sejarah Emerald Group berdiri. Di usianya yang baru menginjak 32 tahun, Jinny Baker telah berhasil membawa Emerald Group menjadi salah satu perusahaan paling berpengaruh di seluruh kota Eastland.Katika prestasi-prestasinya telah begitu banyak, hari itu Jinny Baker dikejutkan oleh kejadian pengusiran pemegang saham terbesar di Emerald Group oleh karyawannya sendiri. Dengan kepiawaiannya menyembunyikan kegelisahan dan kekhawatiran besar, Jinny menyambut kedatangan Henry dengan cukup hangat dan professional.“Silakan duduk, Tuan Henry. Maafkan atas kelancangan security kami. Mereka belum tahu siapa Anda,” tutur Jinny Baker dengan ekspresi ramah namun tetap menampilkan kesan menyesal yang tak dibuat-buat. Dari dalam lubuk hatinya, Jinny memang menyesalkan insiden tersebut. Andai sebelumnya Jinny tahu j
Emerald Group baru saja mengumumkan jika mereka sedang membuka pengajuan proposal kerja sama beberapa minggu lalu. Biasanya, mereka akan menunggu setidaknya tiga bulan penuh sebelum melanjutkan ke tahap selanjutnya karena ingin menerima pengajuan proposal sebanyak-banyaknya dari para calon pelamar.Namun, ada perbedaan mencolok pada sesi pengajuan proposal kali ini. Emerald Group telah menutup pengajuan proposal kerja sama lebih awal dari waktu yang ditentukan karena sudah menemukan kandidat terbaik yang akan mereka ajak bekerja sama.Emerald Group juga mengatakan bahwa mereka akan mengumumkan hasil tersebut dua hari mendatang yang juga akan disiarkan secara langsung melalui beberapa channel di media televisi. Sebagai perusahaan ternama di Kota Eastland, Emerald Group memang kerap menjadi perhatian publik dan setiap aktivitas yang mereka lakukan selalu diliput oleh media.Mendengar kabar akan segera diumumkannya kandidat yang dipilih Emerald Group, banyak pihak seperti pengusaha ataup
‘Sebentar lagi kalian akan menelan pahitnya kenyataan!’ Henry membatin sesaat setelah pembawa acara mengundang perwakilan dari Emerald Group dalam siaran langsung.Detik demi detik berlalu, setiap kata-kata yang keluar dari mulut pembawa acara dan perwakilan Emerald Group itu membuat jantung semua orang berdetak kencang. Apalagi setelah pembawa acara membacakan satu persatu nama kandidat yang masuk ke dalam sepuluh besar.Kandidat pertama diisi oleh nama Albert Brown, lengkap dengan biodata juga proposalnya, membuat pria itu memasang senyuman lebar dan membusungkan dadanya dengan sombong.Kandidat kedua, ketiga dan seterusnya juga tidak kalah hebat, mereka merupakan pengusaha atau orang-orang terpandang di Kota Eastland yang memiliki prestasi dan juga kekayaan berlimpah. Selain itu, pengalaman juga karir mereka di bidangnya sudah mencapai puluhan tahun sehingga kinerja dan kapasitasnya tidak perlu diragukan lagi.Kini tersisa satu kandidat yang belum dibacakan, namun nama Lily Wilson
"Cepat tanda tangani berkas itu, Henry. Apakah kau ingin melanggar janjimu. Jangan jadi pecundang yang tidak bertanggung jawab!" Jacob membentak Henry dengan keras karena merasa Henry sedang mempermainkan taruhan yang telah mereka sepakati."Tidak, aku tak akan menandatangani surat itu. Aku yakin pembawa acara itu sudah melakukan kesalahan." Henry bersikeras dengan pendiriannya. Ia masih belum mengakui kekalahannya karena ia memang yakin jika ada yang tak beres dengan pengumuman yang dilakukan oleh Emerald Group.“Hei, kesalahan apa yang kau maksud?” tanya Jacob menyelidik."Itulah yang hendak aku selidiki. Aku ingin ayah dan ibu memberiku waktu selama satu hari ke depan untuk menyelesaikan perkara ini. Aku yakin pasti ada kesalahpahaman yang telah terjadi."Henry meminta perpanjangan waktu dan berjanji jika kali ini ia tidak dapat membuktikan ucapannya, maka Henry akan benar-benar merelakan Lily menjadi milik orang lain.Catherine menjadi murka begitu mendengar janji-janji Henry yang
Dengan langkah berat, Henry meninggalkan rumah sang mertua. Wajahnya dipenuhi penyesalan dan amarah, terutama saat teringat pada Lily yang telah bersujud di kaki Albert Brown hanya demi melindungi harga dirinya sebagai sang suami.Saat itu, Henry merasa seperti pria yang telah gagal dalam tugasnya untuk melindungi martabat istrinya. Setiap kata tajam dan tatapan merendahkan yang dia terima dari keluarga mertuanya kini saling tumpang tindih memenuhi isi kepalanya.Keputusan Lily yang berani untuk mengorbankan dirinya sendiri demi menyelamatkan harga diri Henry terasa seperti cambukan bagi Henry James.Segera, Henry mengeluarkan ponsel dari saku celananya untuk menghubungi Oliver Wood. Ia tak sabar untuk menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Seharusnya saat ini Henry sedang menertawakan kekalahan Albert atas kemenangan Lily, namun yang terjadi justru sebaliknya, Henry dan Lily harus menanggung malu dan hinaan.“Seratus panggilan tak terjawab?!” Henry terperanjat kaget saat membu