“Bening!”
Aga reflek membanting setirnya ke kiri, karena harus mencondongkan tubuh untuk meraih bagian tubuh Bening yang dapat ia jangkau.
Apapun itu!
Asal bisa menarik tubuh itu kembali masuk ke dalam mobil. Aga meraih tas selempang yang masih bisa terjangkau dan menariknya. Di saat yang sama, mobil yang dikendarainya langsung berputar dan berbalik arah, karena Aga tidak sengaja telah melakukan oversteer dan kehilangan keseimbangan.
Tubuh Bening yang sudah siap melompat itu, terhentak keras. Tertarik kasar kembali ke belakang. Jatuh, dan kepalanya terbentur tuas persneling mobil.
Sementara Aga, sudah tidak bisa mengontrol kemudi. Kakinya reflek mencari apapun yang bisa diinjak dan berharap itu adalah pedal rem. B
Aga terhenyak dari tidurnya. Getaran ponsel yang tergeletak di sisi tubuh Aga, langsung membangunkannya seketika. Tangan Aga meraba sisi kosong di sebelahnya lalu mengangkat ponsel yang akhirnya ia temukan. Melihat nama Vira, kemudian Aga langsung mensenyapkan getarannya. Tidak berniat sama sekali menerima panggilan dari sang istri, di pagi hari seperti ini. Terlebih, Aga sudah melalui malam yang sangat melelahkan, hingga ia tidak ingin dicecar oleh pertanyaan Vira sama sekali. Aga kemudian bangkit perlahan dari tidurnya. Melihat Bening yang masih tertidur pulas, karena efek obat bius yang disuntikkan pada gadis itu ketika dalam keadaan lengah malam tadi. Selagi Aga terus mengoceh untuk memancing perhatian Bening. Dua orang perawat dan satu dokter sudah bersiap untuk meraih gadis itu, dan langsung memberi suntikan untuk menenangkannya.
Akhirnya, Aga bisa meninggalkan Bening saat Ruri datang ke rumah sakit setelah gadis itu menghubunginya. Satu-satunya yang bisa dibawa Aga saat kecelakaan tersebut adalah tas yang masih melekat di tubuh Bening tadi malam. Beruntung di dalam sana juga ada ponsel yang bisa digunakan untuk menghubungi Ruri, sehingga wanita paruh baya itu bisa datang dan membantu untuk menjaga Bening.Karena Ruri datang pada saat Bening kembali tertidur pulas, maka Aga bisa berbicara beberapa hal mengenai kondisi Bening yang sudah hampir melenyapkan nyawanya sendiri sebanyak dua kali.Ruri cukup terkejut ketika mendengar pernyataan dari Aga tersebut. Namun, setelah mendengar dengan seksama apa yang telah dikeluhkan Bening kepada Aga, Ruri akhirnya bisa mengerti.“Tapi, Bu Ruri, maaf sebelumnya,” ujar Aga setelah menjelaskan
“Pak Aga, nggak pulang?” Bening melihat jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Aga masih terlihat bersandar di sofa dengan memangku laptopnya. Bening jadi gelisah sendiri, ketika mengingat kembali ajakan Aga untuk menikah dengannya. Apa pria itu sungguh mengatakan hal tersebut dengan serius? Lantas, bagaimana dengan istri dan anaknya? “Kalau saya pulang, siapa yang ngawasi kamu di sini.” Manik Aga tetap tertuju pada layar laptopnya. Ia tengah mengecek kelengkapan berita, yang akan diterbitkan esok hari. Karena ada isu sensitif di dalamnya, maka Aga menaruh konsentrasi lebih pada tulisan tersebut. Jangan sampai, perusahaannya mendapat masalah, karena telah salah dalam menyikapi sebuah informasi dari narasumber. “Bapak, bisa minta salah satu suster untuk temani saya di sini.” “Tidurlah, Ning,” titah Aga mengabaikan ucapan Bening. “Kamu perlu istirahat biar cepat pulih dan masuk kantor. Kamu sudah banyak izin bulan ini. Har
Aga, benar-benar tidak pulang ke rumah setelah Vira meneleponnya tadi malam. Ia baru kembali pulang keesokan paginya. Setelah Ruri datang untuk menggantikannya menjaga Bening. Tadinya, Aga mengira yang akan ditemuinya pagi ini hanyalah orang tua Vira saja. Namun, pemikiran Aga ternyata salah. Vira juga meminta kedua orang tua Aga untuk datang, sehingga mereka berenam kini sudah duduk melingkari sebuah meja persegi di ruang tengah. “Dari mana kamu, Ga?” Ernest, ayah Aga membuka suara lebih dahulu. “Benar, kamu sudah nggak pulang dua malam ini?” Aga mengangguk tegas. Ia merasa, tidak ada hal yang perlu disembunyikan lagi, jika Vira sudah meminta orang tua mereka datang seperti sekarang. “Aku nginap di luar.” “Dengan perempuan?” sambar Nilam, ibu Vira yang sedari tadi s
Aga gamang. Di satu sisi, ia ingin memperbaiki pernikahanya dengan Vira, karena mereka masih memiliki Awan. Di lain sisi, hatinya sudah tidak lagi berpijak di rumah. Ada satu nama, yang kini terus saja merongrong di dalam hati, serta pikirannya. Namun, Aga khawatir kalau perasannya kini hanyalah sebuah empati serta simpati, yang membuatnya akan menyesali semua keputusan yang diambilnya dengan terburu seperti sekarang. Oleh karena itu, Aga ingin memastikan semua perasaannya pada sang istri sekali lagi, Mencoba membangun chemistry yang sudah pudar, dan berharap semua itu akan kembali seperti semula ketika mereka melakukan bulan madu nantinya. Sementara itu, Aga masih tetap menyempatkan diri untuk menjaga Bening di rumah sakit, hanya saja, ia mulai mengurangi frekuensinya. Aga tidak lagi menginap di rumah sakit, dan ia menuruti ucapan Bening untuk meminta seorang perawat yang khusus menjaga kondisinya. Lantas hari ini, Aga yang terlalu sibuk di kantor, baru bisa
“Non Bening mau pergi? Biar Bapak aja yang nganter, sekalian ngider?” Bening tersenyum ramah pada suami Ruri yang berprofesi sebagai ojek on-line. Sudah dua hari ini, Bening menumpang di rumah Ruri dan hari ini, ia berencana pergi mendatangi kantor pemasaran perumahan untuk melihat-melihat “Makasih, tapi saya sudah bisa naik motor, kok, Pak,” kata Bening tidak ingin merepotkan. Bening juga tidak ingin berlama-lama karena terlalu sungkan dengan kebaikan Ruri. Selain karena satu hal itu, selama dua hari berada di rumah Ruri, Bening tidak dapat berpakaian dengan bebas. Ia harus memakai pakaian yang tertutup, demi menghormati sang pemilik rumah. “Beneran kakinya sudah nggak papa dipakai naik motor?” tanya Ahmad memastikan lagi. “Nggak papa, Pak,” ujar Bening lalu b
“Pencairannya sekitar tujuh sampai empat belas hari kerja.” Rohit sedikit terkejut ketika melihat Bening yang mendadak mendatangi mejanya. Ternyata, gadis itu tengah meminta penjelasan mengenai tenggat waktu pencairan semua wasiat peninggalan Sinta. Setelah diberi penjelasan, gadis itu pun bisa tersenyum paham dan tidak bertanya macam-macam kepadanya. “Kenapa? Sudah nggak sabar nunggu pencairannya?” Senyum yang terulas di wajah Bening seketika berubah datar. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Rohit kali ini sungguh membuatnya tersinggung. Bukan masalah sabar atau tidaknya, akan tetapi, Bening tidak ingin jika hak yang menjadi miliknya itu tiba-tiba berpindah karena ada konspirasi di belakangnya. Sejak ia melihat Rohit terlihat akrab dengan Ilham maupun Vira, di situlah
Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali.Dengan hot pants dan sweater oversize yang menutup sampai ke bawah bokongnya, Bening melenggang santai keluar dari terminal kedatangan sambil menarik trolly bagnya. Memesan taksi, dan langsung menuju ke hotel berbintang seorang diri, untuk berlibur melepas semua penat yang ada di hati.Setelah berpikir ulang, Bening akan menunggu semua wasiat dari Sinta keluar, barulah ia akan membeli sebuah rumah sederhana. Sementara itu, Bening memilih untuk tinggal di kosan untuk beberapa waktu, agar ia bisa bebas pergi dan melakukan segalanya daripada berada di rumah Ruri. Andai, rumah itu hanya dihuni olehnya dan Ruri saja, mungkin Bening tidak akan masalah berada di sana sampai ia mendapatkan rumah baru. Namun, karena ada suami wanita itulah, yang membuat Bening tahu diri dan tidak enak hati untuk berlama-lama ada di sana.