Mohan terus memandangi lekat Inka yang tampak malu dan risih karena terus ia tatap seperti itu. Bahkan kedua pipi Inka tampak bersemu merah.
"Jangan menatapku seperti itu," kata Inka malu.
"Kenapa? Apakah salah jika aku menatapmu?"
"Salah!" jawab Inka cepat. "Kau harus mengatakan alasan mengapa kau meninggalkan diriku demi memilih mematuhi perjodohan yang telah di rencanakan kedua orang tuamu." sambung Inka lagi menuntut jawaban alasan mengapa Mohan meninggalkannya.
Mohan menundukkan kepalanya seraya tangannya menggenggam sebelah tangan Inka. Ia mendongak menatap wajah Inka, dan di saat itulah Inka dapat melihat jelas wajah sendu Mohan beserta airmata di pelupuk matanya bersiap tumpah.
"Apa kau yakin dan siap untuk mendengarnya?" Inka mengangguk.
"Baiklah, aku akan mengatakan semuanya padamu. Mengatakan sejujurnya alasanku kenapa meninggalkanmu."
"Ya, katakanlah."
Mohan mengangguk seraya memejamkan matanya sebentar
Mohan membawa tubuh Inka ke dalam pangkuannya, Inka gugup dengan tindakan Mohan itu tapi tak ayal dia sangat bahagia."Menurutmu bagaimana Inka?" tanya Mohan menatap tepat ke iris mata Inka.Pertanyaan itu Mohan berikan agar Inka mengutarakan segala pemikirannya tentang pernikahannya dengan Dewi, mantan istrinya itu."Aku tidak tahu bagaimana perjalanan pernikahan kalian. Yang aku tahu, kau tidak mencintai mbak Dewi."Mohan mengangguk. "Ya, kau benar, aku memang sama sekali tak mencintainya. Karena yang aku cintai hanya dirimu."Mohan kembali menangkup wajah cantik Inka dengan kedua tangannya yang besar. "Sebelum menikah dengan Dewi, aku mengajukan syarat pada orang tuaku.""Syarat lagi?" Mohan mengangguk."Syarat apa yang kau ajukan, Mohan?""Aku mengajukan syarat jika nanti setelah aku menikah dengan Dewi. Jika salah satu diantara kami ketahuan ada yang selingkuh, maka otomatis salah satu pihak yang la
Mohan menghentikan ciumannya, melepaskan bibir Inka yang tampak membengkak. Ia menangkup wajah mungil Inka dengan kedua tangan besarnya."Inka, sayang, kenapa kamu menangis?" tanya Mohan kaget saat melihat dengan jelas wajah Inka dan kedua matanya yang basah penuh airmata.Inka menggeleng. "Aku tidak apa-apa Mohan.""Tidak apa-apa, lalu kenapa menangis?""A—aku hanya terharu, dan masih tidak percaya dengan semua ini. Jika kita akan kembali bersama." ucap Inka tersenyum."Aku juga sayang, sama sepertimu aku pun masih tidak percaya jika kamu memilihku. memilih kembali bersamaku, memilih kembali bersama pria berengsek ini." ucap Mohan menepuk dadanya cukup kuat.Inka memegang tangan Mohan yang memukul dadanya tadi, dan sebelah tangan Inka yang lain mengelus-elus dada Mohan lembut."Jangan terus-menerus menyalahkan dirimu Mohan. Kau tidak salah disini, kau bukan tokoh utama yang jahat di cerita ini. Sama seperti cerita l
Kedua orang tua Inka murka saat melihat putrinya yang sudah dua hari tidak pulang kini dengan beraninya kembali bersama pria yang paling di benci mereka. Ya, Inka pulang ke rumahnya bersama Mohan.Mereka berdua berdiri di hadapan orang tua Inka dengan tangan saling memegang. Ibu Inka adalah orang yang terlalu mencolok menunjukan ketidak sukaannya pada Mohan."Berani sekali kau menginjakkan kakimu lagi ke rumahku!" teriak bu Ina menunjuk ke arah Mohan yang hanya diam menatapnya."Inka, apa ini? Apa maksudnya semua ini?!" tanya bu Ina murka."I—ibu...." lirih Inka tergugu saat ingin bicara.Mata bu Ina menyorot tak suka ke arah tangan Inka dan Mohan yang saling bertaut erat. Ia melangkah mendekat dan langsung memisahkan tangan putrinya dari Mohan. Setelah lepas bu Ina langsung menarik tangan Inka agar menjauh dari Mohan.Mohan merasa tak rela dengan tindakan spontan bu Ina itu, tapi Mohan juga tak kuasa untuk melawannya. Jika Mohan marah
Tak peduli orang lain suka atau tidak pada kita, kisah ini hanya tentang aku dan kamu. Tentang kita, kita yang sudah banyak melalui masa sulit karena kesalahpahaman."Pergi kalian berdua!" usir bu Ina membuat kedua mata Inka terbelalak kaget. "Jangan pernah kalian berdua menginjakkan kaki kalian lagi ke rumah ini.""Ibu...." lirih Inka tak menyangka jika ibunya akan berkata sekejam itu padanya."Kau, pergilah, aku bukan ibumu lagi mulai sekarang. Melihatmu yang seperti ini rasanya aku sangat menyesal telah melahirkanmu ke dunia—""Ibu, ku mohon jangan bicara seperti itu." sergah Inka cepat memotong ucapan menyakitkan yang keluar dari mulutnya."Pergi!" sekali lagi bu Ina mengusir menunjuk ke arah pintu dengan jari telunjuknya."Tidak bu, kami tidak akan pergi sebelum menjelaskan semuanya pada ibu dan ayah.""Tidak perlu! Kami tidak butuh penjelasan penuh dusta darimu. Sekarang cepat pergi dari rumahku!"
Mohan menikmati secangkir kopi hitamnya dari atas balkon kamarnya yang ada di lantai dua. Matanya menatap fokus ke atas langit, menatap ke arah ribuan bahkan jutaan bintang di langit yang malam ini tampak bersinar terang menemani kesunyiaan hati Mohan.Galau, itulah kata yang menggambarkan suasana hati Mohan, karena untuk yang kedua kalinya ia dan Inka kembali berpisah. Entah, tidak tahu sampai kapan perpisahan ini berakhir. Jika yang perpisahan yang pertama saja membutuhkan waktu yang lama untuk mereka bisa kembali bersama, lalu berapa lama untuk perpisahan yang kedua ini?Dalam hati Mohan bertanya-tanya sendiri, apakah yang sedang dilakukan Inka saat ini? Ingin rasanya ia mengubungi wanita itu, mendengar suaranya dan membicarakan banyak hal dengannya. Tapi, sayangnya Mohan tak kuasa untuk melakukan itu, terhitung baru beberapa hari mereka berpisah tak saling bertemu maupun memberikan kabar, dan rasanya baik Mohan ataupun Inka sudah sangat saling merindu.R
Pagi-pagi sekali Kanz sudah rapi dengan pakaian kantornya, yupss, selama seminggu Kanz sudah memulai kehidupannya yang baru sebagai putra dari Hans Laurent. Selama seminggu ini pula Kanz menerima sekaligus melaksanakan permintaan papanya untuk mulai bekerja di kantor.Dan untuk yang pertama kalinya, pagi ini Kanz akan menghadiri rapat penting di kantornya. Dilanjutkan siang nanti bertemu dengan klien papanya, Mohan Alagra.Kanz mengingat jelas nama siapa itu, pemilik nama dari mantan kekasih Inka Maharani. Wanita yang di cintainya sekaligus wanitanya yang mematahkan hatinya, Inka tidak menerima cintanya.Kanz tersenyum kecut bila mengingat hari itu, tapi, sebisa mungkin ia menerimanya dengan hati yang luas dan berlapang dada. Kanz sadar jika hati tak bisa di paksakan, cinta tak harus memiliki. Begitulah kata-kata yang sering orang bilang, dan Kanz pun membenarkannya kali ini, ia cinta namun tak bisa memiliki Inka, begitulah gambarannya.Kanz keluar dari k
"Apakah ada sesuatu hal yang terjadi?" tanya Kanz saat dirinya sudah tak tahan ingin mengutarakan pertanyaan itu pada Mohan.Mohan menatap Kanz lekat, Kanz sendiri sampai risih di tatap seperti itu."Jangan menatapku dengan pandangan matamu yang seperti itu, sungguh, sangat terasa menggelikan. Anda jadi terlihat seperti pria frustasi yang melenceng menjadi penyuka sesama jenis." ucap Kanz merasa jijik dengan cara Mohan yang melihatnya seperti itu."Aku rasa, ucapan anda barusan yang terdengar sangat menjijikan." dengkus Mohan muak mendengar ucapan Kanz."Dengar, segalau dan se-frustasinya aku, aku tetap normal dan tidak akan melenceng pada kodratku untuk mencintai lawan jenis." sambung Mohan tak terima jika Kanz menyudutkannya sebagai homo."Hhh, baiklah. Terserah, itu malah sangat bagus. Sekarang, kita kembali ke pokok pembahasan kita tadi.""Eh iya, sampai mana tadi?" ulang Mohan panik."Tenanglah pak Mohan, kita b
"Nak, Kanz!" kaget bu Ina saat melihat siapa tamunya yang datang ke rumah."Tante," sahut Kanz menyapa, seperti biasa Kanz mencium punggung tangan kanan orang yang lebih tua darinya"Ada apa nak Kanz datang kesini? Mau ketemu Inka ya?" tanya bu Ina.Kanz mengangguk. "Iya, Inkanya ada di rumah kan, tante?""Iya, Inka ada di rumah, dia lagi ada di kamarnya tuh.""Boleh panggilkan sebentar tante?" tanya Kanz merasa tak enak."Langsung masuk saja ke dalam kamarnya nak Kanz, tante gak jamin kalau dia mau keluar.""Loh, kenapa tan?""Oh gak apa-apa, anak itu memang biasa begitu kalau lagi ngambek." bohong ibu Ina.Kanz tersenyum kikuk. "Kalau gitu, Kanz langsung masuk menemui Inka ke kamarnya ya tante." pamit Kanz meminta izin.Bu Ina mengangguk, Kanz langsung berjalan melangkahkan kakinya masuk menuju kamar Inka.Kanz sudah berdiri di depan kamar Inka, di tatapnya pintu kamar itu sebelum