"Jangan! Kamu jangan jujur dong! Biarin aja Kresna di rumah sakit. Lebih bagus anaknya meninggal sekalian," ketus Wanda. "Kamu tega, Wan. Kamu bener-bener udah cemburu buta." Alando berdiri dan mendekati perempuan yang sedang menyedapkan tangan itu. "Emangnya kenapa? Aku enggak mau, ya sampai anak itu lahir dan dia lebih disayang Mas Rendra ketimbang anak yang ada di kandungan aku sekarang!" "Tapi enggak kitu juga caranya. Oke, aku enggak bakal ngasih tahu Pak Rendra, karena aku juga enggak mau kehilangan Kresna, tapi untuk gugurin kandungannya, aku enggak bisa!" tegas Alando. "Kenapa?" Wanda menatap Alando yang nampak serius. "Please, Wan! Kamu itu manusia, harusnya kamu punya hati. Kita enggak bisa bunuh anak yang enggak bersalah." Alando kemudian melangkah meninggalkan Wanda yang memutar bola mata jengah. Tadi pagi tepatnya, Kresna pingsan dan Alando langsung membawanya ke rumah sakit. Dokter mengatakan Kresna hanya kelelahan dan kandungannya juga lemah. Alando tadinya mau
"Kakak ...." Dengan lirih Tessa melangkah masuk ruang perawatan Kresna. Kresna yang sedang berbaring lekas bangun lalu duduk. "Tessa!" pekiknya bahagia. Tessa duduk di samping Kresna. Perempuan di ranjang RS itu langsung memeluk Tessa. Tangisnya pecah tak kala ibu satu anak itu membalas pelukan Kresna. "Kakak," lirih Tessa ikut sedih, "kakak baik-baik aja, kan? Kakak diapain sama si Al?" Begitulah Tessa, dia sama sekali tidak berpikir Kresna telah melakukan kesalahan. "Dia jahat, Tes ...." Tangis Kresna menghentikan ceritanya sebentar. Tessa hanya bisa menepuk-nepuk bahu Kresna demi membuat madunya itu membaik. "Kakak sabar, ya ... aku yakin Kakak enggak melakukan itu dengan sengaja," cetus Tessa semakin membuat Kresna yakin kalau si Al sudah melakukan sesuatu. Tessa jadi makin bingung saat mendengar Kresna nangis seperti orok yang baru saja poop. Ah, bukan begitu. Kresna malah lebih mirip anak ayam yang kehilangan induknya. Duh, makin parah. Maksudnya, Kresna nangisnya sampai
Mata Kresna menahan perih. Perempuan yang kini sedang melangkah masuk ke rumahnya itu tampak santai saja, mengabaikan tatapan penuh amarah Kresna. "Apa kabar?" tanya Wanda dengan senyum sinis. "Katanya kamu sakit." "Mbak peduli?!" Kresna balas bertanya tak kalah sengit. "Oh, jelas," sahut Wanda meremehkan, "aku khawatir banget sama bayi kamu. Ya, takut aja gitu, saking lemahnya akhirnya keguguran." Kresna naik pitam. Dirinya yang sedang duduk mengubah posisi untuk berdiri, kakinya perlahan melangkah mendekati Wanda. "Jaga, ya ucapan, Mbak! Mbak kan juga lagi hamil, harusnya Mbak bisa jaga lisan Mbak." Kresna tegas berbicara sambil menaik turunkan napas. Jelas amarah sangat memuncak di hatinya, Kresna sudah tahu semua rencana licik madunya ini. Dasar ular! Kresna rasanya ingin mengumpat langsung pada Wanda. Tetapi, Kresna masih berusaha menahan amarah. Ia tidak mau sampai meledakkan amarah pada madunya itu. "Hem, siapa ya yang harusnya menjaga?" Wanda bertanya dengan nada meled
"Aku enggak mau melakukan tindakan bodoh kayak gitu, Wan!" Alando berkata tegas ketika sedang naik mobil bersama Wanda. Tepat setelah insiden penolakan Kresna satu minggu lalu, Alando memang tidak mengejar Kresna lagi. Terlebih matanya kini bisa memandang senyum indah sang mantan, walau dari kejauhan. Itu sudah cukup mengobati perih akibat melihat air matanya tempo hari. "Kamu enggak lihat," sahut Wanda sambil menunjuk ke depan sana. Di sana ada Kresna yang sedang duduk bertiga dengan Kanti dan Tessa. Mereka tampak berbincang bahagia di restoran milik Kanti. Soal masalah dengan Rendra, Alando mengira mereka pasti sudah baikan. "Memangnya apa?" Alando melirik Wanda heran. Ya, heran orang bahagia kok dijulidid? "Kamu itu buta atau kenapa sih? Si Kresna itu bahagia di atas penderitaan kamu. Kamu sayang sama dia, kan? Kamu cinta dia, tapi dia malah nolak kamu mentah-mentah. Kamu bilang apa kemarin? Dia sampai bentak-bentak kamu? Dasar enggak tahu diri" ketus Wanda kesal. "Dia membe
Tessa memeluk istri pertama suaminya yang masih gemetar. "Mbak, tenang, ya?" "Aku takut, Tes ...." Wanda merasa aneh, kenapa jadi begini? Harusnya Wanda senang karena sudah berhasil menabrak Kresna dan dokter juga mengatakan kalau bayi istri suaminya itu sudah tiada. Tetapi, Wanda malah menjadi sangat ketakutan membayangkan dia akan membui di penjara setelah ini. Kresna sudah berada di ruang operasi sekarang. Lalu, Rendra laki-laki itu sudah on the way ke rumah sakit. Hal ini juga menambah rasa takut Wanda. Dia takut sekali sang suami akan marah. Enggak sanggup Wanda merasakan panasnya tamparan Rendra juga dinginkan tembok penjara. Tubuh Wanda serasa mengigil, membayangkan saja dia tidak sanggup, apalagi harus menjalani hari-hari di penjara. Tidak! Wanda pasti akan merindukan hari-harinya bersama Rendra, pekerjaan juga semua yang sudah ia dapat sekarang. Mata yang sudah melelehkan bulir bening itu menatap Tessa sendu. "Tes ... bagaimana ini? Aku enggak mau di penjara ...." "Eng
"Kamu cari cadangan aja!" saran Kanti. Tessa menaikan satu alis. "Siapa yang mau sama janda anak satu?" Suara Tessa diiringi dengan tatapannya yang tiba-tiba jadi kosong. "Sebenernya aku males sih muji kamu. Tapi ya, Tes, kamu tuh cantik masih muda, pasti ada lah cowok yang mau sama kamu." Kanti bukan mau membuat Tessa hengkang dari pernikahan ini, seperti kelicikan yang dilakukan Wanda. Hanya saja, dia juga kasihan pada Tessa. Ya, sebagai perempuan, dia juga merasakan apa yang dipikirkan madunya ini. "Mbak, yakin?" Tessa malah tampak tidak percaya. "Iya, jadi wanti-wanti aja kalau semisal Mas Rendra ninggalin kita, kita itu udah punya cadangan, enggak sakit-sakit amatlah istilahnya." Sesaat Tessa diam. Pikirannya justru berkelana pada kata-kata Kresna dulu saat ngobrol dengannya. "Tapi, Mbak, nanti kalau gitu kita mengkhianati Mas Rendra dong." Polosnya Tessa, dia memang begitu. Hatinya juga masih mencintai Rendra sih, jadi agak susah kalau semisal ditinggalkan. Mewek palingan
"Kamu yakin, Ta?" Tessa mengamati baju merah terang nan seksi yang sedang ia kenakan. Dirinya sedang bercermin sekarang. "Yakinlah." Tata santai saja sambil ngemil keripik singkong. Dia juga mengamati penampilan Tessa. "Cantik lo, body lo makin bohay. Cocoklah!" Tessa menoleh ke belakang, melihat Tata yang berdiri dari sofa. Dia lalu menghampiri Tessa dan menarik baju Tessa agar naik ke bahu, tali dress maksudnya. "Cocok!" puji Tata, "lo emang cantik dari lahir, jadi cocok pake apa pun juga." "Bisa aja. Makasih." Tessa menatap Tata. "Tapi, kita mau ngapain sih ini?" "Ya, dinner gitulah. Masa lo enggak pernah tahu gimana kencan. Ah, jangan-jangan karena lama jadi ibu-ibu lo lupa lagi cara hidup anak muda." Tata menatap selidik pada Tessa. Dia merasa tidak ada yang salah dengan temannya ini. Tessa tampak cantik, tubuhnya subur. Heran saja kenapa mau bertemu duda? "Oh, iya-iya tahulah, cuma aku gugup aja. Ini aku enggak mengkhianati suami aku, kan?" Suara tawa Tata mengisi apart
"Aku ...." Tessa tidak tahu harus jawab apa. Laki-laki di depannya kini tentunya sangat dia kenal. "Mbak yang mau ketemu sama saya?" Oni terus bertanya membuat Tessa semakin kebingungan. "Kamu sendiri, ngapain di sini, On?" Tessa balik bertanya. Entahlah, dia tidak mau menjawab pertanyaan Oni, takut nanti dilaporkan kepada Rendra. "Oh ...." Oni lalu duduk di depan Tessa. "Saya disuruh temen saya, ketemu perempuan, katanya dia mau ngasih saya hadiah. Ya, buat hiburan malam-malam." "Oh, udah ketemu perempuannya?" "Udah." Oni menjawab dengan senyum kecil. Lucu memang, majikannya ini tampak tidak tahu kalau Oni sudah membuka kejujuran keberadaan Tessa di sini. "Oh, cantik?" Konyolnya pertanyaan Tessa, tapi hanya itu yang melintas di pikirannya. "Sangat, dan saya udah suka sama dia dari dulu." "Oh, beruntung ya, kamu?" Tessa melukis senyum menambah keindahan wanita itu di mata Oni. "Enggak kok, Mbak, malah saya masuk kategori laki-laki yang kurang beruntung." "Lho, kenapa? Bukan