Semua orang yang berada di sana serentak menoleh ke arah sumber suara. Ada seorang laki-laki yang cukup tampan, yang tengah berdiri dengan kedua tangan terkepal, dan tatapan matanya yang tajam. Zia cukup kaget dengan kedatangan laki-laki itu, pun dengan Gea. Berbeda dengan lainnya yang cukup bingung, siapa sebenarnya laki-laki itu. Merasa kedatangan laki-laki itu sangat mengganggu, Zoni pun angkat bicara. "Siapa kamu? Beraninya-beraninya menghentikan pernikahan ini?" tanya Zoni. "Penjaga?! Kenapa kalian bisa meloloskan orang tidak dikenal ini?" "Saya Riko, Om. Saya pacarnya Zia. Saya datang ke mari karena saya tidak mau Zia menikah dengan laki-laki lain," jawab Riko dengan tegas, lalu beralih menatap Zia. Mendengar pengakuan dari laki-laki yang bernama Riko itu, Zoni pun lantas berdiri dari duduknya, lalu berjalan mendekat ke arah Riko. Sementara itu, Renata, dan Gea sudah ketar-ketir jika Zoni ternyata justru menikahkan Zia dengan Riko, bukan dengan Azka. Zia sendiri tak tahu h
Semua orang di ruangan itu pun memperhatikan Zia, menunggu jawaban darinya. Riko sangat berharap, Zia akan memilihnya. Ia sangat yakin, Zia masih mencintainya, dan mau memaafkan tentang kesalahannya yang tidak disengaja itu. Untuk Azka sendiri, ia akan terima apa pun keputusan Zia. Jika pada akhirnya Zia memilihnya, maka Azka pun akan menikahi Zia, meski belum ada cinta di hatinya untuk gadis itu. Semata-mata Azka lakukan, karena tidak mau dicap lagi sebagai laki-laki kurang ajar oleh Zoni. Dan jika Zia justru memilih Riko, Azka pun akan sangat mendukungnya. "Ayo, Zia, katakan saja siapa yang mau kamu pilih. Jangan ragu, Sayang," ucap tantenya Zia, seraya menggenggam tangan Zia. Zia lantas memandang Riko sejenak. Di mata laki-laki itu, Zia dapat melihat kesungguhan Riko yang mau memperjuangkannya. "Aduh, Zia sayang, kalau mamah jadi kamu, pasti mamah lebih memilih Azka daripada Riko, secara Azka adalah orang kaya. Sedangkan kamu tahu sendiri kan, Riko itu hanya orang biasa, yan
"Mbak, mereka kan baru menikah, masa langsung pindah. Setidaknya Zia, dan Azka tetap di sini untuk beberapa hari ke depan," ucap tantenya Zia membalas perkataan Renata. Kemudian tantenya Zia itu beralih kepada Zoni. "Iya kan, Mas?" "Itu terserah mereka saja, senyamannya mereka. Kalau mau menginap di hotel pun boleh, nanti saya akan pesankan kamar hotel paling mewah, dan terbaik di kota ini," jawab Zoni, membuat Renata, dan Gea mencibir dalam hati. Sri datang untuk memberitahu semua orang bahwa hidangan walimah sudah siap. Zoni pun mempersilakan sang penghulu, ketua RT, dan ketua RW untuk menikmati suguhan tersebut. "Zia sayang, kamu ambilkan suamimu makanan ya. Status kamu sekarang sudah jadi istri, sudah sepantasnya kamu melayani suami kamu," ujar tantenya Zia. "I-iya, Tante." Tantenya Zia lantas meninggalkan tempat itu untuk bergabung dengan yang lainnya di meja makan. Tinggallah sekarang hanya Zia, dan Azka di ruangan itu. "T-tuan Azka, mari kita bergabung ke ruang makan," aj
Azka bergeming mendapatkan pertanyaan seperti itu dari tantenya Zia. Jujur saja, ia tidak tahu akan ke mana arah pernikahannya dengan Zia ini. Mau diteruskan, Azka sendiri merasa tidak yakin. Namun, meskipun begitu, Azka juga tidak bermaksud untuk mempermainkan ikatan suci ini. Menyadari bahwa Azka bingung mau menjawab seperti apa, Zia pun segera menggandeng tangan tantenya, lalu sedikit bergeser menjauh dari Azka. Dua wanita beda usia itu pun lantas saling berbisik, membicarakan sesuatu yang Azka tidak tahu itu apa. Zia tersenyum pada tantenya, lalu menoleh ke arah sang ayah yang masih memperhatikannya. Sejujurnya, Zia masih kecewa pada ayahnya yang tidak mau mempercayainya, dan memilih percaya pada hasutan Renata, dan Gea. "Sekali lagi, aku pamit ya, Tante. Tante tenang aja, aku pasti akan hidup dengan baik. Tuan Azka sekarang sudah menjadi suamiku, sudah pasti ia akan menjaga, dan melindungiku, karena tuan Azka orang yang baik," ucap Zia, yang didengar oleh semua orang di sana.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Surabaya, akhirnya Azka, dan Zia pun tiba di Yogyakarta. Azka melirik ke samping, di mana Zia yang kini tengah terlelap. Ada sedikit rasa kasihan kepada wanita yang kini berstatus sebagai istri sirinya itu. Bagaimana tidak, Zia sudah berkali-kali muntah akibat mabuk perjalanan, hingga membuat Azka beberapa kali harus memberhentikan mobilnya, dan mencari rest area untuk sekedar beristirahat. Jika Azka tahu lebih awal bahwa Zia tidak bisa melakukan perjalanan jauh menggunakan jalur darat, maka pasti Azka akan lebih memilih menggunakan jalur udara, meskipun harus menitipkan mobilnya lebih dulu pada orang yang bisa dipercaya. Sampai di kota tempat ia dibesarkan, Azka bingung, mau membawa Zia tinggal di mana. Jika Azka membawa Zia ke rumah, dikhawatirkan sang eyang mendadak terkena serangan jantung, karena yang dibawa pulang oleh Azka adalah wanita dewasa yang berstatus istri sirinya. Sedari kecil Azka memang tinggal berdua dengan sang
"Saya ada acara di luar kota, Eyang," jawab Azka. Ia mencoba tenang menghadapi sang eyang yang tampaknya ingin sekali memarahinya. "Tapi setidaknya kamu hubungi eyang, agar eyang bisa membatalkan acara makan malam dengan keluarga Sheila," kata sang eyang. Azka mengernyitkan dahi. Dari tadi sang eyang terus menyebut keluarga Sheila. Sebenarnya siapa mereka itu? "Keluarga Sheila yang mana, Eyang?" tanya Azka. Sang eyang pun mendengkus, seraya menatap sengit ke arah Azka. "Beberapa hari sebelum kamu pergi, eyang sempat bilang kan, kalau eyang akan memperkenalkan kamu dengan wanita yang menurut eyang cocok sebagai istri kamu? Makanya kalau eyang lagi ngomong, itu didengarkan!" Azka pun mencoba mengingat tentang pembicaraannya dengan sang eyang, sebelum akhirnya ia pergi ke Surabaya untuk menghadiri sebuah pesta rekan bisnisnya, hingga berakhir terjebak di kamar hotel yang sama dengan Zia. Sedikit mengingat, memang sang eyang ingin mengajaknya bertemu dengan seorang wanita yang katan
Azka merasa sedikit terkejut saat mendengar pernyataan dari sang eyang, yang ternyata eyangnya itu sudah memiliki rencana untuk menjodohkannya dengan Sheila. Ia saja tidak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu, tapi kini sang eyang justru menyuruh untuk menikah dengannya. Mungkin jika sang eyang membicarakan tentang hal ini jauh-jauh hari, bisa saja Azka akan mempertimbangkan tawaran dari sang eyang, lalu berusaha untuk mengenal Sheila lebih dulu. Namun, kini status Azka sudah menikah, meskipun baru pernikahan secara agama. Akan tetapi, Azka juga tidak bisa mengatakan pada sang eyang bahwa dirinya sudah menikah siri dengan Zia. Azka merasa dilema, bagaimana ia bisa menolak tawaran sang eyang itu, tanpa memberitahu alasan yang sebenarnya."Azka asal kamu tau, Sheila itu perempuan yang baik, cantik, dan pandai. Kamu nanti pasti akan mudah jatuh cinta padanya," ujar sang eyang."Kalau saya bilang, saya sudah punya pilihan sendiri, apa Eyang bisa terima?" tanya Azka dengan nada suar
"Bagaimana kalau aku panggil Anda dengan sebutan ... Mas Azka?" tanya Zia. Azka terdiam. Sebenarnya ia sedikit merasa geli jika dipanggil dengan sebutan 'mas'. 'Mas Azka'? Yang benar saja! Tidak ada yang aneh ataupun salah sebenarnya dengan panggilan 'mas Azka'. Namun bagi Azka, panggilan 'mas' dari Zia seakan-akan seperti mereka berdua adalah sepasang suami istri yang saling menyayangi, padahal kenyataannya tidak. "Maaf, tapi saya merasa tidak nyaman jika kamu memanggil saya dengan sebutan 'mas'," ujar Azka.Zia menatap Azka heran. Dipanggil 'tuan' tidak mau, sekarang dipanggil 'mas' pun katanya tidak nyaman. Lalu maunya dipanggil apa suami sirinya ini? Menghela napas, Zia mengalihkan pandangannya dari Azka yang sedari tadi fokus menyetir. Andai Azka tidak berbuat baik kepadanya, ingin rasanya kini Zia memaki suaminya itu. "Dipanggil 'tuan' nggak mau, dipanggil 'mas' juga nggak mau. Anda maunya dipanggil apa?" Akhirnya Zia menumpahkan isi pikirannya. Ia sudah tidak kuat lagi men