Levin menjabat tangan Mr. Mark dengan tegas, sebagai tanda kesepakatan atas pembicaraan mereka barusan. Seperti harapannya, meeting berjalan lancar hingga kedua belah pihak memutuskan untuk bergerak ke langkah selanjutnya.
Levin mempersilahkan Mr. Mark, hendak menjamunya makan siang. Setelah meeting usai, kini waktunya bagi Levin untuk menjamu relasi bisnisnya.Memang, terkadang ada yang menjamu relasi bisnisnya untuk makan siang sambil membicarakan tentang kerjasama, tapi menurutnya, hal itu dapat membuat mereka tidak leluasa dalam menyantap hidangan karena terlalu fokus dengan perbincangan mengenai pekerjaan sedangkan Levin ingin menjamu relasinya dengan baik.Dengan pemikiran itulah, Levin selalu membedakan waktu dan tempat saat bicara mengenai bisnis dan makan siang.Mungkin waktu makan siang mereka sedikit terlambat, tapi tidak masalah karena untuk mengatur pertemuan ini pun bukanlah hal yang mudah dan bagi seorang pebisnis, membahas kontrak kerjasama yang dNick menatap ponselnya, heran karena Claire tidak mengangkat panggilan teleponnya. Apakah wanita itu sedang sibuk hingga tidak bisa memberi respon? Bisa saja, bukankah kemarin Claire cerita mengenai perusahaannya yang baru saja diakuisisi? Dan sepengetahuan Nick, perusahaan yang baru diakuisisi biasanya akan melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem mereka, mungkin itulah yang menyebabkan Claire tidak bisa menjawab teleponnya. Namun di sisi lain, Nick ingin memastikan sesuatu. Kemarin, dirinya mendengar kabar bahwa perusahaan keluarga Levin mulai melebarkan sayap ke benua Australia, sepertinya itulah alasan Levin mengalihkan pekerjaannya ke orang lain.Dan menurut selentingan yang Nick dengar, perusahaan pertama mereka berada di Melbourne. Informasi yang membuat perasaan Nick tidak nyaman. Nick sadar kalau benua Australia, terlebih lagi Melbourne tidaklah besar, hingga dapat memperbesar peluang pertemuan antara Claire dengan Levin. Padahal Nick harap, Clair
Claire terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang bisa membuatnya tidak perlu menemui Levin. Setidaknya untuk hari ini, Claire ingin tenang! Sudah cukup mereka berdebat tadi pagi kan? Claire tidak ingin menguras tenaganya lagi! “Boleh saya tau ada masalah apa?”“Saya tidak tau. Tuan Levin tidak mengatakan apapun, hanya meminta anda untuk datang ke ruangannya. Jadi lebih baik anda segera datang.”Ucapan Johan melenyapkan harapan Claire. Mau tidak mau dirinya harus menemui Levin, tidak mungkin menghindar. Damn! “Baiklah.”Claire melangkah malas ke ruangan Levin, mengetuk pintunya pelan dan baru masuk setelah suara pria itu terdengar. “Anda memanggil saya?”“Iya. Duduklah sebentar. Aku selesaikan ini dulu.”Meski enggan, tapi Claire menurut dan duduk di sofa. Menunggu Levin yang terlihat fokus dengan dokumen di hadapannya. Jika seperti ini, Claire melihat Levin dalam sisi yang lain. Sisi yang dewasa, tidak menyebalkan seperti biasanya! Tak lama kem
Levin menjabat tangan Mr. Mark dengan tegas, sebagai tanda kesepakatan atas pembicaraan mereka barusan. Seperti harapannya, meeting berjalan lancar hingga kedua belah pihak memutuskan untuk bergerak ke langkah selanjutnya. Levin mempersilahkan Mr. Mark, hendak menjamunya makan siang. Setelah meeting usai, kini waktunya bagi Levin untuk menjamu relasi bisnisnya. Memang, terkadang ada yang menjamu relasi bisnisnya untuk makan siang sambil membicarakan tentang kerjasama, tapi menurutnya, hal itu dapat membuat mereka tidak leluasa dalam menyantap hidangan karena terlalu fokus dengan perbincangan mengenai pekerjaan sedangkan Levin ingin menjamu relasinya dengan baik. Dengan pemikiran itulah, Levin selalu membedakan waktu dan tempat saat bicara mengenai bisnis dan makan siang. Mungkin waktu makan siang mereka sedikit terlambat, tapi tidak masalah karena untuk mengatur pertemuan ini pun bukanlah hal yang mudah dan bagi seorang pebisnis, membahas kontrak kerjasama yang d
Claire menghambur keluar dari ruang kerja Levin dengan wajah memerah yang tampak jelas dipenuhi amarah. Saking marahnya, Claire sampai mengabaikan Johan yang baru akan mengetuk pintu ruang kerja tuan mudanya. Tanpa perlu bertanya pun, Johan tau apa yang terjadi. Wajah memerah penuh amarah, rambut yang sedikit berantakan, bibir yang agak bengkak memberi petunjuk bagi Johan tentang apa yang baru saja terjadi di dalam sana. Terpaksa, Johan mengurungkan niatnya. Sengaja memberi waktu tenang bagi tuan mudanya untuk menenangkan hatinya yang pasti sedang merasa kacau balau. Jika Johan nekat mengganggunya sekarang, mungkin dirinya yang akan kena amuk! Bertahun-tahun mengenal tuan mudanya, Johan tau kalau terkadang Levin membutuhkan seseorang untuk melampiaskan amarahnya. Sayangnya, kali ini Johan enggan dijadikan pelampiasan. Enggan dijadikan sasaran tembak.Tidak, Johan tidak ingin mengambil resiko itu. Lebih baik mengerjakan hal lain daripada mendengar omelan dari tuan
Ucapan Levin membuat Claire tidak bisa lagi meredam rasa kesalnya. “Kenapa saya tidak boleh cuti? Padahal hanya satu hari dan saya yakin dapat menyelesaikan pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawab saya. Selama bekerja di perusahaan ini, saya sangat jarang mengajukan cuti, tapi kali ini saya terpaksa cuti karena ada hal yang harus dilakukan. Kenapa anda mempersulit saya?” Pertanyaan Claire membuat Levin berdiri dari kursinya. Dengan langkah lebar pria itu melangkah tegas hingga tiba tepat di hadapan Claire. Ingin menunjukkan otoritasnya sebagai seorang boss yang harus dipatuhi perintahnya. Levin menatap tajam wajah Claire yang balas menatapnya dengan berani. Tidak takut meski sadar kalau status Levin sekarang adalah bossnya. Pemilik perusahaan atau anak dari pemilik perusahaan? Entahlah, apapun itu pokoknya mirip! Saat ini Claire sudah kembali ke sifat sebenarnya, tidak ada perasaan bersalah seperti kemarin, karena kali ini Claire harus memperjuangkan izin cu
Levin memejamkan mata sejenak, berharap dapat meredakan rasa kesal yang menguasai hatinya saat teringat akan kedekatan antara Claire dengan Nick yang, sepertinya, tetap terjalin meski ada jarak sejauh ribuan kilometer yang memisahkan. “Apakah kamu tau dan dapat mengingat bagaimana wajah pria itu?” desak Levin tanpa sadar membuat Jane semakin bingung karena rentetan pertanyaan yang diajukan kepadanya kian banyak seolah sedang menginterogasinya. Tampak jelas kalau bossnya ingin mengetahui tentang detail kehidupan Claire. Padahal hanya mengajukan permohonan cuti, tapi kenapa pertanyaan yang diajukan jadi panjang lebar seperti ini? Tidak ada hubungannya dengan masalah cuti pula! Malah beralih ke masa lalu membuat Jane harus menggali ingatannya! ‘Apakah si boss memang mengenal Claire makanya jadi penasaran seperti ini?’ batin Jane curiga namun tidak mungkin menyuarakannya atau terancam kena pecat! “Hmm… saya agak lupa karena sudah terlalu lama.”“Tapi pasti a