Matahari sudah tenggelam ketika Moses baru sempat mengunjungi makam Pritta Alinskie dan seperti tahun-tahun sebelumnya, sudah ada sebuket bunga lili segar di atasnya.
Kemudian dia melajukan mobilnya ke Mansion Alinskie setelah mendapat kabar dari James. Sekarang dia tidak perlu repot-repot bertanya pada Sandra lagi karena James yang akan mengabari semua kegiatan nona-nya.
Seorang suami mengkhawatirkan istrinya tentu sah-sah saja kan? Dia tidak melarang Sandra mau pergi kemana, hanya saja dia harus tahu.
Alunan melodi piano terdengar pelan dari sebuah ruangan dan kakinya melangkah menuju arah suara itu. Sepertinya Sandra begitu larut dalam penghayatannya sampai dia tidak sadar kalau Moses sudah berdiri di ambang pintu, melihatnya.
Dia hampir lupa kalau Sandra sangat mahir bermain piano. Jari-jari lentiknya menari dengan lincah walaupun matanya terpejam. Suara dentingannya terdengar melankolis, seakan memanggil kekasih yang telah pergi untuk kembali. Mo
Bab ini didedikasikan untuk kak Aroe & Yuniar Thank you uda vote & support SSS ღ
“Bukankah itu kesepakatan kalian di awal?” Embusan napas yang panas keluar dari hidung Agatha. Satu buah jeruk jatuh ke atas paha Moses saat dia tidak sempat menangkapnya. “Aku berubah pikiran. Tidak mungkin anakku lahir tanpa ayahnya, Oma.” Pelayan yang tadi dia suruh, kembali dengan segelas jus jeruk dingin. “Apa kamu pelayan baru? Aku tidak suka yang dingin. Ganti dengan yang biasa.” Pelayan itu menundukkan kepalanya. “Baik. Maaf, Tuan Moses.” Oma menghardiknya setelah pelayan itu keluar. “Moses! Kamu tidak pernah bicara dengan nada kasar pada pelayan. Sejak kamu dekat dengan Sandra, sikapmu perlahan berubah.” “Maaf, Oma. Tapi kenapa semuanya salah Sandra? Oma tenang saja, aku sudah berjanji akan menikahi Jessica dan aku akan menepatinya.” “Ya, aku harap kamu tidak berubah pikiran lagi setelah anakmu lahir. Mungkin nanti kamu mau menunggu sampai dia berumur 18 tahun! Jessica bisa-bisa direbut pria lain duluan.” Moses
Launching produk Salinskie sukses besar dan bahkan penjualannya melebihi ekspektasi. Rangkaian perawatan wajah dengan tema Glass Skin yang membidik pasar milenial itu bahkan langsung habis terjual hanya dalam beberapa jam di sejumlah toko. “Saya sebagai owner Salinskie, mengucapkan terima kasih atas kerja keras dan harapan kalian semua sehingga rangkaian terbaru kita, Glass Skin, bisa disambut dengan antusiasme yang besar dari pelanggan setia Salinskie.” Seluruh karyawan yang berkumpul di ruang pertemuan itu memberi tepuk tangan meriah untuk Sandra. Apalagi ketika mendengar bahwa mereka akan diberikan bonus sebagai apresiasi. Setelah itu, mereka kembali bekerja lagi untuk menangani keluhan pelanggan yang tidak kebagian produk dan juga merencanakan jumlah pasokan tambahan yang akan dikirim ke beberapa negara. Sandra masuk ke ruangan kantornya yang sudah dipenuhi oleh buket bunga dan kartu ucapan selamat dari beberapa teman dan kolega bisnis. Di
“Jangan tunggu aku, James. Aku pulang sendiri aja.” Sandra memasukkan ponselnya ke dalam tas dan turun dari mobil. Dia sudah mengabari Moses kalau dia tidak bisa pergi ke Graham Elliot Bistro. “Baik, Nona.” Sebelum masuk ke dalam kafe, Sandra memastikan kalau James benar-benar pergi. Tidak butuh waktu lama, matanya langsung menangkap sosok yang dicari, berada di meja paling ujung, membelakangi pintu. Sandra duduk di hadapannya, memangku tasnya dan menatap pria yang duduk tertunduk dengan topi hitam di kepalanya, sedang mengelus bulu seekor kucing tabby. “Andrew.” Pria bernama Andrew itu mengangkat kepalanya dan Sandra terkesiap saat melihat mukanya penuh dengan luka lebam. Mata kirinya bengkak, hidung dan pipinya dihiasi goresan-goresan merah. “Apa yang terjadi?” “Dia memukulku lagi,” jawabnya pelan, tidak berhenti mengelus kucing di pahanya. “Aku benar-benar tidak akan kembali padanya. Tapi saat aku bilang mau putus, dia menga
Sandra menarik napasnya dalam-dalam dan mengetuk pintu kantor pribadi Moses sebanyak dua kali.“Moses? Kamu di dalam?”“Masuk.”Dia menjawab dengan nada yang tidak ramah, tapi karena sudah terlanjur dan tidak mungkin mundur, Sandra memberanikan diri membuka pintu ruang kerjanya.Moses duduk menyandarkan punggungnya di kursi putar, kedua tangannya terlipat di atas perutnya. Dia hanya memakai atasan polo dengan celana panjang katun berwarna khaki, namun Sandra kembali menarik napasnya karena ketampanan suaminya itu.“Ada apa?” tanya Moses membuyarkan lamunannya.“Maaf, aku akan pergi kalau kamu banyak kerjaan.”“Tidak. Apa kamu melihatku sedang bekerja sekarang?”“Tapi kamu kelihatannya tidak senang.” Sandra melangkah masuk, tapi tidak menutup pintunya.Moses duduk dengan tegak sekarang, kedua tangannya di atas meja. “Benarkah? Mungkin karena aku
“I love you. I love you, Moses.” Apa yang baru saja dia katakan? Sandra membeku di tempat. Tidak berani bergerak. Lagipula dia juga tidak bisa bergerak kemana-mana. Kemudian Moses memisahkan tubuh mereka dan melepas tangannya dari pinggang Sandra. Dia cepat-cepat menurunkan rok hitam selututnya dan merasakan sedikit cairan lengket perlahan mengalir di paha kirinya. Kakinya lemas seperti jelly tapi dia berusaha berdiri tegak. Tidak ada yang bisa dia lakukan pada bajunya. Hanya dua kancing pada bagian bawah yang utuh. Jadi Sandra mengaitkan bra-nya kembali dan memegang ujung kemejanya dengan erat. Lalu dia sadar kalau Moses tidak membalas pernyataan cintanya. Sandra menahan air mata yang hendak jatuh ketika Moses memegang bahunya. “Sandra…” “A-aku sebaiknya segera mandi.” Sandra memutar kunci pintu dan membukanya. “Tunggu. Apa yang kamu katakan tadi—“ Sandra menatap wajah Moses dan memaksakan sebuah senyuman. “Lupakan saj
Sandra menyodorkan sepiring spaghetti ke hadapan Andrew. Dengan ragu, pria berwajah manis itu mencoba saus tomatnya dulu. Dia menyendok sedikit dan mengecapnya.“Pffftt… Jujur ya San, kamu itu memang punya jiwa artistik. Hebat main piano dan jago melukis. Eh, punya jiwa bisnis juga. But sorry to say, kamu nggak berbakat di dapur!”Sandra tampak kecewa. “Emang segitu parahnya sampai nggak bisa dimakan?”Andrew mengaduk-aduk isi piringnya. “Nih, wortelnya aja masih keras, spaghetti-nya udah ok lah, tapi rasanya itu yang hambar.”Sandra terduduk lemas di kursi makan. Sudah tiga hari dia belajar masak spaghetti tapi masih gagal juga. Selain untuk memberi kejutan untuk suaminya, dia juga ingin menyajikan makan malam yang dia masak sendiri. Jadi dia sengaja meminta Fiona untuk mengajarinya di Alinskie Mansion biar Moses tidak tahu.“Kalau saja Nona Sandra punya waktu lebih banyak, Nona pasti berhasil.&rdqu
“Oh… Aku akan menelpon kembali setelah dia selesai mandi.” “Tunggu, Sandra. Aku mau minta maaf…” Suara Jessica sangat pelan, hampir berbisik. “Aku tau kamu yang melarang Moses untuk bertemu denganku.” Sandra mengernyitkan dahinya. “Tidak, aku tidak pernah—“ Jessica langsung menyela, “Aku mengerti perasaanmu karena kita sama-sama wanita. Kamu pasti tidak rela saat Moses lebih memilihku tapi aku juga tidak mau dianggap sebagai pelakor. Jadi aku mau minta maaf karena sebenarnya kemarin juga aku sudah bertemu dengan Moses.” “Kapan kamu bertemu dengannya?” tanya Sandra tanpa emosi sedikit pun. “Aku dan Moses bertemu saat pesta pernikahan Rafael. Maaf, Sandra. Tapi kami merindukan satu sama lain. Aku berjanji ini adalah pertemuan terakhirku dengan Moses. Aku akan membujuknya untuk tidak menemuiku lagi sampai kalian benar-benar sudah berpisah.” Sandra hanya mendengar sambil menatap kotak putih panjang yang dihiasi oleh pita biru dengan tatapa
Keesokan paginya, seluruh penghuni Bramasta Mansion gempar oleh kabar kehamilan Nona Sandra. Tina membusungkan dadanya dengan bangga karena dia menjadi pelayan di mansion itu yang pertama kali mengetahui dan juga yang menyebarkan informasi tersebut. Tidak membutuhkan waktu lama, kabar ini juga sampai ke telinga Agatha. “Apakah kamu yakin Sandra sudah hamil?” Tina yang disuruh datang untuk menghadap Oma Agatha di ruang tamu, menundukkan kepalanya. “Seratus persen yakin, Oma. Tadi pagi saat saya mengantarkan sarapan, Nona Sandra langsung berlari ke kamar mandi dan mual-mual. Saya kira Nona masuk angin jadi saya menawarkan obat. Tapi Nona Sandra sendiri yang bilang kalau mungkin itu gejala morning sickness.” Guratan-guratan menghiasi wajahnya saat Agatha tersenyum. “Akhirnya aku akan punya cicit! Dia masih di kamarnya?” Tina menggelengkan kepalanya. “Setelah mandi Nona Sandra langsung pergi ke kantor. Dia juga tidak makan sarapannya.”