Salah satu bodyguard Jordan Saturnus Jr. melongokkan kepalanya keluar jendela. Dia melihat tubuh Yongki Yamato sudah terbujur kaku di semak-semak belukar yang berjejer di bagian samping bangunan Virgo Music Life.
“Sudah mati, Pak Jordan…” kata si bodyguard.
“Bereskan mayatnya nanti tengah malam saja… Jarang ada yang lewat semak-semak belukar di sebelah ini. Lahan kosong itu…” kata Jordan Saturnus Jr. membersihkan kedua tangannya dari noda darah Yongki Yamato.
Sekujur kaki dan badan Ray Wish Jenggala juga bergelugut hebat. Dia ingin segera melarikan diri dari tempat itu. Sial dan sungguh-sungguh sial baginya malam itu… Sungguh nahas untuk sebuah kehidupan yang sudah berada di ujung tanduk… Kakinya tersandung ke sebuah keranjang sampah kecil yang terletak di pinggir koridor. Suara gaduh di koridor membuat salah satu bodyguard Jordan Saturnus Jr. melongokkan kepalanya keluar. Kontan tembakan dilepaskan dan satu peluru hinggap tepat pada tulang punggung Ray Wish Jenggala. Kontan tubuh tersebut juga roboh ke lantai.
Kali ini Jordan Saturnus Jr. menghampiri tubuh Ray Wish Jenggala yang kini terlihat merangkak-rangkak di lantai.
“Kau melihat sesuatu yang tidak perlu kaulihat, Ray… Kenapa kau mau saja ikut campur ke dalam urusan orang? Kenapa jam-jam begini kau belum pulang?” tanya Jordan Saturnus Jr. dengan sebersit senyuman sinis dan mengerikan. Sapuan tangan yang lemah lembut menempel pada pipi Ray Wish Jenggala yang tampak gemetaran.
“Kau telah membunuh Yongki! Kau adalah seorang pembunuh! Kau manusia berhati iblis! Kau lebih parah daripada iblis!” Terdengar teriakan Ray Wish Jenggala yang tidak berdaya.
“Kau cukup dekat dengan Yongki bukan? Selama ini kalian berdua selalu bersatu padu dan menentang segala pendapat beserta pendirianku di perusahaan, juga di depan pamanku! Kau kira aku akan berdiam diri begitu saja! Aku sedang menunggu! Menunggu sampai saatnya tiba dan kalian akan menerima pembalasan yang setimpal! Kalian akan menyesal telah berurusan dengan Jordan Saturnus Jr.”
Berdirilah Jordan Saturnus Jr. Dengan tembakannya, tampak tubuh Ray Wish Jenggala sudah terbujur kaku di lantai – sama sekali tidak bergeming lagi. Beberapa peluru telah hinggap di dalam kepalanya. Ray Wish Jenggala juga pergi menyusul temannya dengan sepasang bola matanya yang membelalak hampa.
“Bereskan mayatnya juga tengah malam ini! Lemparkan ke bawah dulu! Biarkan dia dan temannya berbagi penyesalan dalam semak-semak belukar sana!” kata Jordan Saturnus Jr. dengan sebersit senyuman mengerikan pada sudut bibirnya.
Sejurus kemudian, terlihat tubuh Ray Wish Jenggala jatuh dari lantai atas bangunan Virgo Music Life. Kedua tubuh dalam semak-semak belukar tersebut sama sekali tidak tampak bergeming lagi.
***
Pekan Baru, pertengahan Desember 2016
“Kau… Kau tidak sedang bercanda bukan?” tanya Junaidy Jinnara kepada sang kekasih yang kini duduk berhadap-hadapan dengannya di restoran hotel tempat ia bekerja.
“Ya… Kau tidak salah dengar, Jun… Aku sudah memantapkan keputusanku ini terlebih dahulu, baru sekarang aku memberitahumu. Aku ingin putus dan aku pikir lebih baik kita berteman saja…” kata Nancy Stephanie Lorenza sembari berusaha menampilkan sebersit senyuman yang setenang mungkin.
Junaidy Jinnara terjelepok di tempat duduknya. Dia memandang Nancy Stephanie di depannya dengan pandangan hampa dan sepasang bibirnya yang sedikit menganga. Dia tidak tahu lagi apa yang mesti dikatakan ataupun ditanyakannya.
“Really sorry, Jun… Aku ingin terus mempertahankan hubungan kita ini mengingat kita telah berpacaran sejak di bangku SMP. Namun, aku kira mungkin saja selama ini kita masih anak-anak…” Nancy Stephanie memberhentikan kalimatnya sejenak sampai di sana.
Junaidy Jinnara menatap Nancy Stephanie Lorenza dengan sorot mata nanar.
“Mungkin saja selama ini kita masih kanak-kanak dan kita sesungguhnya tidak mengerti apa cinta itu. Kini kita sudah tamat kuliah – sudah bisa dibilang dewasa. Aku ingin menjalani hubungan cinta yang benar-benar dewasa dengan pemikiranku yang dewasa sekarang. Really really sorry, Jun…” Terlihat Nancy Stephanie sedikit menundukkan kepalanya.
“Dengan pemikiran dewasa seperti sekarang ini, kau sudah menemukan lelaki lain yang menurutmu membuatmu benar-benar jatuh cinta?” Sungguh Junaidy Jinnara tidak kuasa menahan desahan napas kekecewaannya.
Nancy Stephanie hanya diam dan masih sedikit menunduk. Segenap perasaan bersalah masih menggelincir di teluk pikirannya.
“Siapa dia?”
Nancy Stephanie mendadak mengangkat kepalanya – sedikit terkejut, tidak menyangka Junaidy akan menanyakan soal pacar barunya.
“Siapa dia? Aku ingin tahu apa kekuranganku dibandingkan dengannya…” gumam Junaidy Jinnara dingin.
“Kau mana mungkin mengenalnya, Jun… Aku bertemu dengannya di klub malam ketika teman-teman kuliahku reunian di sana tiga bulan lalu.”
“Siapa namanya?”
“Namanya… Namanya Steven… Steven Santiago Purnama…” kata Nancy Stephanie akhirnya.
Sungguh terkejut bukan main Junaidy Jinnara mendengar nama lengkap itu. Bukankah Steven Santiago Purnama itu si hidung belang yang kerja di sini juga, di divisi yang sama denganku selama dua tahun belakangan ini? Jelas-jelas dia tahu Nancy ini adalah kekasihku! Jelas-jelas dari foto-foto di HP yang kuperlihatkan padanya selama ini, dia tahu aku sedang menjalin hubungan dengan Nancy! Dia sungguh tega merebut Nancy dariku! Dia sungguh tega, sungguh tamak, dan sungguh ambisius sampai-sampai dia juga ingin memakan kekasih dari teman baiknya sendiri!
Mulai terbit kemarahan di benak Junaidy Jinnara. Kedua tangan di atas lutut mulai mengepal kuat.
“Kau kenal dengan Steven Santiago Purnama?” tanya Nancy Stephanie Lorenza takut-takut.
Junaidy Jinnara kontan menggelengkan kepalanya. Aku harus mencari bukti terlebih dahulu, bahwasanya si Steven ini adalah seorang lelaki hidung belang yang suka menipu uang perempuan. Sesudah bukti ada di tanganku, aku baru bisa meyakinkan Nancy bahwa Steven Santiago Purnama ini bukanlah laki-laki yang baik.
“Aku benar-benar minta maaf, Jun… Aku rasa lebih baik kita berteman saja… Aku yakin hubungan dan kedekatan kita selama ini bukan karena cinta, melainkan hanya karena kita sering bertemu, sering sekelas, sering duduk berdampingan – baik sewaktu di bangku SMP & SMA ataupun di bangku kuliah dulu.”
Nancy Stephanie Lorenza berdiri dari duduknya.
“Aku harap kau bisa menemukan perempuan yang lebih baik, yang benar-benar mencintaimu, Jun…”
Nancy Stephanie Lorenza berlalu begitu saja. Bayangannya langsung menghilang di balik pintu depan restoran hotel.
Setetes air mata kesedihan dan kekecewaan bergulir turun. Junaidy Jinnara tak kuasa menahan tangisannya lagi. Dia diam-diam menangis di tempat duduknya, tanpa sepengetahuan siapa pun.
Aku bahkan bermimpi kita akan menikah akhir tahun depan… Aku sudah cukup mapan untuk memperistrimu dan melanjutkan hubungan kita ke jenjang pernikahan… Kedua orang tua kita juga sudah saling berkenalan dan sudah menyetujui tentang hubungan kita. Kenapa kau tega mengakhirinya begitu saja, Nancy? Kenapa begitu kau bilang mau putus, kau langsung mencampakkan aku begitu saja? Kenapa kau begitu tidak punya hati nurani? Apa artinya kedekatan dan kenangan kita selama ini bagimu? Hanya sebuah batu loncatan bagimu sehingga sekarang kau bisa menemukan cinta yang menurutmu benar-benar dewasa?
Tampak suasana dalam kamar hotel tersebut menjadi sangat panas nan penuh gairah. Si wanita akhir lima puluhan tampak menggelinjang-gelinjang di bawah permainan hasrat Steven Santiago Purnama. Dengan tubuh awal dua puluhan dan vitalitas anak muda, tentu saja ia bisa menyuguhkan permainan tanpa akhir yang begitu memuaskan untuk salah satu tamunya malam ini.Dalam berbagai posisi, tetap saja terdengar jeritan kepuasan dari wanita setengah baya tersebut. Dia memberikan pelukan, belaian, goyangan, dan beragam sentuhan di atas tubuh Steven Santiago Purnama yang masih kuat bedegap nan atletis.Satu jam berlalu dalam suasana penuh gairah. Peluh membasahi sekujur tubuh. Permainan berakhir ketika terdengar lenguhan puncak kenikmatan dari Steven Santiago dan si wanita setengah baya itu.“Kau berbeda sekali dengan suamiku itu, Steve… Baru lima menit saja sudah loyo dia… Hahaha…” Terdengar tawa menjijikkan si wanita setengah baya. Terlihat ia
Sampai dengan siang harinya, Junaidy Jinnara masih belum bisa menemukan kembali semangatnya.Jam sudah menunjukkan pukul satu lewat. Dengan tidak bersemangat juga, Junaidy Jinnara mengeluarkan kotak makan siangnya. Dia memang jarang mau makan makanan hotel. Dia bisa memasak dan bisa mempersiapkan sendiri makan siangnya.Sungguh nahas hidup Junaidy Jinnara siang itu. Diam-diam Steven Santiago Purnama memperhatikan Junaidy Jinnara menghabiskan semua makan siangnya waktu itu. Baru saja Junaidy Jinnara selesai makan dan hendak membawa kotak makanannya untuk dicuci, ia mulai terbatuk-batuk parah. Batuknya semakin lama semakin parah sampai-sampai beberapa kolega kerjanya mulai menaruh perhatian padanya.“Ada apa?”“Kenapa bisa sampai batuk, Jun?”“Ada apa sih, Jun? Tadi kau baik-baik saja…”Kepanikan mulai menggelimuni. Batuk Junaidy Jinnara mencapai puncak. Darah merah segar segera muncrat dari mulut Jun
Jimmy Ferry Pangdy akhirnya sampai pada bagian terakhir pengajarannya siang ini. Bel berbunyi pada saat yang pas.“Sekian pelajaran hari ini. Kita akan berjumpa lagi minggu depan… Harap latihan lagi di rumah sehingga di pertemuan yang berikutnya kita sudah bisa membagi mana yang masuk suara tinggi, suara sedang, dan suara rendah.”“Goodbye, Sir…” kata anak-anak didiknya serempak. Murid-murid menyandang tas masing-masing dan keluar dari kelas.Tinggal beberapa murid – kebanyakan murid perempuan – yang tampak bercengkerama dengan Jimmy Ferry dan berpura-pura mencari pertanyaan untuk diajukan kepadanya. Jimmy Ferry memang terkenal sebagai guru musik paling bertalenta dan guru tertampan di sekolah itu. Saat ia menyanyi, ia memiliki campuran antara suara bariton dan tenor yang menjadi dambaan para gadis muda. Menurut mereka, suara tersebut penuh dengan gairah dan sangat seksi.Setengah jam berlalu&hell
Ternyata ada tiga murid yang belum pulang siang itu. Tampak Tiara Andhara, Gisella Clarissa dan Josh Kian berkumpul di kantin yang sepi. Para penjual makanan minuman sudah menutup kios-kios mereka dan sudah pulang sejak setengah jam lalu.Terdengar tangisan Tiara Andhara yang sedikit meraung-raung.“Tidak ada gunanya menangis di sini, Tiara…” celetuk Josh Kian lirih.“Iya… Lagipula kau masih bisa mencari lembaga-lembaga pendidikan lain yang menawarkan beasiswa kuliah di Amrik kan? Banyak kan lembaga pendidikan privat yang menawarkan beasiswa kuliah di Amrik? Tunjukkan saja pada sekolah yang tidak adil padamu ini. Tanpa mereka pun, kau tetap bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Amrik. Kau mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri memang karena kemampuanmu, bukan karena kau main dari jalan belakang. Iya nggak?”Gisella Clarissa dan beberapa teman sekelasnya memang kurang sreg dengan Isabel Helen yang mereka yakini ada m
Satu minggu berlalu… Sudah bisa ditebak… Video itu menjadi bulan-bulanan seisi sekolah.“Isabel Helen dikeluarkan juga?”“Tidak… Ayahnya kan salah satu pihak yayasan yang berpengaruh juga. Bisnis dan asetnya banyak. Siapa pula yang berani main-main dengan Pak Qimin?”“Tapi, karena merasa malu, dia akhirnya out sendiri deh… Kudengar sudah pindah sekolah di Jakarta…”“Bagaimana dengan si kepsek cabul kita itu?”“Sudah tentu digantikan oleh Pak Timothy yang mengajar matematika itu deh… Siapa pula yang sudi anak-anak mereka diajari oleh seorang guru cabul dan mesum kayak gitu? Video itu memalukan sekali deh… Ayah ibuku kontan marah besar begitu kutunjukkan video itu pada mereka. Aku saja tidak berani terus menontonnya. Memalukan dan menjijikkan sekali…”“Sebenarnya sih si kepsek cabul itu mau dijebloskan ke penjara o
Masih terasa suasana keheningan dan kesunyian dalam semak-semak belukar di samping bangunan Virgo Music Life. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari ketika beberapa bodyguard Jordan Saturnus Jr. hendak membereskan mayat Yongki Yamato dan Ray Wish Jenggala secara menyeluruh.Muncul seberkas sinar hijau dari langit. Sinar hijau mendarat dalam semak-semak belukar dan kontan berubah menjadi sesosok pemuda tampan. Terlihat si pemuda tampan merapatkan bibirnya sejenak menyaksikan kondisi mayat Yongki Yamato dan Ray Wish Jenggala.“Kalian akan ikut denganku ke Negeri Elemen ya…”Si pemuda tampan mengibaskan tangan sejenak. Kontan kedua mayat juga berubah menjadi cahaya hijau dan menghilang tanpa bekas dari semak-semak belukar tersebut. Terdengar langkah-langkah kaki yang semakin mendekat. Si pemuda tampan mengubah dirinya sendiri menjadi seberkas cahaya hijau lagi. Cahaya hijau menghilang ke atas langit.“Hah? Ke mana mayat
“Aku masih belum mengucapkan salam perpisahan pada Ayah & Ibu…” kata Ray Wish Jenggala membiarkan setetes air matanya bergulir turun.“Aku belum berpamitan pada Ayah & Ibu, dan juga aku rindu sekali pada Tiara…” kata Jimmy Ferry dengan sinar mata menerawang.“Aku juga belum bilang sampai jumpa pada Ayah & Ibu… Aku juga begitu merindukan Gisella…” kata Josh Kian Junos dengan pandangan menerawang.“Aku bahkan belum berpamitan pada Nancy… Aku juga sangat khawatir padanya… Jangan-jangan lelaki brengsek itu mengincarnya juga setelah membereskanku?” Junaidy Jinnara sungguh merasa tidak tenang.“Tidak bisakah aku kembali sebentar ke duniaku, Vritz?” tanya Yongki Yamato. “Aku ingin ke apartemenku sebentar dan membinasakan sisa-sisa salinan asli lagu-laguku agar laki-laki jahat itu tidak bisa mengambilnya. Sampai selamanya dia tidak bisa mengambi
Josh Kian Junos membisu seribu bahasa. Dia juga tampak penuh dengan tanda tanya.“Oke… Aku bantu kau cari dia kalau begitu, Ray.” Robert Martin menawarkan diri.“Aku juga. Kau mau ikut cari dia sekalian jalan-jalan, Josh?” tanya Jimmy Ferry kepada Josh Kian.“Aku melukis di sini saja. Nanti ketika kalian sudah mau ke istana kahyangan, jangan lupa ajak aku ya…” Josh Kian Junos terlihat sedikit meringis.“Oke deh…” balas Jimmy Ferry.Ketiga orang itu mulai berbaur ke jalanan kota. Banyak yang heran sekaligus terkagum-kagum dengan penampilan mereka.“Sepertinya mereka bukan dewa dari negeri ini. Lihat tuh mereka tidak ada tanduknya seperti kita…” kata beberapa dewi muda. Dewi yang tua juga tak luput dari kekaguman terhadap mereka.“Kalian dari dunia mana? Baru pertama kali berkunjung ke sini?” tanya seorang dewi yang sudah cukup berumur.