Share

Kartu AS Steven Santiago

Tampak suasana dalam kamar hotel tersebut menjadi sangat panas nan penuh gairah. Si wanita akhir lima puluhan tampak menggelinjang-gelinjang di bawah permainan hasrat Steven Santiago Purnama. Dengan tubuh awal dua puluhan dan vitalitas anak muda, tentu saja ia bisa menyuguhkan permainan tanpa akhir yang begitu memuaskan untuk salah satu tamunya malam ini.

Dalam berbagai posisi, tetap saja terdengar jeritan kepuasan dari wanita setengah baya tersebut. Dia memberikan pelukan, belaian, goyangan, dan beragam sentuhan di atas tubuh Steven Santiago Purnama yang masih kuat bedegap nan atletis.

Satu jam berlalu dalam suasana penuh gairah. Peluh membasahi sekujur tubuh. Permainan berakhir ketika terdengar lenguhan puncak kenikmatan dari Steven Santiago dan si wanita setengah baya itu.

“Kau berbeda sekali dengan suamiku itu, Steve… Baru lima menit saja sudah loyo dia… Hahaha…” Terdengar tawa menjijikkan si wanita setengah baya. Terlihat ia memberikan dua puluh lembar uang seratus ribu kepada Steven Santiago yang masih sedang mengenakan undies­-nya yang berwarna hitam.

Steven Santiago melipat uang tersebut dengan rapi, menciumnya sejenak dan kemudian memasukkannya ke dalam dompetnya.

Thanks very much deh, Steve… Kapan-kapan aku akan telepon lagi bisa kan? Besok si loyo itu akan pulang ke Pekan Baru, jadi untuk sementara aku rasa kita jangan ketemuan dulu. Tahun depan dia akan ke Singapura lagi. Aku akan contact kau lagi begitu ia berangkat. Oke ya…?”

“Tentu saja…” Steven Santiago mengerlingkan sebelah matanya. Dia mengantar perginya si wanita setengah baya tersebut sampai pintu kamar.

Si wanita setengah baya berlalu.

Dua jam juga berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Karena dia sudah check in untuk yang sampai keesokan paginya, Steven Santiago memutuskan dia akan bermalam di hotel itu saja malam ini. Keesokan paginya dia akan langsung turun ke restoran hotel di lantai bawah dan memulai pekerjaannya.

Ada seseorang yang mengetuk pintu kamar hotelnya. Begitu dibuka, ternyata Junaidy Jinnara sesama tukang masak di restoran hotel berdiri di depan kamarnya. Dengan pandangan meremehkan, dia melebarkan daun pintu dan membiarkan Junaidy Jinnara masuk.

“Ada apa ke sini?” Tampak Steven Santiago menghela napas panjang dengan raut wajahnya yang skeptis nan meremehkan.

Junaidy Jinnara masuk dan sedikit membanting pintu di belakang punggungnya.

“Jelas kau tahu Nancy Stephanie Lorenza adalah kekasihku. Kami sudah berpacaran semenjak di bangku SMP. Kau jelas tahu akan hal itu! Kenapa kau bahkan tidak mau melepaskannya, Steve? Kau sudah bermain dengan banyak wanita. Aku tahu jelas hal itu. Aku diam saja selama ini. Aku menghargai pilihan hidup dan jalan hidupmu. Namun, kau sama sekali tidak menghargai aspek-aspek kehidupanku. Beritahu aku! Sudah berapa kali kau melakukannya dengan Nancy! Sudah berapa kali kau menodai dan mengotori Nancy!”

Tampak Junaidy Jinnara mencengkeram kerah baju Steven Santiago Purnama. Emosi jelas sudah mencapai ubun-ubun kepalanya waktu itu.

“Oh, you’re terrible, Jun! Aku tidak pernah berhasil membawa Nancy ke atas ranjang, kau puas! Dia selalu bersikeras dengan teori konyol nan kunonya itu, bahwa dia akan menyerahkan segalanya kepadaku di saat malam pertama kami. Sungguh seorang gadis kampungan! Di zaman begini! Aduh… Tolong tolong deh…!” Terdengar tawa melecehkan dari Steven Santiago.

“Kau bajingan! Kau brengsek!” Beberapa tinju didaratkan secara bertubi-tubi ke wajah Steven Santiago. Tubuh Steven Santiago yang lebih kecil tentu saja jatuh terjerembab ke lantai. Ia sama sekali tak kuasa melawan serangan Junaidy Jinnara.

“Kenapa kau bisa melakukan hal ini padaku! Kenapa kau menghancurkan hubunganku dengan Nancy! Kenapa kau merusak rencana masa depanku!” Terdengar jeritan ketidakberdayaan melolong keluar dari mulut Junaidy Jinnara.

Dengan sigap Steven Santiago mendorong tubuh Junaidy Jinnara ke samping. Dia berdiri dengan tegap sekarang. Ia merapikan kembali rambut dan bajunya.

“Kau terlalu berlebihan, Jun… Aku hanya mendekatinya karena aku ditantang oleh teman-temanku saat di klub malam itu. Aku mengajaknya bicara saja. Tidak lebih… Nah, kalau di kemudian hari dia yang sendiri tertarik padaku dan tidak bisa melupakan aku, itu bukan salahku dong… Kok aku pula yang disalahkan?”

Sekali lagi tinju melayang ke wajah Steven Santiago Purnama.

“Kau memang bajingan!”

Tubuh Steven Santiago Purnama mundur terhuyung-huyung dan mengenai sebuah vas bunga dekat dinding. Vas beserta bunganya pecah berhamburan di lantai.

Jun mengirimkan sebuah video ke nomor *****App Steven Santiago. Tentu saja kedua bola mata Steven Santiago membelalak lebar tatkala ia melihat Junaidy Jinnara berhasil merekam permainannya dengan si wanita setengah baya tadi ke dalam bentuk video yang jelas-jelas memperlihatkan wajah dan bagian depan tubuh mereka. Steven Santiago segera mencari-cari di mana Junaidy Jinnara menyembunyikan kameranya.

“Ada di lukisan di atas ranjang permainan kalian itu,” gumam Junaidy Jinnara singkat.

Benar saja… Tangan Steven Santiago meraba-raba lukisan itu, dan akhirnya terpegang olehnya sebuah kamera kecil warna putih – sama dengan warna latar belakang lukisan tersebut. Dia membuang kamera tersebut ke lantai dan menginjaknya hingga hancur.

“Apa maksudmu dengan merekam permainanku tadi?” Tampak sorot mata Steven Santiago Purnama yang mulai terancam dan ketakutan.

“Aku rasa aku harus memegang kartu AS-mu. Kau sudah menginjak ekorku dengan mengusik Nancy, yang jelas-jelas kau tahu adalah seseorang yang teramat berharga bagiku. Jangan khawatir… Meski aku kenal siapa tamumu tadi dan siapa suaminya, aku takkan menyerahkan video ini kepada suaminya. Aku tidak sebrengsek itu. Aku takkan berbuat hal yang sama rendahnya sepertimu. Aku hanya akan menggunakan video ini untuk menyadarkan Nancy dengan siapa sesungguhnya dia tengah menjalin hubungan selama tiga bulan belakangan ini.”

Junaidy Jinnara membuka pintu kamar dan langsung berlalu begitu saja. Tinggallah Steven Santiago yang kini geram bukan main. Amarah mulai mengerabik di semenanjung pikirannya. Dia menendang sebuah kursi yang ada di depannya. Kursi terpelanting membentur pintu kamar hotel.

***

Hari yang suram buat Junaidy Jinnara… Sepanjang pagi dia tampak memasak dengan tidak bersemangat. Dia tampak mengolah segala sayur-mayur dan lauk-pauk dengan tidak bersemangat. Kembali teringat olehnya bagaimana reaksi Nancy Stephanie kemarin malam tatkala ia menunjukkan video permainan Steven Santiago dengan salah seorang tante girangnya.

“Tinggalkan aku sendiri dulu, Jun… Please… Please… Aku butuh kesendirian sekarang. Aku butuh ketenangan untuk menemukan kembali sendi-sendi kehidupan dan perasaanku. Jangan mencariku dulu selama dua tiga minggu ke depan ya, Jun… Jangan bertemu denganku dulu… Aku butuh sendiri…” Terdengar kata-kata Nancy Stephanie di sela-sela isakannya.

Sampai dengan siang harinya, Junaidy Jinnara masih belum bisa menemukan kembali semangatnya.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status