Karena kedai Bronson begitu ramai pengunjung, William harus puas hanya bisa curi-curi pandang ke arah meja nomor 5 dimana gadis bernama Amelia yang telah membuatnya tertarik dengan sangat kuat sedang berbincang seru bersama teman-temannya yang barbar itu.
Sementara dia yang menyamar menjadi pelayan kedai harus pontang panting mengantarkan pesanan para pengunjung kedai. Belum lagi nyonya gemuk pemilik kedai bernama Susan itu begitu galak kepadanya bila dia berlama-lama mengambil makanan dan minuman yang telah disiapkan di konter pemesanan menu.
Hampir tengah hari rombongan gadis pelajar bangsawan itu membubarkan diri untuk pulang, begitu juga Amelia yang telah berganti baju biasa tadi setelah baju seragamnya ditumpahi air limun oleh William. Satu per satu mereka membayar orderan menu masing-masing di kasir yang dilayani oleh Nyonya Susan Bronson sendiri.
Amelia selalu mengalah kepada teman-temannya dan dia yang terakhir membayar serta meninggalkan tempat itu. Saat ia hendak melangkah keluar dari pintu depan kedai, lengannya ditarik kuat oleh seseorang lalu diseret mundur ke lorong menuju toilet.
Setelah lengannya dilepaskan dan mereka saling bertatapan, Amelia mengenali siapa orang yang menyeretnya dengan kasar sekaligus tidak sopan. "Willy?!" serunya dengan mata membulat penuh. Kedua lengan pemuda itu memerangkap tubuh Amelia di dinding lorong toilet yang sebenarnya berbau urine tak sedap.
Sepasang mata ungu itu begitu indah sehingga membuat William terbengong-bengong sejenak. Tampaknya sang pangeran kesengsem berat kepada gadis di hadapannya. Pertanyaan yang tadi sudah disusun dengan rapi di otaknya seolah sirna bagaikan asap rokok yang dihembuskan sekali saja.
"Hai, Boy—sebaiknya kau punya alasan yang bagus dengan menyeretku ke mari!" ujar Amelia berusaha bersabar sekali lagi kepada pemuda berparas tampan yang menurutnya sedikit ceroboh itu.
William pun menggaruk-garuk kepalanya salah tingkah. Dia lalu berkata, "Ehm ... apa aku boleh berkencan denganmu kapan-kapan? Dimana rumahmu, Nona?"
Sebersit senyuman terkembang di bibir bersudut runcing merah ceri itu lalu ia menjawab, "Maafkan aku, tetapi anggap saja aku seperti menu spesial di restoran mahal. Kau bisa melihatku, tapi mungkin tak mampu mendapatkannya! Aku permisi dulu, Will." Dengan gesit gadis itu kabur dari hadapan William dan buru-buru keluar dari kedai Bronson.
"WILLY! DIMANA KAU? DASAR PEMALAS!" Teriakan Nyonya Susan yang menggelegar sontak membuat lamunan indah William pecah berkeping-keping. Dia berlari tergopoh-gopoh mendatangi depan konter pemesanan menu dimana majikan barunya itu bertolak pinggang dengan wajah menyeramkan seperti naga siap menyemburkan api dari mulutnya.
"Ya, Nyonya Susan?" ucap William dengan seringai konyol di wajahnya berharap tak ada semburan panas yang akan diterimanya dari wanita gemuk itu.
Sebuah helaan napas dalam untuk menenangkan dirinya disertai perintah, "Will, antar dua nampan ini satu per satu ke meja nomor 6 dan 7. Jangan terbalik, oke? Setelah itu bantu aku menimba air di sumur dapur. CEPAT!"
"Siap, Nyonya Susan!" sahut William lalu segera mengerjakan tugas-tugasnya. Dia yakin telah kehilangan jejak Amelia, berarti dia harus bekerja lagi di kedai Bronson besok agar memiliki kesempatan untuk menemui gadis bermata ungu memesona tadi kembali.
Dengan kereta kuda keluarga Stormside yang berlambangkan huruf S dan petir di bagian sisi pintu penumpang kanan kiri, Amelia diantarkan ke Madam Tania's Orphanage. Hanya gadis itu saja yang mengunjungi panti asuhan di desa sebelah, Mayflower Village. Teman-temannya selalu mencari alasan bila Amelia mengajaknya ke tempat yang mereka anggap kumuh dan penuh gembel kata mereka.
Sekitar satu jam perjalanan membawa Amelia hingga ke depan sebuah bangunan 5 lantai berbentuk seperti kastil beratap runcing-runcing berjendela kaca sangat banyak dengan dua menara di barat dan timur. Sebenarnya tampilan kastil yang digunakan sebagai panti asuhan itu dari arsitektur luarnya nampak megah. Namun, kondisi penghuni bangunan tersebut jauh dari kata sejahtera.
Orang hanya ingin menitipkan anak dan bayi yang dibuang karena dilahirkan tak sesuai harapan keluarganya tanpa memberikan uang sumbangan sedikit pun. Kondisi keuangan panti asuhan menjadi tidak sehat. Madam Tania, pengelola panti asuhan itu sudah menua dan mulai menurun vitalitasnya untuk membuat kerajinan tangan yang dapat dijual ke pasar rakyat di hari tertentu.
Dan Amelia adalah salah satu dari orang-orang dermawan yang memiliki kepedulian untuk penghuni panti asuhan itu. Seperti hari ini dia memesan dari kedai Bronson; 100 bolu cokelat, 100 croisant, dan 100 roti isi daging. Semuanya diberikan cuma-cuma dari tabungan uang sakunya.
"Turunlah dulu, Lady Amy. Aku akan membawakan makanan untuk penghuni panti asuhan setelahnya," ujar Jeffrey Ross, kusir kereta pribadinya sekaligus sobat Amelia yang selalu membantunya mengurus banyak hal.
Kaki berbalut sepatu bots kulit unta warna coklat itu menapak ke permukaan tanah lalu melangkah cepat memasuki pintu depan Madam Tania's Orphanage.
"Teman-teman ... Kak Amy, datang!" seru salah satu bocah berusia di bawah 10 tahun yang sedang bermain bersama di lantai ruang depan kastil.
Belasan anak menghambur mengerumuni Amelia dengan ramah menyapa kedatangannya. Semua di kastil itu mengenalnya karena gadis itu sering membantu banyak pekerjaan di kastil untuk meringankan pekerjaan Madam Tania. Wanita kulit hitam berusia 65 tahun itu memiliki terlalu banyak hal untuk dikerjakan setiap harinya.
"Bagaimana kabar kalian, Kids?" sapa Amelia yang dijawab bervariasi oleh bocah-bocah bertubuh kurus dengan berbagai usia yang mengelilinginya. Gadis itu menghela napas diam-diam, dia merasa usahanya untuk memberikan kesejahteraan bagi anak yatim piatu penghuni panti asuhan itu masih kurang dari cukup.
"Baiklah—dimana Madam Tania?"
Gadis kecil dengan rambut pirang berkuncir dua berusia sekitar 7 tahun bernama Caroline menjawab pertanyaan Amelia, "Madam ada di halaman belakang kastil menurunkan pakaian dari tali jemuran, Kak Amy."
"Ohh, terima kasih, Olin. Kakak akan membantu Madam Tania dulu ya, Semuanya. Sampai nanti!" pamit Amelia lalu bergegas menuju ke halaman belakang kastil.
Ketika dia melihat wanita tua berkulit hitam itu sibuk dengan pakaian jemuran kering yang nampaknya begitu banyak, Amelia pun segera membantunya. Dia menduga hari ini adalah hari mencuci pakaian kotor mingguan. Memang anak-anak panti asuhan yang berusia di atas 10 tahun bangun pagi sekali saat matahari masih belum terbit dan mereka membantu Madam Tania mencuci pakaian semua penghuni kastil.
"Selamat sore, Madam! Apa aku boleh membantumu?" sapa Amelia yang segera ditanggapi dengan derai tawa dari Madam Tania.
"Setiap bantuan selalu berharga, Amy. Kuharap usiaku lebih muda 30 tahun agar bisa lebih gesit mengerjakan pekerjaan rumahan seperti ini!" ujar wanita tua berkulit hitam itu.
Memang dengan bantuan Amelia yang masih muda dan gesit, pekerjaan itu terselesaikan lebih cepat. Kemudian mereka berdua pun duduk bersama sejenak di undakan teras halaman belakang sembari menatap matahari senja yang mulai turun di langit sebelah barat
"Apa kondisi keuangan panti memburuk, Madam?" tanya Amelia yang sebenarnya sudah tahu jawabannya.
Madam Tania mengangguk dengan raut wajah murung. Dia menjawab, "Aku hanya berharap musim dingin tak akan tiba dengan cepat. Kasihan anak-anak bila harus menahan rasa dingin yang membeku menusuk tulang. Selimut lama sudah semakin usang dan tipis karena dicuci berulang kali, begitu pula pakaian mereka—" Isakan tangis tertahan terdengar dari wanita tua itu.
Dalam benaknya Amelia berpikir bagaimana caranya agar ada dana untuk dikumpulkan sebagai sumbangan untuk panti asuhan yang menaungi sekitar 100 anak yatim piatu di Mayflower Village ini. Seberapa hematnya dia menabung uang sakunya, itu pun tak akan cukup. Apakah dia bisa melakukan penggalangan dana atau memohon kepada ayahnya agar memberi sumbangan?
Saat sedang berada dalam perjalanan pulang dengan kereta kuda menuju ke Georgiatown, ibu kota Wisteria Kingdom, Lady Amelia Stormside membuka jendela depan kereta yang ada di balik punggung kusir. Dia mengobrol dengan Jeffrey Ross, sobat sekaligus kusirnya."Kasihan sekali anak-anak di panti asuhan itu, Jeff. Sayang sekali aku tak punya banyak uang untuk disumbangkan," ujar Amelia dengan tatapan sayu memandangi jalanan di depan kereta kuda dari jendela itu.Jeffrey pun menyahut, "Miss Amy, apa Anda sudah mendengar mengenai turnamen ketangkasan 5 tahunan yang diadakan kerajaan Wisteria dan Drakenville sebentar lagi? Hadiahnya total 1 juta Lira, kurasa juara harapan pun akan mendapat uang yang lumayan besar nilainya!"Seolah mendapat kabar suka cita dari malaikat, wajah Amelia berbinar-binar. Dia pun berkata, "Apa pesertanya harus mendaftar terlebih dahulu, Jeff? Antarkan aku sekarang untuk mendaftar kalau iya!"Kusir kereta kuda itu tertawa kencang terbawa oleh angin yang berhembus mel
Separuh wajah Lady Amelia Stormside tertutupi oleh topeng perak dengan hiasan bulu-bulu angsa lembut berwarna putih. Dia menuruni undakan kereta kuda milik keluarga Stormside setelah Lady Zemira turun terlebih dahulu.Ayah Lady Amelia yaitu tuan perdana mentri Alexei Stormside sudah berangkat terlebih dahulu ke istana sejak sore sebelum puterinya pulang ke rumah. Sekalipun ia tahu tujuan diadakan pesta dansa malam ini tak lain untuk mencarikan jodoh penerus raja Wisteria Kingdom. Namun, Alexei tak ingin menggunakan kedudukannya untuk menyodorkan puterinya sebagai calon istri sang pangeran. Dia kuatir Amelia tak cocok dengan apa yang didambakan oleh Pangeran William Lancester. Kriteria calon istri pangeran sangat tidak jelas karena pemuda itu bersikeras ingin mencari sendiri gadis yang akan dipilihnya."Ayo kita masuk, Amy. Kurasa teman-teman sepermainanmu pun sudah ada di dalam aula istana. Bertingkahlah sopan dan anggun, jangan buat Mama papa kecewa!" pesan Lady Zemira menggandeng l
"Ohh ... sial, cepat sekali gadis itu berlari! Kemana dia?!" rutuk sang pangeran bertolak pinggang di ambang pintu keluar aula sambil celingukan mengamati beberapa kereta kuda yang bergerak meninggalkan halaman depan istana.Dari arah belakangnya seorang pria bertubuh tinggi tegap berlari-lari mendekati William. "Ada apa, Your Grace? Apakah ada yang tidak beres?" tanya pria itu saat sang pangeran membalik badannya."Begitulah, Sebastian ... nampaknya merpatiku lepas dan terbang menghilang!" ujar sang pangeran mengibaratkan anak dara yang dia sukai pergi meninggalkannya begitu saja.Namun, sang jenderal Wisteria Kingdom mengerutkan dahinya sembari melihat ke arah langit mencari bayangan burung merpati yang dimaksud oleh sang pangeran. "Kenapa malam-malam begini mencari merpati, Your Grace? Apa ingin berkirim surat kepada seseorang?" tanya Jenderal Sebastian Dalio penasaran.Mengetahui sang jenderal muda salah paham, William pun tertawa. "Ahh ... lupakan saja, Sebastian. Mungkin kami be
Sebelum tertidur Lady Amelia berbaring di ranjangnya sambil memikirkan hari yang penuh petualangan sedari dia pulang sekolah tadi. Pelayan baru Kedai Bronson yang bernama Willy itu entah mengapa agak mencurigakan. Pemuda tadi tidak begitu cocok sebagai seorang yang bekerja sebagai pelayan kedai, ada aura keturunan bangsawan yang terpancar kuat dari caranya menatap dan bagaimana pemuda itu berbicara. Pekerja kasar dari rakyat jelata tidak seharusnya sesopan dan berkelas seperti Willy. Belum juga pikirannya usai menganalisa Willy si pelayan aneh, sosok Lord William Blackwood turut mengisi benaknya. Pria muda berdarah biru itu begitu romantis dan menyenangkan. Cara pria tadi menciumnya meninggalkan kesan yang mendalam. Lady Amelia tersenyum sendiri sembari menyentuh bibirnya dengan jemari tangannya teringat kelembutan bibir pria bangsawan tadi.Sayang sekali, ide menikah dengan segala kerumitannya membuat Amelia lebih memilih untuk kabur dari hadapan Lord William Blackwood. Lagi pula t
Sebuah medali emas dengan grafir logo Drakenville digenggam oleh Lady Amelia sambil dia amat-amati saat duduk di dalam kereta kuda yang melaju kencang meninggalkan halaman belakang sekolahnya menuju ke Kedai Bronson. Setiap usai sekolah, gadis itu dan teman-teman dekatnya memang menghabiskan waktu senggang di sana."Apa yang harus kulakukan dengan medali emas ini? Kalau hanya menyimpannya sepertinya tidak akan berguna, bukan? Ahh ... dijual saja, uangnya bisa kudonasikan untuk anak-anak panti asuhan milik Madam Tania!" ujar Lady Amelia kepada dirinya sendiri sembari melihat kilau keemasan medali tebal bulat itu tertimpa sinar matahari yang menembus kaca jendela kereta kudanya.Setelah 20 menit berlalu, perjalanan kereta kuda pun usai. Jeffrey Ross mengetok bagian depan kereta seraya berseru, "Miss Amy, kita sudah sampai!" "Terima kasih, Jeff. Aku akan turun," jawabnya dari dalam kereta kuda lalu Lady Amelia membuka pintu. Dia meninggalkan koper sekolahnya di bangku kereta dan hanya m
"Bravo, Miss Amy!" teriak Jeffrey Ross dengan tercengang saat dia melihat nona mudanya melambaikan tangan di atas benteng setinggi 50 meter setelah gadis itu memanjatnya dengan bantuan tali tambang.Setelah mencopot tali tambang yang tadi dia lemparkan hingga melingkari batu dinding benteng, Lady Amelia menggulung tali tambang itu dengan rapi lalu mengikatnya sebelum melemparkannya ke bawah dimana kusir kereta kudanya berada. Dia lalu berjalan santai menuruni tangga menuju ke pintu keluar samping benteng yang minim penjagaan itu. Wisteria Kingdom sudah lama memang tidak pernah terlibat perang dengan negara tetangga. Prajurit yang masih tersisa lebih banyak yang berusia di atas 30 tahun dibanding yang masih remaja. Setelah menemui Jeffrey Ross, nona muda keluarga Stormside itu pun berkata, "Tubuhku ringan, itulah sebabnya tak ada kesulitan untuk memanjat dengan tali, Jeff. Lagi pula kakiku menapak di tembok pastinya itu teknik yang bagus untuk menambah kecepatanku naik ke atas.""Wow
Tidak mencukur wajah selama beberapa hari membuat wajah sang pangeran dari Wisteria Kingdom tersamarkan seperti buruh kalangan rakyat jelata. Pangeran William sengaja mengenakan pakaian dari bahan kain longgar yang warnanya sudah memudar. Hari ini adalah hari pertama turnamen ketangkasan 5 tahunan yang diadakan Wisteria Kingdom dan Drakenville Kingdom. Dia sengaja menyamar sebagai pemuda biasa untuk sekadar berkompetisi secara sportif dengan peserta lainnya. Ketika Pangeran William melewati taman istana menuju ke dinding depan benteng istana, dia berpapasan dengan Jenderal Sebastian Dalio. Sedikit menyembunyikan rasa gelinya, sang jenderal menyapa sang pangeran, "Selamat pagi, Your Grace. Hari yang cerah untuk berkompetisi!" "Pagi yang segar, Jenderal! Oya, jangan panggil aku dengan gelarku, cukup Willy saja, oke?" balas Pangeran William sambil berjalan cepat menuju ke lokasi turnamen babak pertama."Apa tidak masalah seperti itu, Pangeran? Ehh—Willy?" ujar Jenderal Sebastian ragu
Pengumuman peserta yang lolos ke babak kedua turnamen ketangkasan 5 tahunan dibacakan oleh Jenderal Sebastian Dalio di panggung yang dibangun di depan tembok luar benteng istana yang digunakan sebagai base camp panitia dari dua kerajaan yang berkompetisi bersama.Jenderal Jason Oliviera dari Drakenville Kingdom duduk di samping kursi yang ditempati oleh Perdana Menteri Alexei Stormside. Beliau berbincang dengan volume pelan mengenai hasil peserta lolos babak kedua yang berimbang dari Wisteria dan Drakenville Kingdom. Selain itu Jenderal Jason juga bertugas mengantarkan Puteri Alea Briggita Kincaid yang akan tinggal sementara di istana Wisteria sebagai tamu kerajaan."Your Lordship Stormside, saya ingin menitipkan Puteri Alea kepada Anda. Beliau akan tinggal di istana Wisteria hingga akhir turnamen," ujar Jenderal Jason Oliviera dengan nada serius, dia sendiri harus pulang petang ini ke Drakenville bersama Pangeran Ares Kincaid dengan naik kuda dikawal sekompi prajurit pengawal berpang