Share

Bab 6 - Jejak Kehadiran

Author: Gumi Gula
last update Last Updated: 2025-03-06 22:30:43

Sandra duduk di ruang tamu, tangannya mengelus perut yang masih rata. Irene, yang duduk di seberangnya, tampak lebih perhatian sejak mengetahui kehamilannya. Wanita itu memastikan Sandra beristirahat cukup, makan teratur, dan tidak terlalu banyak bergerak.

“Kalian jadi kembali?” tanya Irene sambil menuangkan teh ke cangkir Sandra.

Sandra menunduk, ragu menjawab. Namun, sebelum ia sempat membuka suara, Bram yang baru saja turun dari lantai atas lebih dulu menimpali.

“Iya, Ma. Bram harus kembali bekerja.”

Irene mengerutkan kening, meletakkan cangkirnya di atas meja dengan sedikit keras. “Baru saja tinggal, sudah mau pergi. Setidaknya tinggal beberapa hari lagi.”

Bram menarik napas pendek, jelas tidak sependapat. “Tidak bisa, Ma. Kita sudah terlalu lama di sini. Pekerjaan menumpuk banyak di kantor.”

“Tapi istrimu sedang hamil, Bram. Siapa yang akan menjaganya di sana?” Nada suara Irene meninggi, sorot matanya tajam. “Apa kamu tega membiarkannya sendirian di mansion?”

Sandra menoleh, hatinya sedikit hangat oleh pembelaan Irene. Namun, ia tahu Bram bukan tipe yang bisa dibujuk.

“Ada pelayan di sana. Dia tidak akan kekurangan apa pun,” jawab Bram datar.

Irene mendengus pelan, seolah menahan geram. Ia menoleh ke Sandra, menggenggam tangannya lembut. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Mama, ya?”

Sandra tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaan canggung. “Terima kasih, Ma.”

Meski berat hati, Irene akhirnya melepas mereka. Perjalanan menuju mansion diisi keheningan. Bram fokus menyetir, sementara Sandra menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang.

Sesampainya di mansion, Bram turun lebih dulu tanpa menunggu Sandra. Ia menyerahkan kunci mobil pada pelayan, lalu masuk ke dalam tanpa berkata apa pun. Sandra menghela napas, melangkah menyusul.

Tari mendekat begitu melihat Sandra melangkah masuk. Dia menarik senyum tipis, seolah menyapa.

“Sudah pulang, Nyonya?” sapanya ramah.

Sandra mengangguk kecil. “Baru saja sampai, Tar.”

Tari melirik ke arah Bram yang sudah lebih dulu menghilang ke ruang kerjanya, lalu kembali menatap Sandra.

“Mau saya buatkan makan malam, Nyonya?”

Sandra tersenyum tipis, meski lelah jelas tergambar di wajahnya. “Tidak usah, Tar. Tadi sudah makan di rumah Mama.”

Tari mengangguk patuh. “Baik, Nyonya. Kalau butuh apa-apa, silakan panggil saya.”

“Terima kasih.”

Sandra melangkah menuju kamar, menutup pintu perlahan. Begitu berada di dalam, ia menghela napas panjang.

Ia duduk di tepi ranjang, kembali mengusap perutnya yang masih rata. Entah kenapa, dia merasa bahagia. Dia tidak pernah menyangka bahwa didalam perutnya, tumbuh nyawa lain disana. Setidaknya jika bukan pernikahannya, dia akan bertahan untuk anaknya.

————-

Pagi itu, Sandra terbangun lebih awal. Cahaya matahari masih samar menyelinap di balik tirai. Udara dingin menyelimuti kamar, menyisakan keheningan yang menyesakkan.

Dengan langkah pelan, ia menuju dapur. Tari yang sedang merapikan bahan masakan menoleh, wajahnya sedikit terkejut.

“Nyonya? Kenapa tidak istirahat saja?”

Sandra tersenyum tipis, menyembunyikan kelelahan yang terasa menumpuk. “Saya cuma ingin membantu menyiapkan sarapan. Sekalian menyiapkan kopi untuk Mas Bram.”

Tari tampak ragu. “Maaf, Nyonya, tapi Tuan tidak mengizinkan Nyonya untuk menyentuh dapur. Saya tidak mau dipecat. Biar saya saja yang memasak, Nyonya.”

Sandra diam sejenak. Ia tahu kekhawatiran Tari beralasan. Bram memang tak pernah suka jika ia ikut campur. Namun, ada sisi kecil dalam dirinya yang ingin melakukan sesuatu layaknya istri.

“Baiklah, kalau begitu… Saya tidak akan menyentuh dapur, tapi, saya yang akan atur menunya. Bagaimana?”

Tari terlihat lega. “Tentu, Nyonya bisa katakan masakan apa yang Nyonya inginkan.”

Ia memilih menu sederhana—sayur bening bayam, tempe goreng, tahu, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan. Makanan hangat seperti yang biasa dibuat Ibunya.

Di sela-sela itu, ia menyiapkan kopi untuk Bram. Tangannya gemetar halus, menakar bubuk kopi dengan hati-hati. Dia mulai terbiasa, mengingat apa yang disukai dan tidak disukai suaminya.

Setelah semua siap, Sandra membawa secangkir kopi ke meja makan. Dia merapikannya, lalu dia naik ke lantai atas, untuk memberitahu suaminya.

Jantungnya berdegup pelan saat ia berdiri di depan pintu kamar Bram. Saat hendak mengetuk, suara lirih terdengar dari celah pintu yang sedikit terbuka.

“Ya, aku juga merindukanmu…”

Langkah Sandra terhenti. Dada yang tadinya terasa sesak kini seperti diremas. Napasnya tertahan di tenggorokan.

Siapa yang sedang suaminya telepon pagi-pagi begini?

Sandra berdiri terpaku, perasaan asing menjalari hatinya. Ia ingin pergi, tapi kakinya seakan menancap di lantai.

Pintu mendadak terbuka. Bram berdiri di ambang pintu, wajahnya dingin seperti biasa.

“Ngapain di sini?”

Sandra mengerjap, buru-buru menata ekspresi. Ia berusaha tersenyum meski suaranya nyaris bergetar.

“Aku ingin memberitahu, sarapannya sudah siap, Mas.”

Bram hanya menatapnya sekilas, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata.

Sandra tetap berdiri di sana, memandangi punggung suaminya yang menjauh. Hatinya terasa kosong, tapi ia menelan semua perasaan itu dalam diam.

Di rumah ini, tak akan ada cinta. Dia tidak akan pernah bisa membuat pria itu mencintainya, sampai kapan pun. Dia tak ambil pusing, lalu segera menyusul suaminya turun.

Sarapan pagi itu berlangsung dalam keheningan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang sesekali terdengar.

Sandra duduk di ujung meja, menikmati makanannya dalam diam. Bram di seberang, sibuk dengan ponselnya sambil sesekali menyuap makanan. Tidak ada percakapan— seperti biasa.

Tari berdiri di sudut ruangan, siap siaga jika ada yang dibutuhkan.

Hampir selesai makan, Bram tiba-tiba membuka suara. “Tari… Tumben masakanmu seperti ini.”

“Masakan saya kenapa, Tuan?” tanyanya dengan khawatir.

Suara datarnya terdengar tanpa maksud memuji, tapi cukup untuk membuat Tari terkejut.

Bram melirik piringnya sekilas. “Sayur bening seperti ini… sudah lama sekali saya tidak makan. Mungkin terakhir, Oma yang buat.”

Sandra menunduk, menekan perasaan hangat yang merayap di dadanya. Setidaknya, usahanya tidak sia-sia.

Tari melirik ke arah Sandra, menunggu isyarat. Sandra buru-buru menggeleng halus, memberi kode agar Tari diam saja.

Tari menelan ludah, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Tuan.”

Bram tidak menanggapi lagi. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara Sandra hanya menatap piringnya, berusaha menahan senyum tipis. Sekalipun Bram tak tahu, ia tetap merasa puas.

Setidaknya… ada sedikit jejak kehadirannya di hidup pria itu, meski dalam diam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 21 - Rasa marah

    Pintu apartemen terbuka dengan kasar. Mira masuk tanpa melepas sepatu, melempar tasnya ke sofa dengan gerakan penuh emosi. Nafasnya masih berat, dadanya naik-turun menahan kemarahan yang seolah siap meledak kapan saja.Brak!Tanpa pikir panjang, ia menyapu bersih semua barang di meja riasnya. Botol parfum pecah, bedak berhamburan, perhiasan berjatuhan ke lantai. Cermin hampir jatuh, tapi Mira tidak peduli.Sialan Irene!Suara pintu apartemen terbuka, disusul suara langkah santai yang familiar.Aro berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja satin dengan motif mencolok, alisnya terangkat melihat kekacauan di ruangan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, ekspresinya antara bosan dan terhibur.“Aku baru pergi beberapa jam, dan apartemen ini sudah jadi kapal pecah.” Aro berjalan masuk dengan anggun, matanya menyapu lantai sebelum akhirnya menatap Mira dengan senyum tipis. “Jangan bilang Irene yang membuatmu begini? Apa dia meludahimu sampai kamu semarah ini?”Mira tidak menjawab, hany

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 20 - Peringatan

    Setelah beberapa hari menjalani perawatan, akhirnya dokter mengizinkan Irene pulang. Keadaannya sudah jauh lebih baik, meskipun tubuhnya masih sedikit lelah.Sandra datang menjemputnya. Tidak ada pembicaraan berarti saat mereka berjalan menuju mobil, hanya sapaan singkat dari perawat yang mengantar mereka sampai di lobi.Begitu duduk di dalam mobil, Irene melirik Sandra sekilas. “Kenapa kamu yang jemput?”Sandra tetap menatap ke depan, menyalakan mesin mobil sebelum menjawab, “Kebetulan Sandra sedang senggang, jadi bisa jemput Mama.”Irene mendengus pelan, matanya menyipit. “Bram kemana?”“Mas Bram sedikit sibuk belakangan ini. Sandra tidak enak mau mengganggu, jadi Sandra lebih baik datang sendirian, Ma.”Irene terdiam. Apa yang Sandra katakan tak membuatnya terkejut, dia malah sudah menduga cepat lambat pasti terjadi. Jadi seperti ini sekarang? Bahkan untuk sekadar menjemput dirinya boleh pulang, Bram pun tidak peduli. Perjalanan menuju mansion terasa panjang dalam kesunyian. Iren

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 19 - Tinggal disisiku

    Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi detak jarum jam dan suara alat medis yang berdenyut pelan. Aroma khas rumah sakit masih tercium, bercampur dengan udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan.Sandra berdiri di depan pintu kamar rawat VIP, menatap gagangnya dengan perasaan bercampur aduk. Tangannya masih sedikit gemetar, bekas cengkeraman Bram masih terasa perih. Namun, bukan itu yang membuatnya ragu untuk masuk.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.”Suara itu terdengar lebih tegas dari yang ia bayangkan. Tidak terdengar lemah, bahkan masih membawa kesan berwibawa.Sandra mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk. Irene, Ibu mertuanya duduk di ranjang rumah sakit dengan punggung bersandar pada bantal. Meski wajahnya sedikit pucat, ia masih tampak menawan—rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, dan matanya yang tajam menatap Sandra dengan ekspresi sulit ditebak.“Selamat malam, Ma,” Sandra menyapa dengan su

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 18 - Jalang murahan

    Langit sore mulai meredup. Angin berembus lembut, membawa aroma khas rumah sakit yang samar-samar bercampur dengan wangi rumput basah.Di bangku taman rumah sakit, Sandra duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, bahunya naik turun pelan. Sesekali, ia menarik napas dalam, seolah berusaha menenangkan diri. Namun, matanya tetap sembab. Pipinya masih basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.Ia menyeka wajahnya dengan telapak tangan, lalu mengembuskan napas berat. Ia sudah berusaha menahan tangis, tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata untuk diabaikan.Tiba-tiba, selembar sapu tangan putih terulur ke arahnya.Sandra menoleh pelan. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan jas putih khas dokter. Tubuhnya tinggi tegap, dan sorot matanya hangat.“Saya boleh duduk?” tanyanya dengan suara tenang, sambil melirik bangku kosong di sebelah Sandra.Sandra terdiam sejenak sebelum akhirnya bergeser sedikit, memberikan ruang. “Silakan

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 17 - Bukan Pilihan

    Ruangan rumah sakit terasa sunyi. Suara detak mesin pemantau jantung terdengar pelan, berpadu dengan aroma antiseptik yang memenuhi udara. Irene perlahan membuka matanya, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemas.Bram yang sejak tadi duduk di kursi di samping tempat tidur langsung menegakkan punggungnya begitu melihat Irene sadar. Matanya menatap ibunya tanpa ekspresi yang jelas.“Ma…” suaranya dalam, tapi terdengar lega.Irene mengedarkan pandangannya ke sekitar sebelum menatap Bram dengan mata yang masih sedikit sayu. “Di mana ini?”“Rumah sakit,” jawab Bram singkat. “Mama pingsan tadi.”Irene mengembuskan napas perlahan, lalu melirik ke arah infus yang tertanam di punggung tangannya. “Hanya kecapekan,” gumamnya. “Seharusnya tidak perlu dibawa ke sini.”Bram menggeleng pelan. “Jangan keras kepala, Ma. Mama harus istirahat.”Irene tertawa kecil, meski wajahnya masih terlihat lelah. “Kamu berani bilang begitu ke Mama?” Tatapannya menajam. “Padahal kamu sendiri keras kepa

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 16 - Tidak pernah mencintainya

    Bram sudah rapi, mengenakan kemeja hitam yang tertata sempurna di tubuhnya. Lengan bajunya tergulung hingga siku, jam tangan berkilat di pergelangan tangannya. Ia berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap, siap pergi. Namun, begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti. Irene berdiri di sana, tangan bersedekap, menatapnya dengan dingin. “Jadi, mau ke mana?” suara Irene terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik. Bram tetap tenang. “Ada sedikit urusan masalah pekerjaan, Ma.” Irene tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. Ia menghela napas, menatap putranya seakan heran. “Kerja?” ulangnya, seolah mengejek. “Di saat jadwal kamu kosong, kamu masih bisa mengatakan mengenai pekerjaan? Mustahil Bram.” Bram menegang. Matanya menatap ibunya dengan hati-hati. Perasaannya mengatakan Irene seakan tahu sesuatu. Irene menggeleng pelan, seolah tidak habis pikir. “Mau ngapain? Mau bakti sosial?” ejeknya. Hening. Bram mencoba tetap tenang. “Mama bilang apa? Bram s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status