Sarah menghempaskan tangannya dengan kasar, tetapi cengkeraman di pergelangan tangannya justru semakin erat. "Lepaskan!" teriaknya marah. Dengan napas memburu, Sarah menoleh ke samping. Begitu melihat siapa yang menggenggam pergelangan tangannya, matanya langsung membulat kaget. Arnold. Suaminya sendiri! "Honey, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan wajah bingung. "Ini toilet perempuan!" Arnold tetap menatapnya tajam, tanpa sedikit pun melepas genggamannya. "Kau pergi terlalu lama, jadi aku menyusulmu." Nada suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan tersirat di dalamnya. Sebenarnya, bukan itu alasannya. Arnold tahu Sarah sengaja ke kamar mandi untuk mengikuti Emily. Karena itulah dia datang. Sarah mendengus, kemudian menatap Arnold dengan sorot mata memohon. "Lepaskan, Arnold! Istri keduamu ini menyakitiku! Aku harus membalasnya!" Sarah kembali berontak. Kali ini, pegangan Arnold sedikit melemah, hingga akhirnya terlepas. Dengan cepat,
Darah Sarah mendidih. Pasti ibu mertua sialan itu yang membelikannya. Sarah semakin kesal saat menyadari Arnold terus menerus mencuri pandang ke arah Emily. "Arnold, kau sudah tahu Emily ada di sini. Apa kau mau menginap di rumah Mama malam ini?" tanya Nyonya Ruby tiba-tiba. Mendengar pertanyaan itu, Sarah langsung tersentak. Jelas sekali ibu mertuanya ingin menyatukan kembali Arnold dan Emily. Bagaimana dengan aku? Apa dia akan menyuruhku pulang sendirian? Sarah harus mencari alasan agar Arnold tidak menginap di rumah ibunya bersama Emily. Dia segera membisikkan sesuatu di telinga suaminya. "Honey, bagaimana kalau kita kembali ke rumah?" Arnold menoleh sekilas. "Pestanya belum selesai, honey. Lagipula Mama meminta kita menginap. Bagaimana kalau kita menginap saja?" Tidak! Sarah menekan pikirannya yang berkecamuk. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Wajahnya mendadak berubah sendu. "Tapi aku tidak enak badan, kepalaku sakit setelah Emily menamparku tadi.
Arnold tetap diam, fokus pada setir kemudi, seolah tak mendengar pertanyaan Sarah. "Arnold!" seru Sarah dengan nada lebih tinggi. Arnold tersentak, lalu menoleh ke arah istrinya. "Ya, ada apa?" "Apa yang kalian bicarakan tadi? Aku melihatmu begitu serius berbicara dengan Emily!" Arnold menghela napas sebelum menjawab dengan santai, "Aku memintanya untuk kembali pulang ke rumah." Sarah terdiam sejenak, matanya melebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "APA?! Apa aku tidak salah dengar? Bukankah kau bilang akan menceraikannya?!" serunya penuh emosi. Hatinya membara saat mendengar suaminya meminta Emily kembali ke rumah mereka. "Arnold, pikirkan lagi! Bagaimana mungkin kau ingin membawanya kembali? Apa kau lupa bagaimana wanita itu menjual dirinya? Kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri!" Arnold menghela napas berat. "Bisa saja dia kekurangan uang, makanya dia melakukannya, tapi…" "Aku tidak mau! Aku tidak terima kalau kau akan membawanya
Sarah mengutuk mertuanya dalam hati. Dasar tua bangka! Awas saja kalau harta warisan sudah jatuh ke tangan Arnold. Aku akan membuat kalian menderita! Meski kesal, ia tetap memasang senyum terbaiknya. "Apa kau tidak ikut berbelanja, Emily?" tanyanya dengan suara lembut yang dibuat-buat. "Tidak, aku hanya melihat-lihat," jawab Emily datar. Ia memang tidak terlalu suka berbelanja barang-barang mewah. "Seharusnya kau ikut juga. Bukankah biasanya kau selalu menghabiskan uang suamimu?" sindir Sarah dengan tatapan menusuk. Nyonya Ruby menoleh ke arah Sarah dan Emily, tetapi lagi-lagi ia memilih mengabaikan ucapan Sarah. Tidak lama kemudian, pelayan datang membawa kue dan buah-buahan. "Kau seharusnya tidak perlu repot-repot, Sarah. Kalau aku menginginkannya, aku bisa meminta pelayan membelikannya untukku," kata Nyonya Ruby datar. "Sarah tidak merasa repot, Ma. Sungguh!" Suasana sempat hening sampai tiba-tiba suara ketukan sepatu pantofel bergema. Tak lama, Arnold muncul. "
Tatapan Arnold menunjukkan bahwa ia adalah pria yang dominan dan tak bisa dibantah. Namun, Emily yang sekarang bukanlah Emily yang dulu—yang hanya menerima perlakuan kasar Arnold tanpa melawan. Sarah dan Arnold pun meninggalkan kediaman William. Di perjalanan menuju rumah, Sarah memasang wajah sendu dan menatap Arnold dengan mata berkaca-kaca. "Sayang, bisakah kau menceraikan Emily?" tanyanya penuh harap. "Tentu saja tidak bisa! Kontrak yang ku tandatangani bersama Emily tidak bisa dilanggar!" Mendengar jawaban Arnold, Sarah mengepalkan tangannya. Bisa-bisanya Arnold menolak permintaannya kali ini! Padahal, Sarah tahu suaminya menikahi Emily hanya untuk menjadikannya ibu pengganti. Namun, semakin ke sini, sikap Arnold semakin berubah. Ia sering sekali menatap Emily, padahal dulu ia tampak cuek. Sarah hanya bisa menahan diri untuk saat ini. Tapi bukan Sarah namanya kalau tidak memikirkan cara untuk menjauhkan Arnold dari Emily. *** Keesokan harinya, Sarah kembali mengun
Arnold mengusap kedua pipi istrinya. Ia tampak sangat cemas. "Apa yang terjadi? Katakan padaku!" tanyanya dengan tidak sabar. "Emily! Emily pelakunya!" jawab Sarah sambil menangis sesenggukan. "Emily? Kau yakin dia yang melakukannya? Maksudku, bagaimana bisa?" "Kau meragukanku, Honey?" Sarah menatapnya tidak percaya. Arnold, yang selama ini selalu mempercayainya, kini justru meragukannya. "Tidak, bukan begitu. Aku tidak pernah meragukanmu, sungguh! Hanya saja, bagaimana bisa dia seberani itu?" "Aku juga tidak tahu. Dia bahkan mengataiku mandul!" Sarah kembali menangis semakin kencang. "Wanita seperti itu yang ingin kau bawa pulang ke rumah dan menjadi ibu dari anakmu? Aku takut nanti anakmu sifatnya akan sama seperti ibunya!" ucap Sarah sambil terisak. "Ceritakan padaku apa yang terjadi, semuanya dari awal!" pinta Arnold. "Kenapa? Kau masih meragukanku? Kalau kau tidak percaya padaku dan mengira aku berbohong, tanyakan saja kepada para pelayan di rumah mamamu! Mereka m
Nyonya Ruby menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak keruh oleh amarah. Sementara itu, di rumahnya, Arnold menatap ponselnya dengan dahi berkerut. Kenapa Mama terdengar begitu marah? pikirnya. Tanpa berpikir lama, ia mengambil kunci mobil dan bergegas menuju kediaman orang tuanya. Kebetulan sekali, ia juga ingin mengadukan perbuatan Emily kepada Mamanya agar wanita itu tidak lagi mendapat perlindungan. Mobil Arnold melaju dengan kecepatan tinggi, pikirannya dipenuhi bayangan Emily. Rasa frustrasi menyelimutinya. Wanita itu memang tidak tahu diuntung! gerutunya dalam hati. Setibanya di rumah orang tuanya, ia langsung turun dan masuk dengan tergesa-gesa. Di dalam, Nyonya Ruby sudah menunggunya di ruang keluarga. Wajahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah putranya. “Duduk!” titah Nyonya Ruby, suaranya penuh wibawa, tetapi tampak jelas bahwa ia menahan emosi. Arnold mengernyit. Apa Emily memutarbalikkan fakta dan menuduh Sarah melukain
Seorang wanita paruh baya dengan tubuh semampai menghampiri Emily, matanya yang tajam memperhatikan gadis itu yang tampak kebingungan. “Kau mencari siapa?” tanyanya ketika melihat Emily menengok ke sana kemari, wajahnya tampak cemas. Emily segera menoleh dan mengangguk sopan sebelum menjawab, “Saya mencari penjaga apartemen ini, Nyonya. Saya ingin menyewa unit.” Wanita itu mengamati Emily sejenak, lalu tersenyum tipis. “Ah, kau mau menyewa unit? Mari, mari ikut denganku!” ucapnya sembari berbalik dan berjalan menyusuri lorong. Emily mengikuti langkahnya dengan hati-hati. Apartemen ini memang terlihat tua, tetapi setidaknya bisa menjadi tempat berlindung sementara. Sesekali, ia melirik ke kanan dan kiri, mengamati dinding yang mulai kusam dan koridor yang agak gelap. Mereka berhenti di depan sebuah pintu yang sudah terbuka. Wanita itu melangkah masuk lebih dulu, lalu mempersilakan Emily masuk. “Silakan, ini kamar saya,” ucapnya sembari berjalan menuju sofa dan duduk dengan santai
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sally dan beberapa pelayan lainnya berdiri di depan pintu kamar sambil membawa nampan berisi makanan yang masih mengepulkan asap.Tok! Tok!Arnold yang sudah menunggu sejak tadi langsung berdiri dari duduknya dan membukakan pintu.“Susun di atas meja, Sally,” pintanya sambil tersenyum manis. Dua pelayan di belakang Sally melongo saking terpesonanya. Maklum, mereka jarang—atau bahkan belum pernah—berinteraksi langsung dengan Arnold sebelumnya.Sally menunduk sopan dan masuk, diikuti dua pelayan lainnya. Mereka dengan cekatan menyusun hidangan makan malam penuh warna dan aroma yang telah dipesan khusus oleh Arnold.Setelah selesai, Sally kembali menunduk dan berlalu keluar ruangan.Emily masih tertidur lelap. Ia bahkan tidak terusik oleh suara berisik dari piring-piring yang berbenturan dengan meja marmer.“Sayang, bangun,” bisik Arnold sambil mengusap lembut pundak istrinya dan mendaratkan kecupan di belakang kepalanya.Emily menggeliat pelan.
Emily menatap tajam ke arah Arnold, membuat pria itu salah tingkah. Ia cukup sadar diri dengan kesalahannya—datang bersama Yolanda.Namun, dalam sekejap, ekspresi Emily berubah. Senyum manis kini terulas di bibirnya. Ia segera berdiri dan menghampiri Arnold.Tanpa aba-aba, Emily langsung memeluk suaminya erat dan mengecup pipinya. "Aku sudah menunggumu sejak tadi," ucapnya, masih dengan senyum mengembang."Maaf aku terlambat. Tadi Papa datang ke kantor bersama Yolanda, dan saat hendak pulang, mobil Yolanda mogok," jelas Arnold sambil melingkarkan tangannya di pinggang Emily. Keduanya bertingkah seolah Yolanda tak ada di sana."Kenapa Yolanda tidak ikut Papa?" tanya Emily, melirik sekilas ke arah wanita yang masih berdiri di belakang Arnold."Sayangnya Papa sudah pulang lebih dulu," jawab Arnold.Emily mengangguk. "Tak apa. Bagaimana kalau kita pergi sekarang?""Ehem!" Yolanda berdehem demi mendapatkan perhatian."Aku ingin mencoba masakanmu, Emily. Arnold bilang kau pandai memasak!""
Arnold menoleh sejenak ke arah Emily yang tampak sibuk dengan laptopnya.Maaf, Emily belum bisa kumiliki sepenuhnya. Bagaimana bisa dia meninggalkannya begitu saja? Tapi melihat Emily yang tampak acuh padanya, Arnold kembali berpikir untuk menjauh sementara waktu, seperti permintaan Emily barusan.“Suruh dia tunggu, aku akan segera ke kantor!”Ia menutup teleponnya, lalu menghampiri Emily.“Sayang, aku pergi dulu. Aku akan kembali saat jam makan siang. Kamu sarapan dulu, nanti sakit.”Arnold mengecup puncak kepala Emily dan mengusap pipinya sebelum beranjak pergi.Setelah kepergian Arnold, Emily menutup laptopnya dan menatap langit-langit. Dia tidak rela Arnold pergi menemui Yolanda. Namun, dia juga tidak bisa melarangnya.“Kenapa perasaanku tidak enak? Yolanda sepertinya menyukai Arnold…”Emily bangkit dari duduknya dan bergegas keluar, berharap Arnold belum pergi.Saat Emily keluar dari pintu belakang, mobil yang dikendarai Arnold tampak mundur perlahan.Arnold, yang melihat Emily b
"Untuk apa meminta maaf?" tanya Emily datar. Ia memejamkan mata, bahkan tidak sudi membalas pelukan suaminya."Aku salah. Aku minta maaf karena memberikan kacamata Sarah kepadamu.""Sudah berapa lama kau bercerai dengannya?" tanya Emily lagi.Arnold mengerutkan kening, tampak bingung dengan pertanyaan itu."Jawab!" desak Emily tak sabar."Kurang lebih setahun."Arnold hanya mengira-ngira. Ia tidak ingat persis—atau lebih tepatnya, tidak ingin mengingatnya."Kau masih mencintainya?"Arnold cepat-cepat menggeleng. "Aku hanya mencintaimu, sungguh!""Lalu kenapa kau masih menyimpan barang-barangnya, kalau sudah tidak mencintainya?!"Emily mendorong tubuh Arnold hingga pelukannya terlepas, lalu kembali menuju mobil."Sayang, tunggu!"Arnold mengejar Emily yang sudah membuka pintu mobil. Emily segera masuk dan membanting pintu. Terpaksa, Arnold ikut masuk karena Emily benar-benar dalam suasana hati buruk."Kau mau kita pulang ke rumah?""Mm," jawabnya singkat.Arnold melajukan mobil, mening
Yolanda bergidik ngeri saat membayangkan kejadian terakhir ketika ia tanpa sengaja memakan seafood. Seluruh tubuhnya gatal dan muncul ruam kemerahan; ia bahkan kesulitan bernapas waktu itu.Yolanda menggeleng lalu berpamitan pergi ke kamar kecil."Sayang, malam ini menginap di rumah Mama lagi, ya. Kerabat Papa dan Mama akan pulang besok, jadi masih ada satu malam lagi untuk kita berkumpul di rumah," ucap Nyonya Ruby.Emily mengangguk, meskipun sebenarnya ia merasa tidak nyaman bersama Tante Mandy dan Yolanda. Namun, karena mereka tidak sering datang ke London, Emily berusaha bersabar.Lima belas menit berlalu. Tiga orang pelayan datang membawa troli berisi makanan dan dengan sigap menyusunnya di atas meja.“Kemana Yolanda? Kenapa dia belum juga datang?” tanya Nyonya Ruby, menoleh ke arah toilet.Tak lama kemudian, Yolanda muncul dengan langkah gontai.“Yolanda, kau kenapa? Apa kau sakit?” tanya Nyonya Ruby cemas.“Perut Yola sakit, Tante. Bolehkah Yola pulang duluan?” rengeknya dengan
Tidak ingin berdebat, Emily memilih untuk mengabaikan perkataan Yolanda dan tetap bersikap baik padanya.“Terima kasih sudah mengingatkanku, Adik Ipar,” ucap Emily sambil mengulas senyum manis, lalu menutup pintu kamarnya.Yolanda hendak membuka kembali pintu kamar, namun Emily sudah keburu menguncinya.“Kau!” geram Yolanda, lalu menendang pintu hingga membuatnya memekik kesakitan.“Aww... wanita sialan. Awas saja kau!”Dengan emosi yang tertahan, Yolanda kembali ke kamarnya sambil terpincang-pincang karena jempol kakinya bengkak.“Berani sekali dia mengabaikanku! Awas kau, Emily!” geramnya sembari membanting pintu kamar.Sementara itu, di kamarnya, Emily bergegas membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket, aroma percintaan semalam bahkan masih tercium samar.Emily mengendus pundaknya, wangi maskulin dari parfum Arnold masih menempel di kulitnya. Sesaat ia memejamkan mata sambil menghirup aromanya. Benaknya kembali dipenuhi slide demi slide adegan panas mereka semalam. Sentuhan Arnold
Arnold menoleh ke belakang. Dilihatnya Yolanda berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur super tipis, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Lampu kamarmu mati?" tanyanya sambil menatap lurus ke arah wajah Yolanda. Arnold menghindari melihat ke bawah karena, bagaimanapun juga, dia laki-laki normal. Yolanda mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan menghubungi kepala pelayan untuk mengganti bohlamnya. Masuklah ke kamar dan ganti pakaianmu!" Arnold berbalik dan meninggalkan Yolanda begitu saja, membuat wanita itu gusar setengah mati. Dia sudah berpenampilan semenarik mungkin, namun Arnold malah mengabaikannya. "Aku rasa tubuhku jauh lebih bagus dari Emily. Kau bergegas pergi karena tidak tahan melihat tubuhku yang indah ini, bukan?" gumamnya pelan sambil menatap punggung lebar Arnold yang semakin menjauh. Yolanda tersenyum miring. Awal yang bagus, batinnya. Ia pun masuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arnold mempercepat langkah. Ia tidak ingin berlama-lama di luar, takut istrinya ke
Semua mata menoleh ke arah asal suara. Arnold berdiri dengan wajah memerah, kedua tangannya terkepal sempurna di sisi tubuhnya. “Arnold!” Wajah Mandy mendadak pucat, begitu pula Yolanda. Ia langsung mencubit pinggang mamanya saking takutnya. “Jangan asal bicara kalau tidak tahu apa-apa!” Suara Arnold terdengar berat dan serak, rahangnya mengeras. “Coba katakan sekali lagi, Tante bilang apa?” tanyanya pelan namun penuh penekanan. Arnold berjalan menuju tempat Emily berada. Tatapannya tajam, siap mencabik siapa pun yang berani mengatai istrinya. “Kamu salah paham, Arnold. Tante tidak bermaksud seperti itu!” Suara Mandy bergetar. Walaupun masih muda dan hanya keponakan, Arnold sangat disegani oleh om dan tantenya. “Arnold tidak tuli, Tante!” Emily menggeleng pelan. Ia tidak ingin pesta kejutan ulang tahun Arnold diwarnai perdebatan antara tante dan keponakan—terlebih penyebabnya adalah dirinya. “Tante bisa jelaskan!” “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku harap Tante mau memint
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.