Emily sadar bahwa dirinya hanyalah istri kedua dari Arnold, pria yang sudah lama ia cintai. Hanya saja, ia begitu pedih karena setiap malam Arnold menjadikannya boneka pemuas dan mesin pencetak ahli warisnya. Hingga kejadian tak terduga antara Emily dan CEO itu membuat semuanya berubah.... Kejadian apakah itu? Mampukah Emily bertahan dan melanjutkan pernikahannya? Di sisi lain, bagaimana perasaan Arnold sebenarnya?
View More“Aku sudah membelimu, jadi lahirkan anak laki-laki untukku.”
Diangkatnya dagu Emily dan ditatapnya mata sayu yang tampak berkaca-kaca tersebut. Dengan sekali sentak Arnold merobek gaun tidur tipis yang dikenakan Emily. Sorot matanya berkabut tatkala melihat tubuh polos tanpa cela di hadapannya. Kulit Emily yang putih seputih susu menggugah Arnold untuk melabuhkan jemarinya, halus dan hangat hingga membuat Arnold tak kuasa membendung hasratnya yang menggelora. Ditelannya salivanya, atensi Arnold kini sepenuhnya tercurah pada keindahan tubuh mungil Emily yang memiliki lekuk yang sangat indah. Ukuran dadanya yang di atas rata-rata membuat keindahan itu semakin sempurna. Ditambah lagi hidungnya lancip dengan bibir penuh berwarna pink menggoda. Arnold akhirnya mengungkung tubuh Emily di bawahnya. Seringaian terbit di wajah tampannya. "Buka pahamu!" titahnya dengan mata berkabut. Emily masih bergeming, dia menutup rapat kedua kakinya dan menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Semua yang dikenakannya sudah terlepas akibat perbuatan Arnold, laki-laki yang baru saja menikahinya tadi siang. Emily baru saja menjadi madu dari Arnold Edgar William. CEO Maurer Corp itu adalah pemimpin perusahaan kontraktor terbesar di London. Wajah tampannya selalu menghiasi cover majalah bisnis dan namanya berada di urutan pertama sebagai CEO paling berpengaruh di Inggris. Sayangnya, ayah Emily membuat kesalahan fatal pada proyek pembangunan jembatan yang ditangani Arnold, hingga mengalami kerugian yang besar. Pria tua kesayangan Emily itu terancam dipenjarakan kalau tidak bisa mengganti rugi. Emily jelas putus asa karena ayahnya pasti masuk penjara. Namun saat mereka menemui jalan buntu, Nyonya Ruby, ibu dari Arnold yang mengetahui masalah tersebut, menawarkan sejumlah uang kepada orang tua Emily dengan syarat menyerahkan putrinya untuk menjadi istri kedua dari Arnold. Bukan tanpa alasan, Arnold sendiri sudah memiliki istri tapi belum kunjung mempunyai keturunan, sedangkan Arnold adalah anak semata wayang. Nyonya Ruby yang sudah tidak sabar ingin menimang cucu, menawarkan Emily kepada Arnold untuk menjadi istri keduanya, hanya untuk melahirkan pewaris. Karena cintanya yang begitu besar kepada Sarah, istrinya, Arnold menolak keras tawaran ibunya. Namun, sang ibu mengancam akan menghapusnya dari daftar waris apabila tidak mau menikahi Emily. "Berhenti menangis!" Arnold mencengkeram rahang rapuh Emily dan melumat bibirnya. Arnold sudah dikuasai hasratnya sejak melihat Emily yang keluar dari kamar mandi dengan gaun tidur tipis. Berkali-kali Arnold menelan salivanya, tetapi setelah tubuh polosnya berhasil bersentuhan dengan Emily, kelaki-lakiannya semakin memberontak. Arnold seperti dibutakan dengan gairahnya. "Bukankah kau sudah biasa melakukannya, hm?" Cibirnya setelah melepaskan tautan bibirnya. Arnold menarik kedua tangan Emily lalu menahannya di atas kepala, Emily tidak berontak. Arnold adalah suaminya dan Emily mencintainya jauh sebelum pernikahan dengan kesepakatan ini terjadi. Namun hinaan tidak berdasar yang Arnold ucapkan sungguh melukai perasaannya. Emily meringis menahan sakit ketika Arnold melesakkan inti tubuhnya di bawah sana. Arnold yang merasa kesulitan menghentikan sesaat aktivitasnya. Ditatapnya wajah Emily yang basah karena keringat dan air mata. "Pertama kali?" tanyanya dengan suara seraknya. Emily tidak menjawab, Arnold pasti tahu tanpa harus bertanya. Seringaian kembali terbit di wajahnya. Arnold mengentak keras, hingga membuat Emily meloloskan teriakan dari bibir mungilnya. Dengan cepat Arnold menyambar bibir Emily untuk membungkam suaranya. Setelah puas dengan bibirnya, Arnold mengayunkan tubuhnya bergerak cepat. “Arnold, bisakah kau--” Emily ingin meminta keringanan, setidaknya memohon agar Arnold melakukannya dengan perlahan. Tetapi, Emily tak punya kesempatan untuk mengutarakannya karena Arnold telah menguasai tubuhnya. Semakin Emily kesakitan, semakin liar gerakannya. Ini adalah harga yang pantas untuk uang yang mereka berikan kepada orang tua Emily. Arnold mempercepat temponya saat merasakan gelombang kenikmatan itu siap meledak. Bibirnya bergerak lincah di puncak dada Emily, menggigit dan merematnya kuat. “Arnold, aku belum pernah melakukan ini. Kumohon--” Alih-alih menjawab, Arnold dengan napas memburunya terus memacu gerakannya. Emily kembali meringis, tidak ada sedikit pun kelembutan yang didapatnya dari Arnold. Tapi di bagian terdalam dari sudut hatinya, Emily tidak mempermasalahkan perlakuan kasar Arnold padanya, Emily mencintainya dan Emily bahagia bisa menikah dengan laki-laki pujaan hatinya walaupun hanya sebagai istri kedua. Hingga saat pelepasan itu didapatkan Arnold, dijatuhkannya dirinya di samping Emily, sesaat Arnold tersenyum puas. Emily terasa berbeda, mungkin karena dia masih perawan. Tapi itu tidak ada artinya di mata Arnold. Emily tetaplah wanita murahan yang menjual tubuhnya demi uang. "Tidak sia-sia aku membayarmu mahal, kalau saja ibuku tidak mengancamku, aku tidak akan pernah mau menyentuhmu!" Arnold menarik tubuhnya dan melenggang ke dalam kamar mandi, meninggalkan Emily yang terisak menahan perih. Bukan hanya tubuhnya yang merasakan sakit akibat perbuatan kasar Arnold, tapi hatinya jauh lebih sakit akibat hinaan dari laki-laki yang dicintainya sepenuh hati tersebut. Keesokan paginya. Emily masih meringkuk di ranjangnya. Tubuhnya sangat lelah, terutama bagian intinya. Semalam, Arnold benar-benar tidak melepaskannya. Arnold terus melakukannya sampai pagi, dan membuatnya sangat kelelahan. Dengan mata mengantuk, Emily menarik selimut menutupi tubuhnya. Dia bisa mendengar langkah kaki Arnold keluar dari kamar mandi. Aroma sabun menguar, tetapi anehnya itu membuat Emily semakin mengantuk dan matanya terpejam. Ketika dia membuka matanya lagi, Emily bisa mendengar suara pintu terbuka. Mungkin Arnold sudah meninggalkan ruangan, tapi Emily tak bisa berbuat apa-apa, ia tak berdaya, dan ditutupnya matanya kembali sambil mengencangkan selimut. Tak berselang lama, selimut itu tersentak. Emily menggigil karena tubuh polosnya itu tidak tertutupi oleh apa pun. Sebelum dia bisa membuka matanya, seseorang berkata, “Enak sekali pagi-pagi masih tidur nyenyak!” Sontak Emily membuka matanya, tubuhnya menegang. Sampai akhirnya. “Aakkhh…” teriak Emily terkesiap. Air dingin menerpa tubuhnya, membasahi tubuh polosnya hingga basah kuyup!Emily lebih banyak diam setelah tahu dirinya kembali hamil. Pikirannya bercampur aduk, tubuhnya pun terasa lebih cepat lelah dari biasanya. Yang membuat hatinya makin sedih, Cassie menolak minum ASI langsung darinya. Setiap kali didekatkan, Cassie hanya merengek, lalu menepis lembut seolah enggan.Demi kebaikan Cassie dan juga Emily, Nyonya Ruby akhirnya memberikan saran."Lebih baik Cassie diberi susu formula saja, Em. Dengan begitu lebih mudah juga untuk babysitter nanti membantu merawat Cassie. Apalagi trimester pertama kehamilanmu pasti berat."Nada suara Nyonya Ruby lembut, penuh pertimbangan.Emily hanya mengangguk lemah. Ia tahu mertuanya benar, meski tetap saja ada perasaan bersalah dalam hatinya karena tak bisa lagi memberi ASI langsung."Ma, Emily mau istirahat dulu," ucap Emily lirih setelah selesai makan malam. Tubuhnya sudah benar-benar lelah."Istirahatlah, Nak. Cassie biar Mama yang jaga malam ini," jawab Nyonya Ruby dengan penuh kasih.Malam itu, Nyonya Ruby memutuskan
"itu, ini maksudnya buat Cassie. Kan Cassie masih makan darimu, masih minum ASI-mu, jadi secara tidak langsung vitamin itu juga masuk ke dalam tubuh Cassie."Nada suara Nyonya Ruby lembut, penuh perhatian seperti biasa.Emily menganggukkan kepalanya pelan. Ia tahu betul, wanita paruh baya itu memang selalu begitu. Sejak dulu, sejak kehamilan pertamanya yang berakhir dengan kehilangan, Nyonya Ruby tidak pernah berhenti memperhatikannya. Hampir setiap bulan membawakan vitamin, suplemen, bahkan makanan bergizi, seolah ingin memastikan menantunya tidak kekurangan apa pun."lihat, cucuku kehausan. Beri ASI dulu," ucap Nyonya Ruby sambil menyodorkan Cassie kecil yang merengek.Emily segera menyambut bayinya. Dengan hati-hati ia menyusui Cassie. Tangisan mungil itu perlahan mereda, berganti dengan suara isapan kecil yang tenang. Emily tersenyum samar, perasaan lelahnya sedikit terobati setiap kali melihat wajah polos putrinya.Setelah Cassie tertidur dengan kenyang, Nyonya Ruby kembali menga
Arnold keluar dari kamar dengan langkah terburu, perasaannya campur aduk, di sisi lain ia takut, tapi sisi lainnya Arnold juga bahagia. Ia segera mengambil ponsel dari meja ruang tamu, menekan nomor ibunya, lalu menempelkan ponsel ke telinga.“Mama, Emily… dia hamil lagi,” ucap Arnold pelan, nadanya terdengar hati-hati. Selain ingin memberi kabar, ia juga bermaksud bertanya bagaimana cara merawat istri yang sedang hamil dalam kondisi masih menyusui.Namun, belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, panggilan tiba-tiba terputus begitu saja. Arnold menatap layar ponsel dengan dahi berkerut.“Mama ini suka seenaknya,” desahnya pelan, menghela napas panjang.Ia pun kembali melangkah ke kamarnya. Saat masuk, pandangannya menyapu sofa kosong—Emily tidak ada di sana. Hatinya langsung berdesir cemas. Arnold bergegas menuju kamar mandi, mengetuk pintu dengan sedikit panik.Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Emily keluar dengan wajah pucat pasi, matanya sayu seakan menahan rasa lelah luar biasa.
Emily mengangguk pelan, bibirnya mengulas senyum tipis. "Ayo kita makan sekarang," ajaknya lembut sambil menggenggam tangan Arnold dan menariknya keluar dari kamar. Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan yang tampak hangat oleh cahaya lampu gantung berwarna kekuningan. Sesampainya di meja makan, Emily hendak menarik kursi untuk dirinya sendiri, namun Arnold segera bergegas mendahuluinya. Ia dengan cekatan menarik kursi itu dan menuntun Emily untuk duduk. Tidak hanya itu, ia juga mengambilkan sendok dan garpu, lalu menyendokkan makanan ke piring istrinya. Gerakan sederhana itu membuat Emily terdiam sejenak, matanya berkedip tak percaya. "Aku masih bisa mengambil sendiri, sayang," ujarnya dengan nada tersipu, pipinya bersemu merah karena sikap manis Arnold yang jarang ia lihat sebelumnya. Arnold tersenyum hangat, menatapnya penuh perhatian. "Tidak apa-apa. Sesekali aku melayanimu. Lagi pula kau baru keluar dari rumah sakit," katanya tulus. Ia lalu duduk di kursinya sete
"Hamil? Tidak, aku belum siap. Kasihan Cassie." Emily mengusap wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Hatinya terasa sesak, antara bahagia sekaligus takut. Ia masih sering merasa kewalahan hanya dengan satu bayi kecil di rumah. Arnold tidak lagi bertanya. Ia memahami betul kegelisahan istrinya. Satu anak saja sudah membuat Emily begadang hampir setiap malam, apalagi jika benar ada satu lagi yang akan lahir. Bukannya mereka tidak mampu mencari bantuan atau menyewa babysitter, tetapi Emily selalu bersikeras ingin merawat Cassie dengan tangannya sendiri. Dia memang tidak bisa percaya pada orang lain. Hanya Sally—sahabatnya yang baik dan penyayang—yang bisa diberinya kepercayaan untuk sesekali menjaga Cassie. Selain itu, Emily menutup rapat pintu hatinya pada kemungkinan menitipkan buah hati mereka pada orang lain. "Tapi kalau ternyata hamil lagi, apakah kamu akan menggugurkannya?" suara Arnold lirih, seakan ragu mengucapkannya. Emily menoleh cepat, sorot matanya tegas. "Tentu
"Sayang," panggil Emily dengan suara lemah.Arnold menggeliat perlahan, matanya masih berat tertutup kantuk. Ia bangkit dari posisi tertunduk di samping tempat tidur dan duduk menyandar ke kursi. "Sayang, haus," lirih Emily lagi.Arnold segera berdiri. Dengan langkah pelan ia mengambil air dari teko di meja kecil. Segelas air putih ia tuangkan, lalu mendekat dan membantu Emily meminumnya perlahan. Emily meminum habis segelas itu dalam beberapa tegukan.Setelah meletakkan gelas kembali ke meja, Arnold langsung memeluk istrinya erat-erat. Ada rasa syukur dalam pelukannya, karena kini ia bisa merasakan kehangatan tubuh Emily yang kembali sadarkan diri."Apa yang kau rasakan? Apa kau masih sakit?" tanyanya pelan, sambil mengusap punggung Emily dengan lembut.Emily menggeleng, "Sudah tidak lagi. Apa tadi malam aku pingsan?""Iya, kau pingsan hingga membuatku takut setengah mati."Mata Emily membesar. "Di mana Cassie? Apa dia di rumah? Sayang cepat hubungi Sally. Aku ingin melihat putriku."
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments