“SUSTER YATI!” Chalia melonjak dari kursinya, berlutut di sisi perawat itu.Perawat jaga berlari masuk saat mendengar suara benturan.“Kode biru! Cepat!” seru Chalia.Mereka bekerja cepat. Dalam waktu dua menit, tim medis mulai menangani Yati yang kini tak sadarkan diri. Napasnya tak teratur, irama jantungnya memburuk.Chalia berdiri di pojok ruangan, menatap kosong, napasnya naik-turun.Serangan jantung? Tapi Suster Yati jarang sakit …. Dia menoleh perlahan pada cangkir teh yang kini terguling di meja. Cairan cokelat keemasan itu menyebar ke permukaan meja. Harumnya masih tercium.Teh itu …. Mungkinkah teh itu?Dia menggigit bibir.Bukan... bukan itu penyebabnya. Tapi—Tiba-tiba dia teringat. Teh itu bukan dari pantry umum. Itu milik pribadi Janu, yang dia simpan di lemari kecil sejak minggu lalu. Teh earl grey kemasan Inggris, jenis yang tidak dijual di minimarket biasa.Kenapa Janu tidak pernah meminumnya akhir-akhir ini, ya? Pikiran itu hanya sekilas. Lalu dia menggeleng.“Jangan
Pagi itu lorong lantai tiga masih sepi. Hanya beberapa perawat mondar-mandir membawa troli obat. Rindu berdiri di dekat nurse station, mencatat sesuatu di clipboard kecil, sesekali melirik ke arah pintu kamar 306.Tak lama kemudian, dr. Galang muncul dari lift. Pria paruh baya dengan tubuh tegap dan langkah cepat. Rindu segera menyapanya dengan sopan.“Pagi, Dok. Saya Rindu, koas dari angkatan baru. Saya diminta bantu observasi pasien kamar 306.”Galang berhenti sejenak. Keningnya berkerut tipis. “Pasien kamar 306?”“Iya, Dok. Katanya kasusnya unik dan bisa jadi pengalaman belajar yang bagus untuk saya.”dr. Galang menatapnya dengan tatapan tak langsung percaya. “Siapa yang menyuruhmu?”“Dokter Janu. Beliau tidak jelaskan banyak. Hanya meminta saya mengikuti Bapak hari ini dan fokus pada pasien itu.”Galang menghela napas pendek, lalu menatap langsung ke matanya.“Pasien itu bukan untuk observasi umum. Kondisinya masih fluktuatif dan dia minta privasi total. Tidak semua staf boleh mas
Cahaya dari layar ponsel memantul di wajah Nora saat malam turun perlahan di luar jendela kamar 306. Langit mendung. Rumah sakit mulai sepi. Mesin infus berdetak halus di samping ranjang, menyatu dengan suara langkah yang sesekali terdengar dari lorong.Nora duduk bersandar, ponsel di tangannya. Otaknya mulai bekerja. Dia sadar tak bisa menghindar sepenuhnya dari Janu. Nora harus membuat kesan jika dia bukan sedang mengawasi, tapi sedang kritis.Nora membuka jendela pesan pribadi dan mengetik pelan.“Maaf, Mas… Aku tahu kamu sudah datang. Perawat tadi cerita. Tapi aku benar-benar belum sanggup bertemu siapa pun.Badanku masih lemas, mual makin parah. Rasanya seperti tubuhku perlahan-lahan tidak lagi milikku.Aku cuma ingin bilang… aku minta maaf. Untuk semuanya.Kalau selama ini aku keras kepala. Kalau aku pernah menyakitimu. Kalau aku tidak cukup jadi istri yang baik.Tapi tolong, jangan datang dulu.Aku takut. Bukan pada kamu… tapi pada kondisiku sendiri. Takut kamu lihat aku makin
Langkah kaki Janu tergesa menyusuri lorong IGD, jas praktik masih setengah terlepas dari bahunya. Pandangan orang-orang di sekitarnya hanya lewat sejenak di pinggir matanya. Dia tidak datang sebagai dokter malam itu, tapi sebagai suami. Setidaknya, di mata siapa pun yang melihat.Saat sampai di ruang triase, seorang perawat muda langsung menyapanya.“Dokter Janu?”“Iya. Saya suami dari pasien atas nama Nora Lituhayu. Tadi saya diberi kabar di ruang praktik bahwa dia dalam kondisi kritis. Di mana dia sekarang?”Perawat itu tampak canggung. Dia membuka data di tablet kecil yang digenggamnya.“Ibu Nora sudah dipindahkan, Dok. Baru beberapa menit lalu. Ke ruang rawat inap privat.”“Privat?” Dahi Janu mengerut. “Kenapa tidak diberi tahu ke saya langsung?”“Maaf, Dok. Itu permintaan pasien.”Perawat itu tampak tidak nyaman saat melanjutkan, “Pasien meminta agar tidak menerima kunjungan siapa pun untuk sementara waktu.”Janu mengerutkan dahi lebih dalam. “Termasuk saya?”“Ya, Dok. Termasuk s
Janu menahan napas, menatap pintu dengan frustrasi. Chalia buru-buru merapikan blouse-nya.Seorang perawat muda mengintip dari balik daun pintu.“Dokter... maaf... barusan ada kabar dari IGD.”Wajah perawat itu tegang.“Istri Dokter Janu... Ibu Nora. Kondisinya kritis. Dia datang sendiri dan sekarang sedang ditangani tim gawat darurat. Kata dokter jaga, keadaannya bisa memburuk kapan saja.”Sejenak, ruang praktik terasa hening. Detik menggantung di udara.Janu berdiri diam. Matanya menatap si perawat dengan ekspresi kosong. Lalu perlahan seolah baru menyadari arti kabar itu, ia menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam kepala.“Ya Tuhan ….”Suara itu pelan, serak, seperti dari seseorang yang sedang dihantam kesedihan besar.Chalia memegang lengannya. “Janu.”“Aku harus ke sana,” gumamnya.Matanya berkaca-kaca. Tapi dalam hatinya ada ledakan kecil dari kepuasan yang keji.Akhirnya. Ini dia. Kau berhasil, Janu!Dia mengangguk sekali ke arah perawat, lalu melangkah cepat ke luar ruanga
Seorang dokter muda masuk dengan clipboard di tangan. Wajahnya masih segar meski kantung mata menandakan shift panjang. Namanya tertulis di ID card, dr. Galang Nurdiansyah, residen penyakit dalam.Dia melirik layar monitor vital signs Nora, lalu kembali menatap pasien yang pucat dan terbaring lemas.Tensi rendah. Nadi cepat. Suhu 38,7°C. Data itu membuat alisnya mengernyit.“Ibu Nora?” sapanya sambil mendekat.Nora mengangguk pelan.“Apakah Ibu mengkonsumsi obat tertentu dalam beberapa hari ini?”“Hanya suplemen minyak ikan,” jawab Nora dengan suara lemah, “dan mungkin susu. Tidak ada yang aneh. Tapi saya punya firasat. Ini bukan sakit biasa.”Dia menatap dokter itu, dalam-dalam. Mata yang sedikit berkaca, bukan karena benar-benar kesakitan. Tapi karena Nora tahu bagaimana cara bermain dalam ruang seperti ini. Bagaimana membangun empati dari profesional muda yang belum kebal terhadap cerita.Dr. Galang mencatat sesuatu di berkasnya, lalu bertanya hati-hati. “Ada kemungkinan Ibu kerac