Hari pertunangannya hancur berantakan ketika Audrey Ginnifer memergoki tunangannya bercinta dengan wanita lain. Terluka dan mabuk, Audrey menyerahkan dirinya pada seorang pria asing berwajah dingin yang membuatnya lupa segalanya. Ia mengira itu hanya pelarian satu malam, tapi pria itu justru kembali, menuntut tubuh dan hatinya tanpa pernah melepaskan. Dialah Denzel Shaquille—pria yang membuat Audrey candu dengan sentuhannya, sekaligus ayah dari mantan tunangannya sendiri. Terjebak dalam pelukan penuh gairah calon mertuanya, Audrey harus memilih.. Kembali pada hidup yang hancur, atau bertahan dalam cinta terlarang yang membakar, meski itu berarti menghancurkan segalanya..
View More“Ah…”
Suara perempuan itu bergetar tertahan di sela napasnya, “Jangan terlalu keras.” “Mmhh… jangan di sini…” ujarnya mendorong dada bidangnya dengan gemetar. “Kalau ada yang lihat—” “Tidak akan ada yang melihat,” potong Aiden cepat, tatapannya membakar. “Kamar mandi ini masih tertutup. Aku sudah menahan diri seharian.” Lengan kokohnya melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat, seakan takut ia terlepas. “Tapi… sebentar lagi pertunanganmu..” bisiknya nyaris tak terdengar. Aiden menahan napasnya, lalu dengan lirih penuh hasrat berkata, “Kalau begitu, kita lanjutkan nanti.” Wajah perempuan itu menegang, bibirnya bergetar. “Bagaimana dengan Audrey…?” Tatapan Aiden mengeras, dalam dan tajam. “Jangan sampai dia tahu.” Gaun putih gading itu masih melekat di tubuh Audrey saat ia membuka pintu kamar mandi hotel. Detik berikutnya, dunianya runtuh. Calon tunangannya—laki-laki yang beberapa jam lagi akan melingkarkan cincin di jarinya—tengah menindih perempuan lain. Perempuan itu bukan orang asing. Atasan kantornya sendiri, wanita yang selalu menepuk bahunya tiap kali lembur. Darahnya beku. Tenggorokannya kering. Audrey hanya mampu berdiri, menatap tubuh yang berjerit nikmat, seakan seluruh janji yang pernah diucapkan padanya hanyalah lelucon murahan. Ia mundur tergesa, tumit sepatunya beradu lantai marmer, lalu berlari. Air mata tumpah, menghapus riasan sempurna yang baru saja dipoleskan perias. Beberapa gelas alkohol kemudian, Audrey sudah tidak peduli pada pesta pertunangan yang tinggal hitungan menit. Bar hotel menjadi pelariannya. Ia meneguk minuman hingga kepalanya ringan, hingga hatinya sedikit tumpul. Rasa sakitnya tetap ada, tapi kini bercampur dengan keberanian bodoh yang tidak biasanya. Langkahnya oleng saat meninggalkan bar. Ia menubruk dinding koridor, hampir jatuh, ketika sebuah tangan kuat meraih lengannya. “Hat-hati,” suara berat itu menahan. Audrey mendongak. Matanya kabur oleh air mata dan alkohol, tapi sosok di depannya membuatnya membeku. Pria dewasa dengan wajah tegas, tatapan dingin yang entah kenapa terasa hangat untuknya. “Aku… aku baik-baik saja,” katanya terbata. Tangannya tetap menahan di pinggang Audrey, membuat gadis itu mendengus frustrasi tapi tak sanggup mendorong. “Jangan buru-buru. Ballroom ini masih luas untukmu bebas.” Ia tertawa getir, suaranya serak. “Hari ini aku seharusnya bertunangan.” Pria itu mengerutkan alis, namun tidak menyela. Ia hanya menunggu. “Dan aku mendapati dia… calon suamiku… bercinta dengan bosku sendiri di kamar mandi hotel ini.” Suaranya pecah. Mata Audrey kembali panas. “Lucu sekali.” Sunyi sesaat. Mungkin laki-laki itu enggan menyahut perempuan patah hati. Jadi dia hanya menatapnya datar. Ia menoleh, menatap wajah di dekatnya. Ada garis tegas di rahang, ada mata dalam yang terasa berbeda dari laki-laki seumurannya. Alkohol membuatnya berani. “Kamu ganteng…” “Tapi…” ada jeda sebentar. “Kamu mirip calon tunanganku. Tapi masih kerenan kamu.” Degup jantung Audrey kian liar. Kata-kata itu, sikap itu, semuanya seperti cambuk yang memecahkan dinding pertahanannya. Tubuhnya condong tanpa sadar. “Kamu mau tidur samaku nggak?” suaranya lirih, hampir seperti permohonan. Ia tidak menjawab, hanya membiarkan Audrey merebah di bahunya. Hangat tubuhnya menyelimuti, aroma maskulin yang samar menusuk ke indera. Alkohol berputar di kepalanya, membuat imajinasinya kian tak terkendali. Ia membayangkan bagaimana rasanya jika pria ini yang menggantikan, pria asing yang bahkan lebih membuatnya merasa aman ketimbang tunangannya sendiri. Kalimat itu bagai api kecil yang menyulut. Tanpa sadar Audrey menggenggam lengan kemeja pria itu lebih erat, mendekatkan tubuhnya. Dadanya bergemuruh. Pipinya panas. Ia tahu ini salah, tapi rasa sakit bercampur mabuk membuatnya ingin melupakan segalanya. “Kalau… aku minta kamu tidur denganku, apa kamu mau?” suaranya bergetar, nyaris seperti rayuan. Pria itu menatapnya lama. Rahangnya mengeras, namun ia tetap tidak melepaskan pegangan. Napasnya memburu. Jarak wajah mereka hanya tinggal beberapa jengkal. Ia menutup mata sejenak, seolah menunggu sesuatu yang terlarang terjadi. Namun yang ada hanya genggaman di pinggangnya yang tetap kokoh, menahan agar ia tidak terjatuh. Tidak lebih. Audrey menatap mata pria asing itu lebih lama dari seharusnya. Alkohol masih berputar di kepalanya, tapi keinginan liar yang menyeruak begitu nyata. Nafasnya terengah, tubuhnya condong tanpa ia sadari. Bibirnya nyaris menyentuh rahang keras pria itu, lalu dalam sekejap ia berani—ia menempelkan ciuman basah di bibirnya. Pria asing itu terkejut, seketika memegang kedua bahunya dan berusaha menjauh. “Hei… kamu mabuk,” suaranya dalam, menahan, namun napasnya sendiri sudah mulai memburu. “Aku tahu…” Audrey berbisik, bibirnya kembali mencari. “Tapi aku mau kamu.” Lelaki itu menutup mata, rahangnya menegang, tubuh normalnya bereaksi meski kepalanya mencoba menolak. “Kamu yakin? Jangan sampai menyesal.” “Aku yakin.” Audrey menatapnya lurus, mata berkaca namun penuh keberanian bodoh. “Aku ingin kamu, malam ini, sekarang.” Itu saja sudah cukup memecahkan pertahanan terakhirnya. Pria itu mendengus kasar, lalu tanpa kata lagi, ia meraih pinggang Audrey lebih erat dan menarik tubuhnya ke dadanya. Ciuman berikutnya bukan lagi ciuman Audrey seorang, tapi juga balasan liar darinya—panas, dalam, dan membakar. Audrey mendesah di sela ciuman, jemarinya meremas kemeja lelaki itu seolah takut ia pergi. Ia tidak pergi. Justru sebaliknya. Dengan gerakan mantap, ia membopong Audrey ke kamarnya. Pintu terhentak tertutup, dan tubuh Audrey langsung ditekan lembut ke ranjang empuk. Tatapan mereka bertemu sesaat, lalu pria itu meraih bibirnya lagi, kali ini lebih menggebu. Satu per satu, pakaian menjadi hambatan yang terlepas begitu saja. Audrey hampir lupa siapa dirinya, siapa lelaki ini. Yang ada hanya rasa hangat kulit ke kulit, desahan yang memenuhi kamar hotel, dan pelukan eratnya saat benteng pertahanan Audrey akhirnya benar-benar dibobol. Tangannya menggenggam lengan kokoh itu erat, tubuhnya berguncang dengan setiap tarikan napas. Air mata yang tadi jatuh kini bercampur dengan desahan. Malam itu, Audrey menyerahkan seluruh dirinya pada pria asing yang bahkan namanya belum diketahui, tapi lebih membuatnya merasa hidup daripada calon tunangannya sendiri. Namun di tengah keintiman yang membakar itu, ponselnya di meja samping ranjang tiba-tiba berdering nyaring. Audrey refleks menoleh, matanya terbelalak. Nama yang muncul di layar membuat darahnya seakan berhenti mengalir. ‘Aiden.’ ***Jantung Audrey seketika terasa berhenti berdetak, darahnya beku. Di sana, di balik meja kayu yang mahal, berdiri sosok yang sangat ia kenal, Denzel Shaquille. "Selamat datang, Audrey," sapa Denzel, senyum miringnya muncul. Senyum yang sama persis seperti saat ia mencium Audrey di koridor. "K-kamu... Denzel?" Audrey tergagap, mundur satu langkah. "K-kamu... CEO perusahaan?" "Terkejut?" Denzel melangkah mendekat, matanya berkilat penuh kemenangan. "Aku sudah bilang, aku akan menemukan mu. Dan aku tidak akan membiarkan kamu melarikan diri dariku, Audrey." "Ini... ini tidak mungkin," bisik Audrey, ia mencoba lari, tapi kakinya kaku. "Aku harus pergi." "Duduk," perintah Denzel, suaranya rendah dan dalam, membuat Audrey tanpa sadar mematuhinya. Ia berjalan ke belakang meja, menuju kursi CEO yang besar. Denzel menepuk pangkuannya. "Di sini." "Denzel! Apa-apaan ini?! Ini kantor! Aku sedang bekerja!" seru Audrey, menahan diri. "Sekarang kamu bekerja untukku," Denzel menyeringai, l
Dua hari telah berlalu sejak kekacauan di Hotel Grand Viera. Dua hari di mana Audrey mengurung diri di apartemennya, sibuk dengan pemikiran dan keputusan gilanya seakan merasakan sakit yang belum sembuh. Namun hari ini, ia memaksa dirinya kembali ke kantor. Bagaimanapun, hidupnya harus terus berjalan. Di dalam lift kantor, napas Audrey tertahan. Ia mengenakan blus putih profesional dan rok pensil, berusaha memancarkan ketenangan yang jauh dari yang ia rasakan. Ia bekerja di departemen pemasaran, dan sayangnya, di bawah pengawasan langsung Stella, wanita yang mendesah nikmat bersama Aiden, tunangannya, di kamar mandi. "Selamat pagi, Bu Audrey," sapa resepsionis, senyumnya ramah, tapi Audrey tahu sorot mata karyawannya dipenuhi keingintahuan akan drama pertunangan yang gagal. Audrey hanya mengangguk tipis. Ia berjalan menuju mejanya, berusaha fokus pada tumpukan file di hadapannya. Namun, fokus itu adalah ilusi. Setiap kali matanya terpejam, bayangan wajah Denzel muncul. Bukan
Ballroom mewah Hotel Grand Viera kini berubah menjadi sarang desas-desus. Musik yang tadinya mengalun lembut kini terasa sumbang. Sudah lebih dari tiga jam sejak waktu yang ditentukan, namun pasangan pertunangan, Aiden Trustin dan Audrey Ginnifer, tak kunjung muncul.Aiden berdiri di tengah panggung yang dihiasi bunga-bunga mahal, wajahnya pucat pasi di balik senyum yang dipaksakan. Ia berusaha keras menutupi kegelisahannya.“Maafkan saya, hadirin sekalian,” ujar Aiden, meraih mikrofon. Suaranya sedikit bergetar. “Audrey… dia sedang tidak enak badan mendadak. Ada sedikit masalah pribadi yang harus kami selesaikan.”Seorang tamu penting, Mr. William, berbisik pada istrinya, “Masalah pribadi? Beberapa jam lalu harusnya cincin tunangan itu disematkan, bukan? Ini skandal, Aiden Trustin terlalu ceroboh!”Aiden melihat tatapan tajam dari Papa Audrey, Melvin Ginnifer. Melvin memberi kode keras agar Aiden segera menyelesaikan drama memalukan ini.“Kami mohon pengertian Anda,” lanjut Aid
Setelah beberapa jam Audrey terlelap dalam delapan Denzel, dia merasa dingin menyergap kulit telanjangnya. Bau disinfektan hotel bercampur samar dengan aroma keringat dan maskulin yang ia sadari milik pria di sampingnya. Matanya mengerjap, menatap langit-langit kamar yang mewah. “Astaga, jam berapa ini?!” gumamnya panik. Audrey menoleh.Denzel terlelap di sampingnya, bantal menutupi sebagian wajah tegasnya. Rambutnya yang gelap sedikit berantakan. Ia terlihat begitu damai, kontras dengan badai emosi yang baru saja ia ciptakan di dalam diri Audrey.”Aku gila. Benar-benar gila.”Ia buru-buru menarik selimut tebal, menutupi tubuhnya. Penyesalan itu menenggelamkannya dalam rasa malu yang tak terhingga. Perbuatan nekatnya terasa seperti noda hitam yang tidak akan pernah bisa ia hapus.Dengan sangat hati-hati, Audrey berusaha melepaskan pelukan Denzel yang melingkari pinggangnya. Tangan kokoh itu terasa berat, namun saat ia berhasil terlepas, ia menoleh sekali lagi memperhatikan wajah
Nada dering ponsel di meja samping ranjang terus bergetar, seolah menuntut perhatian. Nama Aiden berkedip di layar, memecah keheningan kamar hotel yang kini dipenuhi desahan dan napas berat.Audrey menoleh, tapi tidak ingin meresponnya. Sekejap tubuhnya menegang. Namun bukannya meraih ponsel itu, tangannya justru melayang, meraih wajah pria asing yang masih menindih tubuhnya. Bibirnya bergetar, penuh emosi yang bercampur hasrat.Namun pria asing itu mengambil jarak, menatap Audrey, penuh tanya. “Ponsel kamu berdering, mau terima dulu?!“Aku.. Sudah gak peduli,” bisiknya dengan napas terengah.Tanpa berkata banyak, Audrey meraih ponsel itu, menekan tombol, dan mematikan panggilan masuk. Bunyi klik dari layar yang gelap seolah jadi tanda bahwa malam ini Audrey resmi mengambil keputusan paling gila dalam hidupnya.Jemari Audrey menekan dada bidang pria asing itu yang menatapnya mendalam, rahangnya tampak mengeras, tapi tatapan matanya dipenuhi hasrat yang tak kalah liar. “Siapa namamu..
“Ah…” Suara perempuan itu bergetar tertahan di sela napasnya, “Jangan terlalu keras.”“Mmhh… jangan di sini…” ujarnya mendorong dada bidangnya dengan gemetar. “Kalau ada yang lihat—”“Tidak akan ada yang melihat,” potong Aiden cepat, tatapannya membakar. “Kamar mandi ini masih tertutup. Aku sudah menahan diri seharian.” Lengan kokohnya melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat, seakan takut ia terlepas.“Tapi… sebentar lagi pertunanganmu..” bisiknya nyaris tak terdengar.Aiden menahan napasnya, lalu dengan lirih penuh hasrat berkata, “Kalau begitu, kita lanjutkan nanti.”Wajah perempuan itu menegang, bibirnya bergetar. “Bagaimana dengan Audrey…?” Tatapan Aiden mengeras, dalam dan tajam. “Jangan sampai dia tahu.”Gaun putih gading itu masih melekat di tubuh Audrey saat ia membuka pintu kamar mandi hotel. Detik berikutnya, dunianya runtuh. Calon tunangannya—laki-laki yang beberapa jam lagi akan melingkarkan cincin di jarinya—tengah menindih perempuan lain. Perempuan itu bukan or
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments