Share

Penolakan

          Pagi-pagi Arion sudah mengelilingi kamar. Ia mencari Thalita. Saat bangun tidur dia tidak mendapatkan Thalita di kamar. Ia bergegas menuju kolam renang, mungkin saja Thalita ingin berenang pagi ini. Sampai di sana tidak terlihat istrinya. Arion mendengus kesal dan saat ia berbalik melihat Thalita baru saja masuk.

       Entah mengapa, tidak melihat Thalita pagi hari membuat perasaannya ada yang kurang. Setidaknya dia sekarang sudah memperistri gadis itu, walaupun belum pernah ia sentuh. Sial! Keadaan itu sangat menyiksanya. 

      "Kemana saja kau pergi?" teriak Arion. Dia sangat posesif. Saat melihat wanitanya sudah di depannya.

     "Gym."

       "Gym? Kenapa kau pergi ke sana?!"

      Thalita tidak peduli raungan Arion. Dia mengelap keringatnya dan masuk ke kamar mandi. Setelah berganti baju Thalita melihat meja makan sudah ada sarapan. Arion tidak akan pergi kerja sebelum sarapan bersama Thalita. Andaikan Arion suami yang sesungguhnya bagi Thalita. Gadis itu pasti bahagia. 

Thalita menunggu di meja makan. Tiba-tiba Arion datang dengan ekspresi datar. Thalita kadang bingung melihat laki-laki itu. Dia bisa tenang tapi juga bisa mengamuk di waktu bersamaan.

Dari mana dia pergi tadi ?

      "Aku.” Thalita menghentikan ucapannya. Dia tidak ingin memulai pembicaraan lebih dahulu.

      "Aku mau kau tidak keluar dari tempat ini lagi. Kau dengar! Tinggal di sini sampai aku pulang kerja, kali ini kau harus mengikuti apa kataku." Tegas Arion. Bahkan tadi dia pergi untuk melihat tempat gym yang didatangi Thalita. Memastikan kalau di sana tidak bercampur dengan kaum laki-laki.

      "Kau dengar itu, Thalita Aryashuta!"

Suara Arion keras. Wajahnya serius. Renungannya cukup tajam. Kedua bola matanya sudah hampir keluar. Tapi tidak membuat Thalita sedikit pun merasa takut. 

Thalita menggeser piringnya. Moodnya jadi buruk. Dia menatap kasar pada Arion.

      "Kau tidak bisa melarangku!"

      "Aku yang mengatur. Bukan dirimu!"

       Mereka hanya tinggal berdua di dalam kamar menyebabkan Arion dengan mudah melakukan apa pun terhadap Thalita. Jeritan, sepak terjang dan segala maki sudah dibuat Thalita melawan Arion. Itu semua percuma.

        Yang diinginkan Thalita adalah keluar dari kehidupan Arion, bebas dari laki-laki yang sama sekali ia tidak kenal itu. Ia meruntuki Arion dalam hatinya, yang katanya mencintainya itu malah lebih banyak memarahinya daripada memberi perhatian.

      "Aku bukan burung yang harus diam di dalam sangkar emasnya,” jawab Thalita dengan berani.

      "Kemana lagi kau ingin pergi! Kau hanya perlu menunggu sampai aku pulang. Ini bukan negaramu Thalita." Arion keras dengan keputusannya. Thalita juga belum mau menyerah. Dia senang memancing amara Arion.

      "Aku bisa kemana pun yang aku inginkan." Thalita membantah.

      "Jangan membantah, Thalita!" bentak Arion.

      "Kau tidak bisa mengatur hidupku sesuka hatimu. Walaupun aku istrimu.” Lancar lidah Thalita berkata. Matanya jelas melawan Arion.

           Arion mendorong Thalita hingga jatuh ke atas tempat tidur. Ia merayap di atas tubuh gadis itu tanpa bersentuhan. Arion tidak bergeming menatap Thalita yang sudah ketakutan. Ia bisa melihat dengan jelas tubuh gadis itu gemetar. Kejadian kemarin membuat Arion gelisah. Ia tidak akan membiarkan Thalita lari untuk ke dua kalinya.

      "Jangan macam macam Arion! Kau sudah berjanji tidak akan menyentuhku,” suara Thalita gugup. Laki-laki itu menyunggingkan senyum.

      "Tunggu aku pulang setelah itu aku akan membawamu keluar seperti apa yang kau inginkan.” Arion bangkit dari atas Thalita. Matanya  penuh kemenangan.

      "Tidak perlu! Aku tidak akan kemana- mana denganmu. Aku akan tetap di sini. Di kamar biadap ini sampai besok, besok dan besoknya lagi?” teriaknya penuh emosi.

      "Jika itu maumu. Aku tidak bisa memaksa. Tapi yang perlu kau ingat aku tidak akan lagi membiarkan kau pergi sendiri atau pun dengan pengawal,” tengking Arion. Selalu saja Thalita menolaknya, dengan cara kasar atau pun lembut.

      "Apa itu caramu menunjukkan rasa yang kau pernah bilang? Membuat aku jatuh cinta padamu. Arion kita akan terus seperti ini.Terus berperang dan pada akhirnya kau akan menyerah dan melepaskan ku." Thalita berdiri melawan Arion.

      "Kita belum mulai lagi, Thalita. Aku tidak akan menyerah padamu. Bertahun-tahun aku mencari mu,” teriak Arion.

      "Bullshit!"

      "Kau tidak akan percaya aku yakin itu. Suatu hari  nanti kau akan percaya,” ucap Arion matanya mulai melembut. Kemudian berjalan perlahan  keluar.

         Thalita menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia terisak. Menangisi kehidupannya, tangannya  meremas ujung bajunya. Ini bukan kehidupan yang dia inginkan walaupun Arion memberikan segalanya. Thalita lebih menyukai dirinya yang dulu bekerja dengan gaji sedikit tapi dia bebas. 

     Tapi kini ia malah terperangkap oleh permainan Arion, entah laki-laki seperti apa. yang ia nikahi itu. Tidak pernah senyum, tidak banyak bicara. Terkesan dingin dan tak tergapai.

       Tunggu! Kenapa harus digapai?

** 

         Setelah dua jam perjalanan akhirnya Arion sampai ke destinasinya. Arion mengancing jas hitamnya, tangannya memasang kaca mata hitam pada matanya. Wajahnya yang memerah karena emosi itu kini berubah santai dan berkarisma. 

      Arion sangat ahli memasang wajah profesionalnya di depan clien, hingga tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu. Tatapannya dingin dan tegas membuat siapapun yang melihat merasa terintimidasi.

      "Kita sudah  terlambat. Aku harap mereka tidak akan membatalkan kerja sama yang sudah disepakati.” Runtuk Andre.

      "Di sini Aku bossnya." Arion menunjukkan keangkuhan.

      "Aku tahu.Tapi --"

      "Kau hanya melakukan apa yang aku perintahkan. Setelah itu aku yang mengurus,” kata Arion. Mereka berjalan menghampiri laki-laki yang sudah  menunggu mereka. 

      "Arion! Wah... Lu punya time kenapa ngaret? Udah kaya tali, ohh..." Lelaki keturunan Tionghoa menyambut Arion. Tersenyum sumbing menjabat tangan Arion.

      "Lu taulah time is money. Kali ini gue berbaik hati. Tapi, jangan lupa komisen gue tau."

      "Of course." Arion duduk menyilangkan kakinya.

      "Senang gue dengernya. Kalau gitu awak nak perempuan tak? Gue mau kasih perempuan kerja dekat kelab malam. You pasti butuh hiburan kan?" 

      "No, thanks,” tolak Arion.

      "Apa pasal awak tolak? Di kelab malam banyak hiburan. Ada muzik dan arak. Tamba lagi perempuan yang menemani."

      "Saya nak to the points pasal kerja. Boleh,” ucap Arion dengan nada Melayu. Mata hijaunya menatap tajam pada laki-laki itu.

        "Oh. Ok."

         Andre yang berdiri di belakang Arion mengerutkan kening. Arion akan menyesal menolak ajakan itu. Mereka berjalan mengikuti orang itu menuju ruang meeting. Hari ini mereka ada janji, meeting dengan pegawai Union Engineering Sdn.Bhd. 

Dua pegawai Union Engineering sudah menunggu di dalam ruangan. Mereka memperkenalkan diri sebagai Fauzi dan Munira. Arion menunjuk Sulaiman sebagai jurutera.

      "Kami dah faham segala pelan dan kehendak syarikat Encik Arion. Kami juga sudah berbincang dengan Encik Andre mengenai projek ini. Kalau semua okey, syarikat kami akan mulakan projek ini dua minggu mulai dari sekarang.” Fauzi memulai pembicaraan.

      "Kenapa dua minggu? Buang-buang waktu saja. Kenapa tidak dua hari lagi. Saya tidak punya waktu banyak lagi dibsini," ucap Arion.

      "Seminggu lagi. Kasih kami waktu. Kami harus mengagihkan barang dan mencari supplier. Lepas itu kami akan mulakan." Munira berkata. 

          Andre memberikan masukan pada Arion. Laki-laki laki itu mengangguk. Sesekali Munira menjeling pada Arion. Dia terpesona pada ketampanan Arion, tidak menyangka laki-laki yang sering ia baca di media dan sering wara-wiri televisi kini ada di depannya. Terlihat gagah dan sangat maskulin.

       "Bagaimana Encik Arion?" Munira bertanya pada Arion.

      "Baiklah, saya setuju tapi syarat payment ada problem sedikit." 

Semua mata memandang pada Arion.

        "Kami buat projek ini bukan uang sedikit. Milyard. Coba kalian tukar ke mata uang kalian. Berjuta-juta. Kami tidak mau gagal. Deposit 20 %."

      "Begini Encik Arion, kami kena bincang dengan bos kami Mr Harwinder. Kalau okey, tak ada masalah," kata Munira. Dia tersenyum pada Arion, mengisyaratkan sesuatu.

      "Baiklah. Saya mau secepat mungkin."

      "Baik Encik." Munira merenung pada wajah Arion. Dia semakin terpikat dengan wibawa Arion.

      "Okey. Next saya akan datang setelah projek ini selesai. Kalian bisa berurusan dengan Sulaiman sebagai perwakilan saya,” ucap Arion. Membuat Munira kecewa, pasalnya ia ingin bertemu Arion lagi.

      "Baik Encik Arion. Bagaimana kalau  sekarang saya nak menjamu Encik Arion dengan makanan khas Malaysia,” ajak Munira. "Jauh-jauh Encik datang dari Indonesia, sayang kalau belum coba makanan sini."

      "Lain kali mungkin." Tolak  Arion tanpa berfikir panjang. Dia tahu gadis itu sedang mengodanya. Arion mengakui kecantikan Munira. Tapi, baginya tak sebanding dengan Thalita.  Pikirannya sekarang terbang pada Thalita. Entah apa yang sedang dilakukan istrinya sekarang.

      "Istri saya sedang menunggu di hotel,” sambungnya. Arion terang-terangan mengatakan istri, padahal orang lain belum ada yang tahu Arion Ortega sudah menikah. 

       "Encik Arion sudah menikah? Saye kira masih lajang," tawanya garing. Munira kecewa, ia kira itu adalah cara penolakan halus Arion.

     Andre melihat ke arah Arion. Sejak kapan Thalita menunggunya. Dia hampir ingin tertawa. Andre sangat menyayangkan penolakan Arion. Padahal Munira cantik. Anggun dan ramah. Berbeda dengan Thalita yang selalu membangkang Arion. 

** *

      Malam itu, Thalita mencelipkan matanya. Dia berusaha bangun tapi tidak berdaya. Kepalanya terasa berat. Thalita membulatkan matanya hingga ingin melompat dari kasur. Seorang laki-laki sedang tidur nyenyak di sebelahnya.

Arion! Dia masih belum terbiasa dengan keadaan mereka tidur satu ranjang. Padahal ini sudah kesekian kalinya mereka tidur bersama.

      "Kenapa sudah bangun?"

Thalita berpaling pada Arion dan laki- laki itu hanya tersenyum dengan tubuh yang bertelanjang dada. Sialnya, jantung Thalita berdetak kencang melihat penampilan suaminya itu.

      "Kau cantik. Segalanya cantik," puji Arion tawanya pelan. Thalita masih terdiam tak ingin menoleh.

      "Harusnya kau menungguku pulang kerja. Kau tidak ingin keluar untuk melihat pemandangan di Kuala lumpur?” sambungnya lagi. Thalita hanya mendengar kata-kata Arion tanpa membalasnya. Dia hampir saja terhanyut dengan ucapan laki-laki itu.

      "Kalau kau ingin. Sekarang kita bisa keluar." Arion mulai duduk. Gadis itu berpakaian baju tidur serba panjang membuat Arion sedikit kecewa. 

      "Tidak. Terima kasih. Aku ingin tidur kembali.” Thalita menarik selimutnya sampai ke atas dan membelakangi Arion.

      "Thalita. Kau tidak ingin menceritakan kegiatanmu hari ini? Aku ingin mendengarmu bercerita," ucap Arion memandangi belakang pundak Thalita. Ia masih belum menyerah mengajak istrinya bicara. Berharap hubungan mereka semakin dekat.

      "Aku bukan pendongeng," ketusnya sambil menarik selimut semakin ke atas menutupi rambutnya. Arion tersenyum geli.

      "Baiklah. Lanjutkan tidurmu. Kau harus cukup tidur  supaya kesehatanmu tidak terganggu," ucap Arion dengan nada menyindir.

      "Jika kau terus bicara aku tidak bisa tidur!"

       Istrinya sangat frontal membuat Arion semakin ingin menggodanya. Sadar waktu hampir subuh membuat Arion membiarkan Thalita kembali tidur. Arion meruntuki dirinya yang menolak tawaran tadi siang. Dan sekarang setiap pulang kerja dia hanya mendapati Thalita sudah  tertidur. Gadis itu mungkin sengaja menghindar.

      "Thalita. Aku ingin bicara," ucap Arion tidak sabar memberikan kejutan.

      "Apa!" Thalita cuek.

      "Aku ingin mengajakmu berlibur. Kita akan pergi ke Thailand. Pantai di sana sangat indah,” kata Arion lembut.

         Thalita membalikan tubuhnya melihat Arion. Sesungguhnya dia lebih suka kabar kalau mereka akan pulang ke Indonesia. Tapi, Thailand tidak buruk juga. Keinginannya untuk keluar dari hotel membuat egonya menurun.

      "Kapan?”

      "Besok."

      "Sungguh?"

Thalita serba salah. Perkataan apa yang ingin dilontarkannya. Arion menatap Thalita, hatinya lega melihat Thalita sepertinya senang dengan rencananya.

      "Untuk apa kita ke sana? Hanya berlibur atau sekaligus ada pekerjaanmu,” ketus Thalita.

Arion terdiam.

      "Aku harap karena ada pekerjaanmu. Karena, kalau nggak! Aku nggak akan pergi ke sana untuk berlibur denganmu.” Thalita menegaskan.

      "Tentu saja karena ada urusan pekerjaan!" jawab Arion berbohong. Dia menarik selimut dan membelakangi Thalita.

Kini giliran Thalita yang memandang belakang bahu laki-laki itu. Hatinya sama sekali tidak tersentuh oleh laki-laki itu. 

Arion menepati janjinya. Laki-laki itu belum pernah sama sekali menyentuhnya. 

Tapi, sampai kapan mereka akan seperti ini. 

      "Arion."

Arion terbelalak di posisinya. Thalita memanggil namanya dengan lembut. Betapa senang hatinya.

      "Hmm." Arion menutupi perasaannya.

     "Lihat aku,” pinta Thalita. Gadis itu sudah terduduk dari tidurnya.

      "Katakan saja." Arion tidak mengubah posisinya. Jika ia menoleh pada gadis itu, ia tidak yakin bisa mengawal dirinya.

      "Kita butuh batas waktu. Berapa lama kau akan memberikan waktu? Jangan membuang waktu sia- sia,” ucap Thalita dengan lembut. Arion ingin marah. Tapi, dia sadar gadis itu akan semakin menjauh. Selama ini dia selalu mendapatkan apa yang ingin dia dapatkan.

     Namun, Arion sudah bertekad akan menjadikan Thalita miliknya selamanya dengan cara apapun. Mungkin kalau gadis lain pasti tidak akan menolaknya, Arion pikir otak Thalita ada sedikit kerusakan. Katakanlah Arion tidak sempurna, tapi dia akan berusaha sempurna untuk gadisnya.

      "Setahun. Kita punya waktu setahun. Jika, waktu itu sudah berakhir. Hatimu belum berubah. Aku akan melepaskanmu." 

Setahun waktu yang lama bagi Thalita. Menunggu waktu adalah hal yang membosankan.

      "Apa tidak terlalu lama. Setahun sangat lama." Ucap Thalita pelan. Ucapan itu jelas menyulut amarahnya, namun Arion berusaha untuk tidak berlaku kasar pada istrinya. Setidaknya ia tidak memukul.

      "Kau begitu membenciku,” teriak Arion. Dia sekarang memandang Thalita tajam.

      "Kau sudah tahu jawabannya,” sahutnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status