Clara terisak pelan. Meratapi kepergian kedua orang tuanya yang meninggalkannya beberapa waktu lalu. Ia tak menyangka bahwa kedua orang tuanya meninggalkannya secepat ini. Clara hanya memiliki mereka. Orang yang selalu memberikan kasih sayang dan pelukan hangat saat ia bersedih.
Clara menatap bintang-bintang di langit yang gelap. Mereka mulai tertupi awan tebal. Pertanda bahwa malam ini akan turun hujan. Ia tak menghiraukan semilir angin yang mulai menusuk kulit putihnya. Ia tak memperdulikan tubuhnya yang mulai menggigil akibat hawa dingin yang begitu menusuk.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, bagaimana kehidupannya yang akan datang? Apakah itu akan begitu berat? Ia tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya kehidupan yang akan ia alami. Ia tak tahu harus menopangkan dirinya kepada siapa saat ia terjatuh. Siapa yang akan mengusap air matanya saat ia menangis. Dan siapa yang akan memberikan sebuah pelukan hangat saat ia terjatuh.
Clara hanya berandai-andai. Seandainya Clara tak menyuruh kedua orang tuanya pulang cepat, mungkin hal ini tak akan terjadi. Kedua orang tuanya masih berada disisinya. Memberikan sebuah petuah bijak untuk bekalnya ketika ia dewasa.
Clara hanya bisa terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyesal kenapa ia menjadi gadis cengeng. Seharusnya ia bisa menjadi gadis kuat. Tak cengeng seperti saat itu. Ia hanya demam, tapi kenapa ia begitu egois menyuruh kedua orang tuanya agar segera pulang? Clara merutuki kebodohannya sendiri.
Hujan mulai turun. Clara tak berniat beranjak sedikitpun dari balkon kamarnya. Ia masih terlalu asik dengan fikirannya sendiri. Clara menghela nafas. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan balkon kamarnya. Udara dingin tak baik untuk kesehatan.
Clara menjatuhkan tubuhnya sendiri pada ranjang empuknya. Kemudian, ia meraih foto kedua orang tuanya yang terletak pada meja samping ranjang. Ia mengusap foto itu perlahan. Air matanya lagi-lagi menetes. Hatinya begitu sesak dan sakit. Jika Tuhan mengizinkan, ia ingin bersama kedua orang tuanya disana. Ia tak mau hidup sendiri. Ia takut, takut dengan dunia luar yang semakin liar. Takut kepada paman dan bibinya yang selalu berkata kasar akhir-akhir ini. Itu membuat Clara sakit. Walaupun mereka tak pernah main fisik dengan tangan mereka, tetapi ucapan kasar dan pedas mereka telah membuat Clara sakit hati.
Ia memeluk foto itu erat. Berharap dengan begitu, rasa rindunya kepada mereka akan sedikit berkurang.
BRAAKK!!!
Clara dikejutkan dengan suara pintu yang dibuka dengan kasar. Terlihat bibinya membawa sebuah koper besar miliknya. Dengan tiba-tiba ia menyeret tangan Clara dengan kasar.
"Bibi, apa yang kamu lakukan?" Tanya Clara kebingungan.
"Pergi dari rumah saya. Sekarang!"
"Tapi ini rumah orang tuaku? Kenapa bibi mengusirku? Lalu, aku harus tinggal dimana?"
"Aku tak peduli kau mau tinggal dimana. Terserah. Mau di kolong jembatan,gubuk, kandang ayam pun aku tak peduli. Yang penting kau angkat kaki dari rumah ini!"
"Tidak mau! Ini rumahku! Bibi tidak bisa seenaknya mengusirku begitu saja!"
PLAK!
Clara memegangi pipinya yang berdenyut nyeri. Panas dan perih menjalar di kulit mulusnya. Sial. Kenapa rasanya sakit sekali. Ini pertama kalinya ia mendapatkan sebuah tamparan seumur hidupnya.
"Sekarang pergi dari rumah saya!!"
Clara hanya menunduk mendengar bentakan dari bibinya. Ia tak mungkin lagi tinggal disini. Ia tak mau terus menerus mendapat perlakuan kasar dari paman dan bibinya.
Ia mulai melangkah menjauh dari rumahnya. Menyeret koper yang ia yakini berisi baju-bajunya. Berjalan tanpa arah tujuan dan tak membawa satu peserpun uang pun. Lagi-lagi ia hanya bisa menangis merutuki nasibnya.
Clara menolehkan kepalanya ke belakang. Ia akan merindukan rumah itu. Bagaimanapun, rumah itu menjadi penyimpan semua kenangan indah keluarga kecilnya. Namun, ia memilih pergi. Rumah itu, seakan menjadi neraka sekarang. Daripada ia terus menerus mendapat perlakuan paman dan bibinya. Lebih baik ia pergi walaupun tak tahu arah tujuan.
Clara terus menyeret koper besarnya menyusuri jalanan yang basah akibat hujan yang baru saja reda. Ia harus segera mencari tempat berteduh, sebelum hujan kembali turun. Clara memegang perutnya. Ia merasa lapar. Beruntung ia masih punya uang cadangan. Mungkin cukup untuk makan seminggu kedepan.
Clara memasuki sebuah kedai mie ayam yang berada di pinggir jalan. Ia mendudukan dirinya kemudian memesan satu mangkuk mie dengan teh hangat.
***
Sudah satu minggu Clara berjalan tanpa arah. Ia total menjadi gadis jalanan yang tak memiliki keluarga. Uangnya hanya cukup untuk hari ini. Ia hanya sarapan dengan satu lembar roti untuk mengganjal perutnya. Tak apa, setidaknya perutnya tidak terlalu melilit akibat tidak makan sama sekali.
Ia melihat anak-anak bermain dengan begitu gembira. Seperti tak ada beban sama sekali. Mereka tertawa bersama-sama. Melontarkan berbagai bercandaan khas anak-anak. Tak terasa bibirnya ikut tersenyum. Ia ikut merasakan sebuah kebahagiaan melihat anak-anak itu.
Ia memutuskan untuk mengistirahatkan dirinya pada kursi taman tempat bermain anak-anak itu. Berjalan cukup lama membuat tubuhnya cukup lelah. Jadi, ia perlu beristirahat guna mengusir lelah sejenak. Ia mulai membuka rotinya. Ini adalah sisa tadi pagi yang belum ia makan sepenuhnya.
Clara mengernyit heran melihat seorang bocah laki-laki terlihat berlari menghampirinya.
"Mama, kenapa mama nggak pernah pulang? Devan kangen sekali sama mama. Kata papa, mama pergi jauh banget ninggalin kita. Mama kenapa jahat sekali sama Devan?" Ucap anak itu sembari berlinang air mata.
Clara bingung,sungguh. Bagaimana bisa seorang bocah yang tak dikenalnya tiba-tiba memanggilnya mama. Seingatnya ia belum pernah menjalin hubungan sekalipun. Hei. Umurnya masih tujuh belas tahun. Tak mungkin ia memiliki anak sebesar ini. Ia baru saja lulus sekolah menengah pertama.
"Kok mama diem aja?" Tanya anak itu lagi.
"Adek siapa? Maaf, kakak nggak kenal sama kamu. Mana orang tua kamu?" Tanya Clara lembut.
"Mama lupa sama Devan? Devan udah nungguin mama pulang setiap hari, tapi kenapa mama malah lupain Devan?" Ucap Devan sembari meneteskan air matanya.
Clara gelegepan. Ia tak tahu harus bertindak seperti apa. Kejadian ini terjadi tiba-tiba dan diluar nalar. Ia merogoh tasnya yang masih terdapat tiga buah butir permen. Kemudian ia meraih tangan kecil dan meletakkan permen itu pada telapak mungilnya.
"Adek, udah jangan nangis. Nih, kakak kasih permen. Kamu bakal terlihat tampan kalau tersenyum." Ucap Clara.
"Benarkah? Terimakasih mama."
"Iy-iya."
Clara melihat anak itu sedang asik mengeluarkan permen dari wadahnya. Ia menghela nafas. Kenapa hidupnya jadi se aneh ini. Apakah ibu dari anak ini begitu mirip dengannya? Sampai-sampai anak ini tak bisa membedakan dirinya dengan ibunya. Tapi, ia tak mau disamakan dengan orang yang telah meninggalkan anak ini dan suaminya. Tega sekali dia. Membiarkan anak sekecil ini merindukan ibunya. Clara jadi ingat dengan kedua orang tuanya.
Clara membiarkan bocah itu disampingnya. Ia tak memperdulikan ocehan yang terus keluar dari mulut mungilnya. Pikirannya masih terfokuskan pada keadaannya sendiri. Uangnya begitu menipis, ia tak mungkin menggunakan uang jatah makan sehari menjadi beberapa hari kedepan.Ia mengelus perutnya pelan. Ia berharap ia cukup kuat untuk menahan rasa lapar sampai ada seseorang yang mau memperkejakannya."Aden, kok aden ada disini?" Tanya seseorang yang Clara yakini adalah asisten dari bocah ini."Bibi? Devan ketemu sama mama. Lihat, mama disamping Devan." Ucap Devan dengan nada cerianya.Wanita itu hanya bisa tersenyum sendu. Ia tahu, bahwa majikan kecilnya belum bisa menerima kepergian ibu kandungnya. Ia menatap gadis yang berada disamping Devan. Benar. Gadis itu begitu mirip dengan mendiang ibu kandung Devan. Pantas saja, Devan mengira bahwa ia adalah ibu kandungnya yang telah tiada.
Clara kembali menyusuri jalan tak tentu arah. Tak tahu kenapa, fikirannya terfokuskan pada anak yang baru saja menghampirinya. Clara mendesah pelan. Tak seharusnya ia memikirkan itu. Mungkin anak itu begitu merindukan ibunya sampai ia mengira orang lagi itu adalah ibunya.SYAASSH Clara mendelik kesal mengetahui mobil yang baru saja melewati sebuah genangan di sampingnya hingga membuat air menciprat membasahi bajunya. Mobil itu berhenti di depannya. Clara segera menghampiri pengemudi mobil itu, berniat memarahinya. Barangkali ia bisa dimintai pertanggung jawaban. Sehingga ia bisa mendapatkan sedikit pundi-pundi uang untuk dia makan. Clara mengetuk kaca mobil itu kasar. Ia terus mengeluarkan kata umpatan dan cacian. Sang pengemudi mulai merasa jengah mendengar umpatan yang terus keluar dari mulut Clara. Akhirnya ia membuka kaca pintu
Clara mendudukkan bokongnya pada sofa empuk milik Alvin. Rasanya begitu nyaman, setelah ia berhari-hari hidup di jalanan tanpa merasakan bagaimana nyamannya duduk di sofa. Clara menghela nafas. Jujur, tubuhnya lelah sekali. Sebagai anak yang awalnya dimanjakan oleh orang tua, Clara benar-benar kesulitan jika harus hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya. Alvin mengamati Clara yang terlihat kelelahan. Ia heran, memangnya apa saja yang telah dilakukan gadis itu sampai gadis itu terlihat begitu kelelahan. Setahu dia, dulu ia sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Namun, ia tak tahu apa yang telah terjadi setelah kedua orang tua Clara meninggal dunia akibat kecelakaan tragis pada malam itu. Ia jadi tak tega melihat Clara yang awalannya merupakan gadis ceria yang menyalurkan sebuah kebahagiaan bagi siapapun yang menatapnya. Alvin penas
Nathan kembali memikirkan apa yang dikatakan oleh Devan. Apa yang dikatakan Devan memang benar. Ia kurang memerhatikan anaknya, walaupun ia sudah berusaha memberikan seluruh kasih sayangnya untuk sang anak. Ia menyesali segalanya. Mengapa Devan baru mengatakannya sekarang? Jika anak itu mengatakan dari dulu, mungkin ia akan memberikan perhatian lebih. Ia kira yang telah ia berikan kepada Devan sudah cukup, nyatanya tidak. Nathan menghembuskan nafasnya lelah. Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Ia harus menjadi seorang ibu sekaligus ayah bagi Devan. Walaupun ia dibantu oleh bi Inah, tetap saja tanggung jawab sang anak dipikul olehnya. Dimas, ayah Nathan,menatap sang anak khawatir. Ia tampak memikirkan sesuatu. Terlihat jelas dari wajahnya yang menunjukkan raut frustasi."Nathan? Kau ada m
Clara masih kebingungan. Ia tak tahu harus bertindak bagaimana. Devan datang secara tiba-tiba. Ia bahkan belum mengeluarkan suara apapun walaupun Devan terus memberikannya pertanyaan."Mama kok diam aja? Mama marah sama Devan?" Tanya Devan."Aduh, adek. Kakak bukan mama kamu. Mungkin kamu salah orang. Maaf ya dek." Jawab Clara sembari memelankan suaranya."Enggak. Kamu mamanya Devan. Mama jangan bohongin Devan! Cukup papa aja! Devan nggak mau kalau terus dibohongin.""Adek ganteng. Sekali lagi, kakak minta maaf. Kakak bukan mama kamu." Devan hanya mencebikkan bibirnya. Matanya sudah berkaca-kaca, pertanda ingin menangis. Ia sudah bersungut-sungut, matanya memerah, mulai meneteskan air matanya. Hati Devan sakit sekali, ternyata benar, mamanya melupakannya. Tak memperdulikan Devan lagi.
Nathan menunggu kedatangan Jovian datang lama sekali. Padahal, Nathan baru menunggu lima belas menit. Tapi, Nathan merasakan bahwa Jovian datang begitu lama. Selang beberapa lama Jovian masuk ke rumah Nathan dengan terburu-buru. Ia masih belum mengganti pakaiannya. Nathan yakin jika sang sekretaris belum sempat memasuki rumahnya."Ada apa pak? Kenapa bapak panggil saya?" Tanya Jovian penasaran."Perusahaan memiliki banyak sekali masalah dan kamu tidak tahu?""Masalah? Saya sebelum pulang, saya tak menemukan masalah sedikitpun pak. Bahkan saya mengecek beberapa karyawan, mereka bekerja dengan baik.""Bekerja dengan baik? Kamu yakin itu? Baik apanya! Bagaimana mungkin kita tidak menyadari bahwa ada tikus berdasi di perusahaan kita?""Tikus berdasi? Maksud Anda tikus? Tapi tidak mungkin perusaha
Ini hari kedua Clara bekerja. Ia harus membiasakan diri ia bisa membantu Audrey dengan maksimal. Ia harus membalas semua kebaikan yang telah Alvin dan Audrey lakukan kepadanya."Clara, bisakah kamu mengantarkan makanan ke alamat ini? Aku ada clien hari ini. Jadi aku tidak bisa mengantarnya." Ucap Audrey merasa bersalah."Baik, aku bisa. Hitung-hitung menambah pengalaman. Sepertinya aku sudah mulai menghafal tempat disini. Hehe.""Kamu memang gadis yang bisa diandalkan." *** Clara menyusuri jalanan dengan mengayuh sepedanya. Ia menikmati hari yang masih pagi. Jalanan kota masih terasa lelang, mungkin karena masih terlalu pagi. Udara disini belum terlalu berpolusi. Clara jadi ingin menghirup dengan rakus
Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak. Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja. Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sangayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. T