Share

Second Love
Second Love
Author: Nur Cahaya

PROLOG

            Clara terisak pelan. Meratapi kepergian kedua orang tuanya yang meninggalkannya beberapa waktu lalu. Ia tak menyangka bahwa kedua orang tuanya meninggalkannya secepat ini. Clara hanya memiliki mereka. Orang yang selalu memberikan kasih sayang dan pelukan hangat saat ia bersedih. 

           Clara menatap bintang-bintang di langit yang gelap. Mereka mulai tertupi awan tebal. Pertanda bahwa malam ini akan turun hujan. Ia tak menghiraukan semilir angin yang mulai menusuk kulit putihnya. Ia tak memperdulikan tubuhnya yang mulai menggigil akibat hawa dingin yang begitu menusuk.

              Setelah kedua orang tuanya meninggal, bagaimana kehidupannya yang akan datang? Apakah itu akan begitu berat? Ia tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya kehidupan yang akan ia alami. Ia tak tahu harus menopangkan dirinya kepada siapa saat ia terjatuh. Siapa yang akan mengusap air matanya saat ia menangis. Dan siapa yang akan memberikan sebuah pelukan hangat saat ia terjatuh.

             Clara hanya berandai-andai. Seandainya Clara tak menyuruh kedua orang tuanya pulang cepat, mungkin hal ini tak akan terjadi. Kedua orang tuanya masih berada disisinya. Memberikan sebuah petuah bijak untuk bekalnya ketika ia dewasa.

            Clara hanya bisa terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyesal kenapa ia menjadi gadis cengeng. Seharusnya ia bisa menjadi gadis kuat. Tak cengeng seperti saat itu. Ia hanya demam, tapi kenapa ia begitu egois menyuruh kedua orang tuanya agar segera pulang? Clara merutuki kebodohannya sendiri.

           Hujan mulai turun. Clara tak berniat beranjak sedikitpun dari balkon kamarnya. Ia masih terlalu asik dengan fikirannya sendiri. Clara menghela nafas. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan balkon kamarnya. Udara dingin tak baik untuk kesehatan.

           Clara menjatuhkan tubuhnya sendiri pada ranjang empuknya. Kemudian, ia meraih foto kedua orang tuanya yang terletak pada meja samping ranjang. Ia mengusap foto itu perlahan. Air matanya lagi-lagi menetes. Hatinya begitu sesak dan sakit. Jika Tuhan mengizinkan, ia ingin bersama kedua orang tuanya disana. Ia tak mau hidup sendiri. Ia takut, takut dengan dunia luar yang semakin liar. Takut kepada paman dan bibinya yang selalu berkata kasar akhir-akhir ini. Itu membuat Clara sakit. Walaupun mereka tak pernah main fisik dengan tangan mereka, tetapi ucapan kasar dan pedas mereka telah membuat Clara sakit hati.

             Ia memeluk foto itu erat. Berharap dengan begitu, rasa rindunya kepada mereka akan sedikit berkurang.

BRAAKK!!!

            

            Clara dikejutkan dengan suara pintu yang dibuka dengan kasar. Terlihat bibinya membawa sebuah koper besar miliknya. Dengan tiba-tiba ia menyeret tangan Clara dengan kasar.

"Bibi, apa yang kamu lakukan?" Tanya Clara kebingungan.

"Pergi dari rumah saya. Sekarang!" 

"Tapi ini rumah orang tuaku? Kenapa bibi mengusirku? Lalu, aku harus tinggal dimana?"

"Aku tak peduli kau mau tinggal dimana. Terserah. Mau di kolong jembatan,gubuk, kandang ayam pun aku tak peduli. Yang penting kau angkat kaki dari rumah ini!"

"Tidak mau! Ini rumahku! Bibi tidak bisa seenaknya mengusirku begitu saja!"

PLAK!

             Clara memegangi pipinya yang berdenyut nyeri. Panas dan perih menjalar di kulit mulusnya. Sial. Kenapa rasanya sakit sekali. Ini pertama kalinya ia mendapatkan sebuah tamparan seumur hidupnya.

"Sekarang pergi dari rumah saya!!"

       

            Clara hanya menunduk mendengar bentakan dari bibinya. Ia tak mungkin lagi tinggal disini. Ia tak mau terus menerus mendapat perlakuan kasar dari paman dan bibinya. 

      

            Ia mulai melangkah menjauh dari rumahnya. Menyeret koper yang ia yakini berisi baju-bajunya. Berjalan tanpa arah tujuan dan tak membawa satu peserpun uang pun. Lagi-lagi ia hanya bisa menangis merutuki nasibnya. 

          Clara menolehkan kepalanya ke belakang. Ia akan merindukan rumah itu. Bagaimanapun, rumah itu menjadi penyimpan semua kenangan indah keluarga kecilnya. Namun, ia memilih pergi. Rumah itu, seakan menjadi neraka sekarang. Daripada ia terus menerus mendapat perlakuan paman dan bibinya. Lebih baik ia pergi walaupun tak tahu arah tujuan. 

         Clara terus menyeret koper besarnya menyusuri jalanan yang basah akibat hujan yang baru saja reda. Ia harus segera mencari tempat berteduh, sebelum hujan kembali turun. Clara memegang perutnya. Ia merasa lapar. Beruntung ia masih punya uang cadangan. Mungkin cukup untuk makan seminggu kedepan.

         Clara memasuki sebuah kedai mie ayam yang berada di pinggir jalan. Ia mendudukan dirinya kemudian memesan satu mangkuk mie dengan teh hangat. 

                              ***

            Sudah satu minggu Clara berjalan tanpa arah. Ia total menjadi gadis jalanan yang tak memiliki keluarga. Uangnya hanya cukup untuk hari ini. Ia hanya sarapan dengan satu lembar roti untuk mengganjal perutnya. Tak apa, setidaknya perutnya tidak terlalu melilit akibat tidak makan sama sekali.

           Ia melihat anak-anak bermain dengan begitu gembira. Seperti tak ada beban sama sekali. Mereka tertawa bersama-sama. Melontarkan berbagai bercandaan khas anak-anak. Tak terasa bibirnya ikut tersenyum. Ia ikut merasakan sebuah kebahagiaan melihat anak-anak itu.

         Ia memutuskan untuk mengistirahatkan dirinya pada kursi taman tempat bermain anak-anak itu. Berjalan cukup lama membuat tubuhnya cukup lelah. Jadi, ia perlu beristirahat guna mengusir lelah sejenak. Ia mulai membuka rotinya. Ini adalah sisa tadi pagi yang belum ia makan sepenuhnya.

         Clara mengernyit heran melihat seorang bocah laki-laki terlihat berlari menghampirinya. 

"Mama, kenapa mama nggak pernah pulang? Devan kangen sekali sama mama. Kata papa, mama pergi jauh banget ninggalin kita. Mama kenapa jahat sekali sama Devan?" Ucap anak itu sembari berlinang air mata.

        Clara bingung,sungguh. Bagaimana bisa seorang bocah yang tak dikenalnya tiba-tiba memanggilnya mama. Seingatnya ia belum pernah menjalin hubungan sekalipun. Hei. Umurnya masih tujuh belas tahun. Tak mungkin ia memiliki anak sebesar ini. Ia baru saja lulus sekolah menengah pertama.

"Kok mama diem aja?" Tanya anak itu lagi.

"Adek siapa? Maaf, kakak nggak kenal sama kamu. Mana orang tua kamu?" Tanya Clara lembut.

"Mama lupa sama Devan? Devan udah nungguin mama pulang setiap hari, tapi kenapa mama malah lupain Devan?" Ucap Devan sembari meneteskan air matanya.

        Clara gelegepan. Ia tak tahu harus bertindak seperti apa. Kejadian ini terjadi tiba-tiba dan diluar nalar. Ia merogoh tasnya yang masih terdapat tiga buah butir permen. Kemudian ia meraih tangan kecil dan meletakkan permen itu pada telapak mungilnya.

"Adek, udah jangan nangis. Nih, kakak kasih permen. Kamu bakal terlihat tampan kalau tersenyum." Ucap Clara.

"Benarkah? Terimakasih mama."

"Iy-iya."

          Clara melihat anak itu sedang asik mengeluarkan permen dari wadahnya. Ia menghela nafas. Kenapa hidupnya jadi se aneh ini. Apakah ibu dari anak ini begitu mirip dengannya? Sampai-sampai anak ini tak bisa membedakan dirinya dengan ibunya. Tapi, ia tak mau disamakan dengan orang yang telah meninggalkan anak ini dan suaminya. Tega sekali dia. Membiarkan anak sekecil ini merindukan ibunya. Clara jadi ingat dengan kedua orang tuanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status