Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi.
Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat.
Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Clara terisak pelan. Meratapi kepergian kedua orang tuanya yang meninggalkannya beberapa waktu lalu. Ia tak menyangka bahwa kedua orang tuanya meninggalkannya secepat ini. Clara hanya memiliki mereka. Orang yang selalu memberikan kasih sayang dan pelukan hangat saat ia bersedih. Clara menatap bintang-bintang di langit yang gelap. Mereka mulai tertupi awan tebal. Pertanda bahwa malam ini akan turun hujan. Ia tak menghiraukan semilir angin yang mulai menusuk kulit putihnya. Ia tak memperdulikan tubuhnya yang mulai menggigil akibat hawa dingin yang begitu menusuk. Setelah kedua orang tuanya meninggal, bagaimana kehidupannya yang akan datang? Apakah itu akan begitu berat? Ia tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya kehidupan yang akan ia alami. Ia tak tahu harus menopangkan dirinya kepada siapa saat ia terjatu
Clara membiarkan bocah itu disampingnya. Ia tak memperdulikan ocehan yang terus keluar dari mulut mungilnya. Pikirannya masih terfokuskan pada keadaannya sendiri. Uangnya begitu menipis, ia tak mungkin menggunakan uang jatah makan sehari menjadi beberapa hari kedepan.Ia mengelus perutnya pelan. Ia berharap ia cukup kuat untuk menahan rasa lapar sampai ada seseorang yang mau memperkejakannya."Aden, kok aden ada disini?" Tanya seseorang yang Clara yakini adalah asisten dari bocah ini."Bibi? Devan ketemu sama mama. Lihat, mama disamping Devan." Ucap Devan dengan nada cerianya.Wanita itu hanya bisa tersenyum sendu. Ia tahu, bahwa majikan kecilnya belum bisa menerima kepergian ibu kandungnya. Ia menatap gadis yang berada disamping Devan. Benar. Gadis itu begitu mirip dengan mendiang ibu kandung Devan. Pantas saja, Devan mengira bahwa ia adalah ibu kandungnya yang telah tiada.
Clara kembali menyusuri jalan tak tentu arah. Tak tahu kenapa, fikirannya terfokuskan pada anak yang baru saja menghampirinya. Clara mendesah pelan. Tak seharusnya ia memikirkan itu. Mungkin anak itu begitu merindukan ibunya sampai ia mengira orang lagi itu adalah ibunya.SYAASSH Clara mendelik kesal mengetahui mobil yang baru saja melewati sebuah genangan di sampingnya hingga membuat air menciprat membasahi bajunya. Mobil itu berhenti di depannya. Clara segera menghampiri pengemudi mobil itu, berniat memarahinya. Barangkali ia bisa dimintai pertanggung jawaban. Sehingga ia bisa mendapatkan sedikit pundi-pundi uang untuk dia makan. Clara mengetuk kaca mobil itu kasar. Ia terus mengeluarkan kata umpatan dan cacian. Sang pengemudi mulai merasa jengah mendengar umpatan yang terus keluar dari mulut Clara. Akhirnya ia membuka kaca pintu
Clara mendudukkan bokongnya pada sofa empuk milik Alvin. Rasanya begitu nyaman, setelah ia berhari-hari hidup di jalanan tanpa merasakan bagaimana nyamannya duduk di sofa. Clara menghela nafas. Jujur, tubuhnya lelah sekali. Sebagai anak yang awalnya dimanjakan oleh orang tua, Clara benar-benar kesulitan jika harus hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya. Alvin mengamati Clara yang terlihat kelelahan. Ia heran, memangnya apa saja yang telah dilakukan gadis itu sampai gadis itu terlihat begitu kelelahan. Setahu dia, dulu ia sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Namun, ia tak tahu apa yang telah terjadi setelah kedua orang tua Clara meninggal dunia akibat kecelakaan tragis pada malam itu. Ia jadi tak tega melihat Clara yang awalannya merupakan gadis ceria yang menyalurkan sebuah kebahagiaan bagi siapapun yang menatapnya. Alvin penas