Share

Part 1

Clara membiarkan bocah itu disampingnya. Ia tak memperdulikan ocehan yang terus keluar dari mulut mungilnya. Pikirannya masih terfokuskan pada keadaannya sendiri. Uangnya begitu menipis, ia tak mungkin menggunakan uang jatah makan sehari menjadi beberapa hari kedepan.

Ia mengelus perutnya pelan. Ia berharap ia cukup kuat untuk menahan rasa lapar sampai ada seseorang yang mau memperkejakannya. 

"Aden, kok aden ada disini?" Tanya seseorang yang Clara yakini adalah asisten dari bocah ini.

"Bibi? Devan ketemu sama mama. Lihat, mama disamping Devan." Ucap Devan dengan nada cerianya.

Wanita itu hanya bisa tersenyum sendu. Ia tahu, bahwa majikan kecilnya belum bisa menerima kepergian ibu kandungnya. Ia menatap gadis yang berada disamping Devan. Benar. Gadis itu begitu mirip dengan mendiang ibu kandung Devan. Pantas saja, Devan mengira bahwa ia adalah ibu kandungnya yang telah tiada. 

"Den Devan. Pulang yuk. Papa pasti sudah menunggumu di rumah." Ucap asisten rumah tangga yang diketahui bernama Inah.

"Tapi Bi, Devan masih mau sama mama. Mama pulang yuk sama Devan. Nanti kalau mama mau sesuatu tinggal bilang sama Devan. Devan pasti bakal kasih. Setelah Devan meminta pada Papa." Ucap bocah itu gembira.

"Enh- kakak disini dulu ya adik manis. Kakak tidak mungkin ikut bersamamu." Ucap Clara ragu.

"Kok nggak mau? Mama marah ya sama Devan? Apa Devan nakal sekali sampai-sampai tak mau pulang terus tinggal sama-sama lagi?" 

"Bukan begitu. Ka-kakak masih banyak urusan. Jadi, kamu bisa pulang duluan ya. Nanti kakak menyusul." Ucap Clara lembut, tentu saja ia berbohong tentang perkara menyusul.

"Tapi janji ya Ma? Devan bakal tunggu kakak di rumah. Aku pulang dulu ya ma. Jaga diri mama baik-baik." Ucap Devan sembari menggandeng tangan keriput milik Inah.

           Clara hanya mengangguk ragu. Pulang katanya? Rumahnya saja tidak tahu. Bagaimana mungkin ia bisa menyusul bocah itu? Entahlah. Menggedikkan bahunya pelan. Ia tak perlu memikirkannya. Membuang waktu saja.

                              ***

             Devan begitu bahagia hari ini. Penantiannya tak berujung sia-sia. Ia bisa bertemu dengan mamanya. Ia tak menyangka bahwa hari ini adalah hari paling berharga bagi Devan. Setelah penantiannya selama dua tahun, ia bisa melihat mamanya lagi.

             Tapi, Devan merasa heran dengan mamanya. Kenapa mama menyebut dirinya sendiri dengan sebutan kakak? Apakah sebenarnya ia lupa dengan dirinya? Devan menghela nafas. Ia menundukkan kepalanya sedih.

             Devan hanya membolak- balikkan robotnya. Moodnya untuk bermain benar-benar turun. Ia menatap pintu besar rumahnya yang masih terbuka. Menanti kedatangan mamanya yang sudah berjanji kepadanya bahwa ia akan menyusul untuk pulang.

          Devan mulai mengembangkan senyumannya saat mendengar bunyi ketukan sepatu yang menggema. Itu pasti mamanya. Namun, tak lama kemudian, senyum itu luntur begitu saja. Saat mengetahui bahwa yang datang bukanlah mama, melainkan papa.

          Sang papa mengernyit heran ketika melihat anaknya malah menyambutnya dengan bibir berkerucut. Biasanya anak itu akan berlari menghampirinya dan memeluknya dengan ceria. Pasti ada yang tidak beres dengan anak semata wayangnya itu.

"Kenapa? Hm? Kok kamu nggak sambut papa kaya biasanya. Jangan cemberut, kamu jelek kalau cemberut." Ucap sang papa sembari mengelus kepala sang anak pelan.

"Pa, mama bohong. Mama katanya mau pulang nyusul Devan. Tapi sampai sekarang mama belum pulang-pulang. Padahal mama sudah berjanji sama Devan, kalau mama bakal pulang." Ucap Devan sendu.

"Mama?" 

"Iya pa. Tadi Devan ketemu sama mama di taman. Devan liat mama lagi duduk sendirian. Kasian ma. Tidak ada yang menemani mama sekali. Terus Devan menghampiri mama. Tapi mama lupain Devan." Ucap Devan panjang lebar.

           Nathan mengernyit heran mendengar perkataan anaknya. Ia menatap sendu sang anak. Sudah dua tahun berlalu, namun anak semata wayangnya belum bisa melupakan kepergian sang mama. 

"Lupain mama ya sayang. Pasti Devan capek sampai ngomong ngelantur seperti ini." Ucap Nathan lembut.

"Enggak pa. Devan nggak ngelantur. Devan beneran ketemu sama mama. Kenapa papa nggak percaya sama Devan. Apa papa yang ngelarang mama biar nggak pulang? Pantes aja papa selalu bilang kalau mama pergi jauh sekali. Faktanya mama ada disini papa! Papa jangan bohongin Devan!" Ucap Devan tanpa sadar meninggikan suaranya.

"DEVAN! Papa sudah bilang jangan bahas mama. Mama udah pergi! Jangan mengharapkan sesuatu yang tidak akan terjadi." Marah Nathan pada Devan.

          Devan menatap sang papa dengan mata berkaca-kaca. Ini pertama kali papanya membentaknya seperti ini. Sosok papanya yang lemah lembut dan bijak kini menjadi sosok monster yang menyeramkan hanya karena ia menyinggung tentang mamanya. Devan kesal bercampur sedih, seharusnya papanya orang pertama yang percaya segala ucapannya. 

"Papa kok bentak-bentak Devan. Emang salah kalau Devan ngomongin soal mama. Devan nggak bohong soal mama pa."

"Devan maaafin papa ya sayang. Papa nggak bermaksud bentak kamu. Papa cuma capek, makanya papa tersulut emosi. Sekarang Devan tidur ya, pasti kamu capek. Papa juga capek, mau istirahat." 

"Maaf ya pa. Devan udah bikin papa marah."

"Nggak sayang. Kamu nggak salah. Papa yang salah. Sekarang kamu tidur yaa.."

"Iya pa."

          Devan meletakkan robot mainnya kemudian meninggalkan Nathan. Bergegas untuk melakukan apa yang Nathan katakan padanya. Ia tak mau jika papanya kembali memarahinya akibat jadi anak pembangkang.

           Nathan menatap sang kepergian anak sedih. Ia mengadahkan kepalanya, berusaha menahan air matanya yang akan keluar dari pelupuk matanya. Ia memegang dadanya erat. Mengapa rasanya sesak sekali melihat sang anak selalu mencari mamanya? Dua tahun telah berlalu semenjak kepergian sang istri, akan tetapi anaknya dan ia sendiri belum bisa menerima kepergiannya. Namun, sebagai seorang ayah. Ia harus terlihat kuat di depan anaknya. Ia tak mau ikut terpuruk seperti anaknya. Itu akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anaknya.

          Ia menerawang ke belakang. Dulu keluarga kecilnya selalu merasakan sebuah kebahagiaan. Emilia, mendiang sang istri selalu mejadi cahaya di keluarga kecilnya. Rumahnya akan menjadi gelap tanpa kehadiran Emilia. Emilia bagaikan malaikat yang dititipkan  oleh Tuhan kepadanya. Ia begitu cantik dan memiliki sifat yang begitu baik. Emilia merupakan sosok sempurna menjadi sosok istri dan ibu. Ia tak pernah membantah perkataannya. Selalu bertutur kata lembut dan selalu memahami perasaannya. Ia menjadi penopang ketika ia terjatuh dan menjadi pelipur ketika ia merasa lelah. Emilia juga merupakan sosok yang sempurna menjadi seorang ibu. Ia selalu memberikan kasih sayang yang begitu berlimpah kepada Devan. Ia tak pernah membentak dan memarahi Devan. Jika Devan berbuat sebuah kesalahan, ia akan menghampirinya kemudian mengucapkan kalimat-kalimat nasihat yang membuat Devan paham. 

"Emilia. Kenapa sesulit ini hidup tanpa kamu? Kami kesulitan hidup tanpa kamu. Aku nggak tega melihat anak kita selalu menangis karena merindukanmu. Hatiku juga kosong Emilia. Do'akan aku agar aku bisa menjaga Devan seperti yang kamu katakan padaku." Ucap Nathan dalam hati.

      

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status