Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu.
Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya.
***
Dimas mulai membuka matanya. Pandangannya masih sangat buyar. Ini pertama kalinya ia terkejut sampai tak sadarkan diri seperti ini. Ia malu sekali. Ia malu karena menjadi kakek-kakek yang terkesan lebay.
Dimas masih berusaha untuk menetralkan pandangannya. Berharap apa yang dilihatnya tadi hanyalah mimpi. Ia tak mau melihat mendiang menantu lagi. Memang ia ingin menemuinya lagi. Namun, tidak dalam dunia nyata. Itu sangat menakutkan.
Dimas bangkit dari tidurnya. Ia sudah tak melihat atensi sang menantu lagi. Ia hanya melihat sang anak dan cucunya. Ia bernafas lega, setidaknya tadi hanyalah hayalan semata. Ia melihat kesana kemari memastikan bahwa mendiang menantunya tidak berada disekitarnya.
Nathan mengernyit heran. Ada apa dengan ayahnya ini? Mengapa ia terlihat seperti orang yang linglung. Nathan jadi heran sendiri. Biasanya sang ayah menjadi orang yang paling tenang dalam menghadapi sesuatu.
"Ayah cari apa?" Tanya Nathan penasaran.
"Ayah tadi melihat mendiang istri kamu Nathan. Dia berdiri disamping kamu. Ayah syok berat tadi. Saya nggak nyangka kalau mendiang istri kamu bisa gentayangan." Jelas sang Ayah.
"Ayah jangan bercanda. Tidak ada seorang pun yang bisa gentayangan setelah meninggal. Sebaiknya ayah periksakan diri ke rumah sakit. Saya yakin ada yang salah dengan kesehatan Ayah."
"Tidak Nathan. Ayah tadi benar-benar melihat mendiang istri kamu. Oh benar, apakah saya harus segera ke dokter? Sepertinya saya berhalusinasi terlalu tinggi."
Devan hanya menatap bingung kedua orang dewasa yang saling berbicara. Ia tak tahu kemana arah pembicaraan mereka. Namun, Devan sedikit faham tentang siapa yang sedang dibicarakan.
"Ayah, saya bisa jelaskan. Devan. Kamu ke kamar dulu ya. Ayah mau berbicara dengan kakek." Ucap Nathan pada sang anak.
Devan hanya mengangguk. Ia memilih meninggalkan dua duda beda usia itu. Otak kecilnya juga tak bisa mencerna apa yang mereka bicarakan. Jadi, lebih baik ia pergi ke kamarnya. Pasti Shiro, kucing kesayangannya sudah menunggunya di kamar.
Dimas menatap Nathan dengan wajah yang serius. Ia meminta penjelasan kepada Nathan pada hal yang dialaminya hari ini. Jantungnya masih berdetak begitu cepat, saking terkejutnya.
"Jadi begini. Gadis yang dilihat ayah bukanlah mendiang istri saya. Dia bernama Clara. Usianya masih tujuh belas tahun. Saya bertemu dengannya tadi pagi. Awalnya saya juga sangat syok saat pertama kali melihatnya. Namun, setelah diamati, gadis itu berbeda. Dia terlihat lebih pendek dan muda daripada mendiang istri saya. Makanya saya baru tahu, ternyata Devan terus saja menanyakan perihal mamanya karena bertemu dengan gadis itu. Karena sekilas, gadis itu begitu mirip dengan mendiang istri saya. Mungkin jika orang itu tidak teliti, orang itu akan menyangka bahwa dia adalah mendiang istri saya." Jelas Nathan panjang lebar.
"Ha? Bagaimana bisa. Apakah gadis itu memiliki hubungan darah dengan istri kamu? Sampai-sampai dia bisa mirip sekali dengannya?"
"Tidak tahu. Sepertinya tidak. Karena sebelumnya Emilia belum pernah bercerita bahwa dia memiliki saudara yang begitu mirip dengannya. Nanti Nathan akan mencari tahu."
"Lalu dimana gadis itu? Apakah sudah pergi?"
"Dia sudah pulang. Ia tak mau membuat dua kakaknya khawatir."
"Lalu, kamu tidak mengantarkannya pulang?"
"Bagaimana mungkin aku bisa mengantarkan gadis itu jika Ayah saja tepar seperti ini? Aku tak ingin berita bermunculan karena ada kakek tua yang meninggal dunia akibat ditinggalkan oleh anaknya untuk mengantarkan seorang gadis."
Dimas menggeplak kepala Nathan dengan kesal. Kenapa anak laki-lakinya yang satu ini begitu menyebalkan. Apakah sifatnya menurun kepada sang anak. Entahlah, jika ia tidak mengingat bahwa umurnya senja, maka tak segan ia ingin segera membanting Nathan hingga tulang anak itu remuk redam.
***
Clara memasuki apartemen dengan perasaan was-was. Ia sudah mengganti bajunya sebelum pulang. Nathan meminjami baju wanita entah milik siapa agar ia tidak menanggung malu ketika perjalanan pulang. Clara jadi merasa Anggun menjadi semakin anggun saat memakai baju ini.
Ia kesana kemari mencari keberadaan Alvin dan Audrey. Tak lama kemudian terdengar suara keras dari arah balkon apartemennya. Dengan segera Clara menuju ke arah sumber suara itu. Semoga dugaannya salah.
Benar saja. Clara melihat jika Alvin dan Audrey sedang beradu mulut. Ia jadi merasa begitu bersalah. Mungkin jika ia membawa ponselnya hal ini tak akan terjadi. Ia merutuki sendiri semua kecerobohannya.
"Kak Alvin, Kak Audrey udah." Cicit Clara kecil.
Yang disebutkan namanya segera menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Akhirnya, orang yang sejak tadi diperdebatkan kembali ke apartemen mereka. Hal-hal buruk yang mereka duga-duga tak terjadi sama sekali. Pasalnya Clara terlihat baik-baik saja.
"Darimana saja kamu?" Tanya Alvin dingin.
Clara sedikit terkejut mendengar perkataan Alvin yang terdengar begitu dingin dan menakutkan. Sebelumnya Alvin selalu berbicara hangat terhadapnya.
"Maaf." Lirih Clara.
"Aku tidak butuh permintaan maaf Clara! Aku butuh penjelasan."
"Maaf kak. Clara tidak akan mengulanginya lagi."
"Sekali lagi aku butuh penjelasan Clara! Bukan permintaan maaf."
"Kak Alvin jan-jangan marah." Ucap Clara dengan nada bergetar.
Alvin menghela nafasnya pelan. Ia harus meredamkan emosinya. Ia tak mau jika emosinya bisa menyakiti perasaan adiknya.
"Kakak tidak marah Clara. Kakak hanya khawatir. Asal kamu tahu Kakak sama Kak Audrey dari tadi uring-uringan karena kamu tidak pulang-pulang. Kamu tahu bagaimana takutnya kami? Kami akan merasa bersalah sekali jika terjadi sesuatu denganmu Clara." Jelas Alvin.
Audrey hanya menganggukkan kepalanya. Ia belum berani membuka suara disini. Bagaimanapun ia adalah orang yang patut disalahkan disini.
"Maaf kak. Tadi, saat aku ingin mengantarkan pesanan. Tiba-tiba saja, ada anak kecil yang tiba-tiba saja melintas di depanku. Jadi, aku berusaha menghindar. Tapi, malah aku yang terperosok ke selokan. Kemudian ayahnya mau mengantarkan aku pulang. Tapi saat perjalanan pulang, anaknya memintaku untuk ikut dengannya dengan kencang sekali. Aku tidak tega jika membiarkan dia terus menangis seperti itu." Jelas Clara panjang lebar.
"Baiklah. Kakak maafin kamu. Lain kali jangan diulangi ya. Dan Audrey, maaf ya, aku terlalu emosi." Ucap Alvin
"Tidak apa-apa, Mas. Aku maklum kok."
Alvin tersenyum lega. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia harus belajar kembali bagaimana cara mengontrol emosinya.
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men