Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh.
Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero.
"Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main sama Bi Inah tidak seru. Devan lebih suka bermain sama Mama." Cerita Devan panjang lebar.
Clara hanya tersenyum kikuk. Bagaimana mungkin ia merindukan rumah ini jika ia saja baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini?
"Mama dengar Devan tidak sih? Kok Mama diam saja?" Tanya Devan penasaran.
"Dengar kok." Jawab Clara singkat.
"Iya. Devan yakin pasti Mama kangen sekali dengan rumah ini. Iyakan?"
"I-iya."
Lebih baik Clara meng-iyalan segala ucapan Devan. Ia tak mau membuat anak itu kembali menangis lagi. Ia masih begitu menyayangi telinga cantiknya. Ia tak mau telinganya kembali berdenging seperti tadi.
Nathan hanya diam mendengar celotehan Devan. Diam-diam Nathan tersenyum tipis. Tipis sekali. Sampai-sampai tak ada yang menyadari bahwa pria itu tersenyum. Nathan tak pernah melihat Devan seceria ini setelah mendiang istrinya meninggal. Devan selalu murung, matanya tak pernah memancarkan keceriaan sama sekali. Sekalipun anak itu tertawa, namun tatapan itu begitu sendu. Nathan bersyukur kepada Tuhan, akhirnya Tuhan mengirimkan sosok yang bisa membuat keceriaan Nathan kembali. Walaupun hanya sekejap. Walaupun Nathan tahu, bahwa gadis polos itu terlihat begitu kebingungan saat sang anak memanggilnya Mama. Ia yakin, gadis itu merasa risih dengan panggilan itu. Namun, gadis itu berusaha agar tak menyakiti perasaan anak laki-laki satu-satunya itu. Nathan menjadi semakin kagum dengan gadis itu.
***
Edgar memiringkan bibirnya culas. Semua rencananya berjalan dengan sangat mulus. Ia berhasil menyentil perusahaan Nathan hingga membuat perusahaan raksasa itu sedikit goyah. Tak apa. Ini hanya permulaan. Ia akan melakukan hal yang lebih besar untuk menghancurkan Nathan. Edgar berfikir, bahwa apa yang dilakukan Nathan terhadapnya lebih sadis daripada apa yang dilakukannya. Jadi, ia harus membuat sesuatu yang lebih besar agar mudah menghancurkan Nathan dengan mudah. Jika bisa, ia akan melakukannya dengan tangan kosong.
Edgar memutar-mutar cincin berliannya pelan. Ia masih memikirkan berbagai cara. Hal kecil seperti ini saja, ia harus memikirkannya selama beberapa minggu. Apalagi hal besar? Kadang Edgar merutuki dirinya sendiri. Mengapa ia tak diberikan otak yang encer? Jika ia memilikinya, maka dengan mudah ia akan menemukan cara.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar ruangan Edgar. Dengan segera Edgar menyuruh agar orang itu segera masuk. Ia mengernyitkan keningnya heran. Saat orang itu masuk ke ruangannya dengan wajah yang macam. Firasat Edgar mengatakan bahwa ini terjadi hal buruk. Entah apa itu. Biasanya orang itu akan masuk dengan wajah yang cerah dan bergairah.
"Ada apa?" Tanya Edgar pada orang itu, Samuel.
"Gawat bos." Jawab Samuel singkat.
"Gawat bagaimana? Bicara yang jelas bod*h!"
"Sepertinya ada yang meretas perusahaan kita. Dan kita mengalami kerugian yang sangat besar!"
"Bagaimana bisa hal itu terjadi? Bagaimana mungkin ada orang yang berani meretas perusahaan kita. Bukankah saya sudah menerapkan sistem yang ketat hingga seseorang bisa meretasnya dengan mudah?"
"Iya bos. Memang bos sudah melakukan hal itu. Akan tetapi, saya yakin bahwa orang yang meretas perusahaan kita bukanlah orang sembarangan. Bos tahu sendiri, bahwa perusahaan kita sangat ketat."
"Sial. Siapa orang yang berani macam-macam dengan saya? Saya tak mau tahu, cepat cari bajing4n kecil itu!"
"Baik, Bos!"
Samuel dengan tergesa meninggalkan Edgar yang masih dipenuhi oleh amarah. Ia tak mau jika ia menjadi bahan amukan bos trempanentnya itu. Jadi, lebih baik ia meninggalkan tempat itu segera. Sebelum amarah bosnya meledak.
Edgar menendang apapun dengan penuh amarah. Mulutnya terus mengeluarkan umpatan-umpatan. Baru saja ia bisa merasakan sedikit euphoria karena telah berhasil menyentil perusahaan Nathan. Sekarang? Ia mendapatkan informasi yang membuatnya begitu kesal. Mengapa keberuntungan tak pernah berpihak kepadanya? Selalu saja kesialan-kesialan yang terus mengikutinya.
Edgar mendudukkan bokongnya pada kursi kebesaran miliknya. Ia tak siapa yang melakukan semua ini terhadapnya. Orang itu benar-benar berani membuatnya marah. Orang itu tak memiliki rasa takut sama sekali. Sadarkah ia, bahwa ia telah berurusan dengan salah satu orang terkaya di negeri ini?
Edgar memikirkan sesuatu. Pasti orang itu bukanlah orang sebarangan. Ia yakin, bahwa orang itu memiliki kuasa. Jadi siapa orang itu? Satu nama muncul dalam otak kecilnya. Ia yakin sekali bahwa orang itu adalah musuh bebuyutannya, Nathan.
Sial, pasti orang itu Nathan. Kenapa ia bisa kecolongan secepat ini? Apa ia yang terlalu bodoh dalam memilih seseorang untuk melakukan perintahnya? Edgar mengacak rambutnya kasar. Haruskah ia mengaku kalah dengan Nathan sekarang? Tidak. Ia tidak pernah terkalahkan dalam hal apapun. Ia tidak perlu mengakuinya sama sekali.
Ingin sekali Edgar membunuh orang suruhannya itu. Ia terlalu bodoh untuk melakukan tugas kecilnya. Bagaimana bisa orang itu tak melakukannya dengan mulus? Sampai-sampai semua jejaknya terlihat. Sekarang, ia rugi besar. Ia tak tahu harus bagaimana untuk memulihkan semuanya. Tangannya sudah gatal untuk segera mencekik pria itu.
***
Dimas baru saja bangun dari tidur nyenyaknya. Ia terbangun karena mendengar suara deritan pintu depannya. Ia yakin bahwa anak dan cucunya sudah pulang ke rumah. Dengan tergesa, Dimas segera bangun dari ranjang empuknya dan membasuh wajah sedikit keriputnya. Ia tak mau terlihat seperti si tua pemalas ulung di hadapan anaknya sendiri.
Setelah itu, ia segera menuruni tangga dengan cepat. Tak sabar untuk menyambut kedatangan anak dan cucunya. Katakanlah ia berlebihan, namun hal itu dilakukan karena ini adalah salah satu cara bahwa ia begitu mencintai dan menyayangi mereka berdua.
Setelah sampai di lantai bawah, Dimas terpaku sejenak. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat sosok yang ada di samping Nathan. Apakah ia sedang bermimpi? Bagaimana mungkin menantunya bisa berdiri di depannya? Seingatnya sang memantu telah meninggalkan mereka sejak dua tahun lalu? Lalu, bagaimana bisa dia berada disini? Tiba-tiba saja pandangannya mengabur hingga tubuhnya seakan melayang dan pandangannya menjadi gelap seketika.
Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu. Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya. ***&n
Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. CEKLEK!  
Clara menjalani pagi ini dengan penuh semangat. Ia berharap, hari ini bisa lebih baij daripada kemarin dan nasib baik akan menimpanya hari ini. Bukan nasib buruk seperti yang ia alami beberapa hari terakhir. Ia juga harus menebus kesalahannya pada Audrey dan Alvin karena telah membuat mereka cemas kemarin."Kak, nanti Clara yang antar pesanan lagi ya?" Ucap Clara pada Audrey."Tidak usah. Nanti kakak suruh yang lain saja. Kakak takut kalau kamu menghilang lagi. Kamu tahu sendirikan bagaimana Kak Alvin kalau sudah marah seperti apa? Kakak tidak mau dimarahi lagi." Jawab Audrey."Tapi Kak, aku tidak akan mengulanginya seperti kemarin. Kan kemarin aku sudah menjelaskan semuanya kalau ada kecelakaan kecil. Hari ini aku akan berhati-hati kok. Kakak jangan khawatir.""Tapi,Dek. Kakak masih khawatir kalau kejadian itu terulang lagi.""Aku akan membawa
Nathan menggeram kesal saat melihat wajah yang ada di depannya. Orang di depannya adalah Andrew. Pelaku korupsi yang menyebabkan perusahaannya rugi besar. Ia ingin sekali menelan bulat-bulat sosok yang telah membuat otaknya pening akhir-akhir ini. Sedangkan Andrew hanya bisa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Benar, ini memang kesalahannya. Jadi, wajar jika Nathan menjadi semarah ini. Namun, sebisa mungkin Andrew menutupi semua kejahatannya. Ia tak mau jika orang yang ada di belakangnya diketahui Nathan begitu saja. "Andrew, jelaskan apa maksudmu melakukan semua ini?" Tanya Nathan tegas. "Maksudnya apa Pak? Saya tidak faham ke arah mana Anda berbicara." Jawab Andrew berusaha sesantai mungkin. "Jangan pura-pura berlagak bodoh. Saya mengetahui semua kelakuan busukmu! Kamu tahu? Akibat dari ulahmu, saya banyak mengal
Devan bosan. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia begitu kebosanan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Hari libur seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Bukan malah menjadikannya mati kebosanan. Ia melihat sang ayah yang sedang asik membaca buku tebal dengan kacamata tebalnya. Sang ayah terlihat begitu asik membaca buku tebal itu. Devan jadi penasaran, memangnya apa isi dalam buku itu? Sampai-sampao ayahnya suka sekali membaca bucu sejenisnya. Dengan segera ia bangkit dari sofa tempat ia tiduri. Ia segera menghampiri sang ayah yang masih memfokuskan pandangannya pada buku tebal miliknya. Kemudian, ia mendudukkan pantatnya di sebelah sang ayah. Mata besarnya melirik buku yang masih di pegang sang ayah. Devan mengernyit heran. Tidak ada yang menarik dari buku ini. Hanya tulisan-tulisan kecil yang begitu banyak sampai Devan tak begitu mengerti apa isi dari buku tersebut. Tidak s
Devan terlihat bersemangat sekali. Ia tak sabar untuk segera menemui Clara. Ia bahkan mau membersihkan dirinya sendiri tanpa disuruh. Katanya ia harus terlihat tampan, rapi, dan wangi saat menemui Clara. Ia tidak mau terlihat buluk di depan Clara. Nathan hanya terkekeh pelan melihat tingkah laku sang anak. Kehadiran Clara membuat hidup Devan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia terlihat memancarkan sebuah kebahagiaan setelah ia bertemu dengan sosok yang begitu mirip dengan mendiang istrinya itu. "Devan? Sudah siap?" Tanya Nathan. Devan hanya mengangguk semangat. Kemudian meraih tangan besar sang ayah lalu menuntunnya ke arah mobil hitam milik sang ayah. Ia bahkan dengan tak sabaran menyuruh ayahnya untuk segera membuka pintu mobil. Nathan hanya bisa menuruti semua perintah a
Clara menghembuskan nafasnya lelah. Mengapa Pak Nathan lama sekali? Perutnya sudah lama sekali meminta diisi. Cacing-cacing di perutnya sudah konser sampai suaranya begitu keras. Bunyi bel apartemen berbunyi. Clara segera menuju ke arah sumber suara. Ia yakin sekali bahwa itu adalah Nathan. Ia tak sabar untuk melahap makanan yang ia bawa. Clara tersenyum lebar saat melihat barang bawaan Nathan. Itu pasti pesanannya. Ia tak sabar merasakan betapa nikmatnya pizza yang sudah lama Clara tak bisa menikmatinya itu. Ia bahkan dengansembrono menarik tangan Nathan masuk ke dalam apartemennya. Mengabaikan Devan yang masih menatap keduanya bingung. Devan melongo. Kenapa mamanya tak menyambutnya sama sekali? Devan mendengus kesal. Mungkin karena mama lebih merindukan papa daripada dia.
Tak terasa, beberapa waktu tela berlalu. Nathan masih asik mengamati interaksi antara Clara dengan sang anak. Ia tak menyangka jika mereka bisa seakrab ini dalam waktu dekat. Apakah mereka terlibat dalam hubungan batin? Entahlah, Nathan sendiri bingung memikirkannya. Clara tertawa lebar. Bermain dengan Devan tak seburuk yang ia kira. Devan seakan menjadi cahayanya setelah beberapa terakhir kehidupannya terasa redup. Devan menjadi penghibur tersendiri bagi Clara. Selang beberapa lama, Devan menguap lebar. Ini sudah menunjukkan pukul dua belas. Biasanya Devan sudah tidur siang. Karena itu, Devan sudah mengantuk. Ia membutuhkan tidur siang."Devan mengantuk? Pulang yuk. Kamu harus tidur sekarang." Ucap Nathan pada sang putra."Tidak mau Papa. Devan masih mau main sama Mama. Nanti di rumah Devan bisa keb