Share

Part 10

                 Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh. 

        Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero. 

"Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main sama Bi Inah tidak seru. Devan lebih suka bermain sama Mama." Cerita Devan panjang lebar.

         Clara hanya tersenyum kikuk. Bagaimana mungkin ia merindukan rumah ini jika ia saja baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini? 

"Mama dengar Devan tidak sih? Kok Mama diam saja?" Tanya Devan penasaran.

"Dengar kok." Jawab Clara singkat.

"Iya. Devan yakin pasti Mama kangen sekali dengan rumah ini. Iyakan?"

"I-iya."

          Lebih baik Clara meng-iyalan segala ucapan Devan. Ia tak mau membuat anak itu kembali menangis lagi. Ia masih begitu menyayangi telinga cantiknya. Ia tak mau telinganya kembali berdenging seperti tadi.

           Nathan hanya diam mendengar celotehan Devan. Diam-diam Nathan tersenyum tipis. Tipis sekali. Sampai-sampai tak ada yang menyadari bahwa pria itu tersenyum. Nathan tak pernah melihat Devan seceria ini setelah mendiang istrinya meninggal. Devan selalu murung, matanya tak pernah memancarkan keceriaan sama sekali. Sekalipun anak itu tertawa, namun tatapan itu begitu sendu. Nathan bersyukur kepada Tuhan, akhirnya Tuhan mengirimkan sosok yang bisa membuat keceriaan Nathan kembali. Walaupun hanya sekejap. Walaupun Nathan tahu, bahwa gadis polos itu terlihat begitu kebingungan saat sang anak memanggilnya Mama. Ia yakin,  gadis itu merasa risih dengan panggilan itu. Namun, gadis itu berusaha agar tak menyakiti perasaan anak laki-laki satu-satunya itu. Nathan menjadi semakin kagum dengan gadis itu.

                              *** 

       Edgar memiringkan bibirnya culas. Semua rencananya berjalan dengan sangat mulus. Ia berhasil menyentil perusahaan Nathan hingga membuat perusahaan raksasa itu sedikit goyah. Tak apa. Ini hanya permulaan. Ia akan melakukan hal yang lebih besar untuk menghancurkan Nathan. Edgar berfikir, bahwa apa yang dilakukan Nathan terhadapnya lebih sadis daripada apa yang dilakukannya. Jadi, ia harus membuat sesuatu yang lebih besar agar mudah menghancurkan Nathan dengan mudah. Jika bisa, ia akan melakukannya dengan tangan kosong.

         Edgar memutar-mutar cincin berliannya pelan. Ia masih memikirkan berbagai cara. Hal kecil seperti ini saja, ia harus memikirkannya selama beberapa minggu. Apalagi hal besar? Kadang Edgar merutuki dirinya sendiri. Mengapa ia tak diberikan otak yang encer? Jika ia memilikinya, maka dengan mudah ia akan menemukan cara. 

           Suara ketukan pintu terdengar dari luar ruangan Edgar. Dengan segera Edgar menyuruh agar orang itu segera masuk.  Ia mengernyitkan keningnya heran. Saat orang itu masuk ke ruangannya dengan wajah yang macam. Firasat Edgar mengatakan bahwa ini terjadi hal buruk. Entah apa itu. Biasanya orang itu akan masuk dengan wajah yang cerah dan bergairah.

"Ada apa?" Tanya Edgar pada orang itu, Samuel.

"Gawat bos." Jawab Samuel singkat.

"Gawat bagaimana? Bicara yang jelas bod*h!"

"Sepertinya ada yang meretas perusahaan kita. Dan kita mengalami kerugian yang sangat besar!" 

"Bagaimana bisa hal itu terjadi? Bagaimana mungkin ada orang yang berani meretas perusahaan kita. Bukankah saya sudah menerapkan sistem yang ketat hingga seseorang bisa meretasnya dengan mudah?"

"Iya bos. Memang bos sudah melakukan hal itu. Akan tetapi, saya yakin bahwa orang yang meretas perusahaan kita bukanlah orang sembarangan. Bos tahu sendiri, bahwa perusahaan kita sangat ketat."

"Sial. Siapa orang yang berani macam-macam dengan saya? Saya tak mau tahu, cepat cari bajing4n kecil itu!"

"Baik, Bos!"

         Samuel dengan tergesa meninggalkan Edgar yang masih dipenuhi oleh amarah. Ia tak mau jika ia menjadi bahan amukan bos trempanentnya itu. Jadi, lebih baik ia meninggalkan tempat itu segera. Sebelum amarah bosnya meledak.

         Edgar menendang apapun dengan penuh amarah. Mulutnya terus mengeluarkan umpatan-umpatan. Baru saja ia bisa merasakan sedikit euphoria karena telah berhasil menyentil perusahaan Nathan. Sekarang? Ia mendapatkan informasi yang membuatnya begitu kesal. Mengapa keberuntungan tak pernah berpihak kepadanya? Selalu saja kesialan-kesialan yang terus mengikutinya.

        Edgar mendudukkan bokongnya pada kursi kebesaran miliknya. Ia tak siapa yang melakukan semua ini terhadapnya. Orang itu benar-benar berani membuatnya marah. Orang itu tak memiliki rasa takut sama sekali. Sadarkah ia, bahwa ia telah berurusan dengan salah satu orang terkaya di negeri ini? 

        Edgar memikirkan sesuatu. Pasti orang itu bukanlah orang sebarangan. Ia yakin, bahwa orang itu memiliki kuasa. Jadi siapa orang itu? Satu nama muncul dalam otak kecilnya. Ia yakin sekali bahwa orang itu adalah musuh bebuyutannya, Nathan. 

        Sial, pasti orang itu Nathan. Kenapa ia bisa kecolongan secepat ini? Apa ia yang terlalu bodoh dalam memilih seseorang untuk melakukan perintahnya? Edgar mengacak rambutnya kasar. Haruskah ia mengaku kalah dengan Nathan sekarang? Tidak. Ia tidak pernah terkalahkan dalam hal apapun. Ia tidak perlu mengakuinya sama sekali.

         Ingin sekali Edgar membunuh orang suruhannya itu. Ia terlalu bodoh untuk melakukan tugas kecilnya. Bagaimana bisa orang itu tak melakukannya dengan mulus? Sampai-sampai semua jejaknya terlihat. Sekarang, ia rugi besar. Ia tak tahu harus bagaimana untuk memulihkan semuanya. Tangannya sudah gatal untuk segera mencekik pria itu. 

                                ***

         Dimas baru saja bangun dari tidur nyenyaknya. Ia terbangun karena mendengar suara deritan pintu depannya. Ia yakin bahwa anak dan cucunya sudah pulang ke rumah. Dengan tergesa, Dimas segera bangun dari ranjang empuknya dan membasuh wajah sedikit keriputnya. Ia tak mau terlihat seperti si tua pemalas ulung di hadapan anaknya sendiri. 

        Setelah itu, ia segera menuruni tangga dengan cepat. Tak sabar untuk menyambut kedatangan anak dan cucunya. Katakanlah ia berlebihan, namun hal itu dilakukan karena ini adalah salah satu cara bahwa ia begitu mencintai dan menyayangi mereka berdua.

       Setelah sampai di lantai bawah, Dimas terpaku sejenak. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat sosok yang ada di samping Nathan. Apakah ia sedang bermimpi? Bagaimana mungkin menantunya bisa berdiri di depannya? Seingatnya sang memantu telah meninggalkan mereka sejak dua tahun lalu? Lalu, bagaimana bisa dia berada disini? Tiba-tiba saja pandangannya mengabur hingga tubuhnya seakan melayang dan pandangannya menjadi gelap seketika.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status