Share

Part 12

          Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? 

          Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. 

    CEKLEK!

        Clara menolehkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. Benar saja, Audrey masuk begitu saja untuk menghampirinya. Matanya begitu teduh saat menatap Clara, menampakkan kasih sayang yang begitu besar saat melihat Clara. 

"Kak Audrey? Kenapa belum tidur?" Tanya Clara.

"Kamu sendiri belum tidur? Kenapa,hm? Anak kecil tidak boleh tidur terlalu malam." Jawab Audrey diiringi gurauan.

"Aku bukan anak kecil,Kak. Bahkan aku sudah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasku."

"Di mata kakak, kamu tetap menjadi adik kecilku. Bahkan sampai kamu berusia tiga puluh pun kakak akan tetap memanggilmu adik kecil."

"Terserah Kakak." Ucap Clara sembari menggerutu.

"Jangan ngambek. Jelek. Kenapa belum tidur? Sedang memikirkan apa sih? Tadi kelihatan serius sekali."

"Sedang memikirkan kejadian tadi siang,Kak. Saat aku melihat mereka rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Mereka selalu menatapku dengan pandangan yang berbeda. Tak tahu kenapa. Tapi menurutku, aku memiliki kemiripan dengan orang yang mereka cintai,Kak. Tadi saja saat aku berpamitan pulang, mereka menatapku dengan pandangan tak rela. Apalagi anaknya, dia sampai mau menangis lagi."

"Anaknya? Apakah anak itu adalah anak yang sama saat menemui kita waktu itu?" Tanya Audrey memastikan.

"Benar,Kak. Tidak tahu kenapa anak itu tetap memanggilku mama. Padahal, aku selalu menyuruhnya untuk memanggilku kakak."

"Mungkin karena dia terlalu merindukan ibunya. Jadi dia memanggilmu seperti itu."

        Clara hanya menggedikkan bahunya. Ia juga tak faham. Lebih baik ia segera menidurkan dirinya sendiri. Memikirkan itu saja telah membuatnya pusing. Semoga esok, Clara tak mengalaminya lagi.

                              ***

            Nathan memijit pelipisnya pelan. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Setelah memutuskan untuk menjemput Devan di sekolah tadi, ia harus menyelesaikan semua pekerjaan yang telah ia tinggalkan. Tak apa, ini semua demi putra semata wayangnya. Ia tak mau jika sang putra kembali merasa kesepian karena ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Terkadang Nathan sampai tak menyadari bagaimana proses tumbuh kembang sang anak. 

           Nathan mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuknya. Ada sesuatu yang masih mengganjal. Ia ingat, ia harus menghubungi Jovian sekarang. Ia harus tahu bagaimana perkembangan kasusnya. Apakah benar dugaan mereka waktu itu.

          Nathan segera mengotak-atik ponselnya. Ia harus segera menghubungi Jovian. Ia tak mau jika kasus ini tak diselesaikan dengan cepat. Ia tak mau jika kasus ini terus berlarut-larut.

         Sementara di seberang sana Jovian sedang bersantai. Ia senang sekali hari ini. Pekerjaannya selesai dengan cepat. Ia juga sudah menemukan siapa dalang dibalik korupsi itu. Ia tak menyangka jika otaknya begitu bisa diandalkan. Rencananya ia akan tidur dengan cepat. Ia harus mengistirahatkan tubuh lelahnya yang telah ia forsir dalam beberapa terakhir. 

         Baru saja Jovian ingin merebahkan tubuhnya, ponselnya berdering begitu saja. Saat melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. Jovian menghela nafas. Sepertinya rencana pada malam ini harus gagal akibat sang atasannya menelfonnya tiba-tiba. Jika ia punya kuasa, ingin sekali ia memutus panggilan itu. Namun, ia segera menyadari. Bahwa ia hanyalah bawahan yang masih membutuhkan gaji dari sang atasan. Jika gajinya macet, maka rencana pernikahannya dengan sang kekasih tak kunjung akan terlaksana.

"Selamat malam, Pak." Ucap Jovian.

"Iya. Jovian, tolong datang ke rumah saya sekarang!"

"Lho, ada apa pak?" Tanya Jovian penasaran.

"Ada hal yang ingin saya bicarakan. Tentang masalah waktu itu."

"Tentang korupsi?"

"Betul."

"Saya sudah menemukan pelakunya,Pak. Tapi, bisakah kita bicarakan ini besok saja,Pak? Mata saya tinggal lima watt saja. Saya benar-benar kesulitan membuka mata saat ini. Saya takut jika dalam kondisi mengantuk saat menyetir untuk menuju ke rumah Bapak tiba-tiba saya kecelakaan bagainana Pak? Saya masih muda dan belum menikah. Jadi besok saja ya,Pak?"

"Kamu bisa memesan taxi. Atau saya suruh supir untuk menjemputmu?"

"Aduh, maaf Pak. Saya benar-benar tidak bisa. Tolong jangan potong gaji saya. Saya benar-benar mengantuk. Jika saya mengantuk, otak bodoh ini tidak bisa diandalkan Pak. Maafkan saya."

"Hm. Baiklah. Kita bicarakan besok."

"Terimakasih,Pak."

         Jovian segera memutuskan panggilannya. Ia mengelus dadanya pelan. Untung saja, sang atasan sedang berada dalam metode malaikat. Jadi ia tak perlu khawatir jika jadwal tidur lebih awalnya akan terganggu. 

                             ***

         Nathan meletakkan ponselnya cepat. Setidaknya ia bisa bernafas sedikit lega saat mengetahui informasi dari Jovian. Bawahannya memang bisa diandalkan. Bahkan, ia belum sempat menemukan suatu titik sedikit akan akar permasalahan dari kasus yang dialaminya.

         Ia menatap sang anak yang sudah terlelap di ranjang besarnya. Katanya anak itu ingin menemani sang ayah yang sedang bekerja. Nathan tersenyum gemas, menemani apa? Bahkan anaknya sudah tertidur pulas saat ia belum menyelesaikan separuh dari pekerjaannya.

         Nathan segera menutup laptopnya. Kemudian merenggangkan seluruh tubuhnya yang terasa lelah hingga menimbulkan bunyi germeletuk. Setelah itu, Nathan membaringkan tubuh besarnya di samping sang anak. Ia mengusap wajah mungil itu lembut. Wajah putranya begitu mirip dengan dirinya. Ia serasa memiliki fotokopi dirinya.

        Nathan membenarkan selimut sang anak yang berantakan. Kemudian memeluk anak itu dengan penuh kehangatan. Beberapa kali Nathan memberikam kecupan-kecupan kecil pada wajah mungil Devan. Nathan terkikik geli saat melihat Devan mengerutkan keningnya pelan. Pertanda bahwa tidur sang putra terganggu.

         Nathan berandai-andai. Mungkin jika sang istri masih berada disampingnya pasti ia akan dimarahi sang istri habis-habisan. Emilia paling tidak suka jika tidur sang anak diganggu. Bahkan Emilia tak segan-segan untuk memukul kepala Nathan dengan keras jika Nathab melakukan seperti apa yang ia lakukan sekarang. 

         Nathan menggelengkan pelan. Ia harus berhenti berandai-andai. Ia harus menatap ke depan. Tak boleh ke belakang. Ia harus membuktikan kepada mendiang sang istri, bahwa ia bisa mengurus anak mereka dengan baik. Ia akan membuat Devan menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh mereka. Ya, semoga Nathan tak mengecewakan mendiang sang istri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status