Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu?
Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami.
CEKLEK!
Clara menolehkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. Benar saja, Audrey masuk begitu saja untuk menghampirinya. Matanya begitu teduh saat menatap Clara, menampakkan kasih sayang yang begitu besar saat melihat Clara.
"Kak Audrey? Kenapa belum tidur?" Tanya Clara.
"Kamu sendiri belum tidur? Kenapa,hm? Anak kecil tidak boleh tidur terlalu malam." Jawab Audrey diiringi gurauan.
"Aku bukan anak kecil,Kak. Bahkan aku sudah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasku."
"Di mata kakak, kamu tetap menjadi adik kecilku. Bahkan sampai kamu berusia tiga puluh pun kakak akan tetap memanggilmu adik kecil."
"Terserah Kakak." Ucap Clara sembari menggerutu.
"Jangan ngambek. Jelek. Kenapa belum tidur? Sedang memikirkan apa sih? Tadi kelihatan serius sekali."
"Sedang memikirkan kejadian tadi siang,Kak. Saat aku melihat mereka rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Mereka selalu menatapku dengan pandangan yang berbeda. Tak tahu kenapa. Tapi menurutku, aku memiliki kemiripan dengan orang yang mereka cintai,Kak. Tadi saja saat aku berpamitan pulang, mereka menatapku dengan pandangan tak rela. Apalagi anaknya, dia sampai mau menangis lagi."
"Anaknya? Apakah anak itu adalah anak yang sama saat menemui kita waktu itu?" Tanya Audrey memastikan.
"Benar,Kak. Tidak tahu kenapa anak itu tetap memanggilku mama. Padahal, aku selalu menyuruhnya untuk memanggilku kakak."
"Mungkin karena dia terlalu merindukan ibunya. Jadi dia memanggilmu seperti itu."
Clara hanya menggedikkan bahunya. Ia juga tak faham. Lebih baik ia segera menidurkan dirinya sendiri. Memikirkan itu saja telah membuatnya pusing. Semoga esok, Clara tak mengalaminya lagi.
***
Nathan memijit pelipisnya pelan. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Setelah memutuskan untuk menjemput Devan di sekolah tadi, ia harus menyelesaikan semua pekerjaan yang telah ia tinggalkan. Tak apa, ini semua demi putra semata wayangnya. Ia tak mau jika sang putra kembali merasa kesepian karena ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Terkadang Nathan sampai tak menyadari bagaimana proses tumbuh kembang sang anak.
Nathan mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuknya. Ada sesuatu yang masih mengganjal. Ia ingat, ia harus menghubungi Jovian sekarang. Ia harus tahu bagaimana perkembangan kasusnya. Apakah benar dugaan mereka waktu itu.
Nathan segera mengotak-atik ponselnya. Ia harus segera menghubungi Jovian. Ia tak mau jika kasus ini tak diselesaikan dengan cepat. Ia tak mau jika kasus ini terus berlarut-larut.
Sementara di seberang sana Jovian sedang bersantai. Ia senang sekali hari ini. Pekerjaannya selesai dengan cepat. Ia juga sudah menemukan siapa dalang dibalik korupsi itu. Ia tak menyangka jika otaknya begitu bisa diandalkan. Rencananya ia akan tidur dengan cepat. Ia harus mengistirahatkan tubuh lelahnya yang telah ia forsir dalam beberapa terakhir.
Baru saja Jovian ingin merebahkan tubuhnya, ponselnya berdering begitu saja. Saat melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. Jovian menghela nafas. Sepertinya rencana pada malam ini harus gagal akibat sang atasannya menelfonnya tiba-tiba. Jika ia punya kuasa, ingin sekali ia memutus panggilan itu. Namun, ia segera menyadari. Bahwa ia hanyalah bawahan yang masih membutuhkan gaji dari sang atasan. Jika gajinya macet, maka rencana pernikahannya dengan sang kekasih tak kunjung akan terlaksana.
"Selamat malam, Pak." Ucap Jovian.
"Iya. Jovian, tolong datang ke rumah saya sekarang!"
"Lho, ada apa pak?" Tanya Jovian penasaran.
"Ada hal yang ingin saya bicarakan. Tentang masalah waktu itu."
"Tentang korupsi?"
"Betul."
"Saya sudah menemukan pelakunya,Pak. Tapi, bisakah kita bicarakan ini besok saja,Pak? Mata saya tinggal lima watt saja. Saya benar-benar kesulitan membuka mata saat ini. Saya takut jika dalam kondisi mengantuk saat menyetir untuk menuju ke rumah Bapak tiba-tiba saya kecelakaan bagainana Pak? Saya masih muda dan belum menikah. Jadi besok saja ya,Pak?"
"Kamu bisa memesan taxi. Atau saya suruh supir untuk menjemputmu?"
"Aduh, maaf Pak. Saya benar-benar tidak bisa. Tolong jangan potong gaji saya. Saya benar-benar mengantuk. Jika saya mengantuk, otak bodoh ini tidak bisa diandalkan Pak. Maafkan saya."
"Hm. Baiklah. Kita bicarakan besok."
"Terimakasih,Pak."
Jovian segera memutuskan panggilannya. Ia mengelus dadanya pelan. Untung saja, sang atasan sedang berada dalam metode malaikat. Jadi ia tak perlu khawatir jika jadwal tidur lebih awalnya akan terganggu.
***
Nathan meletakkan ponselnya cepat. Setidaknya ia bisa bernafas sedikit lega saat mengetahui informasi dari Jovian. Bawahannya memang bisa diandalkan. Bahkan, ia belum sempat menemukan suatu titik sedikit akan akar permasalahan dari kasus yang dialaminya.
Ia menatap sang anak yang sudah terlelap di ranjang besarnya. Katanya anak itu ingin menemani sang ayah yang sedang bekerja. Nathan tersenyum gemas, menemani apa? Bahkan anaknya sudah tertidur pulas saat ia belum menyelesaikan separuh dari pekerjaannya.
Nathan segera menutup laptopnya. Kemudian merenggangkan seluruh tubuhnya yang terasa lelah hingga menimbulkan bunyi germeletuk. Setelah itu, Nathan membaringkan tubuh besarnya di samping sang anak. Ia mengusap wajah mungil itu lembut. Wajah putranya begitu mirip dengan dirinya. Ia serasa memiliki fotokopi dirinya.
Nathan membenarkan selimut sang anak yang berantakan. Kemudian memeluk anak itu dengan penuh kehangatan. Beberapa kali Nathan memberikam kecupan-kecupan kecil pada wajah mungil Devan. Nathan terkikik geli saat melihat Devan mengerutkan keningnya pelan. Pertanda bahwa tidur sang putra terganggu.
Nathan berandai-andai. Mungkin jika sang istri masih berada disampingnya pasti ia akan dimarahi sang istri habis-habisan. Emilia paling tidak suka jika tidur sang anak diganggu. Bahkan Emilia tak segan-segan untuk memukul kepala Nathan dengan keras jika Nathab melakukan seperti apa yang ia lakukan sekarang.
Nathan menggelengkan pelan. Ia harus berhenti berandai-andai. Ia harus menatap ke depan. Tak boleh ke belakang. Ia harus membuktikan kepada mendiang sang istri, bahwa ia bisa mengurus anak mereka dengan baik. Ia akan membuat Devan menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh mereka. Ya, semoga Nathan tak mengecewakan mendiang sang istri.
Clara menjalani pagi ini dengan penuh semangat. Ia berharap, hari ini bisa lebih baij daripada kemarin dan nasib baik akan menimpanya hari ini. Bukan nasib buruk seperti yang ia alami beberapa hari terakhir. Ia juga harus menebus kesalahannya pada Audrey dan Alvin karena telah membuat mereka cemas kemarin."Kak, nanti Clara yang antar pesanan lagi ya?" Ucap Clara pada Audrey."Tidak usah. Nanti kakak suruh yang lain saja. Kakak takut kalau kamu menghilang lagi. Kamu tahu sendirikan bagaimana Kak Alvin kalau sudah marah seperti apa? Kakak tidak mau dimarahi lagi." Jawab Audrey."Tapi Kak, aku tidak akan mengulanginya seperti kemarin. Kan kemarin aku sudah menjelaskan semuanya kalau ada kecelakaan kecil. Hari ini aku akan berhati-hati kok. Kakak jangan khawatir.""Tapi,Dek. Kakak masih khawatir kalau kejadian itu terulang lagi.""Aku akan membawa
Nathan menggeram kesal saat melihat wajah yang ada di depannya. Orang di depannya adalah Andrew. Pelaku korupsi yang menyebabkan perusahaannya rugi besar. Ia ingin sekali menelan bulat-bulat sosok yang telah membuat otaknya pening akhir-akhir ini. Sedangkan Andrew hanya bisa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Benar, ini memang kesalahannya. Jadi, wajar jika Nathan menjadi semarah ini. Namun, sebisa mungkin Andrew menutupi semua kejahatannya. Ia tak mau jika orang yang ada di belakangnya diketahui Nathan begitu saja. "Andrew, jelaskan apa maksudmu melakukan semua ini?" Tanya Nathan tegas. "Maksudnya apa Pak? Saya tidak faham ke arah mana Anda berbicara." Jawab Andrew berusaha sesantai mungkin. "Jangan pura-pura berlagak bodoh. Saya mengetahui semua kelakuan busukmu! Kamu tahu? Akibat dari ulahmu, saya banyak mengal
Devan bosan. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia begitu kebosanan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Hari libur seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Bukan malah menjadikannya mati kebosanan. Ia melihat sang ayah yang sedang asik membaca buku tebal dengan kacamata tebalnya. Sang ayah terlihat begitu asik membaca buku tebal itu. Devan jadi penasaran, memangnya apa isi dalam buku itu? Sampai-sampao ayahnya suka sekali membaca bucu sejenisnya. Dengan segera ia bangkit dari sofa tempat ia tiduri. Ia segera menghampiri sang ayah yang masih memfokuskan pandangannya pada buku tebal miliknya. Kemudian, ia mendudukkan pantatnya di sebelah sang ayah. Mata besarnya melirik buku yang masih di pegang sang ayah. Devan mengernyit heran. Tidak ada yang menarik dari buku ini. Hanya tulisan-tulisan kecil yang begitu banyak sampai Devan tak begitu mengerti apa isi dari buku tersebut. Tidak s
Devan terlihat bersemangat sekali. Ia tak sabar untuk segera menemui Clara. Ia bahkan mau membersihkan dirinya sendiri tanpa disuruh. Katanya ia harus terlihat tampan, rapi, dan wangi saat menemui Clara. Ia tidak mau terlihat buluk di depan Clara. Nathan hanya terkekeh pelan melihat tingkah laku sang anak. Kehadiran Clara membuat hidup Devan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia terlihat memancarkan sebuah kebahagiaan setelah ia bertemu dengan sosok yang begitu mirip dengan mendiang istrinya itu. "Devan? Sudah siap?" Tanya Nathan. Devan hanya mengangguk semangat. Kemudian meraih tangan besar sang ayah lalu menuntunnya ke arah mobil hitam milik sang ayah. Ia bahkan dengan tak sabaran menyuruh ayahnya untuk segera membuka pintu mobil. Nathan hanya bisa menuruti semua perintah a
Clara menghembuskan nafasnya lelah. Mengapa Pak Nathan lama sekali? Perutnya sudah lama sekali meminta diisi. Cacing-cacing di perutnya sudah konser sampai suaranya begitu keras. Bunyi bel apartemen berbunyi. Clara segera menuju ke arah sumber suara. Ia yakin sekali bahwa itu adalah Nathan. Ia tak sabar untuk melahap makanan yang ia bawa. Clara tersenyum lebar saat melihat barang bawaan Nathan. Itu pasti pesanannya. Ia tak sabar merasakan betapa nikmatnya pizza yang sudah lama Clara tak bisa menikmatinya itu. Ia bahkan dengansembrono menarik tangan Nathan masuk ke dalam apartemennya. Mengabaikan Devan yang masih menatap keduanya bingung. Devan melongo. Kenapa mamanya tak menyambutnya sama sekali? Devan mendengus kesal. Mungkin karena mama lebih merindukan papa daripada dia.
Tak terasa, beberapa waktu tela berlalu. Nathan masih asik mengamati interaksi antara Clara dengan sang anak. Ia tak menyangka jika mereka bisa seakrab ini dalam waktu dekat. Apakah mereka terlibat dalam hubungan batin? Entahlah, Nathan sendiri bingung memikirkannya. Clara tertawa lebar. Bermain dengan Devan tak seburuk yang ia kira. Devan seakan menjadi cahayanya setelah beberapa terakhir kehidupannya terasa redup. Devan menjadi penghibur tersendiri bagi Clara. Selang beberapa lama, Devan menguap lebar. Ini sudah menunjukkan pukul dua belas. Biasanya Devan sudah tidur siang. Karena itu, Devan sudah mengantuk. Ia membutuhkan tidur siang."Devan mengantuk? Pulang yuk. Kamu harus tidur sekarang." Ucap Nathan pada sang putra."Tidak mau Papa. Devan masih mau main sama Mama. Nanti di rumah Devan bisa keb
Devan senang sekali karena siang ini ia dijemput oleh seseorang yang tak pernah terbayangkan bahwa ia akan dijemput oleh orang itu. Itu adalah kakeknya, ia terlihat menunggu Devan di depan gerbang dengan bersedekap dada. Saat melihat kedatangan sang cucu, Dimas langsung merenggangkan tangannya. Pertanda ingin dipeluk. Devan segera mempercepat langkah kakinya. Ia tak sabar untuk memeluk kakeknya. Ia bahkan beberapa kali sempat tersandung kakinya sendiri namun tak ia hiraukan. Ia tetap menatap lurus ke depan, memuju sang kakek. Dimas memeluk tubuh kecil itu ketika sudah sampai di didepannya. Ia beberapa kalo menggoyangkan tubuh mungil itu ke kanan dan ke kiri. Gemas sekali."Tumben kakek yang jemput Devan? Biasanya, Bi Inah yang selalu menjemput Devan." Ucap Devan bingung."Bi Inah sedang kembal
Devan tergesa berlari menuju ke ruang sang ayah. Ia tidak sabar untuk menemuinya. Setelah tadi ia sempat terkantuk-kantuk tadi, sekarang matanya sudah terbuka lebar. Bahkan sang kakek sampai kewalahan untuk menyamakakan langkahnya dengan sang cucu. Dimas mulai sadar, bahwa tubuhnya memang sudah mulai renta. Devan segera membuka pintu ruangan sang ayah. Senyum lebarnya tiba-tiba saja menghilang ketika melihat wanita yang ada di depan papanya. Dengan kesal, ia menghampiri Nathan dengan bibir yang dikerucutkan. Sebal sekali. "Pa, kenapa ada tante menor ini disini? Devan tidak suka! Devan maunya mama! Bukan tante menor!" Ucap Devan kesal. "Hus. Kamu tidak boleh berbicara seperti itu sayang. Bagaimanapun juga, tante Wilda lebih tua dari kamu." Nasihat Nathan. Nathan pun sama kesalnya dengan kedatangan