Share

Part 12

Author: Nur Cahaya
last update Last Updated: 2022-03-03 17:20:44

          Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? 

          Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. 

    CEKLEK!

        Clara menolehkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. Benar saja, Audrey masuk begitu saja untuk menghampirinya. Matanya begitu teduh saat menatap Clara, menampakkan kasih sayang yang begitu besar saat melihat Clara. 

"Kak Audrey? Kenapa belum tidur?" Tanya Clara.

"Kamu sendiri belum tidur? Kenapa,hm? Anak kecil tidak boleh tidur terlalu malam." Jawab Audrey diiringi gurauan.

"Aku bukan anak kecil,Kak. Bahkan aku sudah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasku."

"Di mata kakak, kamu tetap menjadi adik kecilku. Bahkan sampai kamu berusia tiga puluh pun kakak akan tetap memanggilmu adik kecil."

"Terserah Kakak." Ucap Clara sembari menggerutu.

"Jangan ngambek. Jelek. Kenapa belum tidur? Sedang memikirkan apa sih? Tadi kelihatan serius sekali."

"Sedang memikirkan kejadian tadi siang,Kak. Saat aku melihat mereka rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Mereka selalu menatapku dengan pandangan yang berbeda. Tak tahu kenapa. Tapi menurutku, aku memiliki kemiripan dengan orang yang mereka cintai,Kak. Tadi saja saat aku berpamitan pulang, mereka menatapku dengan pandangan tak rela. Apalagi anaknya, dia sampai mau menangis lagi."

"Anaknya? Apakah anak itu adalah anak yang sama saat menemui kita waktu itu?" Tanya Audrey memastikan.

"Benar,Kak. Tidak tahu kenapa anak itu tetap memanggilku mama. Padahal, aku selalu menyuruhnya untuk memanggilku kakak."

"Mungkin karena dia terlalu merindukan ibunya. Jadi dia memanggilmu seperti itu."

        Clara hanya menggedikkan bahunya. Ia juga tak faham. Lebih baik ia segera menidurkan dirinya sendiri. Memikirkan itu saja telah membuatnya pusing. Semoga esok, Clara tak mengalaminya lagi.

                              ***

            Nathan memijit pelipisnya pelan. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Setelah memutuskan untuk menjemput Devan di sekolah tadi, ia harus menyelesaikan semua pekerjaan yang telah ia tinggalkan. Tak apa, ini semua demi putra semata wayangnya. Ia tak mau jika sang putra kembali merasa kesepian karena ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Terkadang Nathan sampai tak menyadari bagaimana proses tumbuh kembang sang anak. 

           Nathan mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuknya. Ada sesuatu yang masih mengganjal. Ia ingat, ia harus menghubungi Jovian sekarang. Ia harus tahu bagaimana perkembangan kasusnya. Apakah benar dugaan mereka waktu itu.

          Nathan segera mengotak-atik ponselnya. Ia harus segera menghubungi Jovian. Ia tak mau jika kasus ini tak diselesaikan dengan cepat. Ia tak mau jika kasus ini terus berlarut-larut.

         Sementara di seberang sana Jovian sedang bersantai. Ia senang sekali hari ini. Pekerjaannya selesai dengan cepat. Ia juga sudah menemukan siapa dalang dibalik korupsi itu. Ia tak menyangka jika otaknya begitu bisa diandalkan. Rencananya ia akan tidur dengan cepat. Ia harus mengistirahatkan tubuh lelahnya yang telah ia forsir dalam beberapa terakhir. 

         Baru saja Jovian ingin merebahkan tubuhnya, ponselnya berdering begitu saja. Saat melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. Jovian menghela nafas. Sepertinya rencana pada malam ini harus gagal akibat sang atasannya menelfonnya tiba-tiba. Jika ia punya kuasa, ingin sekali ia memutus panggilan itu. Namun, ia segera menyadari. Bahwa ia hanyalah bawahan yang masih membutuhkan gaji dari sang atasan. Jika gajinya macet, maka rencana pernikahannya dengan sang kekasih tak kunjung akan terlaksana.

"Selamat malam, Pak." Ucap Jovian.

"Iya. Jovian, tolong datang ke rumah saya sekarang!"

"Lho, ada apa pak?" Tanya Jovian penasaran.

"Ada hal yang ingin saya bicarakan. Tentang masalah waktu itu."

"Tentang korupsi?"

"Betul."

"Saya sudah menemukan pelakunya,Pak. Tapi, bisakah kita bicarakan ini besok saja,Pak? Mata saya tinggal lima watt saja. Saya benar-benar kesulitan membuka mata saat ini. Saya takut jika dalam kondisi mengantuk saat menyetir untuk menuju ke rumah Bapak tiba-tiba saya kecelakaan bagainana Pak? Saya masih muda dan belum menikah. Jadi besok saja ya,Pak?"

"Kamu bisa memesan taxi. Atau saya suruh supir untuk menjemputmu?"

"Aduh, maaf Pak. Saya benar-benar tidak bisa. Tolong jangan potong gaji saya. Saya benar-benar mengantuk. Jika saya mengantuk, otak bodoh ini tidak bisa diandalkan Pak. Maafkan saya."

"Hm. Baiklah. Kita bicarakan besok."

"Terimakasih,Pak."

         Jovian segera memutuskan panggilannya. Ia mengelus dadanya pelan. Untung saja, sang atasan sedang berada dalam metode malaikat. Jadi ia tak perlu khawatir jika jadwal tidur lebih awalnya akan terganggu. 

                             ***

         Nathan meletakkan ponselnya cepat. Setidaknya ia bisa bernafas sedikit lega saat mengetahui informasi dari Jovian. Bawahannya memang bisa diandalkan. Bahkan, ia belum sempat menemukan suatu titik sedikit akan akar permasalahan dari kasus yang dialaminya.

         Ia menatap sang anak yang sudah terlelap di ranjang besarnya. Katanya anak itu ingin menemani sang ayah yang sedang bekerja. Nathan tersenyum gemas, menemani apa? Bahkan anaknya sudah tertidur pulas saat ia belum menyelesaikan separuh dari pekerjaannya.

         Nathan segera menutup laptopnya. Kemudian merenggangkan seluruh tubuhnya yang terasa lelah hingga menimbulkan bunyi germeletuk. Setelah itu, Nathan membaringkan tubuh besarnya di samping sang anak. Ia mengusap wajah mungil itu lembut. Wajah putranya begitu mirip dengan dirinya. Ia serasa memiliki fotokopi dirinya.

        Nathan membenarkan selimut sang anak yang berantakan. Kemudian memeluk anak itu dengan penuh kehangatan. Beberapa kali Nathan memberikam kecupan-kecupan kecil pada wajah mungil Devan. Nathan terkikik geli saat melihat Devan mengerutkan keningnya pelan. Pertanda bahwa tidur sang putra terganggu.

         Nathan berandai-andai. Mungkin jika sang istri masih berada disampingnya pasti ia akan dimarahi sang istri habis-habisan. Emilia paling tidak suka jika tidur sang anak diganggu. Bahkan Emilia tak segan-segan untuk memukul kepala Nathan dengan keras jika Nathab melakukan seperti apa yang ia lakukan sekarang. 

         Nathan menggelengkan pelan. Ia harus berhenti berandai-andai. Ia harus menatap ke depan. Tak boleh ke belakang. Ia harus membuktikan kepada mendiang sang istri, bahwa ia bisa mengurus anak mereka dengan baik. Ia akan membuat Devan menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh mereka. Ya, semoga Nathan tak mengecewakan mendiang sang istri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Second Love   EPILOG

    Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l

  • Second Love   Part 97

    Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu

  • Second Love   Part 96

    Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba

  • Second Love   Part 95

    Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar

  • Second Love   Part 94

    Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.

  • Second Love   Part 93

    Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status