Clara menghembuskan nafasnya lelah. Mengapa Pak Nathan lama sekali? Perutnya sudah lama sekali meminta diisi. Cacing-cacing di perutnya sudah konser sampai suaranya begitu keras.
Bunyi bel apartemen berbunyi. Clara segera menuju ke arah sumber suara. Ia yakin sekali bahwa itu adalah Nathan. Ia tak sabar untuk melahap makanan yang ia bawa.
Clara tersenyum lebar saat melihat barang bawaan Nathan. Itu pasti pesanannya. Ia tak sabar merasakan betapa nikmatnya pizza yang sudah lama Clara tak bisa menikmatinya itu. Ia bahkan dengan
sembrono menarik tangan Nathan masuk ke dalam apartemennya. Mengabaikan Devan yang masih menatap keduanya bingung.
Devan melongo. Kenapa mamanya tak menyambutnya sama sekali? Devan mendengus kesal. Mungkin karena mama lebih merindukan papa daripada dia.
Tak terasa, beberapa waktu tela berlalu. Nathan masih asik mengamati interaksi antara Clara dengan sang anak. Ia tak menyangka jika mereka bisa seakrab ini dalam waktu dekat. Apakah mereka terlibat dalam hubungan batin? Entahlah, Nathan sendiri bingung memikirkannya. Clara tertawa lebar. Bermain dengan Devan tak seburuk yang ia kira. Devan seakan menjadi cahayanya setelah beberapa terakhir kehidupannya terasa redup. Devan menjadi penghibur tersendiri bagi Clara. Selang beberapa lama, Devan menguap lebar. Ini sudah menunjukkan pukul dua belas. Biasanya Devan sudah tidur siang. Karena itu, Devan sudah mengantuk. Ia membutuhkan tidur siang."Devan mengantuk? Pulang yuk. Kamu harus tidur sekarang." Ucap Nathan pada sang putra."Tidak mau Papa. Devan masih mau main sama Mama. Nanti di rumah Devan bisa keb
Devan senang sekali karena siang ini ia dijemput oleh seseorang yang tak pernah terbayangkan bahwa ia akan dijemput oleh orang itu. Itu adalah kakeknya, ia terlihat menunggu Devan di depan gerbang dengan bersedekap dada. Saat melihat kedatangan sang cucu, Dimas langsung merenggangkan tangannya. Pertanda ingin dipeluk. Devan segera mempercepat langkah kakinya. Ia tak sabar untuk memeluk kakeknya. Ia bahkan beberapa kali sempat tersandung kakinya sendiri namun tak ia hiraukan. Ia tetap menatap lurus ke depan, memuju sang kakek. Dimas memeluk tubuh kecil itu ketika sudah sampai di didepannya. Ia beberapa kalo menggoyangkan tubuh mungil itu ke kanan dan ke kiri. Gemas sekali."Tumben kakek yang jemput Devan? Biasanya, Bi Inah yang selalu menjemput Devan." Ucap Devan bingung."Bi Inah sedang kembal
Devan tergesa berlari menuju ke ruang sang ayah. Ia tidak sabar untuk menemuinya. Setelah tadi ia sempat terkantuk-kantuk tadi, sekarang matanya sudah terbuka lebar. Bahkan sang kakek sampai kewalahan untuk menyamakakan langkahnya dengan sang cucu. Dimas mulai sadar, bahwa tubuhnya memang sudah mulai renta. Devan segera membuka pintu ruangan sang ayah. Senyum lebarnya tiba-tiba saja menghilang ketika melihat wanita yang ada di depan papanya. Dengan kesal, ia menghampiri Nathan dengan bibir yang dikerucutkan. Sebal sekali. "Pa, kenapa ada tante menor ini disini? Devan tidak suka! Devan maunya mama! Bukan tante menor!" Ucap Devan kesal. "Hus. Kamu tidak boleh berbicara seperti itu sayang. Bagaimanapun juga, tante Wilda lebih tua dari kamu." Nasihat Nathan. Nathan pun sama kesalnya dengan kedatangan
Clara menatap kedua orang yang lebih tua di depannya ini serius. Mereka menatap Clara dengan pandangan berbeda, tak seperti biasanya. Clara yakin, ada suatu yang disembunyikan oleh keduanya. Alvin dan Audrey bukanlah tipe orang yang pendiam. Mereka selalu bercerita setiap mengalami masalah."Kalian kenapa? Kalian terlihat tidak seperti biasanya?" Tanya Clara penasaran. Audrey hanya menghela nafas. Ia menatap Alvin sekilas, namun sang suami hanya menggelengkan kepalanya pelan. Pertanda tidak tahu. Audrey memegang tangan mungil Clara pelan. Mengelus sejenak kemudian berkata,"Clara, ada yang harus kami bicarakan kepadamu. Maaf, kami tidak mengatakannya lebih awal." Ucap Audrey penuh penyesalan."Iya. Kakak tidak perlu tegang begitu. Memangnya apa yang perlu dibicarakan? Kalian terlihat serius sekali." Sahut Clara disertai kekehan.&n
Devan telah mengenakkan seragamnya. Setelah semalaman anak itu membuat Nathan kelimpungan, sekarang anak itu terlihat begitu bersemangat untuk bersekolah. Walaupun wajahnya masih nampak sedikit pucat, namun anak itu terlihat begitu sehat dengan keaktifannya. Nathan menatap Devan khawatir. Sebenarnya, ia melarang putra semata wayangnya itu untuk bersekolah. Akan tetapi anak itu tetap kekeuh bahwa ia akan tetap pergi ke sekolah. Mendengar rengekan terus menerus Devan, terpaksa Nathan mengabulkan permintaan Devan. Daripada membuat anak itu terus merengek layaknya sebuah kereta butut."Papa, ayo cepat. Devan tidak mau terlambat hanya karena keleletan Papa!" Ucap Devan kesal."Serius kamu mau berangkat ke sekolah? Besok saja ya. Papa temani kamu di rumah. Bagaimana?" Tanya Nathan."Atau mau ditemani kakek?" Sahut Dimas."Tidak mau
Nathan menyelurusi lorong demi lorong dengan tergesa. Ia tak sabar untuk mengetahui kondisi anaknya. Jantungnya sudah berdegup sejak tadi, semakin berdegup karena ia berlari terlalu cepat. Nathan sedikit bisa bernafas lega saat melihat tulisan "UKS" sudah berada di depan matanya. Dengan segera, Nat membuka pintu itu. Ia melihat Clara yang masih mengelus rambut lepek Devan yang masih belum sadarkan diri."Clara, bagaimana keadaan Devan?" Tanya Nathan."Devan belum sadar dari tadi Pak. Makanya saya telefon Bapak. Saya sudah berusaha membangunkannya, tapi semua usaha saya sia-sia. Saya juga tidak bisa meminta bantuan pada guru, karena mereka semua sedang rapat. Mungkin karena mereka tahu, kalau Devan sudah ada yang menjaganya." Jelas Clara."Terimakasih sudah menjaga Devan. Kalau begitu, saya akan membawa Devan ke rumah sakit. Apakah kamu ingin ikut
Nathan tersenyum gemas saat melihat Clara tersenyum malu-malu. Clara terlihat menggemaskan jika tersenyum seperti itu. Hal itu membuat jantung Nathan seperti lari marathon. Berdetak cepat sekali. Apa mungkin Clara telah membuatnya jatuh hari terhadapnya. Entahlah, biarlah waktu yang menjawabnya. Devan mulai membuka matanya. Ia melihat dua orang yang terpaut jauh usianya berada di depan matanya. Ia yakin, salah satu orang itu adalah Papanya. Tapi, satu orang yang hampir membuatnya tidak percaya adalah sosok perempuan yang ada di samping ayahnya. Setelah mengetahui sosok yang ada di samping papanya, Devan langsung membuka matanya lebar-lebar. Ia tidak menghiraukan rasa pusing yang menjalar pada kepalanya saat ia membuka mata. "Mama? Mama ada disini? Tuhan, apakah ini mimpi? Jika ini mimpi, aku tidak mau terbangun kembali." Ucap Devan pada dirinya sendiri.
Clara mendengus kesal saat namanya disebut-sebut oleh Alvin dan Nathan. Ia tidak suka jika namanya disebut-sebut seperti itu. Ia tidak begitu jelas mendengar apa yang mereka katakan. Akan tetapi,ia tahu betul jika mereka sedang membicarakan mereka. Clara menatap Alvin dan Nathan tidak suka. Hal itu membuat orang yang ditatap mengernyit heran."Ada apa?" Tanya Alvin pada Clara."Kalian ngomongin aku ya? Jika membicarakan orang itu di depan orangnya langsung. Yang keras, jangan bisik-bisik seperti orang yang kena typus." Ucap Clara kesal."Lho, memangnya kami membicarakan tentang kamu? Kamu saja yang memiliki kepedean tingkat dewa." Jawab Alvin dengan nada bercanda."Kata siapa? Aku bisa mendengarkannya sendiri kalau kalian membicarakanku! Kalian tidak membicarakan yang tidak-tidak kan?""Kami tidak membicarakan hal yang tidak-tidak tentang a