Setelah kurang lebih satu minggu aku berusaha merayu sahabatku Monica, yang notaben sekretaris pribadi William Wang. Aku tahu di mana William suka menghabiskan waktunya, dengan dibonceng Alan sahabat terbaikku, aku langsung menuju Menara BCA.
"Thanks Lan, udah anterin gue..." ucapku seraya melepas helm.
"You're welcome and good luck, Sean." jawab Alan tersenyum. Kulambaikan tangan kepada Alan sebelum aku memasuki gedung untuk segera menaiki lift. Jam pun sudah menunjukan pukul delapan malam lewat dan semoga saja William.masih berada di sana. Di dalam lift aku tidak sabaran ingin segera bertemu dengan William, aku harap dia memang berada di sana.
Lift berdenting dan layar di dalam lift sudah menunjukan lantai tujuan, maka langsung saja kulangkahkan kaki keluar. Mataku langsung kuarahkan ke segala arah mencari keberadaan William. Pertama-tama aku mencarinya di bagian indoor restoran, tapi aku tidak bisa menemukannya di sana, maka kemudian aku mencoba mencari ke bagian outdoor restoran ini.
Dengan cahaya yang sedikit temaram, aku berjalan santai memperhatikan sekeliling, memastikan tidak ada. Akhirnya aku bisa menemukannya yang sedang duduk sendirian di kursi kayu dekat kolam renang.
Dengan langkah yang kupercepat segera kuhampiri William, tapi sepertinya William tidak memperhatikan aku dan seperti sedang melamun, maka kuputuskan untuk menyapanya lebih dulu, "Hey,. Will... it's nice to see you again..."
" Oh hey.. nice to see you too..." jawab William yang sepertinya kaget melihat kedatanganku
.
William terlihat tampan dengan potongan rambut undercut-nya yang dipadu padankan kemeja biru lengan panjang yang digulung hingga sikunya, sehingga mata ini sedikit pun tidak mau beralih darinya. "Boleh aku duduk di sini?" tanyaku kembali menguasai diri.
.
"Ya tentu... kenapa tidak..." jawabnya terlihat gugup
.
"Thanks Will..." aku pun menduduki di kursi sampingnya.
Kedatangan seorang pelayan yang mengantarkan minuman pesanan William menginterupsi kecanggungan antara aku dan dia. Maka begitu sang pelayan sudah selesai dengan William, aku pun memesan segelas 'Burning Mandarin'.
"Kamu sering ke sini, Will?" tanyaku memecahkan kecanggungan di antara kami.
"Uh... Huh..." jawab William seraya menyesap minumannya.
"I see... omong-omong thanks ya, sudah memilih agency tempat aku bekerja dan tentu juga karena sudah memilih aku sebagai salah satu modelnya..."
"You're welcome, Sean"
William memang sudah mencuri perhatianku sejak cukup lama. Sebagai pebisnis muda ia cukup terkenal hingga beberapa kali muncul di berbagai majalah. Tapi pada saat syuting kemarin dan aku langsung bertemu dengannya, dan aku beberapa kali memergokinya sedang mencuri pandang padaku.
Maka dari itu aku berani merayu-rayu sahabatku untuk mau membantuku mendekati William dan kini aku pun sudah berada di dekatnya. Tidak lama kemudian pelayan wanita tadi kembali membawa minuman pesananku, ia pun meletakan minuman di sampingku, baru kemudian kembali pamit dariku.
"Cheers !" ucapku seraya mengangkat gelas minuman.
"Cheers..." jawab William seraya ikut mengangkat gelas minumannya.
Melihat William yang seperti orang gugup membuatku tertawa, "Will... kok kamu gugup banget ? Are you alright Will?"
"Yes, I am fine, maybe just a little bit tired..."
"Oh, I see" kembali aku dibuat tersenyum oleh William.
Kami pun kembali terdiam dengan pikiran masing-masing, aku ingin meminta nomor William namun sedikit ragu maka, kusesap minumanku terlebih dulu sebelum meraih ponselku. Dan akhirnya kuputuskan untuk memberanikan diri, "Will... can I have your number?" tanyaku.
William terlihat seperti sedang berpikir, apa ia tidak mau membagi nomornya denganku,"Sure, why not," jawabannya membuatku lega.
Dengan perasaan yang berbunga-bunga, kuserahkan ponselku kepada William. Dari sikapnya aku sudah bisa menilai William juga mungkin memiliki rasa yang sama denganku, apalagi setahuku ia tidak pernah dikabarkan dekat wanita mana pun.
"Kamu missed call saja, biar aku simpan nomormu juga."ucapnya seraya mengembalikan ponselku
.
Aku mengangguk seraya menerima kembali ponsel milikku, tanganku pun langsung men-dial nomor yang baru saja disimpan. Kulihat William serta merta mengambil ponselnya dari dalam saku celana bahan yang ia kenakan.
"Oke, sudah kusimpan" ucap William seraya tersenyum kepadaku.
"Thanks, Will..."
Ini memang bisa jadi pertanda baik hubunganku dengan William. Sebab kalau kuperhatikan, William bisa jadi sama sepertiku. William sukses juga tampan, rasanya tidak mungkin tidak seorang wanita pun yang mau dengannya, aku saja yang seorang pria tidak mampu menolak pesonanya.
Tidak terasa minumanku sudah kuminum hingga habis, kami yang kembali dibawa ke dalam kecanggungan hanya diam satu sama lain. "Will... setelah ini kamu ada acara apa?" tanyaku memecahkan keheningan.
"Nothing, sepertinya sehabis ini aku akan pulang saja beristirahat." Jawabnya.
Aku mengangguk
.
Tiba-tiba saja aku melihat William sudah memanggil pelayan dan membayar minumannya. Aku yang terkejut melihat William yang sepertinya sudah ingin pergi, langsung aku kembali bertanya, "Kamu sudah mau pulang Will?"
"Uh... Huh..." jawabnya.
Buru-buru kupanggil pelayan yang baru saja ingin berlalu dari kami, langsung kubayar pesananku."Omong-omong, rumahmu di mana?" tanyaku begitu pembayaranku selesai.
"Aku tinggal di apartemen dekat kantor..." jawab William.
Aku pun mendapat ide, bagaimana jika aku meminta tumpangan padanya dan aku yakin ia tidak mungkin menolak. "Bolehkah aku menumpang sampai Karet? Apartemenku dekat sana."
"Okay, no problem"
Kembali kulayangkan senyuman kepada William, bagaimana aku tidak terus tersenyum kepada William. Aku benar-benar merasa bahagia, aku kembali bisa bertemu dengan William, Ia pun juga sudah memberikan nomor ponsel dan kini ia akan mengantarkan aku pulang.
Kami berdua pun berjalan beriringan menuju parkiran mobil, aku hanya berjalan mengikuti langkah William. Kami berhenti di depan mobil William, langsung dibukanya kunci otomatis mobil itu dan mempersilahkan aku duduk di sampingnya.
"Sean..." suara William memecahkan keheningan sepanjang perjalanan tadi.
"Ya Will, kenapa?"
William terdiam sesaat sebelum akhirnya ia meneruskan ucapannya barusan, "Kamu tinggal di apartemen mana sih? Aku antar sampai sana saja..."
"Kamu mau mengantar aku sampai apartemenku? Hmmm, baiklah. Aku tinggal di Sudirman park," lagi-lagi aku dibuat tersenyum melihat William yang seperti orang salah tingkah.
Tidak terasa mobil yang dikendarai William sudah hampir sampai apartemenku, "Thanks Will udah anterin aku yah. See you…."pamitku.
William hanya menjawab dengan anggukan, lalu menghentikan mobil di depan gerbang.
Aku membuka pintu dan sekali lagi melambai kepada William sebelum aku akhirnya menghilang dari hadapannya. Sesampai di depan lift, kutekan tombol naik dan berdiri menunggu lift yang sedang bergerak turun ke bawah. Dari pertama kalinya melihat sosok William di majalah, aku sudah bisa menilai dia adalah pribadi yang menarik dan sekaligus sosok yang menawan.
Awalnya aku sempat ragu tadi, apakah aku bisa mendapatkan nomor ponselnya, tapi ternyata ia mau memberikannya juga. Ya mungkin, ini pertanda aku bisa mengenalnya lebih dekat lagi.
Aku Alan, Gillian, Cipta dan Monica kami pergi bersama-sama dan herannya kenapa mereka tidak mengajak William juga. Memang alasannya adalah karena William harus disibukan dengan pekerjaan sehingga aku tidak tetap memaksanya untuk tetap ikut bersama kami. Padahal aku juga ingin dia bisa ikut bersama kami. “Sean, kenapa kok diam aja?” tanya Monica begitu kami sudah bersantai di salah satu café mal tujuan kami. “Eum, gak apa-apa kok,” jawabku cepat. “Pasti pak William kan? Udah Sean dia gak apa-apa, dia kan memang lagi sibuk sama pekerjaan.” Aku menarik nafas, “Apa gue terlihat berlebihan Mon, tapi kan gue cuma takut kehilang
Sebenarnya Monica sempat berkata ingin menemaniku untuk business trip ke Cina, tapi aku melarangnya mengingat statusnya kini sudah menjadi istri orang. Meski aku sendiri sudah cukup mengenal suami Monica, tapi tetap saja aku merasa tidak enak jika aku mengajaknya. Maka sebagai gantinya dia akan selalu mengingatkan aku untuk meminum obatku selama berada di Cina Setelah tiga hari aku sibuk dengan pekerjaanku yakni membahas tentang aplikasi terbaru buatan perusahaan kami yang kini bekerja sama dengan pembuat game asal Cina. Semua berjalan dengan baik, meski aku kembali teringat Sean dan aku mulai berpikir apakah aku tidak mencoba mencarinya di sini? Aku masih ingat bahwa ayahnya berasal dari sini, mungkinkah Sean kembali ke tanah kelahiran ayahnya?
Tiga tahun berlalu dan selama itu pula juga aku berada di Chongqing, memulai kehidupan baruku di tempat kelahiran ayahku. Dengan uang yang diberikan oleh Mr Wang, aku mewujudkan impianku untuk membuka sebuah restoran bakmi di dekat kawasan wisata Xiuhu Park. Memang untuk itu aku mengeluarkan uang yang cukup banyak, sehingga aku menambahkan dengan uang tabunganku sendiri. Namun semua pengorbananku tidak sia-sia, karena aku berhasil wujudkan impianku. Selama tiga tahun ini mencoba untuk mengikuti semua permintaan Mr Wang untuk tidak sekalipun muncul dihadapan William, menghilang begitu saja bahkan aku menghilang dari semua teman-temanku dulu. Hal ini aku lakukan semata-mata untuk William, agar dia bisa kembali kepada kelu
Akhirya sampai juga di part ini, ya ini adalah part terakhir yang postig di W*****d, jadi pembaca cerita saya di w*****d mungkin berpikir ini adalah endingnya. Tapi ini bukanlah ending yang sebenarnya. Ending yang sebenarnya ada chapter 28 dan memang tiga chapter selanjutnya hanya saya berikan kepada pembaca yang membeli versi novelnya. Dan untuk di sini tenang,para pembaca bisa membaca cerita ini sampai chapter 28 hanya cukup dengan membeli menggunakan koin. Jadi pembaca yang penasaran mohon ditunggu, chapter selanjutnya akan tetap di update setiap hari hingga tiga hari kedepan. Semoga suka dan jangan lupa boleh minta komentar serta vote ya. Terima kasih...
Semenjak kepergian Sean yang tiba-tiba itu sudah membuat Pak William seperti kehilangan separuh jiwanya. Meski kini dia memang kembali tetap bekerja seperti biasa dan kembali pada kedua orang tuanya, aku tidak melihat sosok pak William yang dulu begitu ceria ketika bersama Sean. Semuanya hilang bersama perginya sahabatku, Sean.Aku sendiri tidak tahu di mana keberadaan dia sekarang, apakah dia memang sudah meninggalkan negara ini atau memang masih berada di negara ini juga ? Dalam setahun belakangan ini Sean tidak pernah sekali pun mencoba menghubungiku atau pun Alan yang aku tahu adalah sahabat terbaiknya. Ia seakan memang ingin tidak ditemukan oleh siapa pun juga.Seperti hari-hari biasanya pak William datang ke kantor melakukan pekerjaannya seperti biasa, tapi kini terlihat sangat memprihatinkan. Tubuhnya kurus dan rambutnya
“Sean…. aku pulang,” panggilku seraya mengunci kembali pintu apartemen . Tapi aneh sekali, apartemen ini begitu sepi, di mana Sean? Bukankah tadi dia bilang tidak pergi hari ini? Kemudian aku melihat kamar tidur kami namun Sean masih tak ada juga. Tidak biasanya Sean seperti ini, tapi sudahlah aku akan menunggunya dulu. Aku lantas kembali ke ruang tv untuk menunggunya di sana. Hingga jam enam sore Sean belum kembali, ponselnya pun sudah beberapa kali kucoba hubungi tapi tidak bisa. Ponselnya mati, aku sudah mulai tidak bisa tenang lagi. Sean, kamu ke mana ? Tunggu-tunggu aku tidak boleh panik, kali-kali saja teman-tem